Cerpen : Janji Yang Terhapus
Oleh : Rieke Aria Saputri
(Saat pikiran melayang)
Setelah
menyiapkan meja dagangan seperti biasa, akupun menyandarkan punggung di kursi kebesaranku
sambil menunggu pembeli.
Sementara di depanku, kulihat Bu Soto yang selalu duduk terkantuk-kantuk sambil mendengarkan suara radio di sampingnya, yang membuatku kadang bertanya dalam hati, sebetulnya Bu Soto itu benar-benar sedang mendengarkan radio atau tidur?
Aku tersenyum mendengar suara Tulus menyanyikan Ruang Sendiri dari radionya. Lagu yang sering diputar anakku, anak muda jaman sekarang. Oke juga frekwensi pilihan Bu Soto ini.
Sementara di depanku, kulihat Bu Soto yang selalu duduk terkantuk-kantuk sambil mendengarkan suara radio di sampingnya, yang membuatku kadang bertanya dalam hati, sebetulnya Bu Soto itu benar-benar sedang mendengarkan radio atau tidur?
Aku tersenyum mendengar suara Tulus menyanyikan Ruang Sendiri dari radionya. Lagu yang sering diputar anakku, anak muda jaman sekarang. Oke juga frekwensi pilihan Bu Soto ini.
Beri aku kesempatan tuk
merindukanmu/Jangan datang terus/Beri juga aku ruang bebas dan sendiri/Jangan
ada terus/Aku butuh tahu seberapa kubutuhkanmu/Percayalah rindu itu baik untuk
kita
Kuraih
HP dan melihat berapa banyak notice di WA yang belum kubuka. Tiba-tibakan kurasakan sensasi dejavu.
Wow, ada ratusan di group ini, ada ratusan lagi di group itu...., resiko punya banyak group di WA ya begini. Kadang malah HP sampai hank karena memorynya kepenuhan.
Wow, ada ratusan di group ini, ada ratusan lagi di group itu...., resiko punya banyak group di WA ya begini. Kadang malah HP sampai hank karena memorynya kepenuhan.
Kusentuh
group SMAku yang tampak paling banyak noticenya. Hampir 400. Padahal baru semalam
saja HP ini tidak tersentuh, pikirku.
[Teman-teman,
ada pesawat hilang tadi pagi, aku jadi ingat almarhum suamiku....] Tulis Wati.
Yang kemudian dibalas dengan berbagai ucapan prihatin dan pertanyaan yang berkaitan dengan peristiwa itu dari teman-temanku lainnya.
Kemudian ditambah postingan berita terakhir tentang pesawat yang baru jatuh tadi pagi. Ratusan percakapan sibuk membicarakan tentang kondisi kecelakaan pesawat hari ini.
Yang kemudian dibalas dengan berbagai ucapan prihatin dan pertanyaan yang berkaitan dengan peristiwa itu dari teman-temanku lainnya.
Kemudian ditambah postingan berita terakhir tentang pesawat yang baru jatuh tadi pagi. Ratusan percakapan sibuk membicarakan tentang kondisi kecelakaan pesawat hari ini.
Aku
tertegun menatap ratusan percakapan itu dengan pikiran bercampur aduk di dalam
kepalaku. Tidak tahu harus bagaimana.
Apakah ikut menyatakan prihatin pada Wati seperti lainnya, atau diam saja tidak bereaksi seperti biasanya dan hanya cukup dengan menjadi pembaca saja? Bimbang membuatku membeku.
Apakah ikut menyatakan prihatin pada Wati seperti lainnya, atau diam saja tidak bereaksi seperti biasanya dan hanya cukup dengan menjadi pembaca saja? Bimbang membuatku membeku.
Suami
Wati adalah seorang pilot dan kebetulan juga adalah seseorang yang pernah
menempati salah satu sudut relung hatiku.
Salah satu tempat tersembunyi yang selalu terjaga di sana untuk waktu
yang lama.
Jadi bukan hanya dia saja yang kembali teringat pada peristiwa menyedihkan itu. Aku juga. Aku juga punya cerita sedih tentangnya. Tentang kami berdua.
Memang hubungan kami adalah masa lalu.
Sama seperti dia yang sudah punya Wati, akupun punya seseorang yang lain dalam hidupku. Kami sudah punya cerita dan kehidupan masing-masing.
Jadi bukan hanya dia saja yang kembali teringat pada peristiwa menyedihkan itu. Aku juga. Aku juga punya cerita sedih tentangnya. Tentang kami berdua.
Memang hubungan kami adalah masa lalu.
Sama seperti dia yang sudah punya Wati, akupun punya seseorang yang lain dalam hidupku. Kami sudah punya cerita dan kehidupan masing-masing.
Hanya
saja ibarat sebuah kisah, terkadang ada kisah yang tidak terselesaikan. Yang
berawal tapi tidak berakhir, yang mungkin belum berakhir, atau yang memang
tidak pernah ada akhirnya.
(Masuk ke lorong waktu)
(Masuk ke lorong waktu)
Anganku
melompat liar pada waktu itu, hari minggu setelah subuh, di akhir bulan
April.
Tiba-tiba ada pesan japri darinya, [Sudah bangun belum? Cepat cuci muka dulu...!]
Tiba-tiba ada pesan japri darinya, [Sudah bangun belum? Cepat cuci muka dulu...!]
[Kenapa
harus cuci muka?!] tanyaku.
[Kalau
gitu, cepatlah mandi dan temani aku menghitung rusa di halaman istana] katanya.
[Rusa
apa? Istana apa?!] tanyaku tidak mengerti.
[Rusa
di Istana Bogor] jawabnya.
Istana Bogor?! Sepertinya dia sedang bermimpi.
Istana Bogor?! Sepertinya dia sedang bermimpi.
[Apakah
hari ini kamu ada waktu seharian?] tanyanya lagi.
[Kurasa
bisa kuusahakan] jawabku.
[Kalau
begitu, jam berapa kamu bisa kemari secepatnya? Tolong bawa motor ya...]
[Ke
mana???] aku masih belum mengerti.
Aku memang tinggal di Bogor, tapi dia tinggal di Medan.
Bagaimana mungkin aku harus ke tempatnya naik motor? Kecuali...., dia saat ini ada di Bogor!
Aku memang tinggal di Bogor, tapi dia tinggal di Medan.
Bagaimana mungkin aku harus ke tempatnya naik motor? Kecuali...., dia saat ini ada di Bogor!
[Kamu....., di..... Bogor?] tanyaku.
[Ya
iyalah. Itu Gunung Salak ada di depan mataku] jawabnya. Gubrak!! Ternyata dia masih tetap gila seperti dulu.
Tidak
sampai satu jam kemudian aku sudah duduk di Lobby Hotel di depan Kebun Raya
tempatnya menginap tadi malam, menunggunya turun dan sekalian check out.
Melihatnya
keluar pintu lift dari tempatku duduk, kami sempat saling tatap tanpa kata
ketika untuk pertama kalinya berjumpa seperti ini, setelah sekian puluh tahun berlalu.
Dia tidak memakai pakaian dinasnya dan hanya membawa sebuah ransel di bahu kirinya. Beberapa hal masih tampak seperti dulu. Hanya bertambah beberapa kerut wajah saja yang menandakan jenjang waktu yang berjarak sangat lama antara kami.
Dia tidak memakai pakaian dinasnya dan hanya membawa sebuah ransel di bahu kirinya. Beberapa hal masih tampak seperti dulu. Hanya bertambah beberapa kerut wajah saja yang menandakan jenjang waktu yang berjarak sangat lama antara kami.
“Terimakasih
kamu mau datang.” katanya. Aku mengangguk kecil.
Menepis
canggung, aku segera bangkit dari dudukku dan mendahului ke arah pintu keluar,
“Terus, mau ke mana kita naik motor seharian?” tanyaku.
Ternyata
motorku ditinggal di penyewaan mobil dekat stasiun untuk jaminan, dan kamipun meluncur menuju Serang dengan mobil sewaan.
“Ada
apa di Serang? “ tanyaku.
“Sebetulnya
aku ingin mengajakmu ke Kampung Baduy, tapi waktuku terbatas hanya hari ini,
nanti malam aku harus terbang kembali ke Medan. Dan kubaca berita, kebetulan
tiga hari ini ada Festival Seba Baduy di Serang...., jadi kita coba lihat ke
sana aja ya...” katanya.
Iya,
betul. Aku jadi ingat, beberapa waktu lalu aku sempat baca promosinya di salah
satu Medsos. Festival Seba Baduy yang diadakan tiap tahun sekali sudah dimulai
sejak dua hari lalu.
Sebetulnya acara ini adalah semacam Upacara Adat Masyarakat Baduy yang sudah dilakukan sejak Kesultanan Banten dulu untuk bertemu dengan Ayah Gede (Pemimpin Pemerintahan, yang di masa sekarang adalah Gubernur Banten), untuk menyampaikan unek-unek mereka dan menyerahkan hasil bumi.
Sebetulnya acara ini adalah semacam Upacara Adat Masyarakat Baduy yang sudah dilakukan sejak Kesultanan Banten dulu untuk bertemu dengan Ayah Gede (Pemimpin Pemerintahan, yang di masa sekarang adalah Gubernur Banten), untuk menyampaikan unek-unek mereka dan menyerahkan hasil bumi.
Seba
Baduy ini sebelumnya diawali dengan melakukan ritual Kawalu selama 3 bulan (semacam puasa). Dan selama masa
itu, wisatawan tidak diperkenankan
memasuki 3 Desa Kampung Baduy Dalam. Selama 3 bulan itu, masyarakat Baduy Dalam
benar-benar tidak berhubungan dengan orang luar. Kearifan lokal dalam upaya menjaga tradisi dan kelestarian wilayahnya.
Hebatnya
lagi, masyarakat Baduy melakukan perjalanan dari Desa Kanekes, Kabupaten Lebak,
menuju Serang dengan berjalan kaki tanpa alas kaki. Telapak kaki mereka memang setebal sepatu boot.
Masyarakat
Baduy mengamalkan ajaran turun temurun dari Kokolot
atau Leluhur yaitu Ajaran Kejujuran Apa Adanya.
Lojor teu meunang diteukteuk, pendek teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Juga ajaran Luhur tentang Keikhlasan dan Pelestarian Alam, yang sangatlah dipegang teguh dan dipatuhi oleh masyarakat Baduy. Tidak heran kalau budaya masyarakat Baduy ini yang dijadikan semacam icon kebanggaan Propinsi Banten.
Lojor teu meunang diteukteuk, pendek teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Juga ajaran Luhur tentang Keikhlasan dan Pelestarian Alam, yang sangatlah dipegang teguh dan dipatuhi oleh masyarakat Baduy. Tidak heran kalau budaya masyarakat Baduy ini yang dijadikan semacam icon kebanggaan Propinsi Banten.
Setelah
dua jam perjalanan lewat Tol yang membosankan, akhirnya Alun-alun kota
Serangpun ada di depan mata.
Perhelatan besar kemarin masih meninggalkan lapak-lapak tempat menjual hasil kerajinan masyarakat Baduy yang berupa kain tenun, tas, dan souvenir khas Baduy yang semuanya dikerjakan secara manual. Kami sempat berkeliling dan membeli beberapa souvenir berupa kain dan selendang Baduy. Sekedar tanda mata.
Perhelatan besar kemarin masih meninggalkan lapak-lapak tempat menjual hasil kerajinan masyarakat Baduy yang berupa kain tenun, tas, dan souvenir khas Baduy yang semuanya dikerjakan secara manual. Kami sempat berkeliling dan membeli beberapa souvenir berupa kain dan selendang Baduy. Sekedar tanda mata.
“Kita
cari tempat makan, terus langsung balik ya. Aku pingin lewat Rangkas terus ke
Bogor, nggak lewat tol... Nggak apa-apa kan?” katanya.
Terus
terang sebetulnya aku masih tidak mengerti apa maunya mengajakku ke Serang ini.
Apa iya hanya untuk melihat pameran ini saja?
“Entahlah.
Apakah aku ingin menyelesaikan atau menyambung kembali sebuah kisah. Yang jelas
saat ini harus kuselesaikan dulu satu yang pernah kujanjikan padamu. Dulu aku
berjanji akan mengajakmu melangkahkan kaki lagi ke Bumi Kanekes kan....” katanya
ketika kutanyakan padanya, sebenarnya kita ini mau apa ke sini.
Memory
yang sempat berkarat dan mengendap di dasar kenanganpun mulai memberontak,
menyeruak, mencoba keluar ke permukaan, karena dia mengajakku untuk
mengobrak-abriknya saat ini. Membangkitkan rasa. Segala macam rasa. Termasuk di
dalamnya penuh dengan cerita cinta yang indah, sakit, dan kecewa saat remaja. Memory
masa SMA dan beberapa waktu setelahnya.
Menjelang
akhir SMA, kami pernah punya rasa yang sama. Mencoba melangkah bersama, menatap
dunia berdua. Begitu juga ketika kemudian
dia diterima di Akademi Angkatan Udara, kami masih mencoba menapakkan kaki bersama dengan nada
dan irama yang sama. Sampai akhirnya, entah bagaimana, langkah itu tiba-tiba
terhenti hanya di beberapa masa. Entah darimana bermula...
“Kenapa
waktu itu kamu tiba-tiba menghilang?” akhirnya kukeluarkan juga pertanyaan yang
selama ini berkutat di kepalaku tanpa berjawab.
Saat itu kami
sudah memulai lagi perjalanan kembali ke Bogor. Dan seperti katanya tadi, kami
tidak akan lewat jalan tol. Kami akan banyak melewati hutan tanaman sawit di
kanan kiri jalan sepanjang Rangkasbitung ke Bogor. Lebih menyejukkan dan tenang
daripada pemandangan gersang sepanjang jalan tol yang lebih identik dengan
hiruk pikuk manusia kota dengan segala kesibukannya masing-masing.
“Bukankah
kamu yang menyuruhku?” jawabnya.
“Aku
menyuruh apa?!” tanyaku bingung.
“Kamu
menyuruhku kembali padanya...” jawabnya lagi.
Memang sebelum jalan denganku di akhir SMA, saat
kelas dua SMA, dia dan Wati memang pernah jalan bersama tetapi
tidak lama.
Walaupun sebetulnya sih, sejak awal masuk SMA itu, aku dan dia sudah lebih dulu sempat saling memercikkan rasa yang sama, tetapi entah kenapa tidak jadi menyala.
Walaupun sebetulnya sih, sejak awal masuk SMA itu, aku dan dia sudah lebih dulu sempat saling memercikkan rasa yang sama, tetapi entah kenapa tidak jadi menyala.
“Kenapa
aku menyuruhmu kembali padanya? Kapan?”
“Saat
aku masih pendidikan, kamu pernah
menanyakan bagaimana hubunganku dengan dia dan menyuruhku untuk kembali
berbaikan dengannya.” katanya dengan pasti, seolah memang benar seperti itu mauku
sesuai keyakinannya.
“Dan
aku menganggapnya itu sebagai caramu untuk menolakku, sehingga ketika hari itu
aku pulang dari rumahmu, hatikupun sudah tercerai-berai..., hancur...”
sambungnya.
Aku
terdiam beberapa saat, sambil berusaha mengingat-ingat kapan aku menyuruhnya
kembali pada Wati, sedangkan jelas-jelas saat itu aku sedang jalan dengannya.
“Oh
itukah?! Ketika habis lebaran dan kusuruh kau menyambung lagi tali silaturahmi?" tanyaku.
"Aku memang menyuruhmu berbaikan lagi dengannya itu dalam arti kembali berteman, tidak menjadi musuh lagi, bukan menyuruhmu menikahinya!” semprotku.
"Aku memang menyuruhmu berbaikan lagi dengannya itu dalam arti kembali berteman, tidak menjadi musuh lagi, bukan menyuruhmu menikahinya!” semprotku.
Jadi
itu alasannya tiba-tiba dia menghilang. Hhhfh. Tidak kusangka ternyata dia
senaif itu, aku menghela nafas panjang.
Padahal beberapa waktu sebelumnya, ketika menunggu hasil ujian akhir keluar, kami sudah membuat janji.
(Makin terseret ke relung Lorong Waktu)
Padahal beberapa waktu sebelumnya, ketika menunggu hasil ujian akhir keluar, kami sudah membuat janji.
(Makin terseret ke relung Lorong Waktu)
Waktu
itu bersama beberapa orang teman, kami mengadakan perjalanan ke Kampung Baduy
di Lebak. Maksudnya menunggu waktu bersejarah sambil mencoba mengukir kenangan,
daripada bengong di rumah.
Sebuah
perjalanan yang tidak dapat dikatakan mudah walaupun tidak sesulit mendaki
gunung, karena trekking dari Ciboleger menuju Kampung Baduy Dalam harus
ditempuh selama kurang lebih 4 jam dengan melalui hutan dan beberapa sungai
dengan jembatan alam yang dibangun oleh masyarakat setempat secara tradisional.
Juga harus melewati beberapa perkampungan Baduy Luar lebih dulu.
Jalan
setapak berbatu yang terkadang licin, ditambah tanjakan-tanjakan curam yang
sangat menguras tenaga, saat itu membuat dua hati kita semakin menyatu, seperti
menyatunya dua tangan kita yang saling menggenggam.
Akhirnya,
di ujung tanjakan tujuh puluh derajat yang panjangnya seolah tak berujung, yang berhasil
kami lalui dengan jatuh bangun, dia berjanji suatu saat akan kembali
menggenggam tanganku melewati Tanjakan Cinta itu. Aku percaya.
(Merangkak dari Lorong waktu)
(Merangkak dari Lorong waktu)
“Kamu...., mau mengajakku ke sana sekarang?” tanyaku
ragu-ragu.
“Aku
mau. Tapi tidak mungkin lagi ....” jawabnya lirih sambil menghela nafas
panjang.
Kulihat wajahnya tampak pucat. Mungkin kelelahan.
Kulihat wajahnya tampak pucat. Mungkin kelelahan.
“Terus
terang, janjiku itu selalu menghantuiku selama berpuluh tahun ini... Tidak
pernah hilang dari kepalaku. Tapi kita kan
tidak boleh menyesali takdir. Hanya saja
rasa bersalahku padamu belum juga pupus...
Rasa bersalah karena terlalu mudah mengumbar janji.” katanya.
“Perjalanan
ini kuharap dapat mengurangi rasa bersalahku padamu, walaupun aku tahu kalau
aku akan tampak egois karena hanya memikirkan perasaan bersalahku saja tanpa
berusaha mencari tahu, apakah kamu bersedia memaafkanku karena harus memintamu
untuk menghapus janji itu dari hatimu.” sambungnya sambil kembali menghela nafas panjang.
Apakah
janji itu masih berlaku, ketika ikatan diantara kitapun bahkan sudah tidak
jelas lagi, pikirku.
Aku terdiam mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan berat. Kucoba mengaduk-aduk ke dasar hatiku, berusaha mencari tahu, seberapa banyak rasa yang masih tertinggal di sana...., dan seberapa banyak yang harus kulepas...
Aku terdiam mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan berat. Kucoba mengaduk-aduk ke dasar hatiku, berusaha mencari tahu, seberapa banyak rasa yang masih tertinggal di sana...., dan seberapa banyak yang harus kulepas...
Sebuah
rasa yang pernah ada memang tidak harus selalu bertahan dengan rasa yang sama
selamanya.
Semua dapat berubah sesuai beredarnya matahari dan bergantinya masa. Perlu keajaiban cinta untuk dapat tetap kuat, tetapi bukan pula karena tidak cukup cinta bila semua tidak dapat bercahaya. Itu semua karena takdir bukan kita yang punya.
Semua dapat berubah sesuai beredarnya matahari dan bergantinya masa. Perlu keajaiban cinta untuk dapat tetap kuat, tetapi bukan pula karena tidak cukup cinta bila semua tidak dapat bercahaya. Itu semua karena takdir bukan kita yang punya.
“Menjadi apapun aku sekarang, tapi hatiku masih hati manusia yang lemah dan tidak berdaya pada ketentuan Yang Maha Kuasa. Tapi aku juga masih menyimpan dosa, karena
punya rasa yang tidak seharusnya tetap kujaga... “ katanya lagi.
Tak
perlu berbalas kata. Aku hanya diam mendengarkannya. Kurasa kita memang masih
punya sisa rasa yang sama. Itu saja.
“Jadi
kau mau memaafkan aku kan? Tolong hapus janjiku padamu dulu. Please.” katanya lagi.
Aku mengangguk tetap tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Tetap juga belum dapat kusadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi.
Aku mengangguk tetap tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Tetap juga belum dapat kusadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi.
Sampai
akhirnya menjelang maghrib kami tiba kembali di Bogor. Kuturunkan dia di depan
Terminal Baranangsiang supaya segera dapat naik Bis Damri yang langsung
mengantarnya ke Bandara Soetta, dan aku mengembalikan mobil sewaan di dekat
stasiun kereta.
Setiba
di rumah, kubuka HP ku yang seharian tidak kutengok karena bepergian dengannya.
Aku takut salah bicara dan ketahuan teman yang lain bila tiba-tiba menghubungi aku dan mengajak ngobrol.
Pertemuan kami ini hanya milik kami berdua saja.
Pertemuan kami ini hanya milik kami berdua saja.
Saat itu banyak
sekali notice di WAG SMAku. Ada ratusan.
Kusentuh
pelan. Klik.
[Teman-teman,
mohon do’anya ya..., pesawat latih yang dibawa suamiku menuju Sulawesi Tengah sejak kemarin sore hilang kontak dengan Pangkalan] Tulis Wati di puncak
percakapan.
Kulihat jam dikirimnya adalah tadi pagi, kira-kira jam yang sama ketika aku bertemu dengan dia.
Kulihat jam dikirimnya adalah tadi pagi, kira-kira jam yang sama ketika aku bertemu dengan dia.
Dadaku
berguncang. Aku panik!
Kubaca lagi ke bawah. Kuscrol terus sampai kiriman percakapan terbaru. Jam dikirimnya percakapan terakhir adalah tadi sore.
Kubaca lagi ke bawah. Kuscrol terus sampai kiriman percakapan terbaru. Jam dikirimnya percakapan terakhir adalah tadi sore.
[Pesawat
yang dinaiki suamiku sudah ditemukan di daerah Mamuju, Sulawesi Barat. Hancur.
Belum ada berita lagi. Mohon do’a dan maaf dari semua teman-teman untuk suamiku
ya...] kubaca kalimat yang ditulis Wati satu-satu. Kubaca ulang lagi. Lagi.
Lagi.
Lantas,
siapa yang kutemani seharian tadi ke Serang, ke Lebak? Tiba-tiba kurasakan
mataku panas dan pedih sekali. Kupandang selendang dan kain Baduy yang kupegang
dengan hati yang sakit.
Esoknya
dengan menguatkan diri, kudatangi lagi penyewaan mobil kemarin. Karyawannya masih
mengingatku. Kutanya apa kira-kira dia ingat bagaimana aku datang dan perawakan seseorang yang bersama denganku kemarin.
Jawabannya hampir membuatku jatuh pingsan, sebab katanya aku datang sendiri. Subhanallah. Allahu Akbar. Allahu Akbar.
(Terlempar dari Lorong waktu)
Jawabannya hampir membuatku jatuh pingsan, sebab katanya aku datang sendiri. Subhanallah. Allahu Akbar. Allahu Akbar.
(Terlempar dari Lorong waktu)
Praaanggggg!!!
Tiba-tiba
suara benda pecah membuyarkan lamunanku, memaksaku membuka mata.
Kulihat Bu Soto sedang membersihkan pecahan mangkok di lantai yang mungkin tadi tersenggol ketika dia terkantuk-kantuk di kursinya.
Kulihat Bu Soto sedang membersihkan pecahan mangkok di lantai yang mungkin tadi tersenggol ketika dia terkantuk-kantuk di kursinya.
Tanpa
kusadari air mataku sudah membasahi pipi. Buru-buru kuhapus dengan punggung
tanganku, tapi ternyata malah membuatku
tersedu.
Aku berjongkok, pura-pura membersihkan lantai yang sebenarnya tidak kenapa-napa. Hanya sekedar supaya aku dapat menyembunyikan air mata dan isakku.
Aku berjongkok, pura-pura membersihkan lantai yang sebenarnya tidak kenapa-napa. Hanya sekedar supaya aku dapat menyembunyikan air mata dan isakku.
Kusadari
sedalam apa sesalmu pada janji itu. Aku merelakannya. Sudah kuhapus janji itu
dari hatiku dan kumaafkan kamu dengan seluruh hatiku. Tak perlu risaukan janji
itu lagi. Sungguh, aku tidak apa-apa. Tenanglah kau di sisiNya. Begitu bisikku
di sela isak.
Sayup-sayup
terdengar suara Tulus masih berteriak dari radio Bu Soto, membelah emosi.....
Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
Tapi
kita dalam diorama
Harusnya sisa masa
kubuat indah menukar sejarah
Tapi kita dalam
diorama
***
s e l e s a i***
*****
Yang bikin cerpen sih aku, tapi kupakai nama Kk.
31
Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar