Kemarin aku mengunjungi seorang
sahabat yang baru pulang dari tanah suci. Banyak cerita yang dibaginya denganku
selama di tanah suci, dan di sela-sela ceritanya itu, dia selalu menyebut
almarhum suaminya yang sudah meninggal kira-kira satu setengah tahun yang lalu.
Dari setiap kata dan kalimatnya
ketika menyebut nama almarhum suaminya, tampak sekali kalau cintanya pada
almarhum begitu dalam. Di antara kata-katanya itu, terkadang aku melihat matanya yang agak meredup dan sedikit
berkaca-kaca.
Beberapa kali aku mendengarnya menceritakan
saat-saat terakhirnya bersama almarhum, yang terus terang aku tidak berani
banyak berkomentar. Aku takut akan membuatnya kembali terluka karena
kata-kataku yang tidak tepat. Aku selalu mendengarkan saja ceritanya dengan rasa
haru dan kagum karena dia masih menyimpan kenangan dan besarnya rasa cinta yang
tidak berubah sampai saat ini.
Dia tidak pernah mengatakan bahwa
dia tidak akan dapat hidup tanpa almarhum suaminya itu seperti cerita-cerita di
sinetron TV, sebab dibalik kelembutannya, ternyata dia adalah sosok yang sangat
tegar dan kuat untuk menerima cobaan dari Allah dalam bentuk kehilangan suami di
usianya yang relative masih muda seperti ini. Dia tetap dapat hidup dan
melanjutkan melangkah.
“Saya masih kurang lama merawat
almarhum…” katanya setiap ada yang bercanda untuk segera memulai hari baru
dengan membuka diri.
“Selama ini saya sering didatangi
dalam mimpi, tapi dia tidak pernah berbicara sepatah katapun. Hanya saya yang
selalu mengajaknya berbincang, walaupun dia tetap diam. Tapi waktu di Mekah
kemarin, dia kembali datang dalam mimpi saya dan kali ini dia berbicara pada
saya….” katanya dengan mata menerawang.
Saat ini sahabatku itu bekerja di
kantor tempat almarhum suaminya dulu bekerja dan bercerita kalau waktu pertama
kali datang ke kantor itu untuk bekerja, isinya adalah tangis-tangisan dengan rekan kerja suaminya yang sudah dikenalnya
semua.
“Tapi setelah itu sih, sudah
mulai biasa… Bahkan di lantai yang sama dengan tempat saya bekerja, ada seorang
teman yang namanya sama dengan almarhum. Bayangkan saya yang harus setiap saat
memanggil namanya….., belum lagi ada juga yang suara bersinnya itu mirip banget
dengan almarhum.”
“Saya rasa Allah yang melakukan
semua ini untuk saya supaya saya harus tetap kuat dan terbiasa dengan keadaan
tanpa almarhum.” katanya.
“Ada kalanya saya merasa hampa.
Saya tidak bersemangat lagi hidup di Jakarta ini, saya ingin pulang saja ke kampung
halaman.” katanya kemarin. Sahabatku ini satu daerah denganku, bukan asli
Jakarta.
Aku bingung harus menjawab apa.
Sebab aku dapat membayangkan rasa sepinya itu, ditinggal suami sebelum sempat
dikaruniai momongan, dan seorang diri tinggal di rantau setelah sekian lama
kemana-mana selalu berdua dengan suami. Cintanya masih utuh belum terbagi.
“Aku pulang dulu ya, hati-hati di
rumah cuma berdua, jaga kesehatan dan keep strong.” kataku ketika hari sudah mulai
malam dan akupun harus kembali pulang. Sahabatku ini hanya berdua dengan
pembantunya yang katanya akhir bulan juga mau pamit pulang karena mau menikah.
“Nggak nginep aja?” tanyanya.
“Lain kali deh…, cucianku
menunggu.” jawabku.
Sepanjang perjalanan pulang aku
masih saja membayangkan wajahnya ketika menyebut nama almarhum suaminya. Betapa
wajah itu masih begitu menyiratkan rasa cinta.
Hhh…., aku menghela nafas
panjang. Tetaplah kuat sahabat, tataplah dunia dengan senyuman. Semua kerabat
dan handai taulan yang kau sayang selalu ada di sisimu. Kami selalu bersamamu.
Bogor, 26 November 2012