Seperti biasanya, kalau berangkat
kerja agak siang di hari jum’at, aku dan temanku pasti kesulitan mencari tukang
ojek. Padahal sih belum jam 11.00 siang, tapi mungkin para tukang ojek itu
segan kalau kelihatan masih nongkrong di pangkalannya karena sebentar lagi
orang-orang pada shalat jum’at. (kebetulan pangkalan ojek terdekat dari rumahku
adalah di depan masjid).
Tadi siangpun begitu, dan ketika
aku dan temanku sedang berjalan pelan-pelan di sekitar pangkalan ojek sambil
mencari-cari, tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki memakai celana seragam
abu-abu dan atasan kaos putih (sepertinya kaos Olah Raga) dengan motornya, “Ibu
mau naik ojek bu?” tanyanya.
“Iya, nih… “ jawabku.
“Mari bu,…” katanya.
“Lho, ini ojek? Kamu ngojek?
Beneran ini mau narik?” tanyaku setengah
tidak percaya. Sebab kalau melihat tongkrongannya, anak ini pastilah bukan
tukang ojek, tapi anak-anak yang baru pulang dari sekolah.
“Iya bu,…, mari saya antar…”
katanya.
“Ya udah, lu naik aja dulu…” kata
temanku.
Eh, tidak lama setelah aku naik,
ternyata datang lagi seorang anak laki-laki sebaya anak yang pertama tadi yang
langsung menghampiri temanku. Temankupun naik.
“Emang sering ngojek?” tanyaku
pada ‘tukang ojekku’.
“Enggak bu….” Jawabnya.
“Masih sekolah kan? Sekolah di
mana?” tanyaku.
“Di SMK di Kemang bu….”
“Kelas berapa?”
“Kelas dua jurusan akutansi
perkantoran….” Ini aku agak lupa, jurusan akutansi perkantoran atau
administrasi perkantoran.
“SMK di Kemang ini apanya SMPN 1
Kemang?” tanyaku, sambil mengira-ira letaknya di sebelah mana Sekolahan anakku.
“Sebelumnya bu, kalau siang gini
dijadiin kampus tempat kuliah…” katanya.
“Tinggalnya di mana? Ini pasti
ngojek buat main game ya?” tanyaku lagi.
“Di Cimanggis bu…” jawabnya.
Hmm, aku salut juga pada
anak-anak semacam ini. Tidak perduli duitnya nanti buat apa, yang penting dia
berusaha mencarinya dengan cara halal. Mau dipakai main gamepun kurasa sah-sah
saja, karena mereka tidak mencuri atau merampok. Kurasa, tadi itu mereka pasti
sedang lewat entah mau main ke rumah temannya atau bagaimana, terus melihat aku
berdua temanku yang terlantar di pangkalan ojek karena tidak ada ojek
sebutirpun, maka timbullah niat mereka buat ngojekin kami.
“Ibu mau diantar sampai ke mana?”
tanyanya.
“Ke Stasiunlah…., tau kan?”
tanyaku.
“Iya bu…” jawabnya.
Ketika akhirnya kami tiba di
depan stasiun, kuberikan ongkos ojeknya tujuh ribu rupiah sambil bilang, “Kalau
main game nggak usah sampai kecanduan ya…, sayang duitnya… Makasih ya…” kataku.
Dasar ibu-ibu, biarpun tadi aku bilang sah-sah saja buat dia main game, tapi naluri emak-emak cerewet tetap
saja tidak dapat di rem…, hehehe….
“Iya bu, trimakasih…” jawabnya.
Akupun melangkah menyebrang masuk
ke Stasiun sambil berpikir, semoga saja anak itu tadi tidak bercita-cita
menjadi tukang ojek dan tetap meneruskan sekolahnya dengan benar (karena
tergiur menjadi tukang ojek ternyata enak juga, sekali antar tujuh ribu rupiah
sampai stasiun sedangkan bensin yang dipakai mungkin baru habis satu liter
setelah empat atau lima kali antar).
Bogor, 4 Oktober 2013