Kamis, 10 Mei 2012

Catatan Kecil

HPku berbunyi ketika aku baru saja turun dari kereta jam 18.15 wib. (Masih keburu nonton Tio Bu Ki, pikirku)
“Lo di mana?” tanya Mama Tesa (tetanggaku) begitu kuangkat telponnya.
“Baru aja turun dari kereta. Kenapa?” tanyaku.

Biasanya tetanggaku suka pada nitip di beliin ini atau itu kalau pas mereka butuh sesuatu tapi malas keluar rumah. Mumpung aku masih di jalan.
“Kunci pintu rumah lo patah, jadi anakmu dari siang gak bisa masuk rumah.” katanya.
Hhh, ada-ada aja deh…., aku menghela nafas panjang. Anak kunci itu adalah satu-satunya, duplikatnya sudah lama hilang entah ke mana.
“Oke, aku segera nyampe rumah.” jawabku sambil naik ke boncengan tukang ojek.

Sampai di rumah, suasana gelap gulita. Sementara Mama Tesa dan suaminya sedang mencoba mengutak atik pintu rumahku dengan penerangan lampu senter.
Kulihat anakku yang masih kelas 5 SD duduk di kursi sambil makan nasi dengan ayam goreng  (pasti dari Mama Tesa atau tetangga yang lain), dan masih dengan seragam pramukanya tadi pagi.
Kebayang, seharian dia pasti menahan haus dan lapar, karena tadi pagi hanya membawa uang tiga ribu rupiah untuk jajan. Nasi dan lauk yang kusiapkan buat dia untuk makan siang tadi pasti masih utuh.

Kasihan sekali anakku, sebab dia bukan tipe anak yang sedikit-sedikit berlari ke orang lain untuk minta tolong. Pasti dia bermaksud terus duduk diam di teras sambil menunggu aku pulang.

Ternyata benar. Mama Tesa bercerita, ketika mau ke warung dia melihat rumahku gelap gulita dan anakku masih berseragam pramuka duduk sendirian di teras. Mama Tesapun langsung menghampiri dan bertanya kenapa lampunya mati.

Kemudian Mama Tesa memaksa anakku untuk makan dulu sebab dari siang dia belum makan. Rupanya sejak tadi sudah bergantian tetangga kanan dan kiri rumahku mencoba berbagai cara untuk dapat membuka pintu rumahku tapi belum juga berhasil.

“Gini aja deh, tolong tukang siapa kek… yang badannya kecil, buat masuk lewat atas sini…” kataku pada Mama Tesa yang di rumahnya memang banyak karyawan (pabrik sepatu) yang menginap karena rumahnya luar kota semua.
“Tadi juga Mas Alfath (anaknya tetanggaku yang lain) sudah naik ke atas sini, tapi nggak bisa turun.” kata Mama Tesa.
“Memangnya kalau sudah di dalam terus gimana?” tanya Papa Tesa.
“Buka jendela yang di dalam warnet itu, terus masuk ke warnet dan buka kunci pintu warnet dari dalam.” jawabku. Di teras rumahku ini memang kubuat warnet tapi hanya kubuka kalau aku atau suamiku ada di rumah saja. Kami nggak pakai karyawan.

Akhirnya dipanggillah seorang tukang sepatu dan disuruh naik ke lobang angin di atas pintu yang kebetulan memang kubuat cukup lebar dan untungnya aku tidak suka teralis sehingga dia bisa masuk dan melompat turun. Lumayan tinggi juga sih, setinggi pintu itu.

Setelah itu dia buka jendela yang berhubungan langsung dengan warnetku, masuk ke warnet dan membuka kunci pintu kaca dari dalam. Beres deh.

Anakku kusuruh masuk rumah dan menyalakan semua lampu. Untuk sementara aku dan anakku keluar masuk rumah lewat jendela di dalam warnet ini. Menunggu besok pagi aku memanggil tukang untuk mengganti kunci pintu.

“Emang tadi kuncinya diapain koq sampai patah?” tanyaku pada anakku.
Katanya, karena kuncinya susah diputar, jadi dia pakai tang buat memutar anak kuncinya… Ya jelas aja anak kuncinya patah, orang dilawan pakai tang.

Beruntungnya aku cukup dekat dengan tetangga-tetanggaku dan mereka adalah orang-orang baik yang peduli padaku dan keluargaku. Sering juga kalau sampai lewat maghrib aku belum pulang, tetanggaku bergantian mengirim makanan buat anakku, walaupun mereka juga sambil mengancam karena katanya anakku susah sekali dibujuk untuk mau menerima makanan itu.

Beberapa contoh ceritanya begini, “Ndiek, mamie belum pulang ya…. Ini tante buatin mie goreng. Ayo dimakan.” kata Mama Tesa.
“Nggak usah tante, nggak usah… terimakasih. Sudah makan koq.” tolak anakku.
“Ndiek terima nggak, kalau nggak… tante tumpahin deh mienya… “ kata Mama Tesa. Baru setelah itu anakku menerima piringnya.

Satu lagi dari tetangga kanan rumah, “Ndiek, Bude beli nasi goreng… ndiek mau nasi goreng nggak?”
“Nggak usah Bude, makasih.” tolak anakku.
“Kalau gitu, mie aja ya…” kata Bude.
“Nggak usah Bude…., makasih.” anakku masih tetap menolak. 
Akhirnya Bude beli martabak bulan isi keju dan diberikan ke anakku, sambil ngomong gini, “Ini martabak bulan, ayo dimakan. Kalau nggak mau, Ndiek gantiin bayar ojek Bude buat beli martabak tadi.”
Baru deh anakku mau menerima martabaknya dan langsung bercerita begitu aku pulang.

Kejadian-kejadian seperti itu adalah sesuatu yang harus kubayar karena aku berkegiatan di luar rumah dan meninggalkan anakku yang masih SD sendirian di rumah.  Tetapi harus bagaimana lagi. Saat ini aku belum punya pilihan untuk melakukan yang lain sebab kebutuhan ekonomi keluarga yang menuntut semua ini.

Suamiku bekerja di luar kota yang hanya pulang tiap bulan sekali. Anak sulungku juga kuliah di luar kota. Memang tidak ada orang lagi. Kami hanya berempat tinggal di rantau ini.

Walaupun misalnya ada pilihan yang harus kulakukan, semua juga masih harus berproses, tidak mungkin semudah membalik telapak tangan dan semua hal langsung bisa teratasi dengan sempurna.




Bogor, 10 Mei 2012