Selasa, 30 Agustus 2016

Reuni = Silaturahmi



Sebentar lagi sudah mau Lebaran Haji, berita-berita tentang reuni dan sebangsanya yang marak mengiringi Lebaran Fitri sudah mereda tampaknya. Akupun mungkin sudah boleh menghela nafas lega.
Kenapa begitu?
Karena salah satu hal yang kutakuti selain kantong bolong setelah Lebaran Fitri adalah reuni ini.

Reuni. Bertemu dengan teman-teman untuk bernostalgia atau sekedar ngobrol adalah sesuatu yang menyenangkan, yang sayangnya aku tidak selalu mendapatkan kemewahan itu.
Kusebut kemewahan karena bagiku kalau sampai aku bisa datang di suatu acara reuni, hal itu adalah kesempatan yang langka dan agak luar biasa bagiku.

Kesempatan. Kemampuan. Keadaan. Setiap orang memilikinya secara berbeda. Banyak hal yang tidak sama lagi setelah sekian waktu berlalu. Si A yang dulu adalah siapa-siapa, sekarang mungkin bukan siapa-siapa. Si B yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang mungkin adalah siapa-siapa.
“Ah, nggak usah mikir lain-lain…, yang penting datang aja…, nggak ada itu pikiran macam-macam…” mungkin kalimat seperti itu akan selalu mengalir dari salah satu panitia atau teman yang mengundang kita.

Bagiku itu teori. Karena kenyataannya, kalimat “datang saja” itu artinya tidaklah sesederhana itu. Untuk datang saja, diperlukan kesempatan dan kemampuan dari keadaan saat ini. Kesempatan untuk menyisihkan banyak hal yang harus dikerjakan pada saat acara reuni itu. Kemampuan dalam hal materi dan immateri alias biaya dan mental.
Mungkin akan ada yang mengatakan, “Halaa…., cuma sehari aja masak nggak ada waktu?”
Atau, “Biaya apa?    Paling mulai berangkat dari rumah sampai pulang lagi nggak akan lebih dari seratus ribu…”

Halloooo…
Teman-teman tersayangku. Kondisi setiap orang berbeda.
Satu hari yang disepakati oleh banyak orang untuk suatu acara itu mungkin adalah hari penting bagi seseorang yang menentukan masa depan kehidupannya. Atau kalau kalimat yang kutulis itu agak lebai, contoh lain adalah mungkin hari itu masih hari kerja bagi seseorang.

Tentang biaya, bila banyak orang menganggap uang seratus ribu itu “hanya seratus ribu” karena itu adalah senilai uang minum kopi atau makan siang  kalian, maka jangan lupa bahwa di kehidupan seseorang yang lain, uang seratus ribu itu adalah uang belanja beberapa hari bagi keluarganya.
Jadi kalau teman-temanku yang tersayang masih dapat dengan leluasa meloncat dari reuni satu ke reuni lainnya, bersyukurlah. Karena tidak semua orang mempunyai keberuntungan itu.

Oh ya, ada satu hal lagi yang selalu menggelitik hatiku, yaitu tentang keikhlasan. Kalau sudah bersedia menjadi pasukan berwenang alias panitia dalam komunitas itu, tolong jangan menghitungnya. Misalnya begini, aku nih orang yang selama ini paling sibuk dan selalu hadir di setiap acara, maka kalau aku kelak bikin acara, orang lain juga harus sibuk seperti aku dan harus datang di acaraku.
Atau begini, “Eh, kamu ya…, kenapa tidak datang di rumah si A, padahal waktu kamu sakit dulu kan dia baik sekali sama kamu dan selalu menjengukmu…”

Please jangan begitu ya teman-temanku tersayang. Sekali lagi, setiap orang punya kesibukan yang berbeda. Dan tanpa diingatkanpun seseorang itu tahu balas budi koq.
Ada lagi pertanyaan-pertanyaan pribadi yang mungkin bagi banyak orang adalah hal biasa, tetapi buat seseorang itu adalah pertanyaan yang tidak ingin didengarnya (ini salah satu hal kesiapan mental ketika datang ke salah satu reuni).
“Hei…, kenapa kamu nggak nikah-nikah sih? Sudah tua tau…”
“Eh, dulu ceritanya gimana koq bisa dapat suami/istri si A dan tinggal di planet mars?”
“Kenapa nggak kerja lagi?”
Dan beberapa pertanyaan aneh lainnya, yang bisa membuat seseorang trauma dengan reuni dan akhirnya mengatakan ,”Aku tidak akan pernah datang ke reuni manapun…”**
**kalimat itu pernah kubaca dari internet, tulisan seseorang yang mengatakan kalau saudaranya tidak akan mau datang ke reuni karena dia hanya seorang penjual bensin eceran sedangkan teman-temannya sudah sukses semua dan banyak yang jadi pejabat.

Media Sosial memang sangat berpengaruh dalam komunikasi saat ini. Tetapi kalau yang tidak ikut dalam komunitas  (misalnya aku yang tidak mau ikut group karena keterbatasan alat komunikasiku), atau memang tidak punya akses dengan Medsos itu, apakah harus dibuang? Dikucilkan? Dianggap tidak ada?
Aah…, sayang sekali…

Karena sekali lagi kondisi setiap orang tidak sama. Sudah banyak yang berubah saat ini.
Parahnya lagi kalau di acara itu tiba-tiba komunitas menjadi (entah sengaja atau tidak) terkotak-kotak menjadi beberapa kelompok, misalnya kelompok pejabat, kelompok tukang sapu, kelompok yang sering datang, dan lain-lain.

Reuni adalah suasana silaturahmi yang harusnya menyenangkan sekali dan menjadi kenangan indah setelah nostalgia yang lalu terungkit lagi, jangan jadikan komunitas baru untuk mengabaikan yang lainnya. Reuni adalah milik semua orang, seharusnya.



Malang, 30 Agustus 2016s
**dari yang terpinggirkan dan maaf tidak ingin menyinggung seseorang, hanya beropini saja.