Senin, 26 November 2012

Kenangan Cinta Seorang Sahabat



Kemarin aku mengunjungi seorang sahabat yang baru pulang dari tanah suci. Banyak cerita yang dibaginya denganku selama di tanah suci, dan di sela-sela ceritanya itu, dia selalu menyebut almarhum suaminya yang sudah meninggal kira-kira satu setengah tahun yang lalu.

Dari setiap kata dan kalimatnya ketika menyebut nama almarhum suaminya, tampak sekali kalau cintanya pada almarhum begitu dalam. Di antara kata-katanya itu, terkadang aku  melihat matanya yang agak meredup dan sedikit berkaca-kaca.

Beberapa kali aku mendengarnya menceritakan saat-saat terakhirnya bersama almarhum, yang terus terang aku tidak berani banyak berkomentar. Aku takut akan membuatnya kembali terluka karena kata-kataku yang tidak tepat. Aku selalu mendengarkan saja ceritanya dengan rasa haru dan kagum karena dia masih menyimpan kenangan dan besarnya rasa cinta yang tidak berubah sampai saat ini.

Dia tidak pernah mengatakan bahwa dia tidak akan dapat hidup tanpa almarhum suaminya itu seperti cerita-cerita di sinetron TV, sebab dibalik kelembutannya, ternyata dia adalah sosok yang sangat tegar dan kuat untuk menerima cobaan dari Allah dalam bentuk kehilangan suami di usianya yang relative masih muda seperti ini. Dia tetap dapat hidup dan melanjutkan melangkah.
“Saya masih kurang lama merawat almarhum…” katanya setiap ada yang bercanda untuk segera memulai hari baru dengan membuka diri.
“Selama ini saya sering didatangi dalam mimpi, tapi dia tidak pernah berbicara sepatah katapun. Hanya saya yang selalu mengajaknya berbincang, walaupun dia tetap diam. Tapi waktu di Mekah kemarin, dia kembali datang dalam mimpi saya dan kali ini dia berbicara pada saya….” katanya dengan mata menerawang.

Saat ini sahabatku itu bekerja di kantor tempat almarhum suaminya dulu bekerja dan bercerita kalau waktu pertama kali datang ke kantor itu untuk bekerja, isinya adalah tangis-tangisan dengan  rekan kerja suaminya yang sudah dikenalnya semua.
“Tapi setelah itu sih, sudah mulai biasa… Bahkan di lantai yang sama dengan tempat saya bekerja, ada seorang teman yang namanya sama dengan almarhum. Bayangkan saya yang harus setiap saat memanggil namanya….., belum lagi ada juga yang suara bersinnya itu mirip banget dengan almarhum.”
“Saya rasa Allah yang melakukan semua ini untuk saya supaya saya harus tetap kuat dan terbiasa dengan keadaan tanpa almarhum.” katanya.

“Ada kalanya saya merasa hampa. Saya tidak bersemangat lagi hidup di Jakarta ini, saya ingin pulang saja ke kampung halaman.” katanya kemarin. Sahabatku ini satu daerah denganku, bukan asli Jakarta.

Aku bingung harus menjawab apa. Sebab aku dapat membayangkan rasa sepinya itu, ditinggal suami sebelum sempat dikaruniai momongan, dan seorang diri tinggal di rantau setelah sekian lama kemana-mana selalu berdua dengan suami. Cintanya masih utuh belum terbagi.

“Aku pulang dulu ya, hati-hati di rumah cuma berdua, jaga kesehatan dan keep strong.” kataku ketika hari sudah mulai malam dan akupun harus kembali pulang. Sahabatku ini hanya berdua dengan pembantunya yang katanya akhir bulan juga mau pamit pulang karena mau menikah.
“Nggak nginep aja?” tanyanya.
“Lain kali deh…, cucianku menunggu.” jawabku.

Sepanjang perjalanan pulang aku masih saja membayangkan wajahnya ketika menyebut nama almarhum suaminya. Betapa wajah itu masih begitu menyiratkan rasa cinta.
Hhh…., aku menghela nafas panjang. Tetaplah kuat sahabat, tataplah dunia dengan senyuman. Semua kerabat dan handai taulan yang kau sayang selalu ada di sisimu. Kami selalu bersamamu.


Bogor, 26 November 2012