Minggu, 23 Februari 2020

Cerpen tapi agak panjang : Ketika Cinta Tak Bisa Memilih


(harapan, angan-angan, mimpi, semuanya bisa menjadi do’a)

Rrrrrrrr.......hhh.......zzz....
Akhirnya mesin motor Meyta mati setelah tiba-tiba melambat dengan sendirinya. Padahal tadi tidak kenapa-napa dan baru dua hari lalu dibawa ke bengkel untuk servis rutin. Tadi juga sudah isi bahan bakar di POM samping kantor.

“Aduh Beb, kenapa kamu tiba-tiba ngambek sih?” kata Meyta pada motornya sambil mencoba menstater beberapa kali tapi tetap tidak mau hidup juga. Huft!
Meyta menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Sepi. Tidak terlihat seorangpun di jalan itu. Mungkin karena habis hujan, orang-orang jadi pada malas keluar rumah.

Meytapun kemudian menuntun motornya ke tepi jalan sambil berpikir. Kalau di dunia dongeng dan legenda, biasanya orang yang sedang mengalami musibah seperti ini tuh langsung memohon begini, ”Barang siapa yang bersedia menolongku menghidupkan motor, kalau cewek akan kujadikan saudara, kalau cowok akan kujadikan pacar, tapi kalau semi ke laut ajah... Hihihi....” Meyta geli sendiri.

Memang jalanan yang dilalui Meyta ini bukanlah jalan utama yang biasa dilaluinya setiap berangkat dan pulang kerja. Jalan ini adalah jalan alternatif lewat perkampungan dan lahan kosong yang agak kecil, tetapi aspalnya lebih halus dan yang paling penting adalah tidak macet.

Rasanya Meyta patah hati sekali ketika berangkat dan pulang kerja harus mengalami kemacetan yang setiap hari semakin parah saja. Walaupun sebetulnya wajar sih kalau macet, karena di ujung pertigaan jalan utama yang biasa dilewatinya itu sedang diadakan pelebaran jalan untuk akses keluar masuk tol yang baru. Nanti kalau proyeknya sudah kelar juga bakalan lancar lagi.

Jadiiii...., sebelum proyek itu kelar, mendingan Meyta mengambil jalur alternatif saja dulu. Dan itu sudah dilakukannya hampir dua minggu ini. Supaya pikiran dan perasaannya tidak ikutan ruwet selama di perjalanan, sehingga urusan kantor dan kerjaan tetap lancar jaya. Karena efeknya ke periuk nasi Cynnn....

Meyta memarkir motornya di depan sebuah pos ronda yang kebetulan tidak jauh dari motornya mogok tadi, kemudian duduk di pos ronda itu dan mengeluarkan ponselnya. Dicobanya mencari layanan servis keliling dari ponselnya, sebab seperti kebanyakan cewek pada umumnya, Meyta benar-benar buta tentang ilmu permesinan. Kalau mogok ya harus panggil montir, daripada memeriksa tutup pentil ban yang jelas nggak ada hubungannya dengan mesin. Nanti malah diketawain kucing.

“Selamat sore Mbak...., kenapa motornya?” tiba-tiba ada seorang pemuda yang sudah berdiri di samping motor Meyta.
“Saya lihat tadi motornya dituntun ya?” sambung pemuda itu.
“Eh sore..., iya Mas..., itu..., motor saya tiba-tiba mati.” Meyta kaget. Saking asyiknya menggeser-geser layar ponsel, sampai tidak menyadari ada yang datang. Wow, permohonannya diijabah ternyata.... Ada penolong yang turun dari langit. Apa dia harus dijadikan pacar?

“Maaf, boleh saya coba...?” tanya pemuda itu sambil memberi isyarat akan menstater motor Meyta yang kontaknya memang masih tergantung.
Meyta mengangguk, “Boleh Mas..., silahkan...”
Pemuda itupun mencoba menstater motor Meyta, dan ternyata, “Nggreeeeng.....”  langsung nyala.

“Nggak apa-apa tuh Mbak....” kata pemuda itu sambil menjauh dari motor Meyta yang mesinnya sudah hidup lagi.
“Waah, alhamdulillah, terimakasih Mas....” Meyta girang. Koq ajaib sih..., tadi distater sendiri kenapa nggak mau nyala? Jangan-jangan motornya suka sama pemuda ini...., hihihi....

Meyta pura-pura mengamati motornya, tapi diam-diam mencoba melirik pemuda itu, ingin melihat wajahnya sekali lagi.

“Orang nggak saya apa-apain koq Mbak. Tapi lain kali kalau motornya ngadat begitu, jangan berhenti di tempat sepi begini.... Tuntun saja ke tempat ramai Mbak..., paling tidak di depan rumah orang.” kata pemuda itu.
“Eh, iya Mas....iya...., makasih...”

Lagi-lagi Meyta melihat kanan-kiri yang memang tidak nampak rumah. Kebetulan pos ronda ini berada di depan lahan kosong.

“Nama saya Langgeng Mbak, rumah saya di depan situ.....” pemuda itu tiba-tiba menyebutkan namanya. To the point banget nih orang ngajak kenalannya.
“Boleh pinjam hp-nya Mbak?” pemuda itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

Meyta mengangguk dan memberikan ponselnya.

“Saya sudah masukkan kontak saya Mbak. Kalau misalnya ada apa-apa di sekitar sini, kontak saya saja...., barangkali saya pas di rumah, jadi saya bisa bantu... Bahaya di sini sendirian.” pemuda itu mengembalikan ponsel Meyta. Koq dia nggak menanyakan namaku ya, pikir Meyta.

Seperti tersihir, Meyta menerima ponselnya dan memasukkan ke dalam tasnya.

“Oke Mas, makasih banyak ya....” kata Meyta yang hampir terpeleset karena mendadak jadi gugup ketika bersiap akan menaiki motornya. Dadanya tiba-tiba seolah ingin meledak. Meyta merasa mukanya seperti terbakar ketika sekali lagi pemuda itu tersenyum padanya.

“Hati-hati Mbak...” jawab pemuda itu sambil mengangkat tangannya sebagai ganti ucapan selamat jalan.


*****   *****   *****


(delapan jam kemudian)

Sudah lewat tengah malam, tapi Meyta masih berguling ke kanan dan ke kiri di ranjangnya dengan mata segar. Melotot seperti mata ikan mas koki yang nggak pernah kelilipan.

“Kamu kenapa Mey..., daritadi Mama dengar suara gedebugan dari dalam kamarmu...” tiba-tiba Meyta melihat kepala Mamanya yang nongol dari balik pintu.
“Aman Ma..., nggak kenapa-napa koq..., cuma nggak bisa tidur aja.” jawab Meyta.
“Mau Mama bikinin coklat hangat?”
“Nggak usah Ma, makasih, nanti malah ngompol...”
“Hus, kamu itu...” Mama Meytapun hilang di balik pintu.

Sejak tadi pula sudah dicobanya berjongkok, push-up, senam, lari di tempat, khayang, koprol, dan lain-lain, kecuali nempel di dinding. Tapi tetap saja matanya tidak juga mau terpejam. Sama sekali tidak mengantuk dan pikirannya melayang ke peristiwa tadi sore ketika motornya ngambek, kemudian perjumpaan yang  tidak terduga dengan pemuda tadi.

Pemuda tadi penampakannya lumayan oke. Dengan sepasang alis mata yang rapi dan tebal mirip bentuk sebatang golok dan sorot matanya tajam.  Kulitnya putih bersih, berambut hitam lurus, dan lumayan tinggi. Mungkin Meyta hanya setinggi bahunya, padahal untuk ukuran seorang gadis, 160cm itu kan sudah termasuk tinggi lho.

Sosok pemuda itu mengingatkan Meyta pada aktor pemeran 007, Pierce Brosnan atau pemeran Mr. Steele dalam tivi seri lama, Remington Steele. Film kesukaan Mama. Tapi ada visual Asia juga sih, seperti Jo In Sung, aktor Korea kecintaannya yang keren banget waktu main di That Winter, the Wind Blows......, huhuhu....

Tapi kalau melihat bentuknya dengan deskripsi itu, orang mungkin akan menduga kalau pemuda tadi, siapa namanya, Langgeng..., ya Langgeng, mungkin orang akan menduga kalau suara dan tindakannyanya dingin serta kasar. Padahal sesungguhnya ternyata orangnya sopan dan kaleeemmmm. Memory Meyta berputar terus seolah sedang menayangkan adegan ulang sebuah scene film. Terus menerus menampakkan wajah Langgeng.

Meyta mengambil ponselnya dan melihat kontak Langgeng yang ditulisnya sendiri tadi. Ada WA-nya, tapi tidak ada foto profilnya. Hanya gambar orang-orangan bawaan dari aplikasinya.

“Ah, mungkin dia orangnya pemalu....” pikir Meyta sambil tersenyum sendiri, walaupun sedikit kecewa. Hei..., padahal mukanya nggak malu-maluin lho.

Senyumannya juga bikin hati langsung meleleh. Yang membuat  Meyta tadi seolah tersihir dan langsung menuruti semua kata-katanya.

Heran juga Meyta pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa sejinak itu pada orang asing yang baru pertama kali dijumpainya. Melongo seperti monyet terkena sambit.

Coba seandainya pemuda itu penjahat, pasti motor dan ponselnya sudah raib dibawa kabur. Orang Meyta dengan sukarela menyerahkannya begitu saja.

“Langgeng memang bukan penjahat yang mencuri motor atau ponsel, tapi mencuri hatiku dan dibawa kabur entah ke mana...., hihihi.....” Meyta tersipu sendiri dan menutup wajahnya dengan selimut.

Membayangkan wajah Langgeng saja, membuat dada Meyta berdegup dengan kencangnya. Seolah ada lomba memukul genderang di sana. Semoga ini bukan gejala sakit jantung. Meyta mulai panik dan meraba dahinya, tidak panas atau keluar keringat dingin koq. Tanpa sadar Meytapun tertidur dengan membawa seberkas wajah penuh senyum di benaknya.


*****   *****   *****


(besok sorenya)

Kali ini sengaja Meyta melambatkan laju motornya ketika melewati tempat motornya mogok kemarin. Kata Langgeng kan rumahnya tidak jauh dari pos ronda itu, agak ke depan sedikit. Barangkali dia ada di rumah, pikir Meyta sambil melemparkan pandang mencari-cari bangunan rumah di sekitar situ.

Cuaca cerah. Jalanan tidak sesepi kemarin. Ada beberapa  kendaraan yang melintas, walaupun tidak seramai jalan utama. Dan terlihat juga orang-orang yang melakukan aktifitas seperti biasa di depan rumahnya.

Meyta masih mencari-cari, sampai akhirnya..... Itu dia dekat tikungan kecil.

Ada sebuah rumah bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas. Tampak juga sebuah Jeep berwarna hijau tua di depan garasi yang sepertinya sedang dicuci. Ada selang yang mengitari mobil itu, tapi tidak kelihatan orang yang sedang memegang ujung selangnya.

Meyta penasaran sekali sampai nyaris menghentikan motornya untuk melihat siapa yang sedang mencuci mobil. Apakah Langgeng? Dug. Dug. Dug. Meyta deg-degan.

Tapi pikiran sehat serta gengsinya segera menyergap, yang membuatnya terus melajukan motornya dan tidak jadi berhenti.

“Apa-apaan kamu Meyta..., dasar tidak tahu malu....” katanya merutuki dirinya sendiri.

Tapi senyuman Langgeng kembali bermain di benaknya, membuat wajahnya kembali panas dan dadanya berdegub tidak beraturan. Ini sudah berkali-kali menimpanya hari ini. Membuatnya tidak dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya, padahal berkas Proposal Renovasi Gedung harus diserahkan ke Atasannya besok pagi.

“Ya ampun...., apa yang sebenarnya terjadi padaku?” Meyta melajukan motornya seperti ada yang mengejar. Di tikunganpun dia sampai miring-miring. Rossy aja lewat dah!

“Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?” Meyta merasa otaknya ikutan kacau.

Bertemu orangnya juga cuma sekali. Itupun tidak lama. Siapa dia, apakah masih single atau sudah menikah juga tidak tahu. Tapi kenapa pesonanya begitu mengikat? Kenapa bayangannya tidak mau pergi dari kepala? Apakah dia pakai pelet? Hah?!

Meyta menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir wajah Langgeng dari benaknya.
Husss...!
Husss...!!
Tidak boleh begini!
Tidak boleh begini!!


*****   *****   *****


(delapan jam kemudian)

Berada di tempat tidurnya, kembali Meyta mengalami hal seperti kemarin. Tidak dapat memejamkan matanya walaupun dia sudah ingin sekali tidur. Hati dan pikirannya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Ngitung anak ayam turun seribu sampai anak ayamnya bercicit juga nggak tidur-tidur.

“Baiklah, kucoba sekali aja deh..., biar nggak penasaran... Nyapa doang....” Meyta mengambil ponselnya dan mulai mencoba mengirim chatt ke kontak Langgeng via WA.

{Hai....}
{Ini Meyta Mas, yang beberapa hari lalu motorku mogok dan Mas Langgeng bantuin aku...} Meyta mengetuk tanda kirim di ponselnya.

Satu detik. Dua detik...., lama sekali sih......, huft!

Sebetulnya belum juga satu menit, tapi rasanya Meyta sudah menunggu selama tigabelas tahun. Meyta mempelototi terus ponselnya, menunggu jawaban. Rasanya lebih menegangkan dibanding menunggu hasil ujian SIM yang pengujinya galak.

Tingtong tingtong...

Ponsel Meyta berteriak di tangannya. Meytapun langsung bangun dari rebahan dan melihat ke layar ponselnya. Yihaaa...!!

{Oh, iya Mbak Meyta..., apa khabar?}
{Koq belum tidur?} begitu balasan Langgeng.
{Habis ini tidur koq...}
{Cuma mau ngomong kalau tadi tuh aku lewat depan rumah Mas Langgeng, dan kebetulan lihat mobil yang sedang dicuci...} Meyta sengaja membuat kalimat terbuka, biar nggak kentara banget kalau pingin tahu.
{Iya, aku tadi memang lagi nyuci mobil...., tapi motornya nggak mogok lagi kan?} jawab Langgeng. Cuhuii...., dia sudah pakai kata ganti ‘aku’ sekarang. Nggak formal banget kaya kemarin itu, pikir Meyta.
{Aman mas..., aku selamat sampai rumah koq...} jawab Meyta.
{Kalau lewat depan rumah lagi, Mbak Meyta silahkan mampir lho...}

Ternyata Meyta nggak langsung tidur seperti katanya tadi, sebab obrolan berlanjut sampai hampir dua jam. Macam-macam yang diobrolkan. Mulai dari a sampai z deh pokoknya.

Dari situ Meyta jadi tahu kalau Langgeng tinggal sendirian di rumah itu karena sebetulnya rumah itu hanya semacam rumah peristirahatan. Ya biasalah..., orang-orang yang sibuk dan punya duit selalu punya tempat untuk melarikan diri dari kejenuhan. Apalagi lokasinya pinggiran kota di kaki pegunungan seperti ini. Sungguh tempat yang ideal untuk menyepi.

Semua keluarganya tinggal di Surabaya. Langgeng sendiri  juga sedang liburan dari kuliah S2nya di London. Dan ini yang paling penting, katanya sih, saat ini Langgeng sedang Zero alias kosong alias sedang nggak punya pacar, makanya dia bebas ke mana saja, ngapain saja, sampai berapa lamapun sesukanya.

Ada harapan nih. Setan genit mulai menggoda. Mengkilik-kilik hati Meyta.

{Berarti nggak lama lagi balik ke London dong?} Meyta mencoba bertanya biasa saja, padahal tiba-tiba dia merasa ada batu yang mengganjal di lehernya yang membuatnya jadi sulit bernafas.
{Kira-kira sampai akhir bulan masih di sini.}

Alamak. Akhir bulan itu nggak sampai dua minggu lagi, pikir Meyta dengan dada sesak seolah merasa di PhP pacar.

Malam ini Meyta tidur dengan mimpi buruk. Mimpi kaki digigit ular, tapi kemudian ularnya mati keracunan darah Meyta. Jadi bukannya Meyta yang keracunan bisa si ular. Haduuh, dasar mimpi nggak sopan, bikin cerita sendiri yang nggak sesuai dengan pakem.


*****   *****   *****


(besok sorenya)

Meyta memarkir motornya di depan pagar rumah Langgeng, dan baru akan memencet bel ketika tampak Langgeng keluar dari garasi.

“Motornya bawa masuk aja, daripada dibawa orang...” kata Langgeng sambil membuka pintu pagar lebar-lebar dan mengambil alih menuntun motor Meyta.

Meyta mengikuti Langgeng yang membawa motornya sampai ke depan garasi.

“Nih, tadi aku sekalian lewat Mas...” Meyta menaruh dua  cup es kopi susu dan sekotak pisang bolen di meja teras setelah keduanya duduk.
“Kamu bawa bekal sendiri takut kalau seandainya di sini nggak ada apa-apa ya?” kata Langgeng sambil tertawa.
“Padahal kamu ingin apapun, aku pasti akan usahakan ada...” sambungnya.
“Ih, kaya Jinnya Alladin dong...., mau apa tinggal clink.....” Meyta tertawa.
“Yaah, kurang lebih seperti itulah....” Langgeng tersenyum sambil menatap Meyta.

Ssst..., sejak semalam di chatt, Langgeng sudah tidak lagi memakai embel-embel ‘mbak’ tiap memanggil nama Meyta. Pokoknya mereka berdua sekarang sudah akrab gitu deh.

Langit memang seolah akan selalu berhiaskan pelangi dan bertabur bintang bila dua hati yang berpijar sudah bersambut dan saling mengait, bukan saling menyambit lho. Semuanya luar biasa, tidak terkira. Begitu juga yang dirasakan Meyta saat ini.

“Halaman seluas ini, siapa yang rapihin?” tanya Meyta sambil memandang berkeliling. Rumput yang terpotong rapi, bunga-bunga juga tampak bermekaran dengan indah. Serta tidak ada sehelai daun keringpun yang merusak keindahannya. Seperti lukisan.

“Semua kukerjakan sendiri..., kan aku lagi nganggur. Seharian nggak ngapa-ngapain bosen juga...” jawab Langgeng.
“Ya jangan di rumah terus dong, sesekali main ke mana gitu...” usul Meyta.
“Sudah. Tadi siang aku main ke kantormu...” jawab Langgeng santai.
“Hah? Emang tau di mana kantorku?” tanya Meyta tidak percaya.
“Kan aku ikutin kamu, waktu tadi pagi berangkat lewat sini...” jawabnya.
“Emang iya?”Meyta masih tidak percaya, “Koq nggak masuk atau menyapaku?” sambungnya.
“Aku cuma ingin memastikan kalau perjalananmu aman, selamat sampai tujuan aja...” jawab Langgeng.

Pipi Meyta merona seolah terbakar. Hati Meytapun seperti ingin meledak karena kegirangan. Senang sekali rasanya ketika ada seseorang yang mulai mengkhawatirkanmu dan menjagamu supaya tetap aman.

“Mau lihat-lihat ke dalam?” Langgeng menawarkan wisata rumahnya, hehehe....
Sekali lagi Meyta kagum dengan kerapian isi rumah Langgeng. Benar-benar tampak seperti di foto-foto iklan perumahan atau mebel. Semuanya tertata dan terkomposisi dengan baik. Bukan mewah, tapi sungguh elegant.



*****   *****   *****


(suatu malam, satu minggu kemudian)

{Besok mau nitip dibawain apa?} tanya Meyta sebelum mengakhiri chatting mereka.
{Nggak nitip apa-apa dan kamu juga nggak usah bawa apa-apa...} balas Langgeng.
{Kamu datang aja aku sudah senang, dan kamu juga tinggal bilang kamu ingin apa, nanti pasti kusiapin}

Meyta yang biasa insomnia, kali ini kebalikannya.

Ketika Meyta sudah sangat mengantuk dan matanya berkali-kali merem sendiri, dia tetap saja bertahan untuk tidak tertidur supaya bisa berlama-lama ngobrol dengan Langgeng. Rasanya sayang sekali kalau waktu yang ada dipakai untuk tidur. Kalau perlu kelopak mata diganjel pakai batang korek api.

Konyol memang, karena besok pagi Meyta kan harus berangkat kerja dan beraktifitas seharian. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, semua hal konyol itu terasa membahagiakan.

Kalau bisa, waktupun disuruh berhenti.
Ayam yang mulai berkokokpun disumpahin.
Aurora yang mulai mengintip malu-malu segera diusir kembali.
Apollo yang siap menyergap Daphne diikat dari belakang.

Intinya adalah, waktu ini janganlah pernah berlalu. Kemesraan ini, janganlah pernah berlalu.

Orang jatuh cinta memang selalu ingin mengacaukan dunia persilatan. Eh, dunia normal ding.

Kukuruyuuukkkk......



*****   *****   *****


(rindu yang tertahan)
(besok sorenya lagi)

“Maaf Mbak, jalannya ditutup kecuali penghuni. Banyak pohon tumbang karena hujan tadi siang. Sekarang masih belum selesai dibersihkan. Rumah-rumah juga banyak yang tersapu angin puting beliung.”

Motor Meyta dihentikan oleh para warga yang nampak sedang bersama-sama membersihkan jalan alternatif yang biasa dilewati Meyta akhir-akhir ini.

Tadi siang memang hujan deras sekali disertai angin puting beliung yang menerjang kota ini secara merata. Meyta sendiri juga melihat bagaimana seremnya pepohonan yang meliuk-liuk tersapu badai dari lantai dua kantornya.

Wah, gimana kondisi rumah Langgeng ya...., semoga dia baik-baik saja. Pikir Meyta sambil memutar kembali motornya dan terpaksa lewat jalan utama yang sedang macet menyebalkan itu.

Sampai di rumah, Meyta segera masuk kamar, melemparkan tasnya entah ke mana. Kemudian merebahkan diri di ranjang dan mengambil ponselnya.

{Mas, aku tadi nggak boleh lewat jalan depan rumahmu. Katanya banyak pohon tumbang}
{Gimana kondisimu...}

Meyta menunggu jawaban dari Langgeng yang lamanya seperti tujuhbelas tahun.

{Iya nih..., rumahku kacau balau. Tertimpa pohon randu yang tumbang} akhirnya jawaban Langgeng masuk juga.
{Tapi kamu nggak apa-apa kan?} tanya Meyta.
{Aku sih nggak apa-apa...., hanya harus beberes sedikit}
{Sementara, kamu juga jangan lewat jalan sini dulu deh, masih berbahaya. Banyak pohon yang rawan tumbang}
{Aku juga lagi mikir, apa pindah aja ya...}

Meyta membaca chatt Langgeng sambil berpikir separah apa kondisi rumahnya, koq sampai membuat Langgeng mau pindah.
Malam ini gimana tidurnya?

Terbayang kembali dalam ingatan Meyta keindahan dan kerapian rumah Langgeng di semua sudut. Pasti dia tidak betah melihat kondisi rumahnya yang berantakan. Pasti parah.

Meytapun bertekad, besok pagi ketika akan berangkat kerja, dia akan nekad lewat jalan itu. Apapun yang terjadi, dia harus melihat kondisi rumah Langgeng. Kalau motor nggak boleh masuk, jalan kaki juga nggak apa-apa.

Cie cieee, ....



*****   *****  *****


(seperti mimpi di siang bolong)

Meyta sengaja berangkat ke kantor agak pagi sebab ingin mampir dulu ke rumah Langgeng. Ingin melihat seberapa parah kerusakan rumahnya. Mungkin dia bisa bantu sesuatu.

Jalanan sudah dibuka. Banyak kendaraan yang lewat seperti biasanya.
Di kanan kiri jalan tampak beberapa onggok bekas patahan ranting-ranting pohon dan dedaunan. Sisa kekacauan kemarin.

“Ciiiit.......” Meyta mengerem motornya. Lho, koq tiba-tiba motornya sudah sampai di ujung jalan? Rumah Langgeng mana? Apa Meyta tadi melamun, sampai-sampai nggak terasa kalau rumah Langgeng sudah terlewat?

Terpaksa Meyta memutar kembali motornya, berbalik arah menuju rumah Langgeng.

Sampai di tikungan kecil dekat rumah Langgeng, Meyta melihat sebuah mobil pick-up yang diparkir  dan beberapa orang laki-laki yang sedang memotong pohon randu yang tumbang dengan gergaji mesin.

Benar seperti yang Langgeng bilang kemarin, ada pohon randu yang tumbang dan jatuh ke rumahnya, Pikir Meyta.

Tapi mana rumah Langgeng?

Tidak ada apa-apa di lahan kosong tempat tumbangnya pohon randu itu kecuali semak belukar dan para pekerja itu.

Apa Meyta salah lokasi?

Meyta melemparkan pandangnya berkeliling mencoba mengingat tanda-tanda yang mungkin dikenalnya.

Tidak salah lagi, pasti di sini rumah Langgeng. Tapi kenapa tidak ada?

“Maaf Pak, selain ini, apakah ada pohon randu lagi yang tumbang di jalan ini?” Meyta yang penasaran mencoba bertanya pada salah seorang pekerja itu.
“Nggak ada Mbak..., pohon randu di jalan ini ya tinggal ini. Kalau dulu sih memang banyak tumbuh di sepanjang jalan ini...., tapi sudah pada tumbang atau dipotong...” jawab salah satu pekerja itu.
“Apa...... di sini tadinya ada rumahnya Pak?” lirih Meyta mengucapkan kalimat yang sebetulnya, sejujurnya, tidak ingin didengar jawabannya.
“Nggak ada mbak, dari dulu tanah ini dibiarkan kosong seperti ini oleh pemiliknya. Saya kan asli sini...”

Dhuarrrr!!

Meyta merasa seolah langit runtuh di depannya.

Kakinya tiba-tiba terasa lemas, keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuhnya yang gemetar.

“Di mana Langgeng? Siapa dia sebenarnya?” Pikiran rasional dan irasional Meyta berkelahi sendiri. Saling mencoba mencari pembenaran masing-masing. Saling menyalahkan masing-masing.

Gustiiiii....., apa yang terjadi?

Akhirnya terucap tanya sebagai puncak ketidak mampuan diri.

Meyta benar-benar merasa jiwa raganya sakit, sehingga memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Biarlah hari ini dia membolos kerja. Percuma juga ke kantor kalau jiwa dan raganya berjalan sendiri-sendiri.



*****   *****   *****


(peperangan)

Sampai di rumah, suasana gelap dan sepi, sepertinya Mamanya sedang pergi. Meyta segera masuk kamar, melemparkan tasnya entah kemana. Kemudian merebahkan diri di ranjang dan melemparkan ponselnya. Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Seisi jagad raya tidak akan ada yang tahu perasaannya saat ini. Meyta mengambil sehelai selendang dan mengikat kepalanya.

Jangan berpikir. Jangan berpikir.

Tingtong tingtong....

Ketika sangat tidak diharapkan berbunyi, kenapa ponselnya sekarang malah berbunyi sendiri?

Meyta enggan melihat ponselnya. Tapi takut juga kalau orang kantor mencarinya, walaupun tadi dia sudah ijin. Galauuu.

Tingtong tingtong....
Tingtong tingtong....

Berturut-turut ponselnya berteriak mencari perhatiannya. Meyta melirik ponselnya yang berada di ujung kasur dengan sudut matanya yang sedikit terbuka.

Terlihat Langgeng mengirim pesan padanya. Tapi diabaikannya. Ditariknya selimut untuk menutupi seluruh wajahnya.

Meyta bukan gadis penakut. Dia tidak pernah takut pada jin, hantu, atau yang lainnya. Dia tahu pasti situasai dan kondisi yang dialaminya saat ini. Sehingga diapun paham batas-batas yang dapat ditolerir dan membuatnya sulit menerima.

Tingtong tingtong....

Mau apa lagi dia? Siapa dia? Mau apa lagi dia? Siapa dia? Mau apa lagi dia? Siapa dia? Tidak terasa, sebutir air bening menetes dari sudut mata Meyta.

Hatinya sakit.

Pantas saja kondisi rumah Langgeng begitu asri dan apik bagaikan lukisan, orang semuanya buatan. Apa lagi itu S2 di London? Prettt!!



*****   *****   *****


(semakin memuncak)

Butuh tiga jam buat Meyta untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Butuh tiga jam sampai akhirnya pergolakan dalam dirinya mencapai titik jenuh.

Senyuman dan suara hangat Langgeng terus bermain di benaknya. Candanya. Perhatiannya. Semua masih segar dalam ingatan, serta begitu nyata. Membuat Meyta luluh.

“Please, buka ponselmu.....” tiba-tiba sebuah suara berdengung dalam hati Meyta.

“Please...”

Akhirnya Meyta bangun dan duduk, kemudian meraih ponselnya serta membuka pesan dari Langgeng.

{Meyta...}
{Maafkan aku...}
{Aku memang salah sudah membohongimu}
{Ijinkan aku menemuimu sekarang...}
{Please...}

Meyta terpekur. Sekali lagi Meyta bukan gadis penakut. Dia hanya belum siap menerima kalau hal seperti ini harus dialaminya. Kenapa harus terjadi padanya? Tapi dia butuh kepastian.

{Baiklah...} Meyta mengetuk tombol kirim.
{Trimakasih....} balas Langgeng.
{Sekarang tolong pejamkan matamu dan buka perlahan-lahan...}

Meyta memejamkan matanya dan menarik nafas panjang, kemudian perlahan-lahan membuka matanya.

Clink!!!

Sosok itu ada di sana. Ada tepat di depan mata Meyta. Di dalam kamarnya. Dan mereka berdua saling bertatapan.

Degub jantung Meyta berdetak tidak karuan. Kalau bisa melompat, mungkin jantungnya sudah kabur daritadi. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi dia harus percaya.

Penampakannya tetap seperti biasanya, sorot matanyapun masih tetap seperti Langgeng yang kemarin dijumpainya.

Meyta beringsut mengunci pintu kamarnya. Dia tidak ingin Mamanya mati berdiri ketika melihat ada laki-laki dalam kamarnya saat pulang nanti.

“Kamu sudah tau siapa aku?” suaranyapun masih tetap seperti kemarin. Meyta mengangguk pasrah.
“Maafkan aku kalau kamu harus tahu dengan cara seperti ini dan membuatmu terkejut. Aku tidak merencanakan seperti ini...” Langgeng menarik kursi  mendekat ke depan Meyta yang duduk di tepi ranjangnya.
“Apa maumu?” Meyta to the point. Kepalanya serasa kosong, entah menguap ke mana isinya.
“Aku menyukaimu...”

Karena kepala Meyta masih kosong, maka diapun tidak dapat langsung mencerna kalimat itu. Dia hanya diam dengan wajah datar ketika mendengarnya. Bernafaspun sampai lupa caranya. Hanya sepasang matanya yang berkedip yang menandakan kalau dia masih belum pingsan.

“Sejak hari pertama kamu lewat jalan itu, aku sudah menyukaimu.... Apa kamu ingat ketika sepulang kantor selendangmu hampir terlepas dan kamu berhenti di tepi jalan untuk membetulkannya?” tanya langgeng.

Isi kepala Meyta perlahan-lahan berdatangan kembali dan mulai memenuhi tengkorak kepalanya sehingga mampu membuatnya memutar kembali peristiwa hari itu.

Benar. Hari itu adalah hari pertama Meyta mengambil jalan alternatif. Dan karena terburu-buru waktu pulang kantor, dia asal mengalungkan begitu saja selendang ke lehernya. Yang kemudian di tengah perjalanan hampir terlepas.

Meyta ingat berhenti di tepi jalan untuk membetulkan ikatan selendangnya. Dan sekarang, kalau diingat-ingat lagi...., tepi jalan itu adalah di bawah pohon randu yang tumbang tadi. Tepat di depan rumah Langgeng.

Aaaahhh....., Meyta memegang kepala dengan kedua tangannya.

“Sejak saat itu, aku selalu menunggumu lewat dan berusaha mencari cara untuk bisa berkenalan denganmu...”
“Sampai akhirnya kutemukan cara untuk membuat motormu seolah-olah mogok...., maafkan aku ya...”

Jadi kejadian motor mogok itupun sudah direncanakan? Itu semua ternyata adalah hasil rekayasa? Jahat sekali dia. Bagaimana kalau saat itu benar-benar ada perampok?

“Aku sudah jatuh hati padamu, aku benar-benar tidak dapat mengabaikannya. Aku ingin selalu melihatmu dan bersamamu..., walaupun aku tahu kita berdua berbeda.”
 “Apakah kamu tidak punya rasa yang sama? Walaupun cuma sedikit?” suara Langgeng memelas.

Tidak dapat dipungkiri kalau Meytapun sebenarnya juga merasakan hal yang sama terhadap Langgeng. Tapi apakah ini mungkin? Kalau ini mimpi, Meyta ingin segera bangun dari mimpi ini karena dia sungguh tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya.

Meyta sedih dan bingung, yang tanpa sadar kemudian meneteslah airmatanya , “Beri aku waktu...” akhirnya Meyta memutuskan.

“Baiklah, tapi jangan menangis...., aku tidak tahan melihatmu sedih.” Langgeng mengulurkan tangannya dan menghapus air mata Meyta yang lama-lama sederas air sungai.
“Aku tahu ini semua berat bagimu, dan aku tidak ingin menjadi beban buatmu. Bolehkah kutunggu sampai besok apakah kamu mau menerimaku atau tidak?”

Sekali lagi, Meyta hanya sanggup menganggukkan kepalanya.

“Pakailah cincin ini. Kalau besok kamu sudah siap menjawab dan menerimaku, gosoklah mata cincin ini sambil memanggil namaku. Maka aku akan segera muncul di depanmu. Kalau kamu tidak ingin menjumpai aku lagi, lepaskan cincin ini dan buanglah.” Langgeng memasangkan sebentuk cincin cantik bermata merah delima ke jari manis tangan kiri Meyta.



*****   *****   *****


(akhirnya)

Sudah hampir satu jam Meyta duduk di ranjang sambil memandangi cincin cantik di jari manisnya dengan perasaan yang tidak menentu. Angannya kembali melayang ke hari-hari kemarin. Ketika hatinya dipenuhi bunga-bunga rindu pada Langgeng, dan kemudian rasa bahagia yang meledak ketika mereka bertemu.
Angannya juga melayang membayangkan adegan di mata orang lain yang seolah tampak dia berbicara dan tertawa sendiri, padahal sesungguhnya dia sedang bercengkrama dengan Langgeng.
Pilihan mana yang harus dibuatnya? Kenapa pilihan cintanya begitu rumit?
Hati atau Nalar?
Akhirnya Meytapun mengambil keputusan, diciumnya cincin itu sambil mengucap, “Bismillah.....”



                               ***** selesai ah, terusin sendiri-sendiri*****



Malang, 23 Februari 2020
**) terinspirasi pohon randu dekat rumah yang ditebang.