Senin, 07 November 2016

IGD = UGD



Sepertinya aku lebih familiar dengan UGD deh, tapi kan sebetulnya sama saja ya, IGD atau UGD. Nah, sepanjang hidupku yang sudah setengah abad ini, seingatku, baru dua kali aku berurusan dengan IGD.
Pertama waktu akan melahirkan anak keduaku di RS Karya Bakti Bogor. Saat itu jam 02.00 malam, tiba-tiba ketubanku pecah. Jadi deh aku dibawa ke IGD, dan selanjutnya langsung dikirim ke Ruang Bersalin.

Kedua kalinya baru beberapa hari ini, saat kondisi anak pertamaku sedang payah-payahnya setelah dua minggu sebelumnya (kata dokter) terkena typhus. Baru juga enakan dua minggu, eh… tepar lagi.
Sekitar jam 19.00 lebih kami berangkat ke IGD Syaiful Anwar, sampai RS sekitar jam 20.00 an deh, kemudian langsung masuk ruang pemeriksaan. Setelah ditanya-tanya sebentar sama dokter jaganya (bajunya abu-abu), kemudian diambil darahnya  dan disuruh buang air kecil untuk periksa lab. Aku menunggu di kursi di samping kereta dorong anakku.

Selanjutnya kami ditinggalin deh. Sesekali ada juga yang nyamperin, nanya-nanya. Tapi yang datang beda-beda. Sampai kira-kira jam 22.00 lebih. Ada petugas yang datang (dokter juga kali, tapi orangnya bukan yang tadi) yang mengatakan kalau hasil pemeriksaan urine dan darah tadi sudah keluar. Hasilnya sih bagus, negative semua. Mungkin harus periksa penyakit dalam aja, katanya. Tapi tadi urinenya terlalu sedikit, jadi disuruh buang air kecil lagi buat diperiksa ulang.

Sepeninggal dokter tadi, kusuruh anakku segera minum yang banyak biar bisa cepet buang air kecil dan segera diperiksa lagi. Sebab kulihat sudah larut malam, mau sampai jam berapa di sini, pikirku.
Tapi setengah jam kemudian anakku baru bisa buang air kecil, yang langsung diambil oleh petugas perawat (sepertinya dari akper ponorogo yang nggak tau lagi kuliah praktek, atau magang, atau apalah namanya, aku nggak begitu faham dengan kronologi sekolah kesehatan).

Terus, kami (aku tepatnya) nggak ngapa-ngapain lagi deh, sebab anakku tidur.
Kereta dorong di sebelah sudah berganti orang. Tadi ada wanita muda yang ditungguin laki-laki muda (mungkin suami istri) yang masuknya berbarengan dengan anakku. Sudah berganti bapak-bapak agak tua yang batuk terus-terusan.

Diantara anakku dan bapak-bapak itu ada kereta dorong berisi seorang gadis yang terus-terusan muntah. Entah jam berapa, aku lupa, gadis ini pulang  ditemani laki-laki muda.
Nggak lama, masuk lagi seorang gadis muda yang tampaknya sakit perut, diantar dua orang gadis sebayanya.

Si bapak-bapak tua tadi akhirnya pulang ditemani temannya yang juga bapak-bapak tua.
Akhirnya masuk lagi seorang laki-laki ditemani istrinya (aku kepo, si perempuannya memanggil sayang ke yang sakit, jadi kusimpulkan mereka suami istri).

Sekitar jam 03.00 pagi, masuk seorang anak perempuan kecil yang digendong ibunya. Nangis terus, nggak mau diperiksa dokter, minta pulang.
Seorang dokter perempuan berbaju abu-abu tampak sabar menangani anak perempuan ini. Tapi yang membantu dia, masih anak muda (laki-laki) berseragam hijau muda, kelihatan belum terlatih bagaimana harus menangani anak-anak.

Suasana ruang IGD ini benar-benar ramai. Banyak sekali pasien yang keluar masuk. Terlebih di sebelah kiri dari pintu masuk yang sepertinya tempat pasien-pasien yang butuh tindakan segera, itu banyak sekaliiiii.  Kereta dorongnya sampai berjejalan dan petugas yang menangani tampak kelelahan.

Bahkan waktu pertama masuk tadi, di sebelah tempat dudukku, ada seorang gadis gendut berseragam hijau muda yang tertidur karena kelelahan. Setelah sempat tidur sekitar dua jam, dia bangun dan kembali bertugas.
Aku juga sempat memperhatikan seorang anak muda berseragam hijau yang wajahnya ada tanda hitam, jalannya sudah seperti melayang, langkahnya diseret dan wajahnya tampak loyo. Kelihatan sekali kalau dia amat kecapek’an. Kasihan. Mereka mungkin mahasiswa-mahasiswa Universitas Kedokteran yang lagi koass. 

Selamat berjuang ya kalian para calon dokter, semoga pengalaman selama koass ini kelak menjadikan kalian para dokter yang handal. Tapi jangan lupa pada masyarakat kurang mampu, atau yang di pedalaman, tetap care sama mereka ya…., supaya handal kalian menjadi handal yang lahir-bathin. Berguna bagi masyarakat banyak dan berpahala buat tabungan akhirat.

Suasana IGD yang ramai, terang benderang, dan sejuk karena AC ini sungguh tidak membuat takut sama-sekali. Kalau misalnya harus rawat inap di tempat ini, kurasa anakku juga tidak akan menolak. Selama ini yang ada dalam bayangannya kan suasana rumah sakit yang sepi, temaram, dan menakutkan. (Ya memang di kelas yang seperti itu kami mampunya bila seandainya harus nginep, bukan di pavilyun yang nyaman).

Ketika menunggu seperti ini, memang tidak ada yang dapat kulakukan selain mengamati lalu lalang petugas dan kesibukan mereka. Mencoba berempati pada para petugas yang super sibuk.
Sesekali terdengar suara wanita berteriak kencang sekali dari ruang dalam, juga tangis bayi dari arah depan tempat kami menunggu ini.

Kulihat ada tiga mesin incubator yang dibawa masuk dengan masing-masing berisi bayi yang ditempeli selang-selang tau deh apaan.
Satu saat aku mendengar percakapan yang sayup-sayup sampai ke telingaku (karena jaraknya lumayan jauh), nampaknya seorang perawat wanita senior yang berkata pada perawat senior laki-laki:
“Tolong gantiin popoknya pakai yang baru, sementara bayinya kuangkat/gendong.” Kata yang perempuan. Mereka berdua ada di depan mesin yang paling ujung. Popok yang dimaksud sepertinya yang lebar itu, yang biasa buat alas tidur.
Kulihat yang laki-laki segera menarik popok bekas yang dari jauh terlihat kotor, mungkin bekas buang air besar si dedek bayi.

Tampak si dedek bayi dibersihkan kemudian diselimuti pakai popok baru sampai bungkusnya mirip kepompong (sebab tertutup semua sampai kepalanya), kemudian ditimbang, dimasukkan lagi dalam mesin dan ditinggal. Sampai lama aku baru agak berpikir, jangan-jangan bayi itu meninggal, sebab di kedua mesin yang ada, di sana ada keluarganya yang menjaga, kenapa yang ini ditinggal sendirian?

Ternyata benar. Tidak lama setelah aku agak ngeh itu, kulihat ada seorang laki-laki muda yang begitu datang, langsung berdoa di depan mesin itu. Kemudian pergi lagi, dan kembali bersama dua orang. Satu, seorang wanita yang membawa kain yang lantas menggendong jenazah bayi dalam pelukannya, dan satu lagi seorang lagi laki-laki sebaya mereka. Selanjutnya mereka meninggalkan ruangan.

Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Roji’un. Aku tidak kenal mereka, tapi aku ikut merasakan kesedihan mereka ditinggalkan salah satu anggota keluarganya. Semoga mereka sabar dan ikhlas menerimanya.

Sekitar jam 04.00 pagi, datanglah seorang dokter wanita berseragam biru tua yang memperkenalkan diri sebagai dokter Helena. Dia mengatakan kalau hasil lab anakku semua bagus. PH bagus.  Trombosit juga bagus,  144. Jadi tidak perlu dirawat di RS, boleh pulang. Hanya diberi obat untuk menurunkan panas, erosi lambung, dan anti mual/muntah. Tidak ada antibiotic karena belum pasti virus/bakteri apa yang menyerang. Kalau misalnya masih ada keluhan lagi, disarankan untuk periksa ke bagian penyakit dalam.

Sekian jam menunggu, tetapi tidak diketemukan sakit apa? Kulihat wajah anakku kecewa.
“Masak sudah periksa darah tapi gak tau sakit apa sih Mie? Udah tangan jadi sakit semua dicoblos begini….” Katanya. Aku diam saja, tidak puas juga sih, tapi aku juga mengantuk. Selama ini anakku tuh nggak pernah mau dibawa ke dokter karena takut jarum. Dia nggak mau diambil darahnya atau infuse atau apapun lagi yang berhubungan sama jarum suntik.

Seorang perawat menghampiriku dan menyerahkan segepok berkas, menyuruhku menyelesaikan administrasi di depan, kemudian nanti akan dijelaskan lagi sama dia.

Sekitar jam setengah enam pagi, semua beres. Aku menelpon taxi dan kamipun otw pulang. Sudah. Gitu aja.


Malang 5 Oktober 2016