Sepertinya aku lebih familiar
dengan UGD deh, tapi kan sebetulnya sama saja ya, IGD atau UGD. Nah, sepanjang
hidupku yang sudah setengah abad ini, seingatku, baru dua kali aku berurusan
dengan IGD.
Pertama waktu akan melahirkan
anak keduaku di RS Karya Bakti Bogor. Saat itu jam 02.00 malam, tiba-tiba
ketubanku pecah. Jadi deh aku dibawa ke IGD, dan selanjutnya langsung dikirim
ke Ruang Bersalin.
Kedua kalinya baru beberapa hari
ini, saat kondisi anak pertamaku sedang payah-payahnya setelah dua minggu
sebelumnya (kata dokter) terkena typhus. Baru juga enakan dua minggu, eh… tepar
lagi.
Sekitar jam 19.00 lebih kami
berangkat ke IGD Syaiful Anwar, sampai RS sekitar jam 20.00 an deh, kemudian
langsung masuk ruang pemeriksaan. Setelah ditanya-tanya sebentar sama dokter
jaganya (bajunya abu-abu), kemudian diambil darahnya dan disuruh buang air kecil untuk periksa
lab. Aku menunggu di kursi di samping kereta dorong anakku.
Selanjutnya kami ditinggalin deh.
Sesekali ada juga yang nyamperin, nanya-nanya. Tapi yang datang beda-beda. Sampai
kira-kira jam 22.00 lebih. Ada petugas yang datang (dokter juga kali, tapi
orangnya bukan yang tadi) yang mengatakan kalau hasil pemeriksaan urine dan
darah tadi sudah keluar. Hasilnya sih bagus, negative semua. Mungkin harus
periksa penyakit dalam aja, katanya. Tapi tadi urinenya terlalu sedikit, jadi
disuruh buang air kecil lagi buat diperiksa ulang.
Sepeninggal dokter tadi, kusuruh
anakku segera minum yang banyak biar bisa cepet buang air kecil dan segera
diperiksa lagi. Sebab kulihat sudah larut malam, mau sampai jam berapa di sini,
pikirku.
Tapi setengah jam kemudian anakku
baru bisa buang air kecil, yang langsung diambil oleh petugas perawat
(sepertinya dari akper ponorogo yang nggak tau lagi kuliah praktek, atau magang,
atau apalah namanya, aku nggak begitu faham dengan kronologi sekolah
kesehatan).
Terus, kami (aku tepatnya) nggak
ngapa-ngapain lagi deh, sebab anakku tidur.
Kereta dorong di sebelah sudah
berganti orang. Tadi ada wanita muda yang ditungguin laki-laki muda (mungkin
suami istri) yang masuknya berbarengan dengan anakku. Sudah berganti
bapak-bapak agak tua yang batuk terus-terusan.
Diantara anakku dan bapak-bapak
itu ada kereta dorong berisi seorang gadis yang terus-terusan muntah. Entah jam
berapa, aku lupa, gadis ini pulang
ditemani laki-laki muda.
Nggak lama, masuk lagi seorang
gadis muda yang tampaknya sakit perut, diantar dua orang gadis sebayanya.
Si bapak-bapak tua tadi akhirnya
pulang ditemani temannya yang juga bapak-bapak tua.
Akhirnya masuk lagi seorang
laki-laki ditemani istrinya (aku kepo, si perempuannya memanggil sayang ke yang
sakit, jadi kusimpulkan mereka suami istri).
Sekitar jam 03.00 pagi, masuk
seorang anak perempuan kecil yang digendong ibunya. Nangis terus, nggak mau
diperiksa dokter, minta pulang.
Seorang dokter perempuan berbaju
abu-abu tampak sabar menangani anak perempuan ini. Tapi yang membantu dia,
masih anak muda (laki-laki) berseragam hijau muda, kelihatan belum terlatih
bagaimana harus menangani anak-anak.
Suasana ruang IGD ini benar-benar
ramai. Banyak sekali pasien yang keluar masuk. Terlebih di sebelah kiri dari
pintu masuk yang sepertinya tempat pasien-pasien yang butuh tindakan segera,
itu banyak sekaliiiii. Kereta dorongnya
sampai berjejalan dan petugas yang menangani tampak kelelahan.
Bahkan waktu pertama masuk tadi,
di sebelah tempat dudukku, ada seorang gadis gendut berseragam hijau muda yang
tertidur karena kelelahan. Setelah sempat tidur sekitar dua jam, dia bangun dan
kembali bertugas.
Aku juga sempat memperhatikan
seorang anak muda berseragam hijau yang wajahnya ada tanda hitam, jalannya
sudah seperti melayang, langkahnya diseret dan wajahnya tampak loyo. Kelihatan
sekali kalau dia amat kecapek’an. Kasihan. Mereka mungkin mahasiswa-mahasiswa
Universitas Kedokteran yang lagi koass.
Selamat berjuang ya kalian para
calon dokter, semoga pengalaman selama koass ini kelak menjadikan kalian para
dokter yang handal. Tapi jangan lupa pada masyarakat kurang mampu, atau yang di
pedalaman, tetap care sama mereka ya…., supaya handal kalian menjadi handal
yang lahir-bathin. Berguna bagi masyarakat banyak dan berpahala buat tabungan
akhirat.
Suasana IGD yang ramai, terang benderang, dan sejuk karena AC ini sungguh tidak membuat takut sama-sekali. Kalau misalnya harus rawat inap di tempat ini, kurasa anakku juga tidak akan menolak. Selama ini yang ada dalam bayangannya kan suasana rumah sakit yang sepi, temaram, dan menakutkan. (Ya memang di kelas yang seperti itu kami mampunya bila seandainya harus nginep, bukan di pavilyun yang nyaman).
Ketika menunggu seperti ini,
memang tidak ada yang dapat kulakukan selain mengamati lalu lalang petugas dan
kesibukan mereka. Mencoba berempati pada para petugas yang super sibuk.
Sesekali terdengar suara wanita
berteriak kencang sekali dari ruang dalam, juga tangis bayi dari arah depan
tempat kami menunggu ini.
Kulihat ada tiga mesin incubator
yang dibawa masuk dengan masing-masing berisi bayi yang ditempeli selang-selang
tau deh apaan.
Satu saat aku mendengar
percakapan yang sayup-sayup sampai ke telingaku (karena jaraknya lumayan jauh),
nampaknya seorang perawat wanita senior yang berkata pada perawat senior
laki-laki:
“Tolong gantiin popoknya pakai
yang baru, sementara bayinya kuangkat/gendong.” Kata yang perempuan. Mereka
berdua ada di depan mesin yang paling ujung. Popok yang dimaksud sepertinya
yang lebar itu, yang biasa buat alas tidur.
Kulihat yang laki-laki segera
menarik popok bekas yang dari jauh terlihat kotor, mungkin bekas buang air
besar si dedek bayi.
Tampak si dedek bayi dibersihkan
kemudian diselimuti pakai popok baru sampai bungkusnya mirip kepompong (sebab
tertutup semua sampai kepalanya), kemudian ditimbang, dimasukkan lagi dalam
mesin dan ditinggal. Sampai lama aku baru agak berpikir, jangan-jangan bayi itu
meninggal, sebab di kedua mesin yang ada, di sana ada keluarganya yang menjaga,
kenapa yang ini ditinggal sendirian?
Ternyata benar. Tidak lama
setelah aku agak ngeh itu, kulihat ada seorang laki-laki muda yang begitu
datang, langsung berdoa di depan mesin itu. Kemudian pergi lagi, dan kembali
bersama dua orang. Satu, seorang wanita yang membawa kain yang lantas
menggendong jenazah bayi dalam pelukannya, dan satu lagi seorang lagi laki-laki
sebaya mereka. Selanjutnya mereka meninggalkan ruangan.
Inna Lillahi Wa Inna Illaihi
Roji’un. Aku tidak kenal mereka, tapi aku ikut merasakan kesedihan mereka
ditinggalkan salah satu anggota keluarganya. Semoga mereka sabar dan ikhlas
menerimanya.
Sekitar jam 04.00 pagi, datanglah
seorang dokter wanita berseragam biru tua yang memperkenalkan diri sebagai
dokter Helena. Dia mengatakan kalau hasil lab anakku semua bagus. PH
bagus. Trombosit juga bagus, 144. Jadi tidak perlu dirawat di RS, boleh
pulang. Hanya diberi obat untuk menurunkan panas, erosi lambung, dan anti
mual/muntah. Tidak ada antibiotic karena belum pasti virus/bakteri apa yang
menyerang. Kalau misalnya masih ada keluhan lagi, disarankan untuk periksa ke
bagian penyakit dalam.
Sekian jam menunggu, tetapi tidak
diketemukan sakit apa? Kulihat wajah anakku kecewa.
“Masak sudah periksa darah tapi
gak tau sakit apa sih Mie? Udah tangan jadi sakit semua dicoblos begini….”
Katanya. Aku diam saja, tidak puas juga sih, tapi aku juga mengantuk. Selama
ini anakku tuh nggak pernah mau dibawa ke dokter karena takut jarum. Dia nggak
mau diambil darahnya atau infuse atau apapun lagi yang berhubungan sama jarum
suntik.
Seorang perawat menghampiriku dan
menyerahkan segepok berkas, menyuruhku menyelesaikan administrasi di depan,
kemudian nanti akan dijelaskan lagi sama dia.
Sekitar jam setengah enam pagi,
semua beres. Aku menelpon taxi dan kamipun otw pulang. Sudah. Gitu aja.
Malang 5 Oktober 2016