Kamis, 22 Desember 2016

Baby Blues






Aku memandang sesosok tubuh mungil berselimut yang sedang tidur itu dengan diam. Tanpa rasa. Tanpa ingin menyentuhnya. Bayi perempuan yang mungil dan cantik itu anakku. Ya, dia anakku. Aku sudah punya anak sekarang. Benar-benar anak yang kulahirkan dari rahimku 4 hari yang lalu. Tapi kenapa aku merasa asing ya? Suatu perasaan aneh yang tidak jelas.
Kupandangi terus raut mukanya yang damai sambil tetap bertanya-tanya dalam hati. Kenapa aku tidak seperti ibu-ibu yang lain, yang tampak begitu amat menyayangi anaknya? Kenapa rasa itu tidak ada padaku? Bahkan merasa gemas karena melihatnyapun tidak ada padaku. Aku merasa biasa saja…, amat biasa…
 
Ketika tengah malam suara tangisnya membangunkanku, akupun tidak tergesa mengambilnya dari box bayi. Malah Ibuku yang tiba-tiba sudah muncul di pintu kamarku dan segera memeriksanya. Sejak pulang dari RS, memang hampir semuanya Ibuku yang mengurus.
“Kenapa?” Tanya Ibuku. Aku menggeleng.
“Ooh…, pup dia….” Kata Ibuku sambil menyiapkan popok kain yang baru. Ibuku belum mengijinkan aku memakaikan diapers karena masih umur beberapa hari. Katanya, biar pakai popok kain aja dulu, biar Ibu yang mencuci. Dan memang setiap subuh, Ibuku selalu mengambil tumpukan selimut dan popok kotor dari kamarku. Malah seolah berlomba dengan Nenekku. Mereka berdua cepet-cepetan mengambil kain kotor itu.
Ibuku juga yang setiap pagi dan sore memandikan bayiku, karena aku belum berani. Aku hanya membantunya menyiapkan semua perlengkapan mandi dan baju ganti.
Seperti ibu-ibu yang lain, aku memang menggendong bayiku ketika selesai dimandikan ataupun ketika ada tamu yang menjenguk, memberinya ASI setiap beberapa jam sekali sesuai petunjuk dokter, dan lain-lain. Tapi itu semua kulakukan tanpa rasa. Aku hanya seperti robot, dan menggendong bayiku seolah pencitraan aja. Masak anaknya dicuekin? Aku nggak mau ada anggapan begitu.
Ketika tiap malam bayiku pup beberapa kali dan mencret terus. Aku mulai agak panic. Apalagi tiap hari  Suamiku menelpon menanyakan kondisi anaknya, aku jadi takut terjadi apa-apa pada bayi ini. (Aku pulang ke rumah Ibu di Surabaya ketika akan melahirkan, sedangkan Suami tetap di Jakarta)
Kubawa bayiku ke Dokter Spesialis Anak, kutanyakan kenapa tiap malam mencret beberapa kali? Jawaban Dokter sungguh mengejutkan, “Sepertinya bayi Ibu alergi ASI.”
Haaah?? Bayiku alergi pada ASIku sendiri? Apakah dia merasa kalau aku menganggapnya asing??? Aduuuh…., bagaimana ini?
“Apa Ibu minum jamu? Sebaiknya jamunya untuk sementara di stop dulu Bu…, dan ASI tetap dilanjutkan karena ASI adalah asupan terbaik buat bayi Ibu.” Kata pak Dokter.
Aku berhenti minum jamu, tetapi bayiku masih tetap mencret, dan ASI tetap kulanjutkan. Hanya itu yang dapat menghubungkan aku dengan bayiku.
Tidak terasa, hari berganti minggu. Tiba-tiba, entah mulai kapan, rasa itupun mulai tumbuh di hatiku. Aku tiba-tiba seperti induk ayam pada anaknya. Bayi ini anakku. Hidung mungilnya, mata sipitnya, pipi ranumnya, bibir merahnya, jemari lentiknya, semua milikku. Bayi ini adalah bagian hidupku, aku akan mempertaruhkan apapun demi dia. Tidak kubiarkan seekor nyamukpun mendekatinya.
Akupun tidak pernah keduluan Ibuku lagi kalau tengah malam tiba-tiba bayiku menangis. Aku pasti sudah mendekapnya dalam pelukku ketika ibu datang ke kamarku.
Satu hari, kubaca sebuah artikel tentang ibu baru di majalah. Tentang suatu kondisi ketika tiba-tiba seorang ibu yang baru saja melahirkan diserang gundah gulana, sering marah tanpa sebab, sering menangis sendiri, dan lain-lain yang intinya tidak sesuai dengan biasanya.
Kata artikel itu, perasaan seperti ini dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan. Tidak berbahaya dan setelah dua minggu semua akan kembali normal. Kondisi ini dinamakan Baby Blues Syndrome (Postpartum Distress Syndrome). Kalau ternyata lebih dari dua minggu belum juga normal, berarti agak parah dan harus berkonsultasi dengan dokter, namanya Postpartum Depression.
Alhamdulillah, belum dua minggu aku sudah berhasil memeluk bayiku dengan penuh cinta. Rupanya aku sempat terkena Baby Blues Syndrome yang membuatku merasa asing dengan bayiku sendiri, dan bersyukur sekali semua itu sudah berlalu. Alhamdulillah. Sekali lagi, Alhamdulillah. Baby Blues Syndrome, sayang sekali kau tidak berhasil menjadikanku monster untuk anakku sendiri. Aku berhasil mengalahkanmu. Hiyaaaa….!!!!
Anakku adalah kecintaanku, kebanggaanku sebagai wanita dan seorang istri yang dapat mempersembahkan buah hati kepada suaminya. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan bayi cantikku? Kupeluk erat bayiku dalam dada….., love her so much…., muachhhh muachhhh muachhhh…..


Malang, 7 Desember 2016
***suatu hal yang selama ini tidak pernah kuceritakan pada siapapun, hingga pada saat ini.



Tulisan ini kuikutkan Lomba Bangga Menjadi Ibu di vemale.com dan dimuat pada tanggal 8 Desember 2016

 http://www.vemale.com/relationship/ibu-bayi-dan-balita/100031-sungguh-aneh-usai-bersalin-kumerasa-seolah-tak-mencintai-bayiku.html


Selasa, 06 Desember 2016

Pak Tam





Namanya pak Mistam, panggilannya pak Tam. Orang kampung biasa. Lahir di mBaran Mogal Malang tahun 1951, tanggal dan bulannya nggak tau, katanya. Pokoknya pas terjadi G30 S PKI dulu, dia sudah jejaka, sekitar umur 15 tahun.

Sekolah hanya sampai kelas dua SD (Madrasah) sebab waktu itu sering sakit-sakitan. Seringkali setiap sakit tuh ketika akan ulangan atau kenaikan kelas. Akhirnya pak Tam kecilpun berhenti sekolah. Asal sudah bisa baca tulis, ngaji, hitung-hitungan sederhana (tambah, kali, dan bagi), ya sudah.

Orangnya polos dan lugu, malah terkadang suka melucu juga. Sekarang ini tinggal (menjaga)di sebuah rumah yang oleh pemiliknya hanya ditengok sesekali. Untuk kebutuhan hidupnya, dia menggarap beberapa lahan kosong di perumahan tempat tinggalku ini. Tanamannya berganti-ganti sesuai pergantian musim. Sebagian ditanami singkong, cabai, pepaya, jahe, kunyit, dan lain-lain.

Dari ceritanya selama ini, yang dapat kutangkap adalah, pak Tam ini sangat menghargai persaudaraan. Siapapun yang baik padanya, dia akan lebih baik lagi pada orang tersebut. Bahkan pada orang yang tidak baik padanyapun dia tidak pernah merasa sakit hati.

Pernah suatu ketika, aku ditawari memetik cabai di lahannya sementara dia sendiri menyiangi dan mempersiapkan lahan untuk ditanami lagi.

Tidak terasa aku memetik cabai yang merah-merah sampai ke batas ujung timur lahan, sementara pak Tam sendiri sedang asyik di ujung barat. Jarak kami mungkin sekitar 50 meteran. Tiba-tiba, aku melihat sebuah pepaya mengkal tergeletak diantara tanaman cabe. Pohonnya sendiri berada sekitar 3 meter dari buah pepaya itu tergeletak. Aku mendongak ke atas, dan tampak beberapa tangkai buah yang masih meneteskan getah, pepayanya sendiri tinggal beberapa buah yang masih kecil-kecil.

Kuambil pepaya mengkal itu dan berjalan mencari pak Tam.
“Pak Tam, pohon pepaya di ujung sana itu punya siapa?” tanyaku.
“Punya saya bu…” jawabnya.
“Ini, ada yang jatuh, masih mengkal.” kataku sambil menunjukkan buah pepaya tadi.
“Buahnya yang masih di pohon habis ya bu?” tanyanya.
“Iya, kayaknya belum lama dipetik pak Tam, getahnya masih netes koq. Emang siapa yang metik?” tanyaku.
“Orang bu. Kemarin kan ada yang datang ke saya, bilang mau beli pepaya mentah buat dijual di pasar, tapi nggak saya kasih. Saya bilang nggak dijual sebab mau saya kasih ke saudara-saudara. Eh, sekarang koq dipetik sendiri…” katanya.
“Lha kalau tau orangnya ya disamperin aja pak Tam…” kataku.
“Biarin aja bu. Mungkin dia memang butuh banget. Semoga aja berguna buat dia. Tapi kan ya nggak berkah buat dia kalau caranya begitu…”
“Saya cuma kecewa sama caranya. Manusia hidup itu cuma sekali, kenapa harus pakai cara yang nggak baik…, gimana caranya dia kelak mempertanggung jawabkan perbuatannya ke Gusti Allah…”
“Tadinya pepaya itu sudah saya hitung buat bu Bagyo, bu Harsono, bu Ruddy, Salimah…. (aku lupa siapa-siapa lagi yang disebutkan namanya), tapi ya belum rejekinya bu Ruddy dapat pepaya…” katanya sambil tersenyum. Bu Ruddy yang disebutnya itu aku.
Aku terdiam mendengarnya sambil memandang pepaya mengkal di tanganku. Orang ini baik banget. Semua orang yang baik padanya dianggap saudara. Dan buat dia, lebih baik menjaga persaudaraan itu daripada sekedar dapat uang beberapa puluh ribu.
“Ini, pepaya mengkalnya mau diapain?” tanyaku.
“Ya ibu bawa aja, besok mungkin sudah matang. Itu pasti sengaja ditinggal sama pencurinya sebab di pasar nggak laku dijual untuk sayur, sudah kuning….”
“Waduh, jahat banget sih…, maling aja koq pilih-pilih…” pikirku.

Itu tadi salah satu caranya pak Tam menghadapi orang yang sudah tidak baik padanya yang langsung kusaksikan sendiri hasil perbuatan si maling pepaya yang hanya menyisakan beberapa buah yang masih kecil dan mengkal ini.

Ada lagi ceritanya. Kalau ini sih dia ceritakan sendiri waktu datang ke rumah sambil membawa buah pisang satu sisir. (pak Tam ini sering sekali tiba-tiba datang bawa jagunglah, singkonglah, pepaya, dan lain-lain)
Katanya, dulu ada tetangganya di kampungnya yang benci sekali padanya. Ibu ini kaya dan sudah naik haji.
“Pak Tam, aku dulu  itu benci sekali  lho ke sampeyan. Kalau lihat muka sampeyan aku pingin muntah…” kata pak Tam menceritakan kata-kata si ibu haji tetangganya.
“Ya panteslah bu, wong saya ini bukan siapa-siapa, jelek, kurus, penyakitan, miskin. Ya nggak apa-apa kalau ibu benci lihat muka saya..” jawab pak Tam ke tetangganya itu.
“Tapi bu, nggak lama gitu, bu haji itu jadi baik banget sama saya. Suaminya, anak-anaknya, semua jadi baik-baik banget sama saya. Punya apapun semua dikasih ke saya. Lahannya, saya disuruh nggarap gratis…. Saya sampai heran sendiri. Apa mungkin bu haji itu dikasih peringatan sama Allah ya bu…” katanya padaku.
Aku cuma mengangguk-angguk. Mungkin juga pak Tam… Nggak ada yang yang mungkin di dunia ini kalau Allah sudah berkehendak.

Sebetulnya pak Tam ini pernah menikah dengan seorang janda beranak satu, anaknya laki-laki. Kemudian pak Tam sendiri punya anak angkat perempuan, satu juga.  Pernikahannya dengan janda itu tidak mempunyai keturunan sampai istrinya meninggal dunia.

Kalau menurut ceritanya lagi, kuambil kesimpulan kalau anak tirinya itu agak semaunya pada pak Tam. Ada satu saat, pak Tam ini pulang kampung, maksudnya mau nengok sapi atau sawahnya (aku agak kurang jelas, sebab komunikasi kami kan bercampur-campur antara bahasa jawa, bahasa Indonesia, kadang dia pakai bahasa Madura yang aku sama sekali nggak ngerti), tapi yang dicari ternyata sudah berpindah tangan karena dijual si anak tiri tanpa ijin dulu padanya. Pak Tamp-un diam saja, tidak menegur sekalipun pada anaknya itu.

Hasil tanamannya menggarap lahan-lahan di perumahanku juga yang memanen itu anak tirinya. Nanti tinggal dia dikasih uang berapa ratus gitu. Itu juga dia tidak tanya, laku berapa kek, dapat berapa ton kek… Katanya, terserah anaknya. Mau dikasih berapapun ya terserah. Semuanya dipasrahkan ke Allah.

“Saya juga nggak minta yang aneh-aneh pada Gusti Allah, saya hanya berharap ridho’nya atas semua yang saya lakukan…. Asal yang saya lakukan tidak dibenci oleh Gusti Allah, saya sudah senang…”  katanya.

Banyak yang dapat kupelajari dan kucontoh dari cara hidup pak Tam yang lugu ini. Kapasrahan dan keikhlasan dalam menjalani hidup ini bagiku sangat mengagumkan. Pak Tam ini tidak pernah merasa kuatir sedikitpun akan hari esok. Hasil buminya dibagi-bagi tanpa minta imbalan uang, padahal harusnya bisa dijual. Besok makan apa juga tidak pernah dipikirkannya, padahal dia tidak punya kompor. Dia hanya punya magicom yang penggunaannya sangat dia batasi. (Aku pernah mengajarinya menggoreng tahu atau telor dengan magicom, tapi katanya nanti listriknya habis banyak). Oh ya, ada juga tungku kayu bakar yang dipakai untuk merebus air minum.

“Kalau cuma punya nasi, makannya pakai lauk apa pak Tam?” tanyaku.
“Alhamdulillah ada aja orang baik yang suka ngirim lauk bu. Tapi ya gitu, kadang-kadang sehari sampai tiga orang yang kasih, terus besoknya tiga hari nggak ada yang kirim lagi, ya makan pakai sambel aja sudah enak….” katanya sambil tertawa.

Sebetulnya hidup ini memang sederhana ya…, sesederhana pola pikir pak Tam. Hidup dengan bekerja seadanya, mendapatkan hasil sedapatnya, kemudian beribadah dengan ikhlas pada Yang Kuasa. Semua hasil akhir terserah Yang Kuasa. 

Manusia sendiri aja yang suka bikin sulit. Harus sekolah tinggi suapaya punya jabatan tinggi dan dapat duit banyak, biar bisa beli ini itu.  Harus punya WA, BBM, Line, dsb supaya bisa ikut group dan reunian…. , hehehe…


Malang, 29 November 2016
Lagi nunggu pak Tam ngirim singkong

Senin, 07 November 2016

IGD = UGD



Sepertinya aku lebih familiar dengan UGD deh, tapi kan sebetulnya sama saja ya, IGD atau UGD. Nah, sepanjang hidupku yang sudah setengah abad ini, seingatku, baru dua kali aku berurusan dengan IGD.
Pertama waktu akan melahirkan anak keduaku di RS Karya Bakti Bogor. Saat itu jam 02.00 malam, tiba-tiba ketubanku pecah. Jadi deh aku dibawa ke IGD, dan selanjutnya langsung dikirim ke Ruang Bersalin.

Kedua kalinya baru beberapa hari ini, saat kondisi anak pertamaku sedang payah-payahnya setelah dua minggu sebelumnya (kata dokter) terkena typhus. Baru juga enakan dua minggu, eh… tepar lagi.
Sekitar jam 19.00 lebih kami berangkat ke IGD Syaiful Anwar, sampai RS sekitar jam 20.00 an deh, kemudian langsung masuk ruang pemeriksaan. Setelah ditanya-tanya sebentar sama dokter jaganya (bajunya abu-abu), kemudian diambil darahnya  dan disuruh buang air kecil untuk periksa lab. Aku menunggu di kursi di samping kereta dorong anakku.

Selanjutnya kami ditinggalin deh. Sesekali ada juga yang nyamperin, nanya-nanya. Tapi yang datang beda-beda. Sampai kira-kira jam 22.00 lebih. Ada petugas yang datang (dokter juga kali, tapi orangnya bukan yang tadi) yang mengatakan kalau hasil pemeriksaan urine dan darah tadi sudah keluar. Hasilnya sih bagus, negative semua. Mungkin harus periksa penyakit dalam aja, katanya. Tapi tadi urinenya terlalu sedikit, jadi disuruh buang air kecil lagi buat diperiksa ulang.

Sepeninggal dokter tadi, kusuruh anakku segera minum yang banyak biar bisa cepet buang air kecil dan segera diperiksa lagi. Sebab kulihat sudah larut malam, mau sampai jam berapa di sini, pikirku.
Tapi setengah jam kemudian anakku baru bisa buang air kecil, yang langsung diambil oleh petugas perawat (sepertinya dari akper ponorogo yang nggak tau lagi kuliah praktek, atau magang, atau apalah namanya, aku nggak begitu faham dengan kronologi sekolah kesehatan).

Terus, kami (aku tepatnya) nggak ngapa-ngapain lagi deh, sebab anakku tidur.
Kereta dorong di sebelah sudah berganti orang. Tadi ada wanita muda yang ditungguin laki-laki muda (mungkin suami istri) yang masuknya berbarengan dengan anakku. Sudah berganti bapak-bapak agak tua yang batuk terus-terusan.

Diantara anakku dan bapak-bapak itu ada kereta dorong berisi seorang gadis yang terus-terusan muntah. Entah jam berapa, aku lupa, gadis ini pulang  ditemani laki-laki muda.
Nggak lama, masuk lagi seorang gadis muda yang tampaknya sakit perut, diantar dua orang gadis sebayanya.

Si bapak-bapak tua tadi akhirnya pulang ditemani temannya yang juga bapak-bapak tua.
Akhirnya masuk lagi seorang laki-laki ditemani istrinya (aku kepo, si perempuannya memanggil sayang ke yang sakit, jadi kusimpulkan mereka suami istri).

Sekitar jam 03.00 pagi, masuk seorang anak perempuan kecil yang digendong ibunya. Nangis terus, nggak mau diperiksa dokter, minta pulang.
Seorang dokter perempuan berbaju abu-abu tampak sabar menangani anak perempuan ini. Tapi yang membantu dia, masih anak muda (laki-laki) berseragam hijau muda, kelihatan belum terlatih bagaimana harus menangani anak-anak.

Suasana ruang IGD ini benar-benar ramai. Banyak sekali pasien yang keluar masuk. Terlebih di sebelah kiri dari pintu masuk yang sepertinya tempat pasien-pasien yang butuh tindakan segera, itu banyak sekaliiiii.  Kereta dorongnya sampai berjejalan dan petugas yang menangani tampak kelelahan.

Bahkan waktu pertama masuk tadi, di sebelah tempat dudukku, ada seorang gadis gendut berseragam hijau muda yang tertidur karena kelelahan. Setelah sempat tidur sekitar dua jam, dia bangun dan kembali bertugas.
Aku juga sempat memperhatikan seorang anak muda berseragam hijau yang wajahnya ada tanda hitam, jalannya sudah seperti melayang, langkahnya diseret dan wajahnya tampak loyo. Kelihatan sekali kalau dia amat kecapek’an. Kasihan. Mereka mungkin mahasiswa-mahasiswa Universitas Kedokteran yang lagi koass. 

Selamat berjuang ya kalian para calon dokter, semoga pengalaman selama koass ini kelak menjadikan kalian para dokter yang handal. Tapi jangan lupa pada masyarakat kurang mampu, atau yang di pedalaman, tetap care sama mereka ya…., supaya handal kalian menjadi handal yang lahir-bathin. Berguna bagi masyarakat banyak dan berpahala buat tabungan akhirat.

Suasana IGD yang ramai, terang benderang, dan sejuk karena AC ini sungguh tidak membuat takut sama-sekali. Kalau misalnya harus rawat inap di tempat ini, kurasa anakku juga tidak akan menolak. Selama ini yang ada dalam bayangannya kan suasana rumah sakit yang sepi, temaram, dan menakutkan. (Ya memang di kelas yang seperti itu kami mampunya bila seandainya harus nginep, bukan di pavilyun yang nyaman).

Ketika menunggu seperti ini, memang tidak ada yang dapat kulakukan selain mengamati lalu lalang petugas dan kesibukan mereka. Mencoba berempati pada para petugas yang super sibuk.
Sesekali terdengar suara wanita berteriak kencang sekali dari ruang dalam, juga tangis bayi dari arah depan tempat kami menunggu ini.

Kulihat ada tiga mesin incubator yang dibawa masuk dengan masing-masing berisi bayi yang ditempeli selang-selang tau deh apaan.
Satu saat aku mendengar percakapan yang sayup-sayup sampai ke telingaku (karena jaraknya lumayan jauh), nampaknya seorang perawat wanita senior yang berkata pada perawat senior laki-laki:
“Tolong gantiin popoknya pakai yang baru, sementara bayinya kuangkat/gendong.” Kata yang perempuan. Mereka berdua ada di depan mesin yang paling ujung. Popok yang dimaksud sepertinya yang lebar itu, yang biasa buat alas tidur.
Kulihat yang laki-laki segera menarik popok bekas yang dari jauh terlihat kotor, mungkin bekas buang air besar si dedek bayi.

Tampak si dedek bayi dibersihkan kemudian diselimuti pakai popok baru sampai bungkusnya mirip kepompong (sebab tertutup semua sampai kepalanya), kemudian ditimbang, dimasukkan lagi dalam mesin dan ditinggal. Sampai lama aku baru agak berpikir, jangan-jangan bayi itu meninggal, sebab di kedua mesin yang ada, di sana ada keluarganya yang menjaga, kenapa yang ini ditinggal sendirian?

Ternyata benar. Tidak lama setelah aku agak ngeh itu, kulihat ada seorang laki-laki muda yang begitu datang, langsung berdoa di depan mesin itu. Kemudian pergi lagi, dan kembali bersama dua orang. Satu, seorang wanita yang membawa kain yang lantas menggendong jenazah bayi dalam pelukannya, dan satu lagi seorang lagi laki-laki sebaya mereka. Selanjutnya mereka meninggalkan ruangan.

Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Roji’un. Aku tidak kenal mereka, tapi aku ikut merasakan kesedihan mereka ditinggalkan salah satu anggota keluarganya. Semoga mereka sabar dan ikhlas menerimanya.

Sekitar jam 04.00 pagi, datanglah seorang dokter wanita berseragam biru tua yang memperkenalkan diri sebagai dokter Helena. Dia mengatakan kalau hasil lab anakku semua bagus. PH bagus.  Trombosit juga bagus,  144. Jadi tidak perlu dirawat di RS, boleh pulang. Hanya diberi obat untuk menurunkan panas, erosi lambung, dan anti mual/muntah. Tidak ada antibiotic karena belum pasti virus/bakteri apa yang menyerang. Kalau misalnya masih ada keluhan lagi, disarankan untuk periksa ke bagian penyakit dalam.

Sekian jam menunggu, tetapi tidak diketemukan sakit apa? Kulihat wajah anakku kecewa.
“Masak sudah periksa darah tapi gak tau sakit apa sih Mie? Udah tangan jadi sakit semua dicoblos begini….” Katanya. Aku diam saja, tidak puas juga sih, tapi aku juga mengantuk. Selama ini anakku tuh nggak pernah mau dibawa ke dokter karena takut jarum. Dia nggak mau diambil darahnya atau infuse atau apapun lagi yang berhubungan sama jarum suntik.

Seorang perawat menghampiriku dan menyerahkan segepok berkas, menyuruhku menyelesaikan administrasi di depan, kemudian nanti akan dijelaskan lagi sama dia.

Sekitar jam setengah enam pagi, semua beres. Aku menelpon taxi dan kamipun otw pulang. Sudah. Gitu aja.


Malang 5 Oktober 2016

Selasa, 30 Agustus 2016

Reuni = Silaturahmi



Sebentar lagi sudah mau Lebaran Haji, berita-berita tentang reuni dan sebangsanya yang marak mengiringi Lebaran Fitri sudah mereda tampaknya. Akupun mungkin sudah boleh menghela nafas lega.
Kenapa begitu?
Karena salah satu hal yang kutakuti selain kantong bolong setelah Lebaran Fitri adalah reuni ini.

Reuni. Bertemu dengan teman-teman untuk bernostalgia atau sekedar ngobrol adalah sesuatu yang menyenangkan, yang sayangnya aku tidak selalu mendapatkan kemewahan itu.
Kusebut kemewahan karena bagiku kalau sampai aku bisa datang di suatu acara reuni, hal itu adalah kesempatan yang langka dan agak luar biasa bagiku.

Kesempatan. Kemampuan. Keadaan. Setiap orang memilikinya secara berbeda. Banyak hal yang tidak sama lagi setelah sekian waktu berlalu. Si A yang dulu adalah siapa-siapa, sekarang mungkin bukan siapa-siapa. Si B yang dulu bukan siapa-siapa, sekarang mungkin adalah siapa-siapa.
“Ah, nggak usah mikir lain-lain…, yang penting datang aja…, nggak ada itu pikiran macam-macam…” mungkin kalimat seperti itu akan selalu mengalir dari salah satu panitia atau teman yang mengundang kita.

Bagiku itu teori. Karena kenyataannya, kalimat “datang saja” itu artinya tidaklah sesederhana itu. Untuk datang saja, diperlukan kesempatan dan kemampuan dari keadaan saat ini. Kesempatan untuk menyisihkan banyak hal yang harus dikerjakan pada saat acara reuni itu. Kemampuan dalam hal materi dan immateri alias biaya dan mental.
Mungkin akan ada yang mengatakan, “Halaa…., cuma sehari aja masak nggak ada waktu?”
Atau, “Biaya apa?    Paling mulai berangkat dari rumah sampai pulang lagi nggak akan lebih dari seratus ribu…”

Halloooo…
Teman-teman tersayangku. Kondisi setiap orang berbeda.
Satu hari yang disepakati oleh banyak orang untuk suatu acara itu mungkin adalah hari penting bagi seseorang yang menentukan masa depan kehidupannya. Atau kalau kalimat yang kutulis itu agak lebai, contoh lain adalah mungkin hari itu masih hari kerja bagi seseorang.

Tentang biaya, bila banyak orang menganggap uang seratus ribu itu “hanya seratus ribu” karena itu adalah senilai uang minum kopi atau makan siang  kalian, maka jangan lupa bahwa di kehidupan seseorang yang lain, uang seratus ribu itu adalah uang belanja beberapa hari bagi keluarganya.
Jadi kalau teman-temanku yang tersayang masih dapat dengan leluasa meloncat dari reuni satu ke reuni lainnya, bersyukurlah. Karena tidak semua orang mempunyai keberuntungan itu.

Oh ya, ada satu hal lagi yang selalu menggelitik hatiku, yaitu tentang keikhlasan. Kalau sudah bersedia menjadi pasukan berwenang alias panitia dalam komunitas itu, tolong jangan menghitungnya. Misalnya begini, aku nih orang yang selama ini paling sibuk dan selalu hadir di setiap acara, maka kalau aku kelak bikin acara, orang lain juga harus sibuk seperti aku dan harus datang di acaraku.
Atau begini, “Eh, kamu ya…, kenapa tidak datang di rumah si A, padahal waktu kamu sakit dulu kan dia baik sekali sama kamu dan selalu menjengukmu…”

Please jangan begitu ya teman-temanku tersayang. Sekali lagi, setiap orang punya kesibukan yang berbeda. Dan tanpa diingatkanpun seseorang itu tahu balas budi koq.
Ada lagi pertanyaan-pertanyaan pribadi yang mungkin bagi banyak orang adalah hal biasa, tetapi buat seseorang itu adalah pertanyaan yang tidak ingin didengarnya (ini salah satu hal kesiapan mental ketika datang ke salah satu reuni).
“Hei…, kenapa kamu nggak nikah-nikah sih? Sudah tua tau…”
“Eh, dulu ceritanya gimana koq bisa dapat suami/istri si A dan tinggal di planet mars?”
“Kenapa nggak kerja lagi?”
Dan beberapa pertanyaan aneh lainnya, yang bisa membuat seseorang trauma dengan reuni dan akhirnya mengatakan ,”Aku tidak akan pernah datang ke reuni manapun…”**
**kalimat itu pernah kubaca dari internet, tulisan seseorang yang mengatakan kalau saudaranya tidak akan mau datang ke reuni karena dia hanya seorang penjual bensin eceran sedangkan teman-temannya sudah sukses semua dan banyak yang jadi pejabat.

Media Sosial memang sangat berpengaruh dalam komunikasi saat ini. Tetapi kalau yang tidak ikut dalam komunitas  (misalnya aku yang tidak mau ikut group karena keterbatasan alat komunikasiku), atau memang tidak punya akses dengan Medsos itu, apakah harus dibuang? Dikucilkan? Dianggap tidak ada?
Aah…, sayang sekali…

Karena sekali lagi kondisi setiap orang tidak sama. Sudah banyak yang berubah saat ini.
Parahnya lagi kalau di acara itu tiba-tiba komunitas menjadi (entah sengaja atau tidak) terkotak-kotak menjadi beberapa kelompok, misalnya kelompok pejabat, kelompok tukang sapu, kelompok yang sering datang, dan lain-lain.

Reuni adalah suasana silaturahmi yang harusnya menyenangkan sekali dan menjadi kenangan indah setelah nostalgia yang lalu terungkit lagi, jangan jadikan komunitas baru untuk mengabaikan yang lainnya. Reuni adalah milik semua orang, seharusnya.



Malang, 30 Agustus 2016s
**dari yang terpinggirkan dan maaf tidak ingin menyinggung seseorang, hanya beropini saja.