Kamis, 15 Januari 2015

Selamat Jalan






Biasanya aku cuma dengar cerita dari kenalan, sahabat dan handai taulan yang mengisahkan kondisi seseorang yang sedang sakit keras, kemudian tiba-tiba membaik, adalah tanda-tandanya kalau dia akan pergi.

Katanya seseorang yang akan pergi itu, Diberikan kesempatan untuk memberikan kesan terbaiknya kepada keluarga dan semua orang tercintanya sebagai tanda berpamitan. Supaya kelak yang akan selalu teringat dalam memory adalah kesan terakhir bertemu yang sangat indah.

Dua hari sebelum berakhirnya tahun 2014, bulan Desember 2014, aku menghubungi adikku yang tinggal di Malang dan memberitahunya kalau tanggal 1 Januari aku akan ke Malang karena ada urusan.
Adikku bilang, silahkan datang, tapi dia tidak dapat mengantarkan aku mengurus keperluanku sebab dia sedang menunggui istrinya di RS.
Tanggal 1 Januari 2015, akupun berangkat ke Malang bersama suami, adikku, dan seorang anakku. Kami berangkat dari pagi sebab takut terjebak macet karena ini tahun baru.
Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami tiba di Malang sekitar jam 08.00 pagi. Kami langsung menuju RS Syaiful Anwar tempat adik iparku dirawat.
Tidak boleh masuk. Karena ternyata jam bezook baru dibuka jam 10.00 pagi.
Kuhubungi adikku dan mengatakan kalau kami sudah di Lobby RS tapi tidak boleh masuk. Ternyata adikku kemudian keluar menemui kami.
Jam masih menunjukkan pukul 08.30 pagi, masih lama sekali waktu buat bezook. Akhirnya aku dan adikku minta ijin ke penjaga menanyakan apakah aku boleh masuk sekarang karena dari luar kota dan akan pergi lagi untuk urusan berbeda. Yang lain nggak usah masuk nggak apa-apa. Jawabnya tidak boleh.
Sempat hampir lima menit bernegosisi dengan penjaga tapi tetap tidak diijinkan, akhirnya kubilang, “Kalau misalnya saya saja yang masuk dan adik saya ini tunggu di sini gimana pak?”
“Iya, biar kakak saya pakai kartu untuk penunggu pasien punya saya ini…, yang sakit itu istri saya pak, dan ini kakak saya sendiri pak.” kata adikku.
Akhirnya, mungkin karena si petugas capek dengar berbagai alasan yang kami kemukakan atau dia kasihan padaku, akupun boleh masuk dan adikku tunggu diluar dengan suamiku, anakku dan adikku yang lain.

Aku masuk sendiri mencari letak ruang rawat inap yang ditunjukkan padaku. Ketemu. Tapi gerbangnya belum dibuka. Aku berjalan ke lorong lainnya, mencari jalan lewat belakang. (pengalaman waktu menunggu ibuku di RS, aku dan adikku kalau malam sering keluar masuk lewat pintu belakang)
Kulewati ruang perawat dengan pe-de, seolah sudah sering, jadi akupun tidak dicegat. Plosss…, Lolos!
Kucari nomer kamar adik iparku, ketemu. Pintunya sedikit tertutup. Kubuka perlahan, dan astaghfirullah al adzim. Aku kaget banget lihat kondisinya.
Dia duduk di atas tempat tidur dengan dua lengan disanggakan ke tepi tempat tidur. Selang infuse dan oksigen menghiasi tubuhnya. Seluruh tubuhnya bengkak. Tidak dapat bergerak, hanya kepalanya dan sorot matanya saja yang bereaksi. Kondisinya duduk, karena dipunggungnya diganjal berbagai bantal.
Airmataku kontan mengalir dengan derasnya, tidak dapat kutahan lagi. (pada dasarnya aku memang cengeng, tidak kubantah itu)
Beberapa saat aku tidak dapat berkata-kata, hanya mengelus-elus punggung dan tangannya. Air mataku benar-benar tidak sopan, nggak bisa dicegah.
Setelah agak tenang, sambil masih terisak, kutanyakan apa keluhannya, jawabnya lirih, “Sesak mbak…”
“Kamu nggak bisa rebahan?” tanyaku membayangkan betapa capeknya terduduk dalam kondisi seperti itu berhari-hari. Dia menggeleng.
“Aku nggak kuat bicara mbak…” katanya lirih sambil terbata-bata.
“Kamu nggak usah ngomong, biarkan aku aja yang ngomong…” kataku disela-sela mewekku. Dia mengangguk.
Akupun bercerita sedikit kapan aku datang dari Jakarta, kenapa hari ini ke Malang, dan seterusnya. Dia mengangguk-angguk mendengarkan karena dia memang tahu urusanku di Malang sejak tahun lalu, selama ini dia dan adikku yang selalu mengantarkan aku selama di Malang.
Selama bercerita, aku tidak mengambil posisi di depannya karena aku tidak mau dia sedih melihatku mewek terus, jadi aku berada di sampingnya sambil memeluk bahunya.
Sekitar sepuluh menit, aku berpamitan padanya. Kubilang kalau aku mau pergi dulu, biar adikku (suaminya)  yang menemaninya lagi.
“Sabar dan tetap semangat ya…” kataku. Dia mengangguk. Kucium kedua pipinya dan cepat-cepat keluar dari sana. Sungguh aku tidak tega melihat keadaannya. Adik iparku ini terkena kanker payudara dan sudah mencapai stadium 4. Kata Dokter, kankernya sudah menyerang paru-paru dan kanker itu menghasilkan cairan yang memenuhi paru-parunya terus menerus sehingga membuatnya sesak nafas dan seluruh tubuhnya bengkak.
Beberapa hari kemudian, walaupun aku belum menjenguknya lagi ke Malang, tapi aku tetap mendapat informasi perkembangan kondisi adik iparku ini dari adikku.
Katanya salah satu paru-parunya sudah disedot dan berhasil membuang cairan sebanyak 7 liter. Subhanallah. Cairan sebanyak itu selama ini ngumpet di mana saja, pikirku galau.
Tangan dan kakinya sudah mulai susut bengkaknya sehingga sudah agak leluasa begerak dan mulai dapat tidur, walaupun kalau malam sekitar jam 02.00-03.00 dinihari seringkali mengigau atau ngelindur dalam bahasa jawanya.
Adikku bilang kalau malam dia tidak berani tidur karena takut istrinya ngelindur dan dia tidak tahu sehingga membahayakan dirinya sendiri. Sebab sudah dua kali adikku ketiduran dan bangun-bangun adikku mendapati istrinya duduk terbengong-bengong dengan kondisi seluruh infuse, perban, dan baju sudah terlucuti. Ketika ditanya kenapa semua dicopotin, jawabnya: tadi ada suster yang nyuruh. Katanya kalau mau pulang ya harus dicopoti semua.
Aku sedih tidak dapat menemani adikku menjaga istrinya. Kasihan, dia juga pasti capek sekali. Siang malam dia harus selalu ready untuk istrinya yang akhir-akhir ini malah sama sekali tidak mau ditinggal adikku.
Hampir setiap hari adikku bilang kalau dua hari lagi istrinya sudah boleh pulang. Tapi dua harinya ternyata sampai berkali-kali. Ibuku ingin menengok menantunya, tapi karena kondisinya sendiri yang sudah tidak terlalu bagus, maka kamipun menunggu kondisi ibuku agak bagus ketika kami ke Malang. (walaupun ibuku harus tetap duduk di kursi roda yang didorong bapakku)

Selasa tanggal 13 Januari 2015,  aku, ibuku, bapakku, anakku, dan adikku yang bungsu menengok ke RS. Aku sempat membawa rebusan singkong yang dipesan adikku, yang konon berkhasiat membunuh sel kanker.
Beberapa hari sebelumnya, secara tidak sengaja aku membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa singkong rebus dan rebusan daun sirsak adalah obat kanker yang paling mudah di dapat di sekitar kita. Di situ dikatakan, bahwa sel kanker sebenarnya adalah sel yang belum jadi, nah singkong yang mengandung B17 itu adalah zat yang dapat menghambat sel tadi menjadi bibit kanker. Dimakan @100gr tiga kali sehari selama satu bulan, boleh juga ditambah 7 lembar daun sirsak yang direbus dengan dua gelas air sampai menjadi satu gelas saja.  Ini linknya semoga bermanfaat juga buat yang lain

Ketika kami datang, di kamar adik iparku sedang banyak tamu. Rupanya teman-teman mamanya datang juga dari Surabaya untuk menjenguknya. Adikku sendiri sedang tidak ditempat, sedang menjemput anaknya yang katanya kangen ke mamanya.
Melihat kami datang, ibu dan bapakku dipersilahkankan masuk, gantian sama tamu mamanya. Aku menunggu diluar.
Aku ingat kecengenganku tempohari, jadi aku sengaja tidak mau masuk karena takut mewek lagi kalau nanti lihat kondisi adik iparku ini. Beberapa kali dipanggil masuk, aku masih beralasan.
Akhirnya akupun masuk ketika katanya adik iparku ini menanyakan aku.
Subhanallah.
Kulihat dia duduk dengan santainya di atas tempat tidur, bercerita dan tertawa dengan ceria, bergerak dengan leluasa seolah tidak terganggu dengan selang infuse di salah satu lengannya. Tidak ada selang oksigen di wajahnya.  Wajahnya segar seolah dia tidak sedang sakit.
Aku takjub.
Kubayangkan kondisinya membaik seperti kata adikku, tapi sungguh aku tidak membayangkan kalau kondisinya sehebat sekarang. Allahu Akbar.
Kuberitahu kalau aku bawa singkong rebus pesanan suaminya, supaya dimakan.
“Emang mbak Rini sekarang sudah bisa makan?” tanya adik bungsuku.
“Sudah Dimas, malah aku sekarang laperan…, sebentar-sebentar minta makan sampai mas Dodi bingung cari makanan.” katanya. Padahal waktu aku nengok tempohari, jangankan makan, ngomong aja susah, makanya makanan diberikan lewat infuse.
“Mbak, koq Rieke nggak ikut…, dia kemarin pas kesini bilang katanya hari ini mau kesini lagi” katanya padaku.
“Waduh, aku sekarang nggak tahu jadwal kerjanya Rin…, aku juga belum kontak dia…” jawabku.
“Kalau lancar, dua hari lagi aku sudah boleh pulang…” katanya senang. Kebayang, dua minggu di rumah sakit sudah pasti jenuh.
Aku tidak menangis, karena suasana gembira sungguh terasa. Begitu juga ketika adikku datang dengan anaknya yang baru saja dijemputnya dari rumah, kami juga tetap bercerita dengan lepas. Hampir rancu dalam pikiranku kalau ingat sebetulnya adik iparku ini sedang sakit apa…..

Menjelang jam bezook habis adalah waktunya maghrib, kamipun pamit pulang. Jalanan agak macet, sehingga kami sampai di Surabaya sudah lewat jam 21.00 malam.

Besok siangnyanya adikku memberitahu kalau pas bangun tidur siang istrinya demam, awalnya 38’     terus 39’, kondisinya kritis. Minta bantuan doa. Adikku juga memberitahu kalau ada temanku (yang baru kutahu kalau bekerja di RS tempat adik iparku ini dirawat) menjenguk istrinya.
Deg. Perasaanku tidak enak. Pikiranku berloncatan ke banyak hal jelek, dan aku sungguh tidak suka itu. Terngiang-ngiang terus di telingaku waktu adik iparku kemarin mengatakan kalau dua hari lagi sudah boleh pulang dengan senangnya. Aku langsung mengabari bapak dan ibuku minta bantuan doa.
Waktu dua hari itu adalah besok pagi.
Malamnya, adikku yang di Jakarta menelpon, katanya teman adikku yang sekarang menemani adikku jaga di RS minta dikirim pulsa karena dia dan adikku tidak bisa keluar beli pulsa, kondisi adik iparku semakin memburuk dan sudah dibawa ke ruang ICU.
Terus terang aku tidak berani menelpon adikku. Aku nggak tega mendengar suaranya. Aku takut nanti aku nangis duluan….  Aku sudah membayangkan kalau adikku ini pasti sambil menangis kalau menelpon. Jadi aku selalu menanyakan kondisi terakhir ke temannya yang menemaninya di RS.

Sekitar jam empat pagi, teman adikku mengirim SMS;”Kondisinya semakin drop. Aku dan Dodi sudah menunggu terus di sampingnya.”
Aku langsung menelpon ke rumah Ibuku dan bilang kalau aku mau ke Malang, “Kalau Dimas nggak bisa nganterin, aku naik kereta aja nggak apa-apa…” kataku.
Sekitar jam lima ibuku menelpon bilang kalau adikku bisa ngantar ke Malang, jadi aku nggak usah naik kereta.
Oke, aku tunggu anakku berangkat sekolah dulu baru nanti berangkat ke Malang.
Hampir jam tujuh pagi ketika adikku menjemput. Kamipun langsung berangkat. Kuminta dia berhenti sebentar di pinggir jalan buat beli nasi bungkus. Aku belum makan dari tadi malam.        Adikku menghentikan kendaraan di tepi jalan Menur, ada yang jual nasi pecel.
Aku beli 4 bungkus. Yang tiga bungkus rencanaku buat adikku dan temannya yang menemani  di RS yang mungkin belum sarapan serta adikku yang mengantar aku.
Sambil makan nasi pecel, aku menghubungi suamiku dan bilang kalau aku sedang perjalanan ke Malang. Itu sekitar jam 08.14 pagi. Kami sudah lewatin Jemursari. Agak macet.  Tiba-tiba HP ku satunya berbunyi, adik perempuanku menelpon, “Mbak An, sudah sampai mana? Rini barusan meninggal dunia, tolong balik jemput Bapak. Bapak mau ikut.” Katanya.
Inna Lillahi wa Inna Illaihi Roji’un.
“Dim, Rini sudah nggak ada. Kita balik jemput Bapak…” kataku dengan mata mengabur.
Hpku yang satu berbunyi juga, khabar dari adikku yang mengatakan istrinya sudah nggak ada. Kukhabarin suamiku, anakku, temanku yang tau tentang adikku ini.
Hari ini adalah dua hari dari kemarin ketika dia bilang sudah boleh pulang.....

Hidup (Aku ) adalah milikMu,
Purwaning Dyah Puspitarini, 11 Januari 1975 – 15 Januari 2015.
(Baru beberapa hari yang lalu dia merayakan ulang tahunnya yang ke 40)
Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaikNya. (Aamiin)
Terimakasih telah menjadi istri terbaik dan tercinta buat adikku Dodi Ariaguna dan  bagi buah hati kalian Rafi Arya Atmaja.
Terimakasih telah menjadi menantu, adik ipar, tante yang baik bagi kami Keluarga Dana Aries beserta putra-putrinya dan cucu-cucunya.
Kami semua sayang padamu, tapi Allah ternyata lebih menyayangimu.
Kau telah meninggalkan kesan terbaikmu,
Selamat jalan adikku….




Surabaya, 16 januari 2015