Minggu, 08 Mei 2016

Sukabumi, Bogor, dan Bekasi



Kita tidak pernah tahu apa yang ada di depan, dan kesempatan yang ada seringkali tidak akan pernah datang dua kali. Begitu juga yang terjadi padaku.
Pagi itu, setelah menyiapkan stock yang akan kubawa ke kios Poci di Singosari, aku mengeluarkan hp ku dari dalam tas. Ternyata ada dua panggilan tak terjawab dari Jakarta, dan ada pesan di WA.
Tidak lama, hp berbunyi lagi, yang langsung kuangkat.
“Hallo mbak, apa khabar?” suara mas Agung di seberang sana.
“Alhamdulillah khabar baik. Tumben nelpon, ada apa hayoooo….” tanyaku.
“Mbak Aan posisi di mana sekarang?”
“Di Malang. Tapi bisa ada di manapun sesuai permintaan…., hehehe…”
“oke. Ada kerjaan riset di Jawa Barat mbak, Sukabumi, Bogor, dan Bekasi selama tiga minggu…. Dst dst dst…”
“Oke mas, aku ambil…” jawabku memastikan.

Selanjutnya aku mulai mengkondisikan pekerjaan di Malang selama akan kutinggalkan kurang lebih sebulan.
Beruntungnya adikku sudah punya orang-orang loyal yang bekerja padanya, sehingga akupun tidak terlalu bersusah payah dalam mengkondisikan sesuatu.
Tidak banyak yang kutahu sebelumnya tentang situasi lapangan di lokasi yang akan kami observasi, hanya saja aku harus siap untuk medan yang terburuk karena tujuan agak di pedalaman. Itu clue-nya.

Tujuan pertama adalah Sukabumi.
Team Leaderku, mas Inang Winarso menawarkan kalau ada yang mau bareng dengan beliau menuju Sukabumi, maka kami harus berkumpul di Stasiun Bogor, hari jum’at pagi tanggal 15 April 2016 jam 09.00 wib.
Aku, numpang tidur semalam di rumah Frida (staff BSK) di Komplek BIN Kalibata, dan keesokan harinya aku menuju Bogor dari Stasiun Pasar Minggu Baru.
Ketika aku baru turun dari mobil Frida, ada kereta yang akan berangkat menuju Bogor, sedangkan aku belum beli karcis. Yah, lama deh…, pikirku.
Tapi ternyata tidak, baru saja aku membeli karcis, ternyata sudah ada kereta yang akan masuk lagi di jalur dua. Akupun buru-buru menyebrang rel dan menuju peron Bogor sambil lelarian karena tampaknya gerbong terakhir kereta akan agak jauh ke depan. Tasku yang besar dan berat rupanya agak memberatkan langkahku. Maklum, persediaan baju selama tiga minggu (saat packing, aku mengesampingkan kemungkinan sempat mencuci baju). Belum lagi tas cangklong dan tas laptop. Pokoknya ribet dah…
Dengan keyakinan penuh, akupun melompat masuk ke gerbong delapan, gerbong wanita. Fuihh…, penuh juga. Tapi setelah kuedarkan pandanganku, rata-rata umurnya masih belia, seumuran anakku. Pasti mereka mahasiswi yang pada mau kuliah di UI, dll.
Benar dugaanku. Gerbongpun mulai sepi ketika sampai di Stasiun UI. Akupun berjalan pelan-pelan pindah ke gerbong yang agak depan. Aku mencari tempat duduk yang enak sambil menikmati suasana dan pemandangan yang sdh lebih setahun kutinggalkan. Nostalgia ceritanya…
Waktu di Stasiun Citayam, kereta berhenti agak lama. Aku sibuk menyiapkan hp buat nanti mau mengambil gambar Stasiun Bojonggede, tempat dimana banyak tahun dan cerita selama aku dan keluargaku masih tinggal di sana.
Sambil memandang keluar jendela dengan hp di tangan, tiba-tiba aku melihat simpangan rel, dan kereta yang kunaiki mengambil jalur yang ke kiri. Deg!! Kemana kereta ini???
“Pak, maaf…., kereta ini tujuannya ke mana ya?” tanyaku pada dua orang lelaki muda yang berpakaian seragam polsuska dan duduk di seberang bangkuku.
“Ke Cibinong bu….” Jawabnya.
Alamaaakkk….. Akupun shock. Dan semakin shock ketika melihat jam di hp ku menunjukkan angka 08.30 wib.
“Habis dari Cibinong, keretanya balik ke Jakarta lagi pak?” tanyaku.
“Ke Nambo dulu bu, nanti balik dari Nambo sekitar jam 08.50 wib.” katanya.
Haduuuh, gimana iniiii……
Koq gak ada yang bilang sih kalau sekarang sudah ada kereta yang ke Cibinong?
Akhirnya aku berhasil menghubungi team Jawa Barat, dan mas Inang berbaik hati mau menungguku di Stasiun Bogor.

Team Jawa Barat yang ikut mobil mas Inang adalah mbak Intan (asisten tem leader), Kiky, Puput, dan aku. Insan dan Widya naik motor sendiri. Perjalanan ke Sukabumi sebetulnya lancar jaya kalau tidak ada oknum polisi yang sok tegas dalam menjalankan peraturan tapi sambil iseng-iseng berhadiah.
Ceritanya gini.
Mobil kita ada di belakang Truk Box. Nah, ketika Truknya belok kanan, ya kita lurus dong… Eh, ternyata di depan tiba-tiba di stop sama seorang polisi yang sedang bertugas di situ. Katanya kita melanggar lampu merah.
Lha, ada lampu merah toh? Ajaibnya, kita berempat nggak ada yang melihat lampu itu. Yang kelihatan di depan kita kan mobil box tadi. Rupanya rambunya tertutup box.
Berhentilah kita ke tepi jalan. Mas Inang keluar, menunjukkan surat-suratnya, dan pak polisi mengeluarkan buku tilang.
Biasanya nih, setelah kasih tahu kesalahan kita, pak polisi akan menulis pelanggaran, STNK ditahan, kemudian kasih surat tilangnya,  dan sudah.
Tapi ini tidak saudara-saudara…… Mas Inangnya lama banget di bawah, dan suratnya nggak ditulis-tulis sama si bapak polisi.
Setelah masuk lagi ke mobil, mas Inang cerita kalau tadi si bapak oknum polisi itu sebenarnya ingin kalau kita ngajak damai aja. Memang nggak ngomong langsung menawarkan damai, tapi setengah menakut-nakuti yang sebenarnya malah jadi lucu dan kelihatan blo’onnya. Harusnya dia lihat dulu dong, model seperti apa yang ditakut-takuti. Apa mas Inang itu tampak seperti anak kecil atau apa?
Contoh dialognya gini,
“Ini bener nih, bapak mau ditilang aja? Nanti apa nggak repot ngurusnya?”
“Polsek sini belum kerjasama dengan BRI lho, jadi nggak tau nanti masuk ke rekening siapa…”
Dan masih ada beberapa dialog konyol lagi yang aku sudah lupa….
Kenapa harus seperti itu bapak oknum polisi?
Jadinya sepanjang perjalanan menuju Sukabumi, ada bahan bercanda yang bikin agak jengkel juga kalau ingat.

Lokasi survey di Sukabumi adalah di kecamatan Cicurug, dan kantor CDP GNI Sukabumi masih dekat dengan jalan besar dan pusat keramaian. Bahkan tempat nginap kitapun disediakan di  hotel.
Kalau urusan ke lapangan, itu lain cerita. Medannya yang aduhai terbayar dengan pemandangan gunung yang memukau.
Masing-masing enumerator mendapat jatah desa yang berlainan, jadi kita jalan sendiri-sendiri mencari jalan hidup masing-masing…, hehehe…, lebay ya…..
Jatahku di desa Kebon Kawung, yang ternyata penduduknya baik-baiiikkkk deh. Dua hari berkeliaran di daerah itu, dua kali pula aku dijamu makan siang oleh para ibu, penduduk di sana. Bahkan katanya kalau mau pulang, aku disuruh mampir lagi sebab mau dibuatkan keripik singkong dan pisang buat oleh-oleh. Tapi sayangnya waktu yang terbatas tidak dapat membawaku kembali ke desa itu buat ambil oleh-oleh. Biarlah. Kurasa mereka masih dapat menjual keripik yang sedianya akan dibawakan ke aku itu, kan biasanya mereka juga menjual atau memasokkan keripik itu ke toko oleh-oleh. Trimakasih banyak buat penerimaannya padaku dan niat baiknya yang kuterima dengan senang hati, ibu-ibu di Kebon Kawung.

Yang bisa kucatat adalah, para staff CDP GNI Sukabumi ini ternyata sangat dekat dekali dengan masyarakat binaannya, dan mereka bahkan mengenal satu demi satu anak-anak sponsor (yang mendapat program bantuan dari GNI dalam upaya pemenuhan hak-hak anak) begitu juga anak-anak juga sangat mengenal mereka. Padahal wilayah yang mereka tangani cukup luas. Para staffnya sigap dalam setiap bantuan ke masyarakat. Acung jempol buat mereka.
Sayangnya kedekatan itu seperti membuat masyarakat semakin tergantung, dan enggan melepaskan GNI dari wilayah mereka (atau begitu juga sebaliknya dengan para staff?), hehehe…
Program yang berjalan seolah membuat mereka terus menerus mengharapkan bantuan, walaupun menurutku pribadi sebetulnya mereka banyak yang tidak tepat lagi untuk menerima bantuan karena mereka mampu secara materi. Terlepas dari itu, barang gratis sekecil apapun, memang selalu berdaya tarik ya.
Anak-anak di wilayah ini sepertinya lebih berani mengungkapkan keinginannya, mengungkapkan cita-citanya. Mereka bisa berkomunikasi dengan baik, dalam artian tidak diam saja dan malu-malu ketika ditanyain (wawancara).
Walaupun ada juga yang lebih tertarik bekerja di pabrik selepas SMP dan tidak ingin meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini karena banyaknya pabrik-pabrik di sekitar sini yang tentu saja memang membutuhkan banyak tenaga kerja. Iming-iming modernisasi seperti mempunyai HP sendiri, tentu adalah salah satu sebab godaan itu.
Dengan berjalannya waktu, di sisa-sisa batas waktu program, semoga para staff CDP Sukabumi ini berhasil membawa masyarakat untuk bertransformasi, memberdayakan masyarakat menjadi masyarakat yang mandiri dan tidak terus-terusan hanya mengandalkan bantuan. Menjadikan masyarakat masa depan Indonesia benar-benar membanggakan. Aamiin.

Miss You Sukabumi,
(Oh, ya… ada yang lupa kutulis, ternyata jalan di Sukabumi ini macetnya sudah sama parahnya dengan Jakarta…, byuhhh….)


            Botraman di kantor CDP GNI Sukabumi sesaat sebelum kami meninggalkan Sukabumi




Jakarta, 8 Mei 2016
Bogor dan Bekasi bersambung yaaa……