Kita tidak pernah tahu apa yang
ada di depan, dan kesempatan yang ada seringkali tidak akan pernah datang dua
kali. Begitu juga yang terjadi padaku.
Pagi itu, setelah menyiapkan
stock yang akan kubawa ke kios Poci di Singosari, aku mengeluarkan hp ku dari
dalam tas. Ternyata ada dua panggilan tak terjawab dari Jakarta, dan ada pesan
di WA.
Tidak lama, hp berbunyi lagi,
yang langsung kuangkat.
“Hallo mbak, apa khabar?” suara
mas Agung di seberang sana.
“Alhamdulillah khabar baik.
Tumben nelpon, ada apa hayoooo….” tanyaku.
“Mbak Aan posisi di mana
sekarang?”
“Di Malang. Tapi bisa ada di
manapun sesuai permintaan…., hehehe…”
“oke. Ada kerjaan riset di Jawa
Barat mbak, Sukabumi, Bogor, dan Bekasi selama tiga minggu…. Dst dst dst…”
“Oke mas, aku ambil…” jawabku
memastikan.
Selanjutnya aku mulai
mengkondisikan pekerjaan di Malang selama akan kutinggalkan kurang lebih
sebulan.
Beruntungnya adikku sudah punya
orang-orang loyal yang bekerja padanya, sehingga akupun tidak terlalu bersusah
payah dalam mengkondisikan sesuatu.
Tidak banyak yang kutahu
sebelumnya tentang situasi lapangan di lokasi yang akan kami observasi, hanya
saja aku harus siap untuk medan yang terburuk karena tujuan agak di pedalaman.
Itu clue-nya.
Tujuan pertama adalah Sukabumi.
Team Leaderku, mas Inang Winarso
menawarkan kalau ada yang mau bareng dengan beliau menuju Sukabumi, maka kami
harus berkumpul di Stasiun Bogor, hari jum’at pagi tanggal 15 April 2016 jam
09.00 wib.
Aku, numpang tidur semalam di
rumah Frida (staff BSK) di Komplek BIN Kalibata, dan keesokan harinya aku menuju
Bogor dari Stasiun Pasar Minggu Baru.
Ketika aku baru turun dari mobil
Frida, ada kereta yang akan berangkat menuju Bogor, sedangkan aku belum beli
karcis. Yah, lama deh…, pikirku.
Tapi ternyata tidak, baru saja
aku membeli karcis, ternyata sudah ada kereta yang akan masuk lagi di jalur
dua. Akupun buru-buru menyebrang rel dan menuju peron Bogor sambil lelarian
karena tampaknya gerbong terakhir kereta akan agak jauh ke depan. Tasku yang
besar dan berat rupanya agak memberatkan langkahku. Maklum, persediaan baju
selama tiga minggu (saat packing, aku mengesampingkan kemungkinan sempat
mencuci baju). Belum lagi tas cangklong dan tas laptop. Pokoknya ribet dah…
Dengan keyakinan penuh, akupun
melompat masuk ke gerbong delapan, gerbong wanita. Fuihh…, penuh juga. Tapi setelah
kuedarkan pandanganku, rata-rata umurnya masih belia, seumuran anakku. Pasti
mereka mahasiswi yang pada mau kuliah di UI, dll.
Benar dugaanku. Gerbongpun mulai
sepi ketika sampai di Stasiun UI. Akupun berjalan pelan-pelan pindah ke gerbong
yang agak depan. Aku mencari tempat duduk yang enak sambil menikmati suasana
dan pemandangan yang sdh lebih setahun kutinggalkan. Nostalgia ceritanya…
Waktu di Stasiun Citayam, kereta
berhenti agak lama. Aku sibuk menyiapkan hp buat nanti mau mengambil gambar
Stasiun Bojonggede, tempat dimana banyak tahun dan cerita selama aku dan
keluargaku masih tinggal di sana.
Sambil memandang keluar jendela
dengan hp di tangan, tiba-tiba aku melihat simpangan rel, dan kereta yang
kunaiki mengambil jalur yang ke kiri. Deg!! Kemana kereta ini???
“Pak, maaf…., kereta ini
tujuannya ke mana ya?” tanyaku pada dua orang lelaki muda yang berpakaian
seragam polsuska dan duduk di seberang bangkuku.
“Ke Cibinong bu….” Jawabnya.
Alamaaakkk….. Akupun shock. Dan
semakin shock ketika melihat jam di hp ku menunjukkan angka 08.30 wib.
“Habis dari Cibinong, keretanya
balik ke Jakarta lagi pak?” tanyaku.
“Ke Nambo dulu bu, nanti balik
dari Nambo sekitar jam 08.50 wib.” katanya.
Haduuuh, gimana iniiii……
Koq gak ada yang bilang sih kalau
sekarang sudah ada kereta yang ke Cibinong?
Akhirnya aku berhasil menghubungi
team Jawa Barat, dan mas Inang berbaik hati mau menungguku di Stasiun Bogor.
Team Jawa Barat yang ikut mobil
mas Inang adalah mbak Intan (asisten tem leader), Kiky, Puput, dan aku.
Insan dan Widya naik motor sendiri. Perjalanan ke Sukabumi sebetulnya lancar jaya kalau tidak ada oknum polisi yang
sok tegas dalam menjalankan peraturan tapi sambil iseng-iseng berhadiah.
Ceritanya gini.
Mobil kita ada di belakang Truk
Box. Nah, ketika Truknya belok kanan, ya kita lurus dong… Eh, ternyata di depan
tiba-tiba di stop sama seorang polisi yang sedang bertugas di situ. Katanya
kita melanggar lampu merah.
Lha, ada lampu merah toh?
Ajaibnya, kita berempat nggak ada yang melihat lampu itu. Yang kelihatan di
depan kita kan mobil box tadi. Rupanya rambunya tertutup box.
Berhentilah kita ke tepi jalan.
Mas Inang keluar, menunjukkan surat-suratnya, dan pak polisi mengeluarkan buku
tilang.
Biasanya nih, setelah kasih tahu
kesalahan kita, pak polisi akan menulis pelanggaran, STNK ditahan, kemudian
kasih surat tilangnya, dan sudah.
Tapi ini tidak saudara-saudara……
Mas Inangnya lama banget di bawah, dan suratnya nggak ditulis-tulis sama si
bapak polisi.
Setelah masuk lagi ke mobil, mas
Inang cerita kalau tadi si bapak oknum polisi itu sebenarnya ingin kalau kita
ngajak damai aja. Memang nggak ngomong langsung menawarkan damai, tapi setengah
menakut-nakuti yang sebenarnya malah jadi lucu dan kelihatan blo’onnya. Harusnya
dia lihat dulu dong, model seperti apa yang ditakut-takuti. Apa mas Inang itu
tampak seperti anak kecil atau apa?
Contoh dialognya gini,
“Ini bener nih, bapak mau
ditilang aja? Nanti apa nggak repot ngurusnya?”
“Polsek sini belum kerjasama
dengan BRI lho, jadi nggak tau nanti masuk ke rekening siapa…”
Dan masih ada beberapa dialog
konyol lagi yang aku sudah lupa….
Kenapa harus seperti itu bapak
oknum polisi?
Jadinya sepanjang perjalanan
menuju Sukabumi, ada bahan bercanda yang bikin agak jengkel juga kalau ingat.
Lokasi survey di Sukabumi adalah
di kecamatan Cicurug, dan kantor CDP GNI Sukabumi masih dekat dengan jalan
besar dan pusat keramaian. Bahkan tempat nginap kitapun disediakan di hotel.
Kalau urusan ke lapangan, itu
lain cerita. Medannya yang aduhai terbayar dengan pemandangan gunung yang memukau.
Masing-masing enumerator mendapat
jatah desa yang berlainan, jadi kita jalan sendiri-sendiri mencari jalan hidup
masing-masing…, hehehe…, lebay ya…..
Jatahku di desa Kebon Kawung,
yang ternyata penduduknya baik-baiiikkkk deh. Dua hari berkeliaran di daerah
itu, dua kali pula aku dijamu makan siang oleh para ibu, penduduk di sana.
Bahkan katanya kalau mau pulang, aku disuruh mampir lagi sebab mau dibuatkan
keripik singkong dan pisang buat oleh-oleh. Tapi sayangnya waktu yang terbatas
tidak dapat membawaku kembali ke desa itu buat ambil oleh-oleh. Biarlah. Kurasa
mereka masih dapat menjual keripik yang sedianya akan dibawakan ke aku itu, kan
biasanya mereka juga menjual atau memasokkan keripik itu ke toko oleh-oleh.
Trimakasih banyak buat penerimaannya padaku dan niat baiknya yang kuterima
dengan senang hati, ibu-ibu di Kebon Kawung.
Yang bisa kucatat adalah, para
staff CDP GNI Sukabumi ini ternyata sangat dekat dekali dengan masyarakat
binaannya, dan mereka bahkan mengenal satu demi satu anak-anak sponsor (yang
mendapat program bantuan dari GNI dalam upaya pemenuhan hak-hak anak) begitu
juga anak-anak juga sangat mengenal mereka. Padahal wilayah yang mereka tangani
cukup luas. Para staffnya sigap dalam setiap bantuan ke masyarakat. Acung
jempol buat mereka.
Sayangnya kedekatan itu seperti membuat
masyarakat semakin tergantung, dan enggan melepaskan GNI dari wilayah mereka
(atau begitu juga sebaliknya dengan para staff?), hehehe…
Program yang berjalan seolah
membuat mereka terus menerus mengharapkan bantuan, walaupun menurutku pribadi
sebetulnya mereka banyak yang tidak tepat lagi untuk menerima bantuan karena
mereka mampu secara materi. Terlepas dari itu, barang gratis sekecil apapun, memang
selalu berdaya tarik ya.
Anak-anak di wilayah ini
sepertinya lebih berani mengungkapkan keinginannya, mengungkapkan cita-citanya.
Mereka bisa berkomunikasi dengan baik, dalam artian tidak diam saja dan
malu-malu ketika ditanyain (wawancara).
Walaupun ada juga yang lebih
tertarik bekerja di pabrik selepas SMP dan tidak ingin meneruskan sekolahnya ke
jenjang yang lebih tinggi. Hal ini karena banyaknya pabrik-pabrik di sekitar
sini yang tentu saja memang membutuhkan banyak tenaga kerja. Iming-iming
modernisasi seperti mempunyai HP sendiri, tentu adalah salah satu sebab godaan
itu.
Dengan berjalannya waktu, di
sisa-sisa batas waktu program, semoga para staff CDP Sukabumi ini berhasil
membawa masyarakat untuk bertransformasi, memberdayakan masyarakat menjadi
masyarakat yang mandiri dan tidak terus-terusan hanya mengandalkan bantuan.
Menjadikan masyarakat masa depan Indonesia benar-benar membanggakan. Aamiin.
Miss You Sukabumi,
(Oh, ya… ada yang lupa kutulis,
ternyata jalan di Sukabumi ini macetnya sudah sama parahnya dengan Jakarta…,
byuhhh….)
Botraman di kantor CDP GNI Sukabumi sesaat sebelum kami meninggalkan Sukabumi
Jakarta, 8 Mei 2016
Bogor dan Bekasi bersambung yaaa……