nenekku
Ini nenekku, namanya Astoechah,
menurut KTP lahir di Mojokerto Jawa Timur pada tanggal 30 Juni 1925. Kalau
tahun kelahirannya aku yakin benar, yang tidak kuyakin adalah tanggal dan bulan
kelahirannya. Aku yakin tahun lahirnya memang 1925 karena ibuku pernah cerita
kalau selisih usia ibu dan nenekku adalah 20 tahun.
Kalau dihitung sampai tahun ini,
usia nenekku sudah menginjak 88 tahun. Usia yang cukup renta untuk ukuran orang
kita, beda dengan orang Barat yang di usia 90 tahun tubuhnya masih terlihat
segar. (Ini kuambil rata-rata saja ya, walaupun tidak menutup kemungkinan kalau
masih ada juga nenene-nenek seusia nenekku di sekitar kita ini yang masih
terlihat bugar).
Di kondisinya saat ini, kalau
dibilang pikun sih kurasa nenekku belum terlalu pikun. Beliau hanya kalah di
pendengaran. Nenekku ini masih aktif melakukan semua aktifitas kehidupannya
sehari-hari mulai dari belanja di tukang sayur, memasak, dan mencuci bajunya
sendiri. Ini semua adalah keinginannya untuk tetap melakukan semua aktifitasnya
sendiri. Sebab pernah di satu saat, beliau ikut tinggal di rumahku yang beliau
tidak kubiarkan melakukan semua aktifitas itu. Beliau bangun tidur sudah
kusiapkan sarapan di meja, mencuci juga sudah kukerjakan, jadi beliau tinggal
duduk-duduk saja menikmati hari mulai dari pagi sampai malam.
Eh, ternyata kondisi itu hanya
bertahan selama 3 bulan. Di tempat duduknya sehari-hari, setiap beliau sudah
pergi tidur, aku selalu menemukan secarik kertas yang bertuliskan kata-kata
seperti berikut : aku di sini capek, ngantuk terus, di sini nggak boleh
apa-apa, di sini nggak boleh ke mana-mana, aku pingin pulang, dan lain-lain kalimat-kalimat
senada yang ditulis dengan menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Jawa. Menginjak
bulan ke empat, beliau minta pulang ke rumah ibuku di mana semua aktifitas
masih dapat dilakukannya dengan bebas.
Oh iya, nenekku ini memang dapat
membaca dan menulis latin dengan lancar karena di jaman Belanda dulu, beliau
masih sempat mengecap pendidikan setara SD di jaman sekarang. Malah dulu pernah cerita,
ketika pulang dari sekolah ada anak laki-laki yang suka padanya, maka dia akan
berubah jadi galak. Misalnya nih, nenekku pulang sekolah memakai payung karena
hujan, eh… tiba-tiba ada anak laki-laki yang menggodanya karena sebenarnya
memang suka, si anak laki-laki itu ikut jalan di sampingnya dan menumpang payung.
Maka, langsung deh itu payung ditutup sama nenekku dan mereka bertengkar di
bawah hujan.
Waktu jaman Jepangpun katanya
beliau sempat bekerja di pabrik gula sebagai mandor. Sempat juga ditaksir
atasannya tapi ditolak. Beliau juga mahir membatik dan bermain karawitan di
posisi Memainkan Bonang kalau nggak salah ingat. Jadi masa mudanya memang
selalu aktif berkegiatan di luar rumah.
Sekarang, walaupun belum pikun,
banyak kata-katanya yang terkadang memang agak lebay. Tapi aku berusaha
memahaminya sebagai ungkapan rasa ingin diperhatikan karena di usia tuanya ini
beliau merasa kesepian. (Telinga berkurang fungsinya itu membuat sepi). Usianya
hampir 90 tahun lho! Di mana sudah masanya beliau kembali ke sifat anak-anak.
Denganku sendiri, sampai saat ini
belum ada masalah (dan jangan pernah bermasalah atau aku menganggapnya sebagai
masalah), karena selama ini terus terang saja aku adalah cucu kesayangannya.
Aku cucu pertama yang sejak bayi dirawat oleh beliau, dan ini yang lebih
penting: sejak aku menikah, aku jarang pulang, sehingga intensitas pertemuanku
dengan beliau juga jarang sekali. Kan kata orang, semakin kita jarang bertemu
semakin harumlah nama kita, tapi kalau semakin sering bertemu, maka akan
semakin jeleklah diri kita…, hehehe…., iya apa iya sih?
Kalau dengan ibuku dan
adik-adikku yang selama ini sering sekali bertemu, beberapa kali terjadi
konfrontasi antara mereka, perang urat syaraf dan perang dingin sering terjadi….,
hehehe… Tapi yaaah, itulah tadi kubilang, sifat beliau sudah kembali ke
anak-anak, jadi mestinya yang lebih muda memahamilah. Biarkan saja semua
kata-kata dan tindakannya yang mungkin agak kurang mengena di hati, dengarkan
saja tapi jangan dimasukkan ke hati. Coba bersikap netral dan jangan berusaha
membalas supaya tidak semakin kacau. Namanya juga orang tua. (Tidak menyalahkan
juga sih kalau terkadang timbul emosi ketika mendengar kata-kata yang tidak
sesuai kenyataan…)
Di lingkungan rumah ibuku,
nenekku ini lumayan terkenal. Dari ujung ke ujung banyak orang yang
mengenalnya. Gara-garanya ya itu tadi, beliau masih suka ke sana kemari
sendiri, belanja, ambil pensiun, dan lain-lain. Sehingga banyak orang baru juga
yang tidak tahu asal-mula cerita, sering mengeluarkan kalimat seperti ini :
kasihan sekali ya orang tua, semua-mua harus dikerjakan sendiri. Banyak orang yang memberinya makanan, pakaian,
uang, dll. Intinya ibuku merasa seolah disalahkan karena menterlantarkan
orangtuanya. Akhirnya ibukupun marah-marah ketika hal tersebut sampai ke
telinganya.
Ketika aku diceritakan semua itu,
aku sih mendengarkan saja tanpa berkomentar. Berusaha tidak menyalahkan ke sana
atau ke sini. Habis, mau gimana lagi? Apa kita harus membungkam dan menjelaskan
pada semua orang kondisi yang sebenarnya? Kurasa sih tidak perlu, biarkan saja
mereka dengan pikirannya masing-masing. Kalau mereka wise, mereka pasti tahu,
bahwa yang ada di depannya adalah orang tua yang sifatnya sudah kembali ke
anak-anak, sehingga banyak kata-katanya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya…. Berikan perhatian secukupnya tanpa perlu menjudge keluarganya
dengan mengatakan kalau keluarganya tidak ada yang perduli pada orang setua
ini. Itu saja.
Nah, itu tadi sedikit cerita
tentang nenekku yang sudah amat renta, baik fisik maupun pikirannya. Aku hanya
ingin berbagi rasa bahwa kelak kitapun akan menjadi tua, akan menjadi reseh dan
menyebalkan buat mereka yang lebih muda. Jadi bersiap-siaplah mulai dari
sekarang. (Jangan bilang : Aku kelak tidak akan menjadi orangtua yang
menyebalkan! Ah,… who's knows?!)
Surabaya, 8 Februari 2013
(otak sedang beku, lemot, dan sama
sekali tidak produktif)