Rabu, 28 September 2011

Ceritaku Hari Ini

Kali ini aku ingin menuliskan semua yang kualami hari ini. Anggap saja sedang membaca diaryku ya…., hehehe……

Kumulai saja dengan ketika pagi ini tetanggaku datang nyamperin aku ke rumah untuk berangkat ke Jakarta sama-sama (kami mau training kerja). Dari depan rumahku, kami memanggil dua ojek yang sedang mangkal. Maka datanglah dua motor ke arah kami.

“Yaah, dia lagi…..!” kataku begitu melihat dua tukang ojek yang menghampiri.

“Hah, kenapa?!......” tetanggaku menyahut. Aku tidak menjawab, tapi memberi isyarat dengan mataku supaya dia melihat ke arah ojek yang akan kutumpangi.

“Oh,.. dia lagi! Bodo’ ah…!!” katanya setengah geli sambil naik ke boncengan ojek yang akan membawanya.

Pasrah, akupun naik ke boncengan tukang ojekku yang rambut gondrongnya sudah melewati punggung, dan dikuncir satu. Motornya motor laki yang sudah lumayan berumur dengan suara yang cempreng dan menyakitkan telinga.

Tapi, masalah pokoknya bukan pada penampilan tukang ojek dan motor bututnya. Masalahnya adalah si tukang ojek itu beberapa waktu yang lalu sempat terdeteksi sebagai orang yang agak kurang waras. Sempat ditahan di kantor polisi karena nggebukin ibunya, dan bapaknya sendiri yang melaporkan. Konon katanya saat itu dia sedang ‘mencari ilmu’ tapi nggak kuat sehingga jadi miring. Kemudian sempat terlihat lontang lantung ke sana ke mari tanpa arah, dan malah ada yang bilang kalau dia sempat jadi copet di KRL, dan entah apa lagi.

Semua informasi itu rasanya sudah cukup untuk membuat semua orang meragukannya, apakah dia ‘sudah bener’, koq sekarang jadi tukang ojek?! Termasuk aku dong, sebagai seorang calon penumpang ojek…. Sehingga, ketika tempo hari untuk pertama kalinya aku dibonceng dia, sepanjang perjalanan aku waspada…., jangan-jangan nanti aku diceburin ke kali atau parit. Atau malah akan disungkurkan ke bakaran tukang sate.

Bisa saja kan, kalau tiba-tiba saja stressnya kumat di tengah jalan pada saat menghadapi jalanan macet yang tingkat kemacetannya lumayan parah dan sulit ditolerir? Orang sopir angkot yang waras saja mendadak bisa jadi gila kalau menghadapi macet yang parah, gimana dia yang pernah gila?

Tapi Alhamdulillah, tempo hari aku selamat sampai di stasiun dan tidak diceburkan ke parit. Begitu juga dengan tadi pagi. Aku selamat sampai di stasiun, walaupun waktu melewati jembatan yang lebarnya cuma kira-kira semeter tadi nyawaku sudah tinggal separuh.

Sampai di stasiun, KRL yang standby adalah ekonomi. Ya sudah, kita berdua langsung naik diantara jejalan penumpang yang keretanya juga sudah hampir jalan. Kami mengejar waktu, makanya kami nekat naik kereta yang ini. Saat itu sudah hampir setengah delapan, sedangkan kami sudah harus sampai di Tebet setengah sembilan pagi. Jadi waktunya memang sudah mepet banget.

“Masuk ke dalam, jangan di pintu ya…, bahaya.” kata tetanggaku.

Ternyata, kami tidak dapat masuk ke dalam saking penuhnya penumpang. Jadi ya kami terpaksa berdiri di situ saja. Maklum, ini masih sibuk-sibuknya orang berangkat kerja. Jadi jangan pernah bermimpi mendapatkan keadaan kereta yang lega dan nyaman serta sesuai keinginan kita.

Tidak terasa, kereta sudah sampai stasiun berikutnya. Keretapun berhenti lagi untuk mengangkut (lagi) penumpang. Bayangin saja, kereta yang sudah amat sesak itu, masih akan terus menerus mengangkut penumpang menuju Jakarta dan tidak ada yang turun di jarak-jarak dekat ini.

Tanpa kami sadar, kamipun otomatis terdorong agak masuk. Tapi ya cuma sampai di situ saja. Eh, ada beberapa perempuan muda sekitar empat atau lima orang yang umurnya antara duapuluh sampai duapuluh limaan gitu yang naik.

“Maaf saya mau masuk…” kata salah satunya.

“Nggak bisa mbak, saya juga pinginnya masuk.” kata tetanggaku.

“Nggak bisa gimana, kalau ibu memang nggak mau masuk, ya biar saya aja yang masuk. Orang saya juga biasanya bisa masuk koq.” jawabnya sambil mencoba mendesak dari belakangku. Tapi keadaannya yang memang sudah kayak jejeran bandeng di presto itu tidak memungkinkan lagi. Bapak-bapak di belakangku malah seolah tampak mendorong balik mereka yang mau merangsek masuk itu.

“Ya coba aja masuk!! Masuk tuh…, masuk aja terus!! Dibilangi koq ngeyel. Lewat atas tuh!” kata tetanggaku.

“Udah…” kataku.

“Biarin aja, gua lagi nggak enak hati koq dikasih gara-gara..” jawabnya.

“Kayaknya keretanya telat deh, makanya penumpang commuter pada naik sini. Makanya nggak mau disenggol.” sindir anak perempuan yang lain.

Tetanggaku langsung nyolot mendengar itu. Dan terjadilah perang mulut yang seru.

“Kalau nggak terima, ayo turun. Segede apa sih nyali lu!! Gue jabanin sekarang…., balik lu, ngadep sini kalau ngomong. Jangan Cuma berani dari belakang aja!!” kata tetanggaku. Perlu dicatat, bahwa tetanggaku ini memang tomboy. Rambutnya dipotong laki dan lahir serta besar di Jakarta. Biasa nelen orang, hehehe……

Begitulah suasana riuh dan gegap gempita di KRL ekonomi pagi. Kurasa, keadaan di dalam commuter line yang pagipun (masih jam-jam sibuk orang berangkat kerja) pasti juga seperti itu. Empet-empetan kayak pindang. Tapi mungkin, sekali lagi mungkin…. suasananya agak lain…. Tidak akan semudah itu menyulut dan tersulut emosi karena kan ada ACnya (walaupun sering nggak jalan dan hanya diganti fan) sehingga hawanya kan agak adem. Atau ada hubungannya dengan status social, ekonomi dan pendidikan? Masak iya sih? Sepertinya harus dibuat penelitian dulu nih….. hehehe….

Pulangnya, kami sudah standby di stasiun Tebet sekitar jam tujuh malam, tapi KRL terdekat yang menuju Bogor masih di Cikini. Itu commuter line. Tapi aku pesimis kita akan bisa masuk kereta.

Ternyata betul sekali perkiraanku. Kereta sudah full full full dan full!! Bahkan beberapa pintunya tidak dapat tertutup lagi.

Selanjutnya kereta yang datang adalah ekonomi dengan kondisi kepadatan penumpang yang lebih parah karena seperti biasa, kalau penumpang kereta ekonomi pasti banyak yang naik di atapnya.

Kereta selanjutnya adalah commuter line jurusan Depok. Jadi hanya sampai Depok Lama. Ini sudah hampir jam delapan malam, keapadatan penumpang masih bisa disisipi kita bertiga (ada satu orang teman yang tinggal di Citayam dan pulangnya selalu bareng kami).

Di dalam kereta gerbong khusus wanita, ternyata ada seorang ibu-ibu yang membawa anak juga ikut naik dari stasiun Tebet tadi. Bayangkanlah si anak perempuan yang umurnya sekitar lima atau tujuh tahunan itu ikut berhimpit ria dengan penumpang dewasa.

Ada seseorang yang menyarankan supaya si ibu mencari tempat sudut atau ke arah tempat duduk, mungkin akan ada yang mau memberikan tempat duduknya. Si ibu dan anaknyapun dengan susah payah berusaha mendekati arah tempat duduk, dan sampai di tempat yang dituju.

Ternyata, si ibu itupun tidak berhasil mendapatkan tempat duduk, karenaaa…… semua penumpang yang mendapat tempat duduk itu semuanya sedang tidurrrrr……………… (atau pura-pura tidur).

Maka berkomentarlah seseorang, “Ya beginilah…. Terkadang antara sesama perempuan justru tidak ada toleransinya….”

“Iya, betul…. Seringkali ibu-ibu yang sedang hamilpun dibiarkan saja tanpa diberikan tempat duduk.” Jawab yang lain.

“Betul, di kereta seperti ini dengan penampilan yang tidak sembarangan, dapat dipastikan kalau dia juga pasti punya posisi pekerjaan yang tidak sembarangan di kantornya, dan dapat dipastikan kalau pendidikannya juga pasti tinggi. Tetapi sayang otak dan nuraninya ditaruh di telapak kaki.” jawab yang lain lagi.

Serta beberapa lagi kalimat senada saling bersahutan. Tidak terdengar kalimat-kalimat bantahan, dan si ibu beserta anaknya masih tetap berdiri. Para penumpang dengan tempat dudukpun masih tetap tertidur.

Sampai di Depok Baru, suasana agak lumayan lega dalam artian kaki kiri dan kanan masih pada tempatnya masing-masing, tidak tertukar dengan kaki orang lain, aku menengok ke arah si ibu dan anaknya yang ternyata sudah duduk. Entah sejak kapan mereka duduk, aku juga tidak tahu.

Sebetulnya setiap peristiwa di dunia ini semua mengikuti scenario yang sudah ada, yang telah ditulis oleh Yang Maha Pencipta, dan kita tinggal menjalaninya. Tapi sungguh, kisah-kisah yang terjadi di KRL selalu membuat hatiku tergelitik untuk menulisnya karena selalu meninggalkan kesan di hati.

Mungkin buat banyak orang, cerita-cerita yang kutulis itu biasa saja. Tidak berkesan dan tidak berarti apa-apa. Tapi buatku, semua peristiwa itu menarik. Menarik untuk ditulis, menarik untuk diceritakan kembali, atau bahkan menarik hanya untuk didengarkan saja. Yah, hitung-hitung untuk memperkaya reverensi ceritaku……..

Sampai di rumah, hampir jam sembilan malam. Anakku yang kecil sudah tidur dan ternyata belum pada makan. Akupun akhirnya keluar lagi untuk mencari tukang nasi goreng. Seharian pergi meninggalkan rumah, anak-anakku kelaparan. Ah, sungguh cerita yang lengkap untuk hari ini.

Kutulis keesokan harinya, karena semalam sudah terlalu capek.

Bogor, 28 September 2011