Sebentar lagi sudah mau Lebaran
Haji, berita-berita tentang reuni dan sebangsanya yang marak mengiringi Lebaran
Fitri sudah mereda tampaknya. Akupun mungkin sudah boleh menghela nafas lega.
Kenapa begitu?
Karena salah satu hal yang
kutakuti selain kantong bolong setelah Lebaran Fitri adalah reuni ini.
Reuni. Bertemu dengan teman-teman
untuk bernostalgia atau sekedar ngobrol adalah sesuatu yang menyenangkan, yang
sayangnya aku tidak selalu mendapatkan kemewahan itu.
Kusebut kemewahan karena bagiku
kalau sampai aku bisa datang di suatu acara reuni, hal itu adalah kesempatan
yang langka dan agak luar biasa bagiku.
Kesempatan. Kemampuan. Keadaan.
Setiap orang memilikinya secara berbeda. Banyak hal yang tidak sama lagi
setelah sekian waktu berlalu. Si A yang dulu adalah siapa-siapa, sekarang
mungkin bukan siapa-siapa. Si B yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang mungkin
adalah siapa-siapa.
“Ah, nggak usah mikir lain-lain…,
yang penting datang aja…, nggak ada itu pikiran macam-macam…” mungkin kalimat
seperti itu akan selalu mengalir dari salah satu panitia atau teman yang
mengundang kita.
Bagiku itu teori. Karena
kenyataannya, kalimat “datang saja” itu artinya tidaklah sesederhana itu. Untuk
datang saja, diperlukan kesempatan dan kemampuan dari keadaan saat ini.
Kesempatan untuk menyisihkan banyak hal yang harus dikerjakan pada saat acara
reuni itu. Kemampuan dalam hal materi dan immateri alias biaya dan mental.
Mungkin akan ada yang mengatakan,
“Halaa…., cuma sehari aja masak nggak ada waktu?”
Atau, “Biaya apa? Paling mulai berangkat dari rumah sampai
pulang lagi nggak akan lebih dari seratus ribu…”
Halloooo…
Teman-teman tersayangku. Kondisi
setiap orang berbeda.
Satu hari yang disepakati oleh
banyak orang untuk suatu acara itu mungkin adalah hari penting bagi seseorang
yang menentukan masa depan kehidupannya. Atau kalau kalimat yang kutulis itu
agak lebai, contoh lain adalah mungkin hari itu masih hari kerja bagi
seseorang.
Tentang biaya, bila banyak orang
menganggap uang seratus ribu itu “hanya seratus ribu” karena itu adalah senilai
uang minum kopi atau makan siang kalian,
maka jangan lupa bahwa di kehidupan seseorang yang lain, uang seratus ribu itu
adalah uang belanja beberapa hari bagi keluarganya.
Jadi kalau teman-temanku yang
tersayang masih dapat dengan leluasa meloncat dari reuni satu ke reuni lainnya,
bersyukurlah. Karena tidak semua orang mempunyai keberuntungan itu.
Oh ya, ada satu hal lagi yang
selalu menggelitik hatiku, yaitu tentang keikhlasan. Kalau sudah bersedia
menjadi pasukan berwenang alias panitia dalam komunitas itu, tolong jangan
menghitungnya. Misalnya begini, aku nih orang yang selama ini paling sibuk dan
selalu hadir di setiap acara, maka kalau aku kelak bikin acara, orang lain juga
harus sibuk seperti aku dan harus datang di acaraku.
Atau begini, “Eh, kamu ya…,
kenapa tidak datang di rumah si A, padahal waktu kamu sakit dulu kan dia baik
sekali sama kamu dan selalu menjengukmu…”
Please jangan begitu ya
teman-temanku tersayang. Sekali lagi, setiap orang punya kesibukan yang
berbeda. Dan tanpa diingatkanpun seseorang itu tahu balas budi koq.
Ada lagi pertanyaan-pertanyaan
pribadi yang mungkin bagi banyak orang adalah hal biasa, tetapi buat seseorang
itu adalah pertanyaan yang tidak ingin didengarnya (ini salah satu hal kesiapan
mental ketika datang ke salah satu reuni).
“Hei…, kenapa kamu nggak
nikah-nikah sih? Sudah tua tau…”
“Eh, dulu ceritanya gimana koq bisa
dapat suami/istri si A dan tinggal di planet mars?”
“Kenapa nggak kerja lagi?”
Dan beberapa pertanyaan aneh
lainnya, yang bisa membuat seseorang trauma dengan reuni dan akhirnya mengatakan
,”Aku tidak akan pernah datang ke reuni manapun…”**
**kalimat itu pernah kubaca dari
internet, tulisan seseorang yang mengatakan kalau saudaranya tidak akan mau
datang ke reuni karena dia hanya seorang penjual bensin eceran sedangkan teman-temannya
sudah sukses semua dan banyak yang jadi pejabat.
Media Sosial memang sangat
berpengaruh dalam komunikasi saat ini. Tetapi kalau yang tidak ikut dalam
komunitas (misalnya aku yang tidak mau
ikut group karena keterbatasan alat komunikasiku), atau memang tidak punya
akses dengan Medsos itu, apakah harus dibuang? Dikucilkan? Dianggap tidak ada?
Aah…, sayang sekali…
Karena sekali lagi kondisi setiap
orang tidak sama. Sudah banyak yang berubah saat ini.
Parahnya lagi kalau di acara itu
tiba-tiba komunitas menjadi (entah sengaja atau tidak) terkotak-kotak menjadi
beberapa kelompok, misalnya kelompok pejabat, kelompok tukang sapu, kelompok
yang sering datang, dan lain-lain.
Reuni adalah suasana silaturahmi
yang harusnya menyenangkan sekali dan menjadi kenangan indah setelah nostalgia
yang lalu terungkit lagi, jangan jadikan komunitas baru untuk mengabaikan yang
lainnya. Reuni adalah milik semua orang, seharusnya.
Malang, 30 Agustus 2016s
**dari yang terpinggirkan dan
maaf tidak ingin menyinggung seseorang, hanya beropini saja.