Sabtu, 25 Mei 2013

Indonesia Itu Indah

                                               Pertemuan Pertama TMII 10 Februari 2013



Indonesia itu indah. Semua orang juga tahu itu, mulai dari anak kecil sampai orang Luar Negri juga tahu itu. Karena di Pelajaran Sekolah juga selalu diungkapkan keindahan Indonesia. Tapi sebagian besar yang dimaksud indah di dalam kalimat tadi biasanya lebih menyorot pada arti harafiah indah untuk pemandangan alam yang tidak dapat dipungkiri kalau pemandangan di seluruh Indonesia memang sangat indah.

Kalau buatku, aku benar-benar dapat merasakan dan melihat Indonesia Indah itu adalah ketika dulu masih tinggal di Kompleks TNI AL Kenjeran Surabaya, ketika aku masih remaja. Keindahannya bukan hanya tertulis secara teori seperti tulisan di buku pelajaran SD.

Di Kompleks TNI AL Kenjeran ini yang kebetulan juga bertetangga dengan Kompleks TNI AU, aku pernah merasakan suasana kebersamaan, kekeluargaan, dan toleransi antar berbagai suku-bangsa dan agama yang indah. Karena di sana pula tinggal berbagai suku-bangsa dari Sabang sampai Merauke yang menganut berbagai macam agama dan dapat hidup bersama dengan damai. (Ada 4 rumah peribadatan di sana : Masjid, Gereja Katholik, Gereja Protestan, dan Pura)
Tidak pernah ada rasa takut, iri, canggung, ataupun syak wasangka yang lain pada tetangga sebelah biarpun dia berasal dari Makasar, Manado, Batak, Toraja, Maluku, Jawa, Padang, Bali, ataupun dari daerah lain tiap kali masing-masing sedang  melaksanakan ibadahnya.
Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, kami yang tergabung dalam Wadah Karang Taruna tidak pernah membeda-bedakan dalam bergaul. (Yang pacaran lintas suku atau agama juga banyak) Semua tumplek blek jadi satu dan selalu merayakan kegiatan apapun secara bersama-sama.

Sekarang, setelah sekian puluh tahun berlalu,  kami yang dulu adalah para remaja itu dan telah tinggal terpisah-pisah serta tersebar di seluruh penjuru Indonesia, telah dipertemukan kembali dengan saudara-saudara masa remaja dulu lewat bantuan tekhnologi internet. Kami ingin meneruskan rasa kebersamaan yang indah dulu pada anak-anak kami, supaya di dalam hatinya tidak teracuni semua kata-kata provokator yang dapat memecah belah kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Tak Kenal maka Tak sayang. Kalimat itu nyata benar dalam kehidupan bersosialisasi sekarang. Termasuk di tempat tinggalku yang sekarang. Komunikasi sekedar basa-basi, semuanya tidak keluar dari hati. Masing-masing lebih suka hidup berkelompok dalam golongannya saja. Seandainya saja tidak ada rasa saling curiga. Seandainya saja masing-masing dapat saling menerima, pasti akan timbul rasa sayang itu. Aku bangga pernah menjadi bagian dari kalian, saudara-saudaraku ex Kompleks TNI AL – AU Kenjeran Surabaya.

Selasa, 21 Mei 2013

Curhat Boleh Dong….




Ketika rasa lelah menyergap…
Ketika rasa penat menguasai jiwa….
Langkahpun seolah merayap…
Mengabaikan semua asa…
Banyak hal  yang terjadi
Tak selalu sama dengan mimpi…
……..
……..

Ibaratnya sebuah truk, sekekar apapun bentuknya, sekuat apapun tenaganya, kalau sudah tua dan tiap hari selalu dimanfaatkan tenaganya, pasti dong sesekali ngadat. Mogok, nggak mau jalan. Perlu sebuah truk lain, kalau perlu truk tronton untuk mendorong atau menariknya supaya mau jalan lagi.

Aku juga sering begitu, seperti truk itu. Sering swak di dalam jiwaku, dan kalau sudah begitu… aku perlu rayuan buat asupan hatiku… hehehe…
Sebetulnya sih bukan rayuan bentuknya, tapi lebih banyak ke bentuk support untuk mendorong lagi langkahku yang mulai melayu. Tapi sayangnya tidak banyak kata-kata yang dapat menembus hatiku karena aku termasuk golongan yang berkepala batu. Apalagi kalau kata-katanya berbau sok tau…., huuuu……

Ada beberapa kalimat yang dapat menyentuhku dan dapat membesarkan hatiku setiap kurasakan galauku, walaupun tak pernah kuceritakan  apa mauku padanya. Seperti yang kutulis di Status FB-ku hari ini.
“Setiap langkahmu yang tak berjejak, kelak akan mendapatkan pahala yang melebihi tingginya gunung..”
“Setiap langkahmu ke sana ke mari, itu sama artinya dengan sedekahmu di dunia...”
(setiap langkahmu dalam mencari nafkah untuk keluarga)

Atau kadang seperti ini, “Kenapa harus disesali kalau episode hari ini adalah kamu memang harus mengalami itu.  Scenario untuk besok pasti akan berbeda.”


Recharge itu memang dapat kutemukan di mana saja. Kadang dari sebaris kalimat di Koran, kadang dari sekelebat dialog di TV, kadang dari kalimat-kalimat tautan di FB, kadang juga dari sepenggal SMS  seperti ini.

Aku pernah mengatakan kalau aku suka ngobrol dengannya, dan dia bilang kalau dia jadi ge-er mendengarnya karena katanya justru banyak orang tidak suka mendengar dia ngomong. Huft!! Apa itu artinya aku tidak normal, karena ternyata aku menyukai yang orang banyak tidak suka?!

Wah, kalau yang seperti itu sih EGP. Aku tidak merasa perlu menanyakan pada orang lain apakah mereka menerima atau tidak gayaku ini. Kalau mau tahu aku ya aku ini begini, bukan begitu….

……………………………………………………………………………………………………………….................................……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..


Wah curhatku jadi nggak focus dan ber-ujung gara-gara ada tukang sayur matang lewat nih. Aku mau beli sayur dulu supaya irit gas karena nggak perlu masak… hehehe…..




Bogor, 22 Mei 2013
(semoga dia nggak semakin ge-er membaca tulisan ini…., itu juga kalau dia baca, hehehe…)
                                                                                                                    

Sabtu, 18 Mei 2013

Menjemput Bola



Dalam satu kesempatan aku harus mengubek-ubek wilayah Lenteng Agung Jakarta Selatan untuk urusan kerjaanku seperti biasa. Lokasi tujuan kebetulan tidak terlalu jauh dari Stasiun Lenteng Agung, sehingga  cukup berjalan kaki saja kami sudah sampai.

Tidak seperti biasanya, ternyata kali ini aku dan temanku harus lima kali kembali ke wilayah yang sama dalam satu episode shooting…. (hehehe…), demi memenuhi target survey. Biasanya paling-paling kami harus kembali tiga kali saja. Itupun kami sudah merasa sendiri kalau orang-orang yang tinggal di wilayah itu pasti sudah bosen melihat wajah kita yang tiap hari hilir mudik di sana.

Di hari terakhir episode shooting kali ini, ada hal yang sempat menarik perhatianku tetapi sayangnya tidak sempat kudalami kisahnya karena aku sedang berhadapan dengan responden.

Saat itu aku sedang interview seorang gadis muda berusia 18 tahun, seumuran anak gadisku. Anak ini cantik berkulit bersih yang sehari-harinya membantu ibunya berdagang sayuran.
Tiba-tiba datanglah seorang waria yang menawarkan jasa potong rambut di tempat. Iya, ternyata waria itu adalah tukang potong rambut keliling.
“Murah koq Teh…, cuma sepuluh ribu…, mau ya dirapihin?!” katanya menawarkan pada ibu gadis itu.
“Emang lu bias model apaan?” tanya si ibu,
“Ya Teteh maunya model apa? Kayak Teteh itu juga boleh…, pasti nanti kelihatan lebih seger deh…” rayu waria itu sambil menunjuk tetangga si ibu yang kebetulan sedang ikut meriung di situ.
Penasaran kutengok waria itu yang berbedak cukup tebal dengan riasan  lengkap. Rambut kritingnya yang sepanjang leher hanya dirapihkan dengan sebuah bando/bandana dari kain. Sepasang anting-anting berwarna menyala tampak menghiasai kedua telinganya.
Pandanganku mengawasi tubuhnya yang ternyata tetap berdandan seperti laki-laki pada umumnya. Memakai setelan kaos lengan pendek dan celana panjang dari bahan (bukan jeans) serta sepasang sandal jepit. Dadanya datar saja tidak tampak memakai Bra ataupun disumpelin sesuatu.
Terus terang penampilannya serba tanggung, sebab biasanya aku sering menjumpai waria yang berdandan lengkap termasuk memakai rok, dada menyembul,  dan sepatu hak tinggi yang akan berangkat ngamen naik Kereta Ekonomi.

Tetapi bukan itu alasanku tertarik mengamati waria ini. Bukan penampilannya. Sebab aku ingat, waktu di Surabaya dulu aku juga punya kenalan waria (mendiang Pangky Kentut, pendiri Perwakos) yang tidak  mengenakan baju wanita setiap aku ketemu dengannya di DKS (Dewan Kesenian Surabaya) Jalan Pemuda.

Rasa tertarikku adalah ketika mendengar waria ini berkeliling pemukiman menawarkan jasanya memotong rambut dari rumah ke rumah. Dia tidak hanya duduk diam menunggu pelanggan di satu tempat. Dia menerapkan taktik menjemput bola yang kurasa penghasilannya pasti juga lumayan. Memang sih, dia tadi tidak menawarkan layanan lain kecuali gunting. Jadi peralatan yang dia bawapun hanya sisir, gunting, kaca, botol penyemprot air, dan kain untuk menutup tubuh.
Tidak sampai setengah jam dia sudah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan pergi lagi ke pelanggan yang lain. Masih lebih lama waktu yang kuperlukan untuk mengorek keterangan dari seorang responden, pikirku. Sebab ketika aku selesai, waria itu entah sudah sampai di mana langkahnya.
Sungguh, aku kagum pada pola pikirnya.

Sayang aku tidak sempat memotret dan bertanya-tanya sedikit padanya karena aku sendiri sedang sibuk. Tapi suatu saat kalau aku bertemu lagi hal-hal menarik seperti ini, aku harap aku sempat mengambil gambarnya.



Bogor, 18 Mei 2013

Rabu, 15 Mei 2013

Mang Bony Tukang Buah



Sudah bertahun-tahun si Emang berdagang buah keliling yang kalau pagi selalu mangkal dulu di persimpangan ujung jalan depan rumahku, dan sudah bertahun-tahun itu pula aku selalu membeli buah dari si Emang ini tanpa pernah tahu atau menanyakan siapa namanya.

Emang ini berjualan buahnya tidak selalu sama setiap harinya karena dia langsung mengambil dari petaninya, sehingga apa yang dia jual ya yang ada di kebun saat itu. Tergantung sedang musim apa sekarang.

Sungguh aku merasa lalai sampai tidak mau tahu identitas seseorang yang selama ini aktif berinteraksi denganku. Selama ini aku sudah merasa cukup dengan memanggilnya ‘Mang’ saja, padahal siapapun dia yang ada di dunia ini, pasti akan merasa lebih berarti (ada di dunia) kalau seseorang lainnya tahu siapa namanya. Betul kan?

Ada satu lagi, padahal si Emang ini baik banget orangnya. Biasanya nih kalau pas dia bawa Buah Jambu Biji Merah, aku kan beli se-kilo yang isinya paling cuma empat buah dengan harga Lima Ribu Rupiah.  Nah, itu selalu ditambah dua buah lagi sama dia... (mungkin dia tahu kalau aku orang susah, hehehe....), jadi kalau ditimbang lagi ya beratnya jadi sekitar sekilo setengah.

 Pernah dengar kalimat ‘Apalah Arti Sebuah Nama?’ dari William Shakespeare? ‘What’s in a name? Di sana sedikitnya terkandung arti, bahwa di balik arti nama (baik, gagah, bijaksana, dan lain-lain) yang sesungguhnya itu akan menjadi tidak berarti atau bermakna bila pemiliknya tidak melakukan hal-hal baik di dunia ini. Di dalam sebuah nama yang diberikan orang tua pada anaknya selalu terkandung harapan dan doa untuk anak tersebut. Itulah sebabnya aku berpikir kalau nama seseorang itu sangatlah penting sebagai identitas diri. Emang mau kalau misalnya anda yang bernama Anthony saya panggil Miskun?

Nah, kembali pada Tukang Buah langgananku tadi. Sambil meminta Pisang Lampung se-sisir dan Singkong se-kilo, aku berkata padanya, “Mang, tolong berdiri di situ deh… mau saya foto.. “
Si Emang tertawa sambil menuruti permintaanku, “Buat apa sih Teh?” tanyanya.
“Sudahlah, buat apa aja…. “ kataku sambil ‘klik’ pakai HP-ku.
“Eh, dari dulu saya koq nggak tahu sih siapa namanya Mang?” tanyaku.
“Yah, si Teteh sih…., orang-orang juga banyak yang tahu nama saya…” katanya.
“Iya, makanya sekarang saya nanya…., maafin ya…, namanya siapa?” tanyaku.
“Bony teh, nama saya Bony…” katanya.
“Siapa?” aku mengernyitkan kening takut salah dengar.
“Bony…” jawabnya.
Nah lo! Jangan tertawa ataupun heran mendengar Tukang Buah Langgananku yang orang kampung  itu ternyata bernama ‘Bony’. Kita tidak tahu kan apa yang diharapkan dan menjadi doa orang tua Mang Bony dulu untuk anaknya ini?

Oke deh semuanya, karena sedari tadi perutku sudah berisik minta diisi, maka aku akan sarapan Pisang  Lampung dulu. Nanti siang giliran Singkong Kukus yang akan menjadi santapanku (itu kalau aku tidak ke mana-mana, kalau ternyata aku harus keluar rumah, ya Singkongnya harus menunggu sampai nanti aku pulang). Selamat beraktifitas buat semuanya.


Bogor, 16 Mei 2013

Senin, 13 Mei 2013

Sekali Lagi Tentang KRL Ekonomi



Pernah lihat iklan salah sebuah produk minuman di TV yang orangnya sampai miring-miring itu kan? Nah, hal yang seperti itu hampir setiap hari terjadi padaku setiap naik kereta ekonomi saat pulang kerja. Hanya saja bedanya kalau di TV itu orangnya jalan sambil miring karena tubuhnya mulai swak dan harus discharge dengan minuman itu, nah kalau aku yang berdiri di antara bejubelnya manusia itu bisa jadi miring tuh karena desakan demi desakan yang kian menghebat di setiap stasiun yang selalu bertambah terus penumpangnya.

Tadipun begitu. Tubuhku semakin lama semakin miring sampai kurasa kira-kira 30 derajat. Tapi eh ternyata kemiringan tubuhku masih bertambah lagi mendekati 45 derajat yang otomatis membuat kakikupun terangkat.
Sambil mencoba meraih pegangan nun jauh di tepi (aku berada di tengah-tengan gerbong), akupun berucap, “Kaki, kaki dong, kaki…. “ kataku sambil mencoba menyeimbangkan tubuh.
“Hehehe…, kakinya kenapa mbak, ketuker ya….” kata bapak-bapak yang berdiri tepat di sebelah kananku dan nyaris kusenderin karena tubuhku yang miring.
“Ketinggalan pak, habisnya makin lama makin miring sih…. Tuh, kaki saya ketinggalan di sana….” jawabku menimpali candanya. Heran ya, dalam kondisi seperti itu masih pada bisa bercanda. Padahal suasana pengap, sesak, gerah dan bau seribu bau keringat yang bercampur aduk dengan pengharum ruangan yang dijajakan pedagang asongan itu mampu mengaduk-aduk isi perut.

Kondisi kereta ekonomi yang masih amat dibutuhkan masyarakat seperti aku ini kenapa malah harus dikurangi frekwensinya sehingga membuat pengguna kereta ekonomi ini jadi terkonsentrasi di waktu-waktu yang sama? Kenapa comuter yang harus diperbanyak bila keberadaannya masih memberatkan rakyat kebanyakan?

Sekali lagi, kasihan masyarakat yang selalu jadi korban pemilahan kebijakan yang kebanyakan hanya berdasarkan kira-kira dan apa kata asisten, bukannya berdasar pada data riil yang ada di lapangan. Mbok yao… para pejabat yang bersangkutan turun langsung di saat-saat jam berangkat atau pulang kerja, bukannya di siang hari di mana kondisi penumpang yang sudah sepi.
Kondisi normal adalah kondisi kereta di saat penumpang berangkat dan pulang kerja. Kondisi di luar itu bisa dibilang tidak normal atau rrrrruaaaaarrrrrrr…. biasa.

Waktu berangkat pagi tadi juga kereta ekonomi sudah mengalami keterlambatan yang rruuuaaarrrr biasa (aku curiga kereta bukan terlambat, tapi jam-jam itu mungkin kereta ekonomi mulai dihapuskan), sehingga membuatku harus menunggu berjam-jam di stasiun.
Kereta Comuter sih tetap lancar jaya, tidak ada keterlambatan ataupun  pemberangkatan yang dibatalkan. (memang maunya kan gitu, penumpang beralih ke kereta comuter yang jauh lebih mahal harganya disbanding kereta ekonomi).

Dalam kondisi sedikit kesal karena capek menunggu, maka akupun mengeluarkan HP-ku.
“Huft… (ga boleh ngeluh ya?), karena dua pemberangkatan ekonomi ternyata dibatalkan dan baru akan ada jam 12.47 nanti…. “ tulisku di SMS dan mengirimkannya pada teman ngobrol rahasiaku. Hehehe…., kalau orang lain punya pengagum rahasia, maka aku punya teman ngobrol rahasia….
“(Keluh…), setting pikiran bahwa ini memang scenario yang akan dijalani pada episode tayangan tanggal 13 Mei 2013. Apa susahnya? Gampang toh?” balasnya.
Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa damai hidupnya karena dia menjalani semua yang terjadi seperti air mengalir saja. Semua sudah ada yang mengatur, dan datangnya hanya satu dari Dia, katanya. (ah, andaikan saja aku punya keikhlasan yang sama dalam menjalani hidup, pikirku).

Kembali pada kondisi kereta ekonomi yang menurutku memang di setting seperti ini. Kereta mulai banyak yang mogok sehingga mengacaukan jadwal pemberangkatan yang kemudian diiringi pembatalan-pembatalan. Yang akhirnya membuat suasana naik kereta ekonomi menjadi amat tidak nyaman dan ujung-ujungnya harus naik Comuter Line. Huft!!

“Siapa suruh jadi orang miskin?” sayup-sayup terngiang kata-kata candaan dari sesama  pengguna kereta ekonomi. Ya, siapa suruh…., pikirku.


Bogor, 13 Mei 2013