Namanya pak Mistam, panggilannya
pak Tam. Orang kampung biasa. Lahir di mBaran Mogal Malang tahun 1951, tanggal
dan bulannya nggak tau, katanya. Pokoknya pas terjadi G30 S PKI dulu, dia sudah
jejaka, sekitar umur 15 tahun.
Sekolah hanya sampai kelas dua SD
(Madrasah) sebab waktu itu sering sakit-sakitan. Seringkali setiap sakit tuh
ketika akan ulangan atau kenaikan kelas. Akhirnya pak Tam kecilpun berhenti
sekolah. Asal sudah bisa baca tulis, ngaji, hitung-hitungan sederhana (tambah,
kali, dan bagi), ya sudah.
Orangnya polos dan lugu, malah
terkadang suka melucu juga. Sekarang ini tinggal (menjaga)di sebuah rumah yang
oleh pemiliknya hanya ditengok sesekali. Untuk kebutuhan hidupnya, dia
menggarap beberapa lahan kosong di perumahan tempat tinggalku ini. Tanamannya
berganti-ganti sesuai pergantian musim. Sebagian ditanami singkong, cabai,
pepaya, jahe, kunyit, dan lain-lain.
Dari ceritanya selama ini, yang
dapat kutangkap adalah, pak Tam ini sangat menghargai persaudaraan. Siapapun
yang baik padanya, dia akan lebih baik lagi pada orang tersebut. Bahkan pada
orang yang tidak baik padanyapun dia tidak pernah merasa sakit hati.
Pernah suatu ketika, aku ditawari
memetik cabai di lahannya sementara dia sendiri menyiangi dan mempersiapkan
lahan untuk ditanami lagi.
Tidak terasa aku memetik cabai
yang merah-merah sampai ke batas ujung timur lahan, sementara pak Tam sendiri
sedang asyik di ujung barat. Jarak kami mungkin sekitar 50 meteran. Tiba-tiba,
aku melihat sebuah pepaya mengkal tergeletak diantara tanaman cabe. Pohonnya
sendiri berada sekitar 3 meter dari buah pepaya itu tergeletak. Aku mendongak
ke atas, dan tampak beberapa tangkai buah yang masih meneteskan getah,
pepayanya sendiri tinggal beberapa buah yang masih kecil-kecil.
Kuambil pepaya mengkal itu dan
berjalan mencari pak Tam.
“Pak Tam, pohon pepaya di ujung
sana itu punya siapa?” tanyaku.
“Punya saya bu…” jawabnya.
“Ini, ada yang jatuh, masih
mengkal.” kataku sambil menunjukkan buah pepaya tadi.
“Buahnya yang masih di pohon
habis ya bu?” tanyanya.
“Iya, kayaknya belum lama dipetik
pak Tam, getahnya masih netes koq. Emang siapa yang metik?” tanyaku.
“Orang bu. Kemarin kan ada yang
datang ke saya, bilang mau beli pepaya mentah buat dijual di pasar, tapi nggak
saya kasih. Saya bilang nggak dijual sebab mau saya kasih ke saudara-saudara.
Eh, sekarang koq dipetik sendiri…” katanya.
“Lha kalau tau orangnya ya
disamperin aja pak Tam…” kataku.
“Biarin aja bu. Mungkin dia
memang butuh banget. Semoga aja berguna buat dia. Tapi kan ya nggak berkah buat
dia kalau caranya begitu…”
“Saya cuma kecewa sama caranya.
Manusia hidup itu cuma sekali, kenapa harus pakai cara yang nggak baik…, gimana
caranya dia kelak mempertanggung jawabkan perbuatannya ke Gusti Allah…”
“Tadinya pepaya itu sudah saya
hitung buat bu Bagyo, bu Harsono, bu Ruddy, Salimah…. (aku lupa siapa-siapa
lagi yang disebutkan namanya), tapi ya belum rejekinya bu Ruddy dapat pepaya…”
katanya sambil tersenyum. Bu Ruddy yang disebutnya itu aku.
Aku terdiam mendengarnya sambil
memandang pepaya mengkal di tanganku. Orang ini baik banget. Semua orang yang
baik padanya dianggap saudara. Dan buat dia, lebih baik menjaga persaudaraan
itu daripada sekedar dapat uang beberapa puluh ribu.
“Ini, pepaya mengkalnya mau
diapain?” tanyaku.
“Ya ibu bawa aja, besok mungkin
sudah matang. Itu pasti sengaja ditinggal sama pencurinya sebab di pasar nggak
laku dijual untuk sayur, sudah kuning….”
“Waduh, jahat banget sih…, maling
aja koq pilih-pilih…” pikirku.
Itu tadi salah satu caranya pak
Tam menghadapi orang yang sudah tidak baik padanya yang langsung kusaksikan
sendiri hasil perbuatan si maling pepaya yang hanya menyisakan beberapa buah
yang masih kecil dan mengkal ini.
Ada lagi ceritanya. Kalau ini sih
dia ceritakan sendiri waktu datang ke rumah sambil membawa buah pisang satu
sisir. (pak Tam ini sering sekali tiba-tiba datang bawa jagunglah, singkonglah,
pepaya, dan lain-lain)
Katanya, dulu ada tetangganya di
kampungnya yang benci sekali padanya. Ibu ini kaya dan sudah naik haji.
“Pak Tam, aku dulu itu benci sekali lho ke sampeyan. Kalau lihat muka sampeyan
aku pingin muntah…” kata pak Tam menceritakan kata-kata si ibu haji
tetangganya.
“Ya panteslah bu, wong saya ini
bukan siapa-siapa, jelek, kurus, penyakitan, miskin. Ya nggak apa-apa kalau ibu
benci lihat muka saya..” jawab pak Tam ke tetangganya itu.
“Tapi bu, nggak lama gitu, bu
haji itu jadi baik banget sama saya. Suaminya, anak-anaknya, semua jadi
baik-baik banget sama saya. Punya apapun semua dikasih ke saya. Lahannya, saya
disuruh nggarap gratis…. Saya sampai heran sendiri. Apa mungkin bu haji itu
dikasih peringatan sama Allah ya bu…” katanya padaku.
Aku cuma mengangguk-angguk.
Mungkin juga pak Tam… Nggak ada yang yang mungkin di dunia ini kalau Allah
sudah berkehendak.
Sebetulnya pak Tam ini pernah
menikah dengan seorang janda beranak satu, anaknya laki-laki. Kemudian pak Tam
sendiri punya anak angkat perempuan, satu juga.
Pernikahannya dengan janda itu tidak mempunyai keturunan sampai istrinya
meninggal dunia.
Kalau menurut ceritanya lagi, kuambil
kesimpulan kalau anak tirinya itu agak semaunya pada pak Tam. Ada satu saat,
pak Tam ini pulang kampung, maksudnya mau nengok sapi atau sawahnya (aku agak
kurang jelas, sebab komunikasi kami kan bercampur-campur antara bahasa jawa,
bahasa Indonesia, kadang dia pakai bahasa Madura yang aku sama sekali nggak
ngerti), tapi yang dicari ternyata sudah berpindah tangan karena dijual si anak
tiri tanpa ijin dulu padanya. Pak Tamp-un diam saja, tidak menegur sekalipun
pada anaknya itu.
Hasil tanamannya menggarap
lahan-lahan di perumahanku juga yang memanen itu anak tirinya. Nanti tinggal
dia dikasih uang berapa ratus gitu. Itu juga dia tidak tanya, laku berapa kek,
dapat berapa ton kek… Katanya, terserah anaknya. Mau dikasih berapapun ya
terserah. Semuanya dipasrahkan ke Allah.
“Saya juga nggak minta yang
aneh-aneh pada Gusti Allah, saya hanya berharap ridho’nya atas semua yang saya
lakukan…. Asal yang saya lakukan tidak dibenci oleh Gusti Allah, saya sudah
senang…” katanya.
Banyak yang dapat kupelajari dan
kucontoh dari cara hidup pak Tam yang lugu ini. Kapasrahan dan keikhlasan dalam
menjalani hidup ini bagiku sangat mengagumkan. Pak Tam ini tidak pernah merasa
kuatir sedikitpun akan hari esok. Hasil buminya dibagi-bagi tanpa minta imbalan
uang, padahal harusnya bisa dijual. Besok makan apa juga tidak pernah
dipikirkannya, padahal dia tidak punya kompor. Dia hanya punya magicom yang
penggunaannya sangat dia batasi. (Aku pernah mengajarinya menggoreng tahu atau
telor dengan magicom, tapi katanya nanti listriknya habis banyak). Oh ya, ada
juga tungku kayu bakar yang dipakai untuk merebus air minum.
“Kalau cuma punya nasi, makannya
pakai lauk apa pak Tam?” tanyaku.
“Alhamdulillah ada aja orang baik
yang suka ngirim lauk bu. Tapi ya gitu, kadang-kadang sehari sampai tiga orang
yang kasih, terus besoknya tiga hari nggak ada yang kirim lagi, ya makan pakai
sambel aja sudah enak….” katanya sambil tertawa.
Sebetulnya hidup ini memang
sederhana ya…, sesederhana pola pikir pak Tam. Hidup dengan bekerja seadanya,
mendapatkan hasil sedapatnya, kemudian beribadah dengan ikhlas pada Yang Kuasa.
Semua hasil akhir terserah Yang Kuasa.
Manusia sendiri aja yang suka
bikin sulit. Harus sekolah tinggi suapaya punya jabatan tinggi dan dapat duit
banyak, biar bisa beli ini itu. Harus
punya WA, BBM, Line, dsb supaya bisa ikut group dan reunian…. , hehehe…
Malang, 29 November 2016
Lagi nunggu pak Tam ngirim singkong