Kemarin kan sudah tuh, cerita tentang perjalanan
kerjaku di Sukabumi. Nah sekarang aku mau lanjut cerita kisahku selama di Bogor ya…
Keluar dari hotel, aku, Kiky, dan
Puput berencana langsung menghadang mobil Elf yang katanya jurusan Sukabumi
Bogor dan lewat depan hotel. Beruntung kami tidak perlu jalan terlalu jauh,
cukup beberapa meter saja sudah di jalan raya.
Pada saat itulah tiba-tiba
berhenti sebuah motor di depan kami.
“Assalamualaikum…” sapa
pengendara motor itu begitu turun dari motornya.
“Waalaikum salam wr wr….. A
Rahmat…” jawab kami serempak dan setengah surprise ketika melihat siapa yang
datang.
Ternyata dia Rahmat, salah satu
staff GNI Sukabumi yang arah rumahnya memang melewati hotel kalau dia akan
berangkat ke kantor.
“Sudah akan berangkat bu Aan,
mbak Kiky, dan mbak Puput?” tanyanya.
“Iya nih A, aku gak jadi minta
tolong cariin angkot, sebab kata mbak Myra
naik Elf aja sampai Baranangsiang…” jawab Kiky.
“Iya, naik Elf aja…., itu
langsung ke Bogor…”
kata rahmat menegaskan. “Tuh mobilnya…” katanya sambil menunjuk mobil yang
kebetulan berhenti.
“Makasih ya A…., maafkan kalau
kita ngrepotin selama di sini…”
“Sama-sama, makasih juga…,
selamat jalan semoga selamat sampai tujuan…”
Kamipun naik ke mobil Elf dan
cusss meninggalkan Sukabumi yang sudah menjadi rumah kami seminggu ini. Tetapi
sayangnya, cusnya agak tersendat karena macetttt yang amat sangat ketika kami sampai
di sekitar daerah Lido,
atau apa ya… yang banyak pabrik deh pokoknya. Di situ, di jalan itu, antara
motor, mobil, dan manusia, semua berebut jalan. Suara bising kendaraan masih
ditambah suara klakson yang saling bersahutan. Ribet banget. Kurasa supir-supir
di sini bisa stress dan tekanan darah
tinggi semua deh.
Sampai pada akhirnya ketika kami
berhasil lolos dari lubang semut itu, eh nggak jauh dari situ tampak di depan sana kemacetan kembali
menghadang. Supirnya langsung putar balik dan masuk ke jalan alternative.
Jalan alternative ini kondisinya
agak sempit, naik turun dan ekstreem, agak memaksa kalau harus berpapasan
dengan mobil lain. Pemandangan sawah dan suasana pedesaan ada di sekeliling.
Kiri tebing dan kanan jurang atau sungai sudahlah biasa.
Mobil melenggang dengan santai.
Tapi begitu sampai di pertigaan, si supir berhenti, ragu-ragu sambil ngomong
sendiri, “Lah…. Ka luhur ka handap nya?”
Kami para penumpang semua
terdiam. Kirain sih si supir paham lokasi. Ketika kebetulan ada orang lewat, si
supir bertanya arah ke Cihideung yang ternyata ke kanan/ka handap.
Cerita tidak berhenti sampai di
sini, karena rupanya akan masih ada banyak pertigaan yang kita lalui dan si
supir selalu ngomong sendiri; ka luhur ka handap? Ka luhur ka handap? Rupanya
dia sama seperti penumpangnya yang tidak tahu ada di mana kita saat itu….,
hehehe…
Setelah melewati berbagai
kemacetan lagi yang ternyata sudah masuk wilayah Bogor, akhirnya kami sampai di Baranangsiang.
Kiky melanjutkan naik angkot
menuju Stasiun Kereta Api karena akan kembali ke Jakarta. Tugasnya hanya di Sukabumi, jadi dia
tidak ikut ke Bogor.
Aku dan Puput menunggu mobil Mas
Inang yang akan menumpangi kami sampai ke Kantor CDP GNI Bogor di Cigudeg.
(beruntung sekali punya
teamleader seperti Mas Inang yang mau mengajak kami bareng-bareng sehingga kami
nggak kececeran sendiri-sendiri menuju lokasi. Makasih banyak ya Mas Inang…)
Sampai di kantor CDP GNI Bogor, kami masing-masing
dibagi wilayah survey, mau ditaruh desa mana desa mana. Selanjutnya dengan
diantar mobil dan supir kantor, malam itu juga kami naik selama dua jam
perjalanan melewati hutan sawit, hutan beneran, hutan macam-macam untuk menuju
lokasi. Di luar mobil nggak kelihatan makhluk hidup lain selain kita, gelap,
dan jalanan banyak berliku. Mana hujan lagi. Serem-serem seru.
Dua jam perjalanan naik itu
seolah dua hari lamanya. Saking jauhnya dari peradaban dan keramaian. Desa
tujuan kami adalah Cileuksa. Alhamdulillahnya, jalanan beraspal lumayan bagus.
Itu katanya, karena ada Ketua DPRD Bogor yang rumahnya di situ.
Kali ini penginapan kami adalah
di rumah-rumah penduduk, bukan di hotel seperti di Sukabumi kemarin, hehehe…
Kondisi rumahnya termasuk
lumayanlah untuk lokasi yang sungguh jauh di atas gunung begini. Airnya air
sumber yang mengalir ke tiap rumah dengan selang dan ditampung di masing-masing
kamar mandi warga yang penutupnya bukan dari kran plastic atau logam, tetapi
sumbat kayu. WC nya juga permanent, bukan asal cemplung.
Asyiknya lagi, rumah ini masih
memasak dengan menggunakan perapian kayu/tungku berbahan bakar kayu dengan
para-para dari anyaman bamboo di atasnya. Persis di desa neneknya ibuku
duluuuu….
Penduduknya ramah-ramah dengan
bahasa sunda yang masih sangat kental (huaa…., aku hanya ngerti sedikit sekali
bahasa sunda, selebihnya blank..). Si Nenek yang rumahnya kutumpangi tidur,
selalu menggunakan bahasa sunda setiap berinteraksi, seolah aku mengerti semua
kata-katanya….., maafkan aku ya Nek, yang pura-pura mengerti semua cerita
Nenek….hiks…
Nenek ini baik banget. Tiap pagi
selalu menyiapkan air putih hangat dengan gorengan singkong atau pisang.
Malamnya, ada nasi, sambal terasi, rebusan daun singkong, dan pepes tahu. Ini
sungguh alhamdulillah banget, sebab di desa ini langka penjual makanan matang,
apalagi kalau malam….
Tentang respondenku nih, ternyata
anak-anak di desa ini geulis-geulis dan kasep. Bener, cantik-cantik, bersih,
clink…
Mereka juga cukup berani dalam
mengutarakan pendapat, walaupun sayangnya setiap ditanya cita-cita, jawabannya
rata-rata jawaban standard; jadi guru atau dokter. Rupanya hanya profesi itu yang familiar buat mereka.
Tapi ini menarik juga karena
tidak ada yang menjawab ingin jadi seperti ayahnya yang rata-rata bekerja
sebagai buruh tani atau gurandil penambang emas illegal.
Tentang profesi yang terakhir
(gurandil), sebetulnya menurutku agak memprihatinkan.
Seorang respondenku (ibu dari
salah seorang anak sponsor) sempat kutanya agak lebih tentang profesi alm
suaminya yang bekerja sebagai gurandil ini. Kebetulan saat aku selesai
wawancara, hujan turun deras banget, jadi sambil numpang berteduh, aku
bertanya-tanya sedikit.
Suaminya meninggal belum terlalu
lama, baru beberapa bulan yang lalu karena sakit. Tadinya di samping rumahnya
ada peralatan menggiling tanah untuk mencari emas, tapi sudah dijual setelah
suaminya meninggal.
“Maaf, saya pingin tahu bu….,
gimana caranya untuk tahu (mendeteksi) bahwa tanah yang diambil
berkarung-karung itu ada emasnya atau tidak?” tanyaku penasaran.
“Kan mereka bawa piring bu…, jadi tiap lokasi
dikikis sedikit untuk dilihat apakah mengandung emas atau tidak. Kalau
kelihatannya ada emasnya, ya tanah di sekitarnya digali untuk dibawa.”
“Kemudian, setelah dibawa, apakah
benar akan selalu ada emasnya?” tanyaku.
“Nggak tentu bu… Terkadang sampai
5 karung yang dibawa juga nggak ada emasnya…”
“Kalau misalnya ada emasnya,
dalam satu karung sampai dapat berapa banyak?”
“Nggak tentu juga bu, terkadang
ada juga yang bias dapat satu gram…”
“Terus, satu gram dijual berapa?”
“Dua ratus ribu…”
“Berapa kali dalam sebulan bisa
dapat satu gram itu?”
“Nggak tentu juga bu, kadang
sekali…, kadang nggak ada sama sekali…”
Aku menghela nafas dalam-dalam.
Bayangkan, dengan kondisi seperti
itu, kenapa profesi seperti ini harus terus dipertahankan?
Memang, pernah ada satu atau dua
orang yang berhasil mendapatkan emas dalam jumlah besar sehingga dapat membangun
rumah laiknya istana (kami sempat ditunjukkan kemegahan rumah gurandil yang
berhasil itu ketika dalam perjalanan ke Cipanas).
Nah, keberhasilan gurandil itu
seperti magnet buat gurandil-gurandil yang lain untuk tetap menjalankan
profesinya, yang bagiku seolah mengejar ilusi/mimpi saja.
Sempat juga mas Inang
mempertanyakan angka kematian lelaki dewasa karena sakit yang bukan disebabkan
penyakit menular yang tercatat agak banyak. Ini karena apa? Apakah ada
hubungannya dengan zat kimia yang dipakai dalam rangka mencari dan mengolah
emas ini? Pertanyaan yang belum terjawab sampai kami meninggalkan lokasi ini.
Perlu dicatat, di desa ini hanya
ada satu SD Negri, dan SMP Negri kelas jauh yang tiap minggu bergantian
lokasinya di dua desa karena kondisinya masih menumpang di gedung SD Negri
tadi. Tidak ada SMA di sini. Tidak ada guru SMA di sini. SMA terdekat ada di
satu jam perjalanan turun ke desa bawah, dengan ongkos ojek sekali naik Rp.
30.000,-
Ada gedung Kesehatan sederhana (semacam
tempat berobat tapi belum setingkat puskesmas) yang tidak berfungsi karena
tidak ada tenaga medis yang mau bertugas di sini.
Yang parah lagi desa yang masih
di atas sana,
katanya kalau ada orang yang sakit, mereka (penduduk) terpaksa membawa pasien
dengan tandu dari bamboo yang digantungi kain sarung, dan membawanya turun
dengan berjalan kaki nyaris seharian demi mencapai puskesmas terdekat.
Helloo…., ini di Bogor lho ya…., masih di
pulau Jawa.
Jadi jangan salahkan kalau
tingkat pendidikan di sini cukup rendah. Tidak perlu ke SMA karena biaya tidak
ada…. (jangankan mereka yang tinggal di tempat susah transportasi begini, aku
sendiri aja kalau misalnya tiap hari harus mengeluarkan ongkos ojek enam puluh
ribu, ya bisa mencret-mencret…., ini tidak termasuk buat yang banyak duit lho
ya…, sebab yang banyak duit bisa beli motor).
Salah seorang respondenku yang
lain mengatakan, bahwa anak-anak perempuan di desa ini yang tidak mampu sih
merasa sudah cukup sekolah sampai lulus SD saja dan kemudian pergi ke kota untuk mencari
pekerjaan. Aku sempat tercenung mendengarnya, kemudian kutanya, “ Begini
bu, maaf,saya mau tanya nih…., setelah
lulus SD kemudian pergi ke kota
untuk mencari pekerjaan. Kira-kira pekerjaan macam apa yang ibu harapkan dengan
pendidikan yang lulus SD itu?”
“Ya pekerjaan rumah tangga bu….”
Jawabnya.
“Maksudnya?” aku penasaran.
“Jadi pembantu bu….”
Speechless deh.
Mungkin, sekali lagi mungkin nih,
solusinya adalah menyediakan tempat (rumah kontrakan) yang diusahakan
pemerintah desa untuk anak-anak yang kurang mampu di desa tempat SMAN berada buat mereka yang memang berprestasi
atau benar-benar ingin meneruskan sekolah. Semacam pondokan dengan biaya
terjangkau begitulah.
Demikian juga untuk tenaga medis.
Mungkin pemerintah desa dapat menyekolahkan anak-anak yang berbakat di bidang
medis dengan ikatan dinas (atau sejenisnya) supaya kelak kalau lulus, mereka
dapat bertugas di desanya sendiri.
Sekarang, hubungannya dengan GNI,
kalau secara umum, masyarakat di wilayah binaan CDP GNI Bogor ini menyadari
bahwa GNI tidak dapat terus-terusan ada di wilayah ini untuk membantu mereka,
dan mereka juga punya keinginan supaya dapat swadaya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, tidak tergantung pihak lain.
Ada salah satu hal yang cukup membanggakan,
yaitu masyarakat sudah punya produk andalan yang dapat dijual ke luar desa,
yaitu Kripik Pisang dengan merek “Cauleksa” yang rasanya sudah lumayan. Ada juga penanaman TOGA
yang mulai dijalankan. Kalau yang lain belum kelihatan sih, tapi semoga produk
lainnya segera menyusul sehingga keinginan untuk menjadi desa swadaya dapat
secepatnya tercapai.
(kalau sistemnya terus berjalan,
walaupun GNI sudah tidak di sana,
Insya Allah yang ini tetap dapat berlanjut)
Di CDP GNI Bogor ini, staff nya
ternyata laki-laki semua, dan mereka adalah anak-anak muda yang berpotensi,
serta dapat diandalkan. Bravo buat kalian ya…. (Anto, Jarot, Dodo, Mang Ucup,
Herry, Dewa, Yadi, ada juga Mang Odot driver, serta beberapa orang volunteer)
Bertugas di wilayah ini, sungguh
mengagumkan. Seolah tepat di bawah langit, di ujung dunia. Pemandangan yang
terpampang di depan mata adalah keajaiban dunia, kebesaran Allah SWT. Sungguh
tidak terlupakan. Kalau suatu saat sedang memandang sebuah gunung, jangan lupa
bahwa ada kehidupan di antara rerimbun hutan gemutan di atas sana.
Termasuk ketika malam terakhir
kami di sana
dan semua kelaparan dan tidak ada penjual makanan, sehingga kami harus
merepotkan Ibu Yunis (ibunya Dewa). Malam-malam dimasakkan Nasi Liwet untuk
Bacakan (Botraman kalau di Sukabumi), yang nggak pakai dipersilahkan lagi
langsung disantap. Padahal si Ibu besok paginya harus berangkat pagi-pagi. Makasih
banyak IbuYunis…, semoga Ibu dapat menantu terbaik untuk Dewa dan sayang sama
Ibu seperti harapan Ibu…. Aamiin. (ssst…., sambil menemani Ibu Yunis masak nasi
liwet, kami sempat ngerumpi ngalor ngidul, maklum… ibu-ibu.., hehehe….)
Aku tidak tahu, apakah ada
kesempatan lainnya lagi kelak untuk datang kembali ke tempat itu dan bertemu
dengan orang-orang baik di sana.
(keterangan foto : ini sebelum berangkat berburu responden, diajak sarapan sama ibu-ibu penduduk desa Cileuksa yang baik dengan menu nasi beras merah, lalapan daun kedondong, leunca, ikan asin bakar, dan sambel terasi...., yummyyy....)
Malang, 18 Mei 2016