Minggu, 22 Januari 2017

Riset

                                                 waktu wawancara di mall Manggadua

Tadi pagi begitu buka FB, diingatkan sama FB tentang kenanganku  4 tahun yang lalu, yaitu statusku yang
berbunyi : Aku tadi wawancara atau interogasi ya? (ampun deh job yang satu ini…, huft…!!).

Penasaran job apa yang kukerjakan 4 tahun lalu, tulisan itupun kuklik. Kubaca komen-komen yang ada di situ yang beberapa diantaranya adalah teman satu kantor di Nielsen.

Nama jobnya DAMITA. Nama yang cantik ya?
Huehehe…, nama job boleh cantik, tapi ngerjainnya setengah mati. Sumprit ini benar-benar job yang ajrut-ajrutan susahnya. Susah di sini adalah dalam artian mencari responden yang harus diwawancara.

Kesulitan utama adalah melihat tebalnya kuesioner dan metode yang harus dipakai. Metodenya adalah, kita wawancara langsung dengan responden, dan selanjutnya responden ditinggalin kuesioner untuk diisi sendiri, dan interviewer akan kembali mengambil kuesioner itu beberapa hari lagi.
Beberapa obrolan teman sekantor di statusku itu mengembalikan lagi ingatan saat-saat ngerjain jobnya.

“Lama sekali ya? Semalam aku juga sudah coba buka studynya, tapi sudah setengah jam masih belum dapat 25%. Gimana nanti kalau witness? Bisa-bisa respondennya kabur.” kata Asri.
“Biar responden gak kabur, kasih kuaci, biar gak terasa lama.” jawab Nina.
“Sumpah Nin, lama banget…” kata Asri.
“Iya, mbak Ratih juga sudah cerita..”  jawab Nina.
“Gileeee…, 3,5 jam… (memang sambil ditinggal bikin susu dan pipis,… tapi 3,5 jam?????), mati aja kalau sama orang yang gak kenal…” kataku.
Selanjutnya Nina bilang, kalau itu memang kebangetan, sebab katanya, peraturan kantor tuh wawancara paling lama cuma boleh maksimal  1,5 jam. (itu juga yang diwawancara sudah memble ngejawabnya)
“Hadeeeeehh…, Gak kira-kira yang bikin studynya.” kata Asri.

“Kalau 1,5 jam itu belum dapat separohnya Nin… (pas briefing aku juga sudah bilang sama Tuan Takur ***sebetulnya nama SPV-nya itu Kurniawan, tapi banyak yang panggil Tuan Takur*** , kalau pas wawancara ini aku harus nginep di rumah responden)

habis brieffing

Kemudian Asri nanya aku dapat PSU mana? PSU singkatan apa aku lupa, tapi itu adalah sebutan untuk wilayah wawancara, misalnya Kelurahan A Kecamatan A, Jakarta Pusat, Barat, Utara, Selatan, atau Timur.

Kubilang aku dapat Booster, tapi dengan minimum income 42 jeti per bulan. Booster itu calon respondennya boleh masuk wilayah (kali ini: Jakarta) mana aja, dengan beberapa syarat khusus, misalnya kali ini dengan income minimum 42 jeti itu.

Untuk yang bukan booster seperti tugas Asri, mungkin income nggak harus minimum puluhan jeti seperti tugasku, tapi tetap berlaku berbagai syarat khusus sebagai calon responden. Lumayan banyak larangan untuk calon responden, untuk job ini misalnya tidak boleh punya warung kelontong, tidak boleh kerja di perusahaan pesaing, tidak boleh ini tidak boleh itu, wiiiuuhhhh…… Belum lagi wilayah sudah ditentukan harus di mana. Belum lagi calon responden menolak diwawancara karena melihat tebalnya daftar pertanyaan yang akan diajukan.

Tugasku yang booster, calon responden boleh di wilayah Jakarta manapun asal minimum incomenya 42 jeti, dengan ketentuan syarat sebagai calon responden sama dengan yang bukan booster, karena ini standard wawancara. Kesulitannya hanya soal waktu, karena orang dengan minimum income puluhan jeti itu kan bukan orang dengan banyak waktu menganggur. Mau nggak dia ditanya macam-macam yang nggak ada untungnya (secara langsung) sama sekali buat dia.

Saat itu, fee yang kudapat per responden kalau nggak salah ingat sekitar 300 ribu rupiah. Lumayan sih kalau bisa dapat banyak. Tapi aku hanya mengambil 5 target saja, sebab aku nggak yakin apakah beberapa orang kenalanku (yang memenuhi syarat sebagai responden) mau diminta waktunya untuk wawancara buanyak pertanyaan yang amat sangat detail. Seperti misalnya apa merk pasta giginya, belinya di mana, belinya berapa kali sebulan, kalau merk itu nggak ada apa mau beralih ke merk lain, kalau iya, merknya apa, dan lain-lainnnn pertanyaan lagi yang tebal halaman kuesionernya sekitar 3cm.

Setelah 5 wawancara kulakukan dan kulaporkan, eeeh….., ternyata dikasih bonus, disuruh cari satu lagi, diwitnes. Diwitnes itu adalah melakukan wawancaranya dengan didampingi (diawasi) orang dari kantor atau klien. Bisa SPV, TA, Koordinator, Siapun orang kantor dengan jabatan apapun, Klien yang menyewa kita,  atau QC. (yang paling akhir itu adalah Quality Qontrol yang lebih banyak cari kesalahan kita kalau wawancara, supaya dia dapat dengan mudah mendepak kita keluar ***baca:dipecat*** itu menurutku lho….., walaupun ada juga sih QC yang ‘agak’ baik).

Tadinya aku menolak karena sudah nggak ada stock lagi buat diwawancara (males menghubungi teman-temanku  lagi, wawancaranya lama), tapi katanya calon responden sudah ada, temannya mbak Winarti yang saat itu masih jadi TA, asistennya SPV.

Yaa…, kalau calon respondennya sudah ada begitu, aku sih mau aja…., okelah kalau begitu. Jadi, aku ditemani mbak Winarti ke rumah temannya yang tinggal di Jakarta Timur. Teman mbak Winarti ini pengusaha Rumah Makan di daerah Cikini, kalau nggak salah ingat. Maklum sudah 4 tahun berlalu. Tapi waktu ambil kuesioner yang ditinggal di responden, aku pergi sendiri ke sana.  Untung orangnya baik, walaupun beberapa pertanyaan masih banyak yang kosong, jadi sambil kutunggui mengisinya, hehehe…

                                                                sedang brieffing

Kalau lihat fee nya yang lumayan, mungkin interviewer yang lain akan ambil kesempatan sebanyak-banyaknya buat ngerjain booster. Mungkin dengan sedikit probbing dan modifikasi di sana-sini, nggak perlu ambil job yang lain bulan itu, konsen di satu job ini aja…. Tapiiiiii, aku lebih males mikir ke belakangnya kalau misalnya sampai kena QC yang ribet.

Contoh kalau misalnya kena QC dan akhirnya dikeluarkan alias dipecat adalah begini, ini aku pernah dengar cerita dari salah seorang yang dikeluarkan karena kena QC.

Ketika kita akan melakukan wawancara, pertama kali kita harus menunjukkan ID Card. Kemudian kita memegang kuesioner di depan responden, responden tidak boleh melihat isi kuesioner, tapi responden kita kasih sebuah buku pedoman jawaban yang disebut Show Card. Di dalam Show Card ini ada jawaban-jawaban yang harus dipilih oleh responden.

Misalnya, kita tanya pertanyaan nomer 5 di kuesioner kita, dimana bapak/ibu bekerja? Maka di ShowCard yang dipegang responden itu ada jawaban nomer 5: a. PNS, b. ABRI, c.Karyawan Swasta, d.Dll.

Ketika responden menjawab: c. Karyawan Swasta.
Kita harus tanya: Karyawan Swasta di Perusahaan apa?
Kalau misalnya responden menjawab: Di Johnson& Johnson.
Misalnya padahal saat itu kita sedang wawancara untuk perusahaan Uinilever, ya wawancara tidak boleh dilanjut karena calon responden ternyata bekerja di perusaan pesaing. Kalau tetap dilanjut juga dan ketika QC mengkonfirmasi (biasanya via telepon) hal itu tetap dilakukan, biasanya kuesioner akan diturunkan dan interviewer dapat peringatan.

Yang parah dan bakalan dikeluarkan adalah pada saat wawancara, kita tidak memberikan ShowCard pada responden. Ini fatal. Alasannya apa aku juga tidak tahu. Yang jelas, banyak interviewer dikeluarkan karena ketahuan tidak menunjukkan Show Card pada responden.

Padahal ada kejadian juga, sebetulnya bukan salah interviewer waktu responden ditanya QC, apakah ditunjukkan Show Card dan responden bilang tidak. Ternyata kata interviewernya, waktu wawancara itu berlangsung memang suasana agak ramai (wawancara di toko), dan responden melayani wawancara sambil melayani pembeli. Jadi responden tidak ingat bahwa interviewer pernah menyerahkan Show Card padanya. Tapi tetap yang seperti ini tidak ditolerir oleh QC. (Biasanya interviewer baru yang agak memaksa wawancara dengan kondisi responden sibuk seperti itu karena takut tidak dapat responden lagi).

Okelah. Kembali pada job DAMITA ku tadi. Waktu itu aku memang hanya mengerjakan 6 saja, sebab aku juga harus membagi waktu dengan job-job yang lain yang juga mendesak waktunya, hehehe…

Oh ya, setiap selesai wawancara, biasanya kita selalu memebrikan sekedar souvenir kepada responden yang sudah kita wawancara sebagai ucapan terimakasih. Walaupun menurutku nilainya tidak berimbang dengan waktu yang sudah diberikan ke kita.
Macam dan jenis souvenir beda-beda, sesuai jenis job dan besarnya kontrak sepertinya, hehehe… Aku pernah memberikan souvenir berupa Voucher Belanja, Jam Meja, Payung, termos, Mug, Tas, dll. (yang paling sering sih Mug dan tas Nielsen)




Malang, 23 Januari 2017
***edisi kangen masa-masa lalu