Menurut KTP, yang tertulis adalah
seperti ini:
Nama : Astoechah
TTL : Mojokerto, 30 Juni 1925
Kalau Nenekku ini lahir tahun 1925, artinya waktu kemarin tanggal 19 Februari 2017 beliau dipanggil Allah
SWT, usianya adalah 92 tahun.
Tapi nenekku pernah bilang kalau
tahun lalu usianya sudah 96 tahun. Aku sendiri tidak tahu bagaimana asal
usulnya KTP itu, mungkin betul data itu dari nenekku sendiri dan nenekku yang sudah lupa, tapi bisa juga
petugas main tembak dan kira-kira karena orang dulu kan banyak yang tidak tahu
persis tanggal serta tahun kelahirannya sendiri. (Aku sempat merasa surprise
waktu melihat tanggal kelahirannya yang sama dengan anak pertamaku)
Ya sudahlah. Yang jelas, usia
nenekku memang lumayan bonusnya hingga dapat mencapai sembilan puluh tahun
lebih. Usia yang sering membuatnya sudah merasa capek karena tidak juga
dipanggil oleh Allah.
“Ya Allah, kenapa malah mereka
yang Kau panggil duluan?” Begitu kata nenekku waktu aku memberitahunya khabar
duka tentang dipanggilnya adik-adik iparku, juga beberapa teman dan tetangga
yang sudah mendahului.
Nenekku memang mengalami hidup di
Jaman Belanda, Jaman Jepang, dan Jaman Kemerdekaan. Tiga masa kehidupan yang
berbeda-beda dan dijalaninya dengan berbeda-beda pula.
Menurut ceritanya dulu padaku,
waktu di Jaman Belanda, nenekku ini pernah ikut pamannya di Jombang sebentar
dan bersekolah di Sekolah Rakyat. Masa mudanya terbilang jutek katanya.
“Dulu waktu masih sekolah, Mbah
judes banget, tapi malah banyak teman laki-laki yang suka gangguin…” Cerita
nenekku, “Tapi Mbah nggak mau ngeladenin… Contohnya nih, kalau pulang sekolah
hujan, Mbah kan pakai payung…., nah itu teman laki-laki suka ada yang pingin
numpang berpayung bareng sama Mbah…”
“Terus?” Tanyaku.
“Mbah marahin itu teman tadi,
terus tutup aja payungnya dan lari pulang sambil hujan-hujanan…. Biarin aja
kehujanan daripada ditumpangi….” Katanya sambil tergelak. Aku ikut tertawa
membayangkan bahwa mungkin teman laki-lakinya itu naksir dan pakai modus
numpang berpayung, hahaha…..
Kemudian nenekku dijodohkan
dengan anak seorang terpandang di kampungnya, tapi tidak bertahan lama dan
bercerai karena menurut nenekku, sifat laki-laki itu tidak baik, suka main
perempuan, berjudi dan mabuk-mabukan. Dari perkawinan ini nenekku mendapatkan
seorang anak laki-laki.
(Ternyata sejak jaman dulu hingga
sekarang, perilaku yang namanya anak orang terpandang atau istilahnya berpunya,
kebanyakan nggak jauh beda ya…., rata-rata mirip, hehehe….)
Dengan menyandang title janda
muda, nenekku bekerja di Pabrik Gula sebagai Mandor pabrik. Aku lupa istilahnya
apa, tapi kata nenekku waktu itu Jaman
Jepang.
Ada juga orang Jepang yang suka
padanya, tapi nenekku tidak mau, keluar kerja, dan malah dapat kenalan Jejaka Karyawan
Kantor Pajak yang kemudian menikah dengannya.
Kurasa masa mudanya dulu nenekku
pasti cantik ya, sebab bagaikan kembang, disekelilingnya banyak lebah yang
ingin menghisap sari madunya.
Dan Karyawan Kantor Pajak yang
berhasil menarik hatinya tadi adalah seorang jejaka lulusan Pondok Pesantren asal
Kediri yang sedang ditugaskan di Mojokerto. Namanya Damari Boedi Wijono. Beliau
adalah kakekku.
Dari pernikahan ini, Kakek dan
Nenekku hanya mempunyai seorang anak perempuan yaitu Ibuku yang lahir di
Mojokerto tahun 1945, tapi besar di Surabaya karena kemudian kakekku mendapat
tugas di Surabaya.
Tinggal di Surabaya, nenekku
mulai aktif di Kelompok Karawitan yang jaman dulu pentasnya selain di kondangan
adalah di Radio (RRI) dan (akhirnya ada)
TVRI, sehingga tidak mau mengikuti kakekku yang sebagai pegawai negri
harus berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota lainnya.
Nenekku tetap tinggal di Surabaya
dan kakekku yang setiap minggu sekali atau sebulan sekali pulang ke Surabaya.
Darah seni nenekku lumayan
kental, karena selain suka bermain music
(karawitan), dulunya nenekku juga sering membatik. Nenekku bisa menggambar dan
mendongeng. Malah kadang menulis puisi, ungkapan hatinya...
Aku ingat, waktu kecil nenekku
pernah bercerita bahwa dulunya tuyul itu tidak suka duit. Mereka sukanya
bermain-main saja sepanjang hari. Kalau di hutan, mereka sering bermain di
kubangan air yang ada banyak ikan atau udangnya. (??? Nyambung gak sih? Di
hutan, tapi ada kubangan air yang ada ikan atau udangnya?.... entahlah, mungkin
aku lupa itu sebetulnya bukan di hutan melainkan pinggir pantai, atau memang
jaman dulu udang bisa juga tiba-tiba ada di tengah hutan yang mungkin memang
dibawa para tuyul itu dari pantai….).
Kemudian ada manusia yang
memergoki para tuyul liar itu yang akhirnya disuruh nyolong duit tetangganya
dengan imbalan-imbalan tertentu. (Kalau dari cerita ini, seolah manusia yang
jahat dan mengkaryakan para tuyul liar tidak berdosa. Hah????? Iya nggak sih?)
Ada lagi cerita tentang seekor
sapi betina yang tidak sengaja meminum air seni Seorang Raja yang sedang
berburu di hutan dan kemudian hamil. Sapi itu kemudian melahirkan 4 orang anak
perempuan manusia yang secara tidak sengaja kemudian ditemukan oleh Sang raja
yang kembali berburu di hutan itu.
Keempat anak perempuan itu
dibesarkan di Kerajaan dan oleh Sang raja diberi nama seperti bagian-bagian
buah kelapa (aku lupa apa saja, yang kuingat cuma satu ‘Untir-untiran’).
Suatu saat, ketika para anaknya
sudah besar, si sapi datang ke Kerajaan dan minta minum pada anak perempuan
pertama serta mengatakan kalau dialah ibunya. Tapi anak perempuan pertama tidak
mau memberinya minum ataupun mengakui sapi itu sebagai ibu dan malah melempar
kaki si sapi dengan sebuah alat pemintal (kayu) sampai si sapi pincang satu.
Ke tempat anak kedua juga begitu,
akibatnya kaki pincang dua.
Ke tempat anak ketiga sama, kaki
sapi itupun menjadi pincang tiga.
Ke tempat anak ke empat (bungsu)
sambil menggulingkan badannya karena si sapi tidak bisa jalan lagi dengan kaki
pincang tiga, barulah si sapi diakui oleh si bungsu dengan bercucuran air mata.
Selanjutnyaa………………………………………………………………………………………………………………………….,
jangan marah ya…., aku lupa cerita selanjutnya gimana…., sedang nenekku kemarin
sudah meninggal dunia…., gimana dong?????
Sungguh, aku selalu lupa
menanyakan akhir cerita itu pada nenekku, sebab biasanya kalau bertemu, kami
hanya bercerita tentang masa lalu, masa kecil cucu-cucunya, bukan tentang
dongeng.
Bercerita tentang masa lalu kami,
nenekku diusia rentanya itu ternyata masih ingat persis. Ingatannya berkurang
untuk hal-hal sekarang saja. Tentang apa yang baru dilakukan dan baru
dikatakannya. Misalnya, tadi baru mengatakan A, sekarang diulang lagi. Atau,
tadi masak air, terus ditinggal tidur. Pendengarannya juga mulai berkurang,
jadi kalau bicara dengannya harus dari depan supaya nenekku bisa membaca gerak
bibir kita.
Kemarin pagi nenekku ditemukan
adik perempuanku sudah meninggal ketika adikku bermaksud akan mengganti
popoknya. Selama tiga hari terakhir, katanya nenekku sudah tidak mau makan, hanya minta minum saja
sedikit. Sudah tidak banyak permintaan seperti biasanya yang kadang minta
mangga, minta bubur, dan lain-lain.
Kondisi seperti ini sudah sering
terjadi, nenekku lemah dan sudah tidak berdaya. Tetapi tiba-tiba saja malamnya
bangun sendiri, berjalan ke dapur sendiri, dan besoknya segar lagi.
Siang hari kemarinnya nenekku hanya istighfar saja. Malamnya tidur
seperti biasa, dan akhirnya ditemukan adikku pagi itu. Rupanya kali ini Allah
sudah benar-benar memanggilnya pulang. Memberinya tiket yang selama ini sudah
dinantikannya.
Aku mengikhlaskan nenekku
dipanggil oleh Allah SWT. Tidak hanya aku, kurasa semua keluargaku juga begitu.
Adikku bilang, dia sudah tidak tega melihat kondisi nenekku terakhir yang pasti
menderita. Inna Lillahi wa Inna Illaihi
Roji’un. Semua kita memang akan kembali padaNya.
Tapi aku sedih.
Aku sedih sebab tidak ikut
merawat nenekku di hari-hari terakhirnya. Adik perempuanku yang merawat nenekku
selama ini, dibantu adik iparku yang belum lama ini datang dari Jakarta.
Trimakasih yang banyak pada mereka berdua untuk waktu dan keikhlasan mereka
yang belum tentu kupunya.
Aku memang bukan cucu yang baik,
padahal nenekku amat menyayangiku. Aku adalah cucu pertamanya. Semua orang
tahu, kasih sayang pada cucu pertama adalah melebihi sayang pada anak sendiri.
Betul nggak?
Maafkan aku tidak dapat menjadi
cucu yang baik buatmu Mbah….. Terlalu banyak alasan tidak perlu yang mungkin dapat membuatku seperti ini. Selamat
jalan, semoga Allah melapangkan jalanmu, menerima semua amal ibadahmu selama di
dunia, mengampuni dosa-dosamu, dan memberikanmu tempat yang layak di sisiNya.
Aamiin.
Al-Fatehah dan Yassin buatmu mbahtiku…
Malang, 20 Februari 2017