Makanya jangan sok tahu!! Kata-kata
itu kutujukan pada diriku sendiri sebab ternyata masih banyak banget hal di
dunia ini yang tidak atau belum kuketahui, tetapi aku merasa selama ini sudah
tahu. Tengil khan?!
Kumulai pagi itu duduk
mencangkung memeluk lutut di teras rumah saudara temanku demi melawan hawa
dingin pagi hari di kaki Gunung Arjuno, Lawang. Tiba-tiba saja dari bawah pohon sukun yang
berdiri tinggi menjulang di depan sana berterbanganlah beribu-ribu hewan kecil
bersayap. Munculnya yang serentak dan terus menerus itu bagaikan air mancur
yang menyembur dari tanah baru kemudian mereka terbang berpencar. Kejadian yang
lumayan lama, ada kira-kira seperempat jam semburan itu terjadi. Tidak
terbayangkan berapa jumlahnya. Segerombolan kelelawarpun tampak berterbangan dan
menukik seperti pesawat tempur menikmati santapan pagi.
Ini kayu lapuk tempat laron bersarang
Aku penasaran, aku keluar dan mencoba menangkap yang terbang rendah di
situ. Ternyata Laron saudara-saudara. Kuhampiri asal mereka keluar dari bawah
pohon sukun. Ada beberapa batang kayu lapuk yang teronggok di sana. Rupanya
dari situ mereka keluar. Sungguh menakjubkan. Batang kayu lapuk itu adalah
rumah bagi puluhan ribu makhluk hidup lain.
Ini laron yang akan masuk ke tanah
Yang lebih menakjubkan lagi
adalah ketidak tahuanku bahwa laron juga keluar di pagi hari, karena selama ini
tahuku adalah laron keluar sore hari menjelang maghrib dan kemudian
beramai-ramai menuju cahaya lampu sehingga aku bisa menampungnya di sebuah
ember berisi air di bawahnya untuk kugoreng esok harinya, hehehe…
“Kalau malamnya hujan, biasanya
paginya akan datang laron mbak…” kata mbak Rini, adik ipar temanku. Aku
manggut-manggut sambil berpikir, apakah laron itu tidak takut matahari ya?
(emang vampire???!!!)
Kuikuti perjalanan beberapa laron
yang terjatuh di rerumputan. Beberapa ada yang berhasil selamat (setelah
sayapnya lepas) dan masuk ke sela-sela rerumputan atau lobang-lobang di pinggir
dinding, tetapi banyak juga yang terpaksa harus merelakan dirinya ditangkap semut
dan dibawa masuk ke liangnya.
Ketika mentari semakin tinggi,
laron-laron itu sudah tidak ada lagi, sudah tidak tampak berterbangan lagi. Pendek
sekali umurnya. Hanya sesaat sempat menghiasi pagi, sudah itu pergi. Kurasa
seperti itu juga aku nanti, sekarang masih menjadi perhiasan dunia, sebentar
lagi sudah bukan apa-apa…
Pangkal Pohon Jambu Biji yang Tumbang
Aku meneruskan langkah
menjelajahi halaman Puslatker yang lumayan luas ini. Ada pohon jambu biji di
sana. Kudekati dan kuamati pokoknya. Ternyata sekitar empat atau lima batang
yang tumbuh itu berasal dari dahan utama yang sudah roboh dan dipotong. Aku
menghela nafas, bahkan sebatang pohon roboh saja masih berusaha untuk tetap
hidup dan berbuah, masakan aku tidak bisa?
Pohon jambu ini buahnya banyak
dan tidak pernah dipetik, sampai-sampai yang sudah matang berjatuhan di
bawahnya. Kulihat ada beberapa yang bekas dimakan codot, tapi yang lain jatuh
karena ketuaan dan sudah busuk. Aku jadi teringat codot di rumahku yang
terpaksa makan jambu air sepet karena tidak ada makanan lagi. Kasihan. Harusnya
codot-codot di rumahku tuh pindah ke lawang saja, banyak makanan di sini…..
atau, nanti kuberitahu saja deh, kan kukirim surat padamu codot, tunggu ya!! Kalau
codot di Lawang sini mungkin perutnya buncit-buncit karena kebanyakan makan dan
kurang bergerak kayak aku, hehehe…. (tapi kata seorang temanku, semua ini kan
sudah ada yang mensutradarai, sudah ada scenarionya, jadi ya memang harus ada
codot yang makan jambu sepet, dan harus ada juga codot buncit yang berkelebihan
makanan…..)
Buah Jambu yang berjatuhan karena ketuaan
Matahari semakin tinggi, kalau mandi di jam-jam ini biasanya airnya sudah tidak sedingin
es batu lagi, hehehe….
Surabaya, 18 Maret 2014