Jumat, 30 Oktober 2020

Kisah Kakak, Dua Minggu Di Ranu Pane

 *** Ini Tulisan Kakak sendiri. 


Berhubung belum ada kisah perjalananku terbaru, aku memutuskan untuk menulis pengalaman dan cerita-cerita  lama sebelum mereka menghilang sepenuhnya dari ingatanku.

Kali ini aku akan throwback ke tahun 2015 silam. Waktu itu bulan Agustus, aku kedatangan rombongan dari Semarang yang ingin ke Ranu Kumbolo. Mereka adalah Mbak Visi, Valen dan Riko,  teman-teman yang kukenal dari Instagram tetapi sudah seperti teman dekat yang berteman lama. Dan yang ikut berangkat dari Malang ada aku sendiri, Dodo, Obam, Andhi, Lando, Tama, Resti dan Sifa juga ada Mba Ni dari Surabaya. Total rombongan waktu itu 12 orang dan kalau tidak salah ingat kami berangkat beberapa hari sebelum 17 Agustusan. Ini termasuk rombongan terbanyakku sepanjang sejarah pendakian yang pernah aku lakukan.

Awalnya aku sempat ragu-ragu akan ikut berangkat atau tidak. Padahal biasanya kalau naik gunung aku tidak pernah ragu-ragu. Tetapi mereka berusaha mengompori dan meyakinkanku hingga akhirnya pun aku turut mem-packing barang bawaan dan berangkat bersama mereka.

Perjalanan menuju ke Ranu Kumbolo berjalan lancar dan menyenangkan seperti seharusnya. Kami berangkat dari Malang naik motor dan rencana awal hanya menginap semalam saja di Ranu Kumbolo. Akan tetapi ketika di perjalanan turun dari Ranu Kumbolo menuju ke Ranu Pane, ada kejadian yang menimpa Mbak Visi dan membuat kakinya cedera lumayan parah.

Ceritanya, siang itu kami memilih lewat jalur atas (bukan melipir danau) melewati hutan untuk menuju ke sisi danau yang satunya. Kondisi jalur yang setapak dan tidak terlalu lebar mengharuskan pendaki untuk berjalan dalam satu baris.

Waktu itu, mba Visi ada di bagian belakang bersama Valen dan Tama. Tiba-tiba ada pendaki mancanegara yang ingin mendahului dan menyalip rombongan kami sehingga membuat Mbak Visi dan yang lainnya harus sedikit kepinggir memberi jalan. Ketika hendak berpindah posisi, tidak sengaja kaki Mbak Visi terkilir dan keseleo di bagian pergelangan kakinya.

Mbak Visi meminta tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisinya yang semakin lama semakin terpincang-pincang.

Aku mungkin memang tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berjalan di jalur turun dengan kaki yang keseleo, tapi yang aku tahu jalan di jalur turunan dengan kondisi normal saja rasanya cukup menguras tenaga dan membuat kita menahan sakit di ujung-ujung jari sewaktu mengerem. Aku salut sekali dengan mba Visi yang tetap semangat untuk melanjutkan perjalanan dan tidak mengeluh sedikitpun. Walaupun ternyata hal tersebut justru membuat kondisi kakinya semakin parah.

Setelah melewati Pos 3 dan melewati jalur longsor, aku bersama rombongan yang di depan (kalau tidak salah ada Obam, mba Ni, Resti, Dodo dan Riko) meminta izin pada rombongan yang di belakang untuk berjalan lebih dulu lalu kemudian kami mempercepat langkah dengan agak sedikit berlari supaya sampai di Ranu Pane tidak keburu gelap sehingga bisa mencari tempat yang nyaman untuk tempat istirahat kami nantinya.

Walaupun saat itu merasa ada yang aneh juga ketika jalan dari Pos 1 menuju ke Ranu Pane yang biasanya memakan waktu sekitar satu jam setengah lebih, seperti tidak kunjung sampai. Aku berusaha tidak berfikiran yang macam-macam. Di tempat seperti ini kita harus selalu positif thinking.

Begitu juga saat di sepanjang perjalanan sepertinya ada burung hitam yang selalu mengikuti kami. Biasanya burung liar pasti akan takut pada gerakan manusia, tetapi burung ini justru seperti menemani dan mengiringi kami ketika berjalan turun.

Aku, Resti, dan Dodo sampai ke pendopo yang ada di Ranu Pane sekitar pukul 18.00 WIB, pas sekali waktu itu baru gelap. Obam dan Mbak Ni malah sudah sampai duluan sebelum maghrib.

Tentang Obam, aku tidak paham lagi Obam ini sehari-harinya makan apa. Karena kenapa bisa dia jalannya cepat sekali, tidak pernah kelelahan, dan larinya pun tidak tertandingi. (Ya sih, dia memang bisa dibilang athlete lari yang cukup professional di Malang).

Kemudian kami menggelar matras di pendopo yang kondisinya setengah terbuka untuk berselonjor. Menurutku, suhu di Ranu Pane ini menjadi lebih dingin dan semakin dingin jika kita hanya berdiam diri serta tidak melakukan apa-apa.

Tidak berselang lama rombongan di bagian tengah pun sampai. Ada Sifa, Lando, dan juga Andhi. Tapi mereka bilang kalau rombongan yang di belakang masih sangat jauh jaraknya. Kami mulai khawatir dan menunggu dengan perasaan tidak tenang.

Kemudian Obam berinisiatif untuk kembali dan menyusul Mbak Visi yang cidera, dengan berbekalkan headlamp dan peralatan yang sudah dipindahkan ke daypack kecil.

Sebenarnya hal ini membuat kami semakin tidak tenang kalau harus membiarkan Obam menyusul sendirian apalagi kondisi sudah malam, tetapi di sisi lain kami percaya dia sudah menguasai medan dan juga hanya dia yang kondisinya masih fit. Dia sudah sering ke tempat ini.

Masalah Mbak Visi belum selesai, malah insiden selanjutnya pun terjadi di Ranu Pane.

Waktu itu sekitar pukul 21.00 WIB, Sifa yang mempunyai gejala penyakit asthma merasa sangat kedinginan hingga kemudian bergabung dengan para porter dan guide yang sedang membuat perapian di dekat toilet. Kamipun ikut menemani dan mengingatkan agar dia tidak terlalu dekat dengan api supaya tidak terkena asapnya.

Kemudian tiba-tiba saja Sifa terlihat menunduk lalu sesak nafas, lemas dan kemudian pingsan. Para porter yang ada disitu reflek menggendong Sifa dan membawanya ke ruang istirahat Saver (Sahabat Volunteer Semeru, petugas yang berjaga di Pos Ranu Pane).

Setelah diberikan obat asthma semprot dan diolesi minyak angin Sifapun sadar. Kemudian Sifa disuruh memakai beberapa lapis sleeping bag dan meminum teh hangat dari Saver.

Melihat kondisinya yang seperti itu kami disuruh beristirahat di dalam situ saja, dan para Saver mempersilahkan kami menggunakan kamar mandi atau dapur jika ingin memasak. Akhirnya kami pun bercerita pada tim Saver kalau kami sedang menunggu teman yang kakinya cidera dan belum sampai.

Hingga tiba-tiba datanglah Tama dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Dia bilang, kalau Obam sudah menemani Mbak Visi dan Valen disana  dengan ditemani beberapa pendaki lain yang berpapasan di jalan. Mereka membuka tenda untuk beristirahat di Watu Rejeng, karena kondisi Mbak Visi benar-benar sudah tidak bisa jalan. Jadi  ceritanya saat itu Obam bertukar posisi dengan Tama. Ganti Obam yang menemani Mbak Visi dan Valen, sedangkan Tama disuruh melaporkan kondisi mereka ke Ranu Pane.

Mendengar itu seorang Saver justru tidak setuju.

“Kalian tau? Watu Rejeng itu gerbangnya kerajaan makhluk-makhluk yang menghuni disana. Kalau teman kalian malam ini tidur disitu, saya jamin tidak lama lagi bakalan ada yang kesurupan. Jadi kalau mau buka tenda harus sedikit turun lagi.” Katanya.

Mendengar hal itu aku jadi  panik. Khawatir dan takut kalau-kalau Mbak Visi atau Valen yang sedang kelelahan akan lebih mudah kerasukan, apalagi kalau pikirannya sedang kosong. Dan… Ah sungguh aku tidak bisa membayangkan hal-hal yang akan terjadi.

Kamipun meminta tim Saver untuk mengirimkan bantuan dan mengevakuasi Mbak Visi agar diangkut menggunakan tandu atau semacamnya. Akan tetapi para Saver tidak bisa mengirimkan tim untuk evakuasi malam itu dan kami harus menunggu sampai besok pagi.

Disitu aku benar-benar merasa bersalah karena  berjalan meninggalkan Mbak Visi. Seharusnya apapun yang terjadi kami semuanya tetap bersama, karena kami berangkatpun berbarengan. Maafin Rieke ya Mbak Vis, karena waktu itu ninggalin Mbak Visi yang lagi kesakitan L

Tama menyampaikan pesan dari Mbak Visi, katanya Mbak Visi minta tolong supaya kami menghubungi Ibunya di Semarang dan menyampaikan bahwa pulangnya harus tertunda. Takutnya Ibunya khawatir menunggu.

Kami segera mencari kertas berisi nomor  hp yang katanya ada di tas kecil yang dibawa Riko. Tetapi  setelah bergotong-royong membongkar-bongkar seluruh tas hasilnya nihil, kamipun bingung. Kami tidak menemukan kertasnya dan berfikiran mungkin masih terbawa Mbak Visi atau Valen di tas yang mereka bawa.

Malam itu rasanya benar-benar campur aduk. Antara cemas dan takut.

Ketika hanya ada aku, Resti, Sifa, dan Mbak Ni di ruangan Saver. Kami memutuskan untuk memasak mi instan, tapi entah kenapa suasana malam itu menjadi semakin horror karena lampu ruangan yang tiba-tiba berkedip-kedip dan ada serangga besar yang jatuh didekat kami dengan cara yang amat mengagetkan. Sungguh mencekam.

Tidak lama kemudian ada seorang Saver yang datang dan mengatakan kalau malam itu akan ada rombongan lain juga yang beristirahat disitu. Sehingga tidurnya harus diatur menyerupai ikan pindang dan sedikit berdesak-desakkan karena rombongannya berjumlah 20 orang. Kami mengangguk setuju dan berfikiran mungkin karena sudah terlalu malam tim Saver tidak mengizinkan pendaki untuk turun ke kota karena jalannya yang terlalu curam, sehingga banyak pendaki yang menumpang beristirahat disitu juga. Tapi ternyata, perkiraan kami salah. Mereka adalah rombongan pendaki yang salah seorang temannya menghilang ketika turun dari puncak Semeru. Aduuuh...., ada kejadian apalagi ini.

Suasana malam itu semakin membuat merinding karena sebelum tidur, kami semua berkumpul di ruangan Saver bersama rombongan 20 orang tadi membentuk sebuah lingkaran, merenung bersama-sama dan membacakan doa agar Daniel, teman mereka yang hilang itu segera ditemukan dan juga untuk Mbak Visi yang sedang cidera semoga kondisinya segera membaik. Malam itu Ranu Pane jadi tidak sedingin biasanya, kami tidur berbalut sleeping bag masing-masing dan menyukupkan diri yang diisi hampir 30 orang di satu ruangan.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara telepon milik tim Saver berdering berkali-kali sekaligus menjadi alarm untuk kita semua agar segera bangun. Ternyata itu adalah telepon dari pihak keluarga pendaki yang hilang dan juga telepon dari media-media yang sudah mengetahui kabar tersebut dan ingin memastikan kebenarannya.

Tiba-tiba Resti yang berada disebelahku mengatakan kalau sewaktu tidur dia memimpikan Daniel. Dia terlihat seperti sedang menangis dan berusaha mencari jalan keluar dari dalam hutan. Di dalam bayangannya, Daniel ini bersosok tinggi besar. Lalu akupun terheran, bagaimana bisa memimpikan seseorang yang bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya dan mengetahui tampilan fisiknya? Apakah ini sebuah pertanda? Kemudian aku mengajak Resti untuk keluar mengisi air sekaligus membersihkan muka. Karena kamar mandi di dalam situ hanya ada satu dan orang yang mengantri lumayan banyak.

Ketika itulah aku melihat suasana diluar tidak seperti biasanya. Sangat ramai dan kudengar-dengar dari beberapa pendaki yang berbincang kalau pendakian mulai hari itu ditutup karena akan diadakan open SAR untuk mencari Daniel.

Di depan ruangan Saver juga ada beberapa polisi beserta anjing pelacak yang sedang disimulasikan untuk mengenali beberapa barang milik Daniel yang terakhir dipakai.

Aku dan Resti berjalan ke arah pos Simaksi tempat pendaftaran. Di situ ditempelkan pengumuman yang diprint di kertas yang memberitahukan kalau pendakian Semeru ditutup, beserta foto-foto terakhir Daniel sewaktu di puncak Semeru sebelum hilang.

“Bener Rieke, ini yang aku mimpiin. Sama kaya gini orangnya, tinggi.” Kata Resti setelah melihat fotonya. Aku ternganga. Takjub. Sungguh mistery.

Kejadian aneh yang lain adalah ketika kami sedang packing dan tidak sengaja menemukan kertas titipan Mbak Visi semalam. Padahal benar-benar sudah dibongkar semua tas dan ada banyak saksi, kertas itu tidak ada. Kenapa pas pagi harinya jadi ada? Itupun masih menjadi mistery sampai sekarang.

Setelah memastikan kalau Mbak Visi sudah dijemput oleh seorang porter, kami bersama yang lain mencari sarapan sambil menunggu.

Sewaktu di warung, kami mendengar berita lagi bahwa ada pendaki wanita asal Jawa Barat yang ditemukan meninggal di area pasir menuju ke puncak akibat kejatuhan batu yang longsor. Juga ada dua korban yang patah tulang di bagian kaki dan tangan yang sedang dievakuasi untuk turun. Ya Tuhan apalagi ini? Banyak sekali musibah yang terjadi hari itu.

Saat itu di Ranu Pane memang sangat ramai, selain dipenuhi oleh para pendaki yang tidak bisa naik karena pendakiannya ditutup, banyak juga mobil tim SAR dan ada juga mobil Ambulans.

Sekitar pukul 11.00 WIB, Mbak Visi akhirnya sampai bersama Valen dan Obam dengan digendong oleh porter yang kukenal baik sampai saat ini bernama Pakde Dul. Alhamdulillah.

 Melihat kondisi kaki Mbak Visi semakin parah sudah membengkak dan seperti lebam dari betis bagian bawah sampai ke pergelangan kakinya, sungguh rasanya aku ingin menangis. Sekali lagi, maafin aku Mbak Visi, waktu itu nggak bisa bantu apa-apa L

Petugas-petugas dan orang-orang disana menyarankan supaya Mbak Visi dibawa naik ambulans saja bersama dengan korban lainnya, mengingat rombongan kami harus pulang naik motor. Dikhawatirkan kondisi Mbak Visi belum kuat. Tetapi ternyata menunggu korban yang lain bisa-bisa sampai sore, karena medan dan jalur yang panjang untuk evakuasi korban dari atas hingga ke Ranu Pane. Akhirnya Mbak Visi memutuskan untuk pulang naik motor saja.

Kebetulan, saat itu akan digelar acara ’50 Pendaki Wanita’ dari brand outdoor lokal yaitu Rei Outdoor untuk menyambut sekaligus merayakan 17 Agustus selama seminggu ke depan. Siang itu sudah terpasang spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan di Ranu Pane. Terbayang kan betapa ramai dan chaos-nya kondisi Ranu Pane saat itu?

Aku yang sebelum berangkat memang juga sudah sempat mendaftar untuk tergabung dalam kegiatan ‘Expedition Women Series’ itu kemudian mencoba menghampiri orang-orang dengan seragam Rei yang ada di depan basecamp Gimbal Alas itu untuk memastikan. Aku memang sudah menjalani proses interview dengan kepala toko cabang Malang dan mendapat konfirmasi kalau keterima untuk bergabung, itulah sebabnya mengapa di awal keberangkatan aku sempat ragu-ragu. Karena waktunya yang hanya berjeda sehari, aku khawatir ketika pulang aku terlanjur lelah dan justru jadi males berangkat lagi. Ternyata, karena kejadian ini aku bahkan belum pulang dan bertemu tidak sengaja dengan tim Rei Outdoor-nya di ranu pane.

Waktu itu aku mendaftar menjadi SPG-nya, yang menjaga stand selama dua minggu di Ranu Pane. Bukan mendaftar sebagai 50 pendaki wanita. Karena kalau menjadi SPG mendapatkan gaji sedangkan kalau menjadi pendaki hanya mendapatkan beberapa peralatan gunung. Dan waktu itu aku lebih membutuhkan uang.

Saat itu aku menceritakan kepada orang-orang dari Rei Outdoor kalau aku baru saja turun dari Ranu Kumbolo dan belum sempat pulang karena ada teman yang harus dievakuasi. Ternyata mereka justru melarang aku untuk pulang, katanya nanti aku akan dapat beberapa pakaian dan diberi kamar penginapan lengkap dengan fasilitas air hangat. Aku juga akan mendapat uang makan setiap harinya, jadi pada akhirnya aku berpisah dengan Mbak Visi dan kawan-kawan yang pulang sore itu untuk menuju ke RS Saiful Anwar dan memeriksakan kakinya.

Karena di Ranu Pane susah sinyal, bahkan tidak ada sinyal sama sekali waktu itu. Aku menitipkan pesan dan minta tolong Sifa menghubungi Mamiku untuk menyampaikan kalau aku masih harus stay di Ranu Pane selama dua minggu lagi. Khawatir banyak berita korban meninggal dan hilang sudah tersebar sedangkan aku masih belum ada kabar hingga dua minggu kedepan bisa membuat orang-orang mencariku. Aku ingat sekali ketika berpisah mereka memberiku body lotion, beberapa kaus kaki cadangan yang belum terpakai, dan beberapa perlengkapan lain untukku seminggu kedepan. Terima kasih banyak geng!

Selama dua minggu aku menghabiskan hari-hariku di Ranu Pane dengan orang-orang baru di lingkungan yang sudah tidak asing. Merasakan kedinginan sepertinya sudah menjadi hobi baru waktu itu, karena setiap hari harus tidur dengan suhu dibawah 10° C. Tidak pernah sedikitpun aku berkeringat sewaktu disana.

Aku membayangkan bagaimana orang-orang Suku Tengger selama ini menjalani hari-harinya di suhu dingin setiap hari dan sulit untuk berkeringat. Maka dari itu, jika diperhatikan kulit wajah mereka lebih kering dan pipinya berwarna merah alami seperti memakai blush on. Tetapi meningkatnya wisatawan ke TNBTS semenjak 2012 ini membuat warga Suku Tengger meningkatkan perekonomian mereka. Bisa dijamin hampir semua penduduk disana setidaknya mempunyai bisnis masing-masing, entah itu menyewakan jeep, penginapan, warung sembako, bensin eceran, yang jelas pendapatan mereka lumayan banyak. Terlihat ketika mereka berbelanja di stand Rei Outdoor waktu itu, seperti tidak khawatir uangnya akan habis.

Dari hari ke hari semakin banyak pendaki yang datang dan memenuhi Ranu Pane serta Ranu Regulo untuk menunggu dibukanya izin pendakian ke Gunung Semeru itu. Banyak sekali pendaki yang dari luar kota dan bahkan luar pulau sudah jauh-jauh datang tetapi tidak bisa mendaki karena masih ada proses pencarian pendaki yang hilang dan belum juga ditemukan.

Hingga akhirnya di hari ke-lima aku mendengar kabar kalau Daniel sudah berhasil ditemukan di dekat Sumber Mani dalam kondisi selamat. Syukurlah! Itu berarti acara pemberangkatan 50 pendaki wanitapun bisa terlaksana secepatnya.

Berkenalan dengan para pendaki lain, akrab dengan warga lokal, petugas-petugas, Saver, orang-orang dari Gimbal Alas termasuk Pak Tarpin (pendaki yang masuk rekor karena berjalan mundur), para porter dan guide, teman-teman dari brand Outdoor Pro, hingga supir-supir jeep disana sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru. Menu makanku bergilir dari warung ke warung setiap harinya supaya tidak bosan, karena hanya ada itu-itu saja disana. Tidak jarang harus berjalan ke arah desa tempat pemukiman warga untuk menumpang mandi jika air hangat disitu sedang bermasalah. Karena tentu saja aku tidak mau mandi dengan air es! Hahaha. Bahkan tidak jarang juga aku tidak mandi dan hanya mencuci muka saja. Itu semua menjadi pengalaman baru buatku, terutama merasakan upacara 17 Agustus bersama warga Suku Tengger di Ranu Pane.

Kira-kira seminggu sekali aku menumpang telepon di warung Bagus (salah satu warung yang paling terkenal di Ranu Pane), untuk menelepon Mami dan menceritakan pengalamanku itu. Karena dari kecil aku memang terbiasa untuk menceritakan apapun yang aku alami sehari-hari, sehingga sangat gatal sekali rasanya ketika tidak bisa setiap hari bercerita. Hanya ada beberapa warung yang mempunyai jaringan telepon. Masih seperti warnet, bayarnya pakai tarif. Kalau tidak salah providernya namanya Ceria dan baru itu saja yang bisa masuk kesana.

Tidak terasa dua minggu kulalui begitu saja, menyenangkan tapi kadang ada juga hal-hal yang membuat kesal selama menjadi SPG karena sempat kesal dengan atasan. Ada juga keunikan-keunikan dari para pendaki yang berusaha mengajak berkenalan dan meminta kontak. Dan tentunya ada pelajaran-pelajaran baru yang aku dapat dari cerita ini.

Kebersamaan itu penting, sangat diharamkan hukumnya meninggalkan teman yang sakit apalagi membiarkannya jalan di belakang. Karena kita tidak akan tau apa yang akan terjadi. Selalu berhati-hati dan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, sebenarnya pendakian ke Gunung Semeru ini hanya boleh sampai Kalimati saja, tetapi kita kadang lebih mementingkan ego untuk muncak daripada mengikuti peraturannya. Karena berfikiran, ‘nanggung udah sampai sini masa sih nggak muncak?’ Ya kan? Padahal tentu saja itu sangat beresiko untuk keselamatan kita. Aku juga hanya pendaki biasa yang masih perlu banyak belajar dari yang lebih berpengalaman. Dan ini menjadi pengalaman ter-seram karena melihat sendiri korban-korban kecelakaan itu secara langsung.

Sewaktu pulang ke Malang, ribuan chat memenuhi handphone-ku yang berisi kekhawatiran teman-teman dan pertanyaan-pertanyaan yang kini aku jawab di dalam cerita ini. Banyak yang menduga-duga apakah aku (naudzubillahimindzalik) termasuk ke dalam korban itu. Karena memang berita korban meninggal itu menjadi trending topic selama seminggu, terlebih lagi korbannya perempuan dan juga berasal dari Jawa Barat. Dan aku belum ada kabar hingga dua minggu lebih semenjak postingan terakhir yang berpamitan untuk naik gunung.

Ada percakapan dengan warga sekitar situ yang aku ingat sampai sekarang,

“Mbak, kemarin pas naik ke Rakum ngerasanya cuacanya lagi dingin nggak?” Tanyanya kepadaku.

“Kayanya pas di Rakum ngga terlalu sih Mas, padahal biasanya kalo musim kemarau gini dingin banget kan ya?”

“Nah, iya itu Mbak. Makanya itu, kayanya udah pertanda, kalau gunungnya lagi nyari korban. Lagi ‘waktunya’..”

Oh No!!

Setelah beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, melihat secara langsung korban-korban kecelakaan dari mendaki gunung, sempat terbesit pikiran apakah ini sebuah peringatan untukku supaya harus berhenti mendaki? Ataukah memang sebuah proses yang harus dilalui dan diambil hikmahnya?

Semoga cerita ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

 

 

Salam hangat,

Rieke Saputri.