Hati Lilian kacau, dingin dan membeku seperti di kutub. Bete tingkat apa ya, super duper dewa deh pokoknya. Geliat si jago merah
yang menjilat ranting kayupun seakan tak mampu menghangatkannya. Hanya suara
gemerataknya saja yang mengibaratkan gemeratak hati Lilian saat ini. Sedangkan semangat
45 yang semula mengiringi langkahnya mendaki Gunung Panderman hari ini juga
sudah menguap entah ke mana. Wuzzz….
“Selow Lian…, nggak usah dimasukin
hati. Namanya juga nggak sengaja. Jangan cemberut terus gitu dong!” Ardhi yang
duduk tepat didepan Lilian di seberang api unggun mencoba menetralkan hati
Lilian yang galau.
“Yups, kita nyanyi aja yukss….. “
Timpal Fahmi sambil mulai memetik senar gitarnya.
“Tadi tuh just kidding Lian…, fine kita
baik-baik aja koq…, nggak ada yang sakit. Yekan guysssss?!” Via ikut bersuara.
“Siiipp…!!! Spesial pake telor!!” Jawab
Fahmi. Ucup dan Lala mengacungkan jempolnya.
Lilian tetap diam meringkuk, memeluk
lutut dengan pandangan ke arah api unggun. Berpura-pura dalam hati kalau
asaplah yang memerihkan matanya sehingga mengakibatkan tetesan air dari
sudutnya. Hiks. Kenapa semua orang membuatnya kesal dan sedih hari ini, pikirnya. Lilian jadi merasa sendirian di dunia.
Sekarang enak aja mereka bilang bercanda,
just kidding. Nggak mikirin gimana perasaanku lihat Ardhi dan Ucup tiba-tiba berkelojotan sambil
berguling-guling karena sakit perut. Mata melotot dan terbalik ke atas.
Menggeram-geram. Membuat Lilian panik dan menangis bombay kebingungan
karena mereka habis minum kopi yang dibuatkannya. Huh, Lilian mendengus, gagal
paham dengan mereka. Di tengah hutan koq bercandanya begituan.
Sementara itu, lagu balada yang
didendangkan Fahmi menyeruak pekatnya malam di tengah hutan ini. Sebetulnya sih,
sejujurnya, suasana malam jadi syahdu karenanya…., pelan-pelan mulai menghanyutkan,
menghangatkan, dan membasahi hatinya. Begitu indah, menyatu dengan alam….,
harmoni sekali. Sesekali yang lain juga ikut menimpali.
Kepada angin
dan burung-burung, kunyanyikan lagu ini. Tentang asmara yang biru, yang
mewarnai lukisan di dinding. Sebuah hati tanpa pigura, tergantung sendiri dan
berdebu.
Kepada angin
dan burung-burung, mengerti irama ini. Seorang lelaki yang merindukan, matahari
terus bernyanyi.
Apakah angin
tetap bertiup, bersama jatuhnya daun. Apakah burung akan tetap terbang, di
langit yang terbuka.
Betapapun kerasnya Lilian mengunci
telinganya, alunan lagu itu tetap juga berhasil menerobos masuk. Sebuah lagu
lawas tentang alam yang dinyanyikan Franky & Jane. Lagu jaman mamanya
Lilian dulu, tapi tetap oke juga dinyanyikan di hutan dan gunung-gunung seperti
sekarang. Daripada tiba-tiba di tengah hutan dengar lagu cadas. Bisa-bisa semua
penghuni hutan ikut kerasukan deh.
“Assalamualaikum…” Tiba-tiba
terdengar salam dari arah belakang.
“Waalaikum salam warohmatullahi
wabarohkatuh……” Serentak semua menjawab. Lilian menengok ke arah belakang dan
terpaku melihat dua orang cowok yang ada di belakangnya.
“Alhamdulillah, Allah Maha Besar, mengirimkan
dokter ke tengah hutan di tengah malam begini…” Via berdiri dan langsung menggamit lengan
salah seorang cowok tadi dan diajak duduk di depannya.
“Nih, Lian…., perhatiin ya…, biar
kamu lega…” Kata Via.
“Dokter, tanda-tanda orang keracunan
itu apa aja?” Tanya Via.
“Ini ada apa deh,… Baru juga datang...” Kata cowok yang
dipanggil dokter itu sambil tertawa. Sementara teman yang tadi datang
bersamanya, duduk di samping Lilian.
“Oke, kujelasin dikit ya…. Begini.
Tadi tuh kita semua ga sengaja habis minum minuman sachet yang ternyata sudah
kadaluarsa. Sekarang tolong periksa aku, ada tanda keracunan ga?”
“Keracunan? Ah, yang bener…. Lagian,
ngapain juga kalian minum minuman kadaluarsa?”
“Dokter, kamu tadi dengar kalimatku
ga sih? Kita ga sengaja. Ga-se-nga-ja.” Kata Via melotot.
“Sebentar dong, aku belum kenalan
nih…” Katanya sambil menyalami semua satu-satu.
“Hallo, selamat malam semuanya, saya
Dewa. Temannya Via dan Lilian…. Teman saya itu namanya Nizar…”
“Hai…”
“Haai…”
“Haii…”
“Hai…”
Ya, cowok itu adalah Dewa. Manusia
setengah gila yang selama ini sering menemani hari-hari Lilian. Manusia yang
sering mengajaknya tertawa dan berantem, berseru-seruan. Manusia yang dapat
diajaknya bercerita apa saja, tentang teman kuliah, tentang mode, tentang
politik, dan semua-mua, partner of crime deh. Salah satu
manusia yang tidak diharapkan Lilian pergi darinya, karena dia satu-satunya
manusia yang punya detak irama sama dengannya. Sayangnya partneran mereka hanya sebatas
itu dan Lilian juga tidak faham, kenapa ya?
Tapi sekarang mereka lagi berantem karena tadi pagi
Dewa melarangnya naik ke Panderman tanpa alasan yang jelas, dan Lilian nekat
tetap berangkat.
“Kali ini nggak usah pergi kenapa?”
Balas Dewa pada chatt Lilian yang mengatakan kalau siang ini dia akan ke Gunung
Panderman dengan teman-teman SMA nya dulu.
“Emang kenapa?” Tanya Lilian sambil
mengirimkan emotion heran.
“Nggak usah aja….”
“Jangan aneh deh…” Lilian membalas ditambah
emotion kesal tiga biji.
“Please…” Balas Dewa. Tapi hanya di
read doang sama Lilian, dan dibiarkan saja sampai saat ini.
Beberapa chatt Dewa selanjutnya juga digratisin sama Lilian. Jengkel banget dia kalau Dewa tiba-tiba aneh seperti
ini. Seingat Lilian, nggak cuma sekali dua deh tiba-tiba Dewa melarangnya
melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas dan ujung-ujungnya mereka berantem.
Nggak saling chatt atau ketemuan sampai berhari-hari.
“Tamu ga disuguhin minum nih?” Tanya
Dewa pada Via, membuyarkan angan Lilian tentang Dewa.
“Nggak ada apa-apa di sini…, air
putih doang mau?” Wajah Lilian kembali mengerut mendengar jawaban spontan Via.
“Kasihan amat sih. Aku ada banyak,… di tenda tapi…”
“Pasang tenda di mana?! Sejak kapan
di sini?” cerocos Via.
“Tuh, di situ…., nggak jauh koq, dan
belum lama. Baru setengah jam lalu kita nyampe. Zar, tolong ambil logistic kita
deh…” Dewa menengok ke Nizar.
“Nah, sambil nunggu Nizar, kita balik
ke pokok permasalahan ya…. Buruan periksa aku…” kata Via. “La, sini La…, kita
ngantri diperiksa…” Sambungnya sambil menggeser tempat duduknya.
“Haduuuh…., ada-ada aja sih… Kamu
pusing ga?” Via menggeleng.
“Mual? Sakit perut?” Via tetap
menggeleng.
“Yang lain?” Dewa melihat berkeliling.
Semua menggeleng. Fahmi dan Ucup mengacungkan jempol tanda baik-baik saja.
“Ya udah, berarti ga papa…” Kata
Dewa.
“Syudaaah?? Gitu ajaaa??? Kamu dokter
beneran bukan sih?” Cecar Via.
“Hahaha…., belum sepenuhnya. Kan kamu
tau sendiri kalau aku masih koas…” Jawab Dewa renyah.
Nizar datang sambil menyerahkan
bungkusan kantong plastik dan menyerahkannya pada Via. Via menyerahkan ke Lala
yang langsung bangkit ke tenda mengambil beberapa gelas. Untung ada air panas
yang dari tadi dijerang di kompor portable. Kalau nggak kan bisa lama lagi tuh
nunggu kopinya….
“Dengar sendiri kan Lian, kata pak
dokter kita ga papa…. Kan sudah kubilang daritadi kalau kita semua baik-baik
saja. Kamu sih belum apa-apa sudah mewek duluan…” Kata Via.
Mendengar itu Dewa langsung menengok
ke arah Lilian dengan pandangan bertanya. Lilian menghindari pandangan Dewa. Melengos.
Males. Pasti nanti diceramahin lagi, pikir Lilian. Ngapain juga harus jauh-jauh
ke gunung kalau hanya untuk dengar ceramah Dewa.
“Ya untunglah kalian ga papa. Alhamdulillah.
Kalau kenapa-napa kan aku yang masuk penjara 20 tahun…” Setelah beberapa jelang,
akhirnya Lilian menjawab lirih. Semua yang mendengar kontan bercericit,
bersuit-suit mendengar kata-kata Lilian yang lebay menyamakan kisah malam ini
dengan kopi bersianida, hahaha…
“Gimana sih ceritanya koq kamu yang
bisa masuk penjara Lian?” Tanya Nizar. Sejenak semua terdiam, hening, ----mungkin
seperti di kuburan----, atau seolah sedang mengheningkan cipta, kemudian saling
melempar pandang. Clap clap clap.
Kali ini petikan sinar gitar Fahmi
mendendangkan lagu Perempuan dalam Pelukannya Payung Teduh. Melepas angan untuk
berimajinasi romantis.
“Hmmmm, sebenarnya ga separah itulah.
Ini agak lebay aja….” Akhirnya Ardhi yang buka suara.
“Ceritanya kan Lilian yang kebagian
belanja logistic. Nah, entah di mana dia belanja, ternyata rata-rata semua
minuman sachet yang dia beli tuh sudah kadaluarsa. Malah ada yang expirednya
sejak 6 bulan yang lalu. Kita taunya tuh pas minum rasanya beda. Pas diperiksa
bungkusnya. Taraaa….”
“Btw kita ga ada yang salahin Lilian
koq, kita maklum kalau dia ga sengaja, cuma lain kali kalau belanja apa-apa,
kita memang harus lebih teliti…., tapi dianya sudah baper duluan…”
“Dan tadi kita memang sempat acting
buat godain Lilian, kita pura-pura gegulingan sakit perut, terus dianya panik,
nangis-nangis… Terus ngambek deh sampai sekarang…”
Dewa mendengarkan cerita Ardhi sambil
sesekali memandang ke arah Lilian. Yang dipandang tetap melengos. Nizar
mengangguk-angguk macam burung hantu. Kukuk kukuk.
Tak lamapun Lala membagikan gelas
kopinya. Alhamdulillah. Semua bersyukur dan berterimakasih karena akhirnya
malam ini dapat minum air hangat berwarna, bukan air putih hangat doang.
“Nih, kopinya. Tapi ngomong-ngomong,
itu tadi kan cappucino ya…. Koq ga ada granule-nya sih?” Tanyanya pada Nizar.
“Granule? Oh, itu sih tanya sama Dewa
tuh…” Jawab Nizar.
Dewa tidak langsung menjawab, tapi
beralih duduk ke samping Lilian, “Granule-nya ada di sini.” Katanya sambil
menunjuk mug yang dari tadi digenggamnya.
“Oke semuanya…., sebetulnya ada yang
ingin kusampaikan pada Lilian malam ini. Kalian teman-teman baiknya kan…,
kalian saksiin ya…..” Lilian merasa sesuatu bergejolak di perutnya. Seperti ada
yang berenang-renang dalam perutnya ----mungkin seekor naga atau katak----. Dadanya
berdebar-debar seperti mau copot. Gludak gludak ----mungkin persis gejala
keracunan----.
“Macam sinetron deh… ” Celetuk Via.
Bawel memang dia ini. Fahmi menghentikan petikan gitarnya dan serius ikut mendengarkan.
“Aku kenal Lilian sudah cukup lama,
hampir tiga tahun. Biasanya aku panggil dia A-lien sebab bagiku dia sama misteriusnya
dengan A-lien yang dari sono tuh…” Katanya sambil menunjuk bintang. Lilian
mengorek-orek tanah di depannya dengan sebatang ranting kecil membentuk
lingkaran dan spiral-spiral yang nggak jelas.
“Lilian ini selalu berpenampilan
strong, mandiri, galak, wonder woman, seolah bisa mengatasi dunia sendirian…,
padahal seperti kalian tau sendiri kan kalau dia itu sebenarnya lemah, lembut
dan baik hatinya, gampang mewek kayak tadi. Selama ini aku berusaha membiarkan
dia dengan mengikuti saja apa maunya.”
“Tapi belakangan ini aku merasa nggak
sanggup lagi.”
“Aku nggak sanggup bertahan…., untuk
sekedar sebagai temannya, sahabatnya, terjebak dalam friendzone…..” Dug dug dug…,
dada lilian semakin bertalu. Ada barisan drumband dalam dadanya.
“Terus, maunya gimana? Setelah tiga
tahun, baru sekarang kamu mau tembak dia? Kadaluarsa juga deh lo…. Kayak kopi
Lilian tadi. Bener-bener kalian sehati memang.” Kata Fahmi. Jrenggg!!! Fahmi
menjentik senar gitarnya. OMG. Haduuuhhhh…..!!!
Ïya nih, muter-muter kelamaan..., to the point aja deh..." Samber Via.
Ïya nih, muter-muter kelamaan..., to the point aja deh..." Samber Via.
Dewa tertawa, “Kuharap semuanya belum
kadaluarsa…, makanya malam ini aku nekat nyusul kemari. Gimana A-lien, mulai
sekarang maukah kau biarkan aku menjagamu, menjaga hatimu?”
“Kalau menurutmu semua ini masih
belum kadaluarsa dan kamu mau menerimaku, tolong terima ini…” Kata Dewa sambil
menyerahkan dan membuka tutup mug stainles yang dipegangnya.
Dasar kepo, Via ikutan meloncat dan
melongok ke dalam mug itu. Tuing tuing!!
Dalam mug itu ada cappucino dengan
tulisan ‘A-lien, I love You’ yang terbuat dari granule di atasnya. Kata ‘love’
nya adalah kepala ‘alien’ yang berbentuk hati dengan dua mata serangga yang
besar.
“Oooh, so sweet…. Cepat ambil Lian,
kalau tidak, aku nih yang ambil…” Seru Via. Ngarep dia.
Sambil menahan panas di pipi, Lilian
menerima mug dari tangan Dewa. Kedua tangannya lemas dan agak bergetar
----mungkin gejala orang kena stroke seperti ini---- Kepalanya terasa ringan,
sementara dadanya sudah mulai reda. Ya, Lilian mau. Lilian mau Dewa menjaga
hatinya, benar-benar menjadi bagian hidupnya. Bukan hanya diluar lingkaran
seperti selama ini. Baru sadar kalau Lilian memang butuh ini.
Tepuk tangan dan suitan usilpun
menggema di tengah hutan yang gelap ini, menghangatkan hati Lilian, mencerahkan
wajahnya seperti bintang-bintang di atas sana, sebelum akhirnya mereka satu
demi satu beringsut masuk ke tenda masing-masing, meninggalkan sepasang hati
yang sedang berbunga. Cupidpun menari-nari di atas kepala mereka.
“Boleh diminum?”Tanya Lilian sambil
tersipu. Semua gejala penyakit menakutkan yang tadi menyerangnya tiba-tiba saja
sudah menghilang ----mungkin takut pada dokter cinta Lilian, hehehe----.
Dewa mengangguk dan mengelus
rambutnya, “Buat kamu…” Katanya.
*** Selesai ***