Sabtu, 08 Februari 2014

Nenekku


                                                                             nenekku




Ini nenekku, namanya Astoechah, menurut KTP lahir di Mojokerto Jawa Timur pada tanggal 30 Juni 1925. Kalau tahun kelahirannya aku yakin benar, yang tidak kuyakin adalah tanggal dan bulan kelahirannya. Aku yakin tahun lahirnya memang 1925 karena ibuku pernah cerita kalau selisih usia ibu dan nenekku adalah 20 tahun.

Kalau dihitung sampai tahun ini, usia nenekku sudah menginjak 88 tahun. Usia yang cukup renta untuk ukuran orang kita, beda dengan orang Barat yang di usia 90 tahun tubuhnya masih terlihat segar. (Ini kuambil rata-rata saja ya, walaupun tidak menutup kemungkinan kalau masih ada juga nenene-nenek seusia nenekku di sekitar kita ini yang masih terlihat bugar).

Di kondisinya saat ini, kalau dibilang pikun sih kurasa nenekku belum terlalu pikun. Beliau hanya kalah di pendengaran. Nenekku ini masih aktif melakukan semua aktifitas kehidupannya sehari-hari mulai dari belanja di tukang sayur, memasak, dan mencuci bajunya sendiri. Ini semua adalah keinginannya untuk tetap melakukan semua aktifitasnya sendiri. Sebab pernah di satu saat, beliau ikut tinggal di rumahku yang beliau tidak kubiarkan melakukan semua aktifitas itu. Beliau bangun tidur sudah kusiapkan sarapan di meja, mencuci juga sudah kukerjakan, jadi beliau tinggal duduk-duduk saja menikmati hari mulai dari pagi sampai malam.

Eh, ternyata kondisi itu hanya bertahan selama 3 bulan. Di tempat duduknya sehari-hari, setiap beliau sudah pergi tidur, aku selalu menemukan secarik kertas yang bertuliskan kata-kata seperti berikut : aku di sini capek, ngantuk terus, di sini nggak boleh apa-apa, di sini nggak boleh ke mana-mana, aku pingin pulang, dan lain-lain kalimat-kalimat senada yang ditulis dengan menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Jawa. Menginjak bulan ke empat, beliau minta pulang ke rumah ibuku di mana semua aktifitas masih dapat dilakukannya dengan bebas.

Oh iya, nenekku ini memang dapat membaca dan menulis latin dengan lancar karena di jaman Belanda dulu, beliau masih sempat mengecap pendidikan setara SD  di jaman sekarang. Malah dulu pernah cerita, ketika pulang dari sekolah ada anak laki-laki yang suka padanya, maka dia akan berubah jadi galak. Misalnya nih, nenekku pulang sekolah memakai payung karena hujan, eh… tiba-tiba ada anak laki-laki yang menggodanya karena sebenarnya memang suka, si anak laki-laki itu ikut jalan di sampingnya dan menumpang payung. Maka, langsung deh itu payung ditutup sama nenekku dan mereka bertengkar di bawah hujan.

Waktu jaman Jepangpun katanya beliau sempat bekerja di pabrik gula sebagai mandor. Sempat juga ditaksir atasannya tapi ditolak. Beliau juga mahir membatik dan bermain karawitan di posisi Memainkan Bonang kalau nggak salah ingat. Jadi masa mudanya memang selalu aktif berkegiatan di luar rumah.

Sekarang, walaupun belum pikun, banyak kata-katanya yang terkadang memang agak lebay. Tapi aku berusaha memahaminya sebagai ungkapan rasa ingin diperhatikan karena di usia tuanya ini beliau merasa kesepian. (Telinga berkurang fungsinya itu membuat sepi). Usianya hampir 90 tahun lho! Di mana sudah masanya beliau kembali ke sifat anak-anak.

Denganku sendiri, sampai saat ini belum ada masalah (dan jangan pernah bermasalah atau aku menganggapnya sebagai masalah), karena selama ini terus terang saja aku adalah cucu kesayangannya. Aku cucu pertama yang sejak bayi dirawat oleh beliau, dan ini yang lebih penting: sejak aku menikah, aku jarang pulang, sehingga intensitas pertemuanku dengan beliau juga jarang sekali. Kan kata orang, semakin kita jarang bertemu semakin harumlah nama kita, tapi kalau semakin sering bertemu, maka akan semakin jeleklah diri kita…, hehehe…., iya apa iya sih?

Kalau dengan ibuku dan adik-adikku yang selama ini sering sekali bertemu, beberapa kali terjadi konfrontasi antara mereka, perang urat syaraf dan perang dingin sering terjadi…., hehehe… Tapi yaaah, itulah tadi kubilang, sifat beliau sudah kembali ke anak-anak, jadi mestinya yang lebih muda memahamilah. Biarkan saja semua kata-kata dan tindakannya yang mungkin agak kurang mengena di hati, dengarkan saja tapi jangan dimasukkan ke hati. Coba bersikap netral dan jangan berusaha membalas supaya tidak semakin kacau. Namanya juga orang tua. (Tidak menyalahkan juga sih kalau terkadang timbul emosi ketika mendengar kata-kata yang tidak sesuai kenyataan…)

Di lingkungan rumah ibuku, nenekku ini lumayan terkenal. Dari ujung ke ujung banyak orang yang mengenalnya. Gara-garanya ya itu tadi, beliau masih suka ke sana kemari sendiri, belanja, ambil pensiun, dan lain-lain. Sehingga banyak orang baru juga yang tidak tahu asal-mula cerita, sering mengeluarkan kalimat seperti ini : kasihan sekali ya orang tua, semua-mua harus dikerjakan sendiri.  Banyak orang yang memberinya makanan, pakaian, uang, dll. Intinya ibuku merasa seolah disalahkan karena menterlantarkan orangtuanya. Akhirnya ibukupun marah-marah ketika hal tersebut sampai ke telinganya.

Ketika aku diceritakan semua itu, aku sih mendengarkan saja tanpa berkomentar. Berusaha tidak menyalahkan ke sana atau ke sini. Habis, mau gimana lagi? Apa kita harus membungkam dan menjelaskan pada semua orang kondisi yang sebenarnya? Kurasa sih tidak perlu, biarkan saja mereka dengan pikirannya masing-masing. Kalau mereka wise, mereka pasti tahu, bahwa yang ada di depannya adalah orang tua yang sifatnya sudah kembali ke anak-anak, sehingga banyak kata-katanya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya…. Berikan perhatian secukupnya tanpa perlu menjudge keluarganya dengan mengatakan kalau keluarganya tidak ada yang perduli pada orang setua ini. Itu saja.

Nah, itu tadi sedikit cerita tentang nenekku yang sudah amat renta, baik fisik maupun pikirannya. Aku hanya ingin berbagi rasa bahwa kelak kitapun akan menjadi tua, akan menjadi reseh dan menyebalkan buat mereka yang lebih muda. Jadi bersiap-siaplah mulai dari sekarang. (Jangan bilang : Aku kelak tidak akan menjadi orangtua yang menyebalkan! Ah,… who's knows?!)



Surabaya, 8 Februari 2013
(otak sedang beku, lemot, dan sama sekali tidak produktif)