Kemarin siang, setelah satu jam
lamanya nongkrong di stasiun tanpa ada kepastian datangnya kereta yang akan
kunaiki ke Jakarta, akhirnya terdengar juga pengumuman dari pengeras suara
stasiun yang kurang lebih bunyinya begini, “Kepada para penumpang Tujuan
Jakarta ataupun Bogor, kami mohon maaf karena untuk sementara ini belum ada
kereta yang dapat diberangkatkan dari Stasiun Bogor ke a rah Jakarta, maupun
dari Stasiun UI ke arah Bogor karena sedang ada demo mahasiswa yang menyabotase
rel di antara Stasiun UI dan Stasiun Pondok Cina sehingga tidak dapat dilalui
oleh kereta.”
Hadew! Apa-apain sih ini?!
Aku bukan melarang
mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdemo yang katanya mereka sedang
memperjuangkan nasib para pedagang dan pemilik kios-kios yang berada di sekitar
Stasiun, tapi aku justru menyayangkan cara mereka menyabotase fasilitas umum
sehingga merugikan atau mengabaikan kepentingan masyarakat yang lain yang
menurutku sungguh bukan tindakan yang wise.
Semua demo-demo ini bermula
ketika pihak PT KAI mengadakan perubahan besar-besaran terhadap penampakan
seluruh Stasiun KRL sepanjang Bogor ke Jakarta (Aku tidak tahu apakah
stasiun-stasiun dari Bekasi dan tangerang juga mengalami hal yang sama), yaitu
membersihkan semua Stasiun dari kios-kios dan pedagang asongan yang ada di
sekitar Stasiun. Semua yang semula seperti pasar kecil di dalam stasiun,
sekarang jadi plong, terang, legaaa….
Sebetulnya kasihan juga para
pedagang asongan dan kios-kios yang sudah sekian tahun menggantungkan hidup
dari sini harus di usir begitu saja, sebab kenyataannya memang para pedagang
itu amat sangat membantu para penumpang, terlebih kaum ibu yang pulang kerja
sudah malam, sedangkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga juga harus tetap
dipenuhi yaitu menyediakan hidangan untuk keluarganya, mereka jadi tidak perlu
repot-repot pergi ke pasar lebih dulu sebab di stasiun semua kebutuhan sudah
ada (mulai dari bumbu, sayuran basah/mentah sampai ayam potong). Mereka juga
menjual dengan harga yang bersaing dengan pasar tradisional, atau dengan kata
lain : murah. Tapi di pihak lain, ketika stasiun mulai membongkar kios-kios
itu, pemandangan yang segar, bersih dan tertata mulai tampak menyenangkan juga.
Nah, ketika acara gusur-menggusur
pedagang dan kios-kios ini akan sampai di Stasiun UI, terjadilah demo dari para
mahasiswa yang tidak ingin sarana kebutuhan mereka (seperti warnet, fotocopy,
dan lain-lain) ini diratakan dengan tanah, yang mana dalam konteks lain mereka
juga ingin membela para pedagang ini dari penggusuran pihak PT KAI yang
dianggap sewenang-wenang. Aku sempat melihat beberapa kertas bertulisan “Kami
Bukan PKL” yang tertempel di kios-kios di Stasiun UI yang belum juga dibongkar
ketika seluruh Stasiun yang lain sudah melaksanakan pembongkaran.
Yang agak dipertanyakan adalah
kenapa demo itu hanya dilakukan saat-saat pembongkaran untuk wilayah Stasiun UI saja, kenapa tidak dilakukan pada
saat rencana itu baru dimulai yaitu ketika PT KAI mulai menggusur kios-kios
dari Stasiun yang lain? Kan kesannya jadi tidak fair dan tidak adil untuk
pedagang yang lain sedangkan kondisi seluruh pedagang itu juga sama? Mereka
sama-sama membayar untuk sewa kios dan sama-sama tidak mendapatkan ganti rugi
apapun.
Dalam hal ini permasalahannya
sudah sangat kompleks, sudah terlalu lama kondisi kios-kios itu berada di sana
dan itu semua adalah ulah oknum petugas yang mengkomersialkan area stasiun
sehingga menjadi kumuh seperti kondisi terakhir, yang sudah tentu uang sewa
kios itu tidaklah masuk ke dalam kas Negara.
Masyarakat kita juga begitu,
budaya selalu ingin dilayani selalu saja mengedepan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Budaya ingin dilayani ini tercermin dari adanya para pedagang
asongan yang datang menghampiri pembeli. Tidak perlu bersusah payah berjalan
sekian meter ke toko tertentu atau ke pasar untuk membeli kebutuhannya, semua
disorongkan tepat sampai ke depan hidung pembeli.
Terus terang selama ini aku juga
menikmati semua kemudahan itu, sekedar membeli tissue ataupun permen saja tidak
mau berjalan, tapi diam di tempat sambil menunggu pedagang asongan datang menghampiri.
Malas! Sehingga ketika semua itu tidak ada, sempat terkaget-kaget juga, harus
mencari-cari dulu, di mana tempat terdekat untuk membeli semua kebutuhan itu.
Untuk melakukan perubahan dari
yang sudah ada menjadi hal yang lain, selalu ada yang harus dikorbankan, dan
sayangnya sekali lagi memang harus masyarakat kecillah yang menjadi korban
kondisi ini. Kondisi oknum-oknum yang korup yang menyalah gunakan kekuasaan dan
akhirnya menyengsarakan masyarakat. Aturan dibuat sendiri dengan imbalan sekian
rupiah yang ujungnya juga tidak bertanggung jawab.
Jadi, kalau memang mahasiswa itu
mau berdemo, demolah instansi atau oknumnya yang membuat semua ini terjadi,
bukan menghambat atau menyabotase jalur kereta yang penumpangnya tidak ada
kepentingan langsung dengan aturan itu. Apakah tidak terpikirkan oleh mereka
bahwa penumpang kereta itu semua punya kepentingan juga yang harus tetap mereka
lakukan? Yang akhirnya harus berantakan karena adanya sabotase itu? Yang
akhirnya harus merobah semua jalan kehidupan mereka, padahal mereka sungguh
tidak bersalah?
Bogor, 15 Januari 2013
(Sambil nulis ini aku masih be-te, padahal kata seorang teman, untuk meredam ke be-teanku, sehari tadi aku disuruh mlungker aja di rumah)