Minggu, 29 Juni 2014

20 Tahun




Hmm, sudah 20 tahun ya…
Seolah baru kemarin  mamie ajak kau menikmati dunia…
Sudah cukup banyak jejak yang tercipta,
termasuk karya, lara, dan asmara,
tampaknya…

20 tahun memang cukup tua,
Tapi bukan berarti semua langkah sudah bijaksana…
Banyak hal yang terkadang membuat alpha,
untuk itu janganlah menjauh dariNya,
itu baiknya…

Selamat bertambah usia,
Jangan berhenti melangkah dan menatap asa,
Bahagiamu akan berlipat dua mamie rasa,
sakitmu adalah seribu lara yang mamie punya…
(mamie akan selalu menyediakan dada,
mendekapmu setiap masa…),
dan apada akhirnya,
Ingatlah untuk selalu berserah padaNya…


Surabaya, 30 Juni 2014
(buat anakku Rieke Aria Saputri yang hari ini bertambah usia)

Senin, 23 Juni 2014

Aku…, Manusia

                                   Doddy Winarto: Ini lho orang paling tabah.habis kedukaan 
                                   tapi semangatnya luaaarrrbiasaaa....just say "show must go 
                                   on"......saluutt brow Yudef

 


Ya, aku…, manusia, punya rasa punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati….
Entah kenapa kali ini aku ingin memulai tulisanku dengan kalimat itu. Syair lagu yang agak kuplesetkan dikit, kata rockernya kuganti menjadi ‘aku’.

Kemarin adalah tanggal 22 Juni 2014, saat diadakan Reuni Akbar alumnus SMAN-3 angkatan 1984. Hari kedua aku merasa metabolism tubuhku agak kacau, sehingga tubuh enggan dibawa bangun. Tapi aku harus bangun, karena ada dua hal yang harus kulakukan hari ini.

Pertama, mampir ke rumah sahabat lamaku yang 3 hari lalu ayahnya sudah mendahului dipanggil Yang Kuasa, dan aku belum sempat ke sana karena kondisiku yang tidak fit tadi, yang kebetulan pula rumahnya tidak jauh dari lokasi reunianku akan diadakan, yaitu di Aula Sekolah SMAN-3 Surabaya. (jamanku dulu sih aula ini belum ada)

Yang Kedua adalah menghadiri acara reuni itu sendiri. Dimana banyak teman yang mungkin baru akan kujumpai setelah 30 tahun kami berpisah.

Kusuruh keponakanku menghentikan motornya di depan rumah yang masih tampak ada kursi-kursi plastic bertumpukan. Ada beberapa motor juga.
“Sudah Pang, sini aja…. Tinggal aja, nanti aku pulang sendiri…” kataku pada keponakan yang mengantar.
Kulangkahkan kakiku masuk ke rumah yang berpuluh tahun lalu akrab kudatangi. Ada seorang laki-laki muda yang kucermati agak mirip dengan wajah sahabatku di masa mudanya dulu. Kurasa ini adalah adik bungsu temanku yang dulu masih kecil.
Kulihat dia tersenyum, walaupun sempat agak kaget juga ketika melihatku. Rupanya dia tidak merasa asing dengan wajahku dan mengenali aku sebagai salah seorang sahabat kakaknya dimasa muda dulu.
“Ibu ada mas?.....” tanyaku.
“Ada mbak…..” katanya sambil masuk ke sebuah kamar. Aku melihatnya keluar dengan wajah sedikit kikuk.
“Kenapa? Ibu tidur?” tanyaku. Dia mengangguk, “Iya mbak, sedang tidur…”
Aku juga mengangguk, ya sudahlah nggak apa-apa, biarkan saja kalau sedang tidur. Tapi aku juga ingin melihat keadaan beliau saat ini yang kudengar katanya juga sedang sakit, pikirku.

Kemudian aku melangkah masuk ke kamar, dan kulihat sesosok tubuh kurus tampak terbujur di sana. Kedua kakinya tampak kaku menekuk ke dalam yang artinya sudah tidak berfungsi lagi. Tangan kirinya juga tampak ditopang sebuah bantal dengan kondisi jari yang kaku. Tidak ada daging berlebih yang menempel di tubuh itu, tinggal kulit keriput yang membungkus tulang. Wajahnyapun sudah tidak segar lagi, wajah seorang nenek-nenek yang sedang sakit.

Subhanallah....Ya Allah, kondisinya ternyata lebih parah dari ibuku. Aku bersyukur ibuku dalam kondisinya saat ini masih dapat berjalan walaupun harus tertatih dengan bantuan tongkat.
Sebisa mungkin aku mencoba menahan titik air yang hampir tumpah dari bendungannya. baru saja aku membungkuk di samping ranjang itu dan ternyata beliau membuka matanya. Aku mengelus tangan kirinya yang kaku tak berdaya itu perlahan.
“Hallo tante, saya aan, masih ingat nggak?” tanyaku perlahan dengan harapan tipis beliau akan mengenaliku dengan kondisinya yang demikian.
“Masih ingat nggak, teman mas Yudhi yang rumahnya depan gereja?” kata adik temanku.
“Aan….” Panggilnya lirih.
“Iya tante, masih ingat ya….” Tanyaku terharu.
“Anakmu berapa An…. “ tanyanya.
“Dua orang tante…” jawabku sambil duduk bersila di lantai. Kulihat adik temanku meninggalkan kami kembali keluar menemui temannya.
“Tante, saya minta maaf, kemarin nggak bisa datang waktu om meninggal…”
“Maafin om ya An…, mungkin ada kesalahan-kesalahannya….” Jawabnya.

Pembicaraan kami diawali dengan yang ringan-ringan sampai beliau menceritakan kepergian suaminya 3 hari lalu. Juga menceritakan mulai kapan beliau menderita sakit itu.
“Kamu awet muda, orang pasti nggak tau kalau anakmu sudah gede….” Katanya.
“Hohoho…, trimakasih tante, masalahnya saya belum insaf nih, jadi masih begini aja dandanan saya…, takut kelihatan tua tante….” jawabku. Beliau terkekeh.
“Cara ngomongmu lho koq pancet ae*) An…” katanya lagi.
“Ada reuni di sekolahan…” katanya.
“Iya tante, saya tahu…, biarin aja mereka olah raga sendiri…, apaan sudah tua-tua gini koq masih disuruh olah raga. Sudah dandan cantik-cantik gini, eman*) nanti bedak saya luntur…, nggak bisa dapat gebetan lak’an*)…., mau cari CLBK saya tante….” Jawabku sambil melihat jam. Nanti saja jam 10.00 aku pamitan, pikirku. Si tante makin tergelak mendengar kata-kataku…..
“Jadi kamu belum ke sekolahan?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Saya mau nunggu waktunya makan aja baru datang tante…” jawabku. Beliau tertawa lagi.

Banyak beberapa cerita nostalgia lagi yang kami urai kembali. Ingatannya ternyata masih sangat kuat, padahal bicaranyapun sudah tampak susah payah karena kondisi sakitnya. Aku salut. Duluuuu, selain rumahku, rumah sahabatku inilah yang paling sering dipakai teman-teman nongkrong. Jadi, seperti halnya ibuku, ibu temanku inipun sangat akrab dengan teman-teman kami. Hampir setiap person beliau mengingatnya.

Ketika jam menunjukkan waktu pukul 10.00, akupun pamit, “Tante, saya tak ke sekolahan dulu ya…, pasti sekarang sudah waktunya makan…” kataku.
Beliau kembali tertawa.
Kucium kedua pipinya dan aku pamit.

Memang tidak cukup waktu setengah jam untuk mengejar ketinggalan nostalgia, membayar waktu setelah sekian puluh tahun aku tidak pernah lagi memperlihatkan diri. Tapi aku cukup puas karena sempat mengajaknya bercanda dan tertawa bersama. Tetap semangat ya Tante Sabit!!


Kosa kata bahasa jawa campur aduk :
*) Pancet ae : tetap seperti dulu
*) Eman : sayang
*) Lak’an : semacam akhiran yang berarti dong atau kan, hanya untuk memperjelas maksud saja.






Surabaya, 23 Juni 2014
Selamat jalan Om Sabit, semoga dilapangkan jalan ke sisiNya dan semoga Tante sabit tetap tabah dalam menghadapi semua cobaan ini. Aamiin.
(Buat sahabatku Yudhi Effendi, turut berduka cita ya..., semoga kamu dan keluarga sabar dan ikhlas dalam menghadapi ini semua.)


Kamis, 12 Juni 2014

Ketergantungan Is Not Good




Beberapa waktu yang lalu, sudah agak lama sih, aku pernah membaca berita dari negeri seberang sono tentang seseorang yang bermaksud ‘puasa’ dari internet selama satu tahun.

Waktu aku baca itu, aku sempat tersenyum dan ngomong sendiri (dalam hati), “Apa hebatnya nggak berhubungan dengan internet selama satu tahun?”

Hhhhffftttt…….
Ternyata, selama beberapa waktu (mungkin sebulan lebih) aku tidak dapat mengakses internet dengan leluasa karena hanya berteman HP yang koneksi internetnya kadang oke kadang ogah sehingga nunggu loadingnya saja sampai ketiduran, saat itulah aku baru merasa kalau keinginan seseorang dari sono yang berniat puasa internet selama satu tahun itu sangat berharga.

Iya, bener!! Aku sudah merasakan sendiri kesengsaraan dan ketakbergunaan diri ketika tidak terhubung dengan internet. Aku merasa menjadi orang paling oon se dunia karena otakku zero informasi. Lebih dari sekedar perasaan seekor katak dalam tempurung. Aku merasa berada dalam tempurung yang ditimbun galian tanah setinggi gunung atau dibuang keluar angkasa. ***bait lebay.com.

Ini bukan sekedar berhubungan dengan orang lain dalam artian komunikasi atau chatting ya….., sebab kalau sekedar komunikasi dengan orang lain sih aku merasa sudah cukup mendapatkannya. Aku juga tidak terlalu suka chatting/ngobrol terlalu lama yang nggak kelihatan orangnya bila tidak ada topic yang jelas.  Aku lebih suka ngobrol langsung dengan manusia hidup yang bisa-bisa kulakukan seharian…. (perumpi nyata bukan perumpi maya, hehehe….)

Tidak punya koneksi internet, tidak punya computer/laptop untuk menuangkan isi kepala, sungguh benar-benar membuatku seperti layangan putus. Kreatifitas dan produktifitas serasa mandeg. Bahkan sekedar mengeluarkan isi kepala menjadi sebait dua bait tulisan saja tidak bisa. Menggoreskan pensil di atas kertas saja tidak berbentuk. Akhirnya banyak moment-moment bagus yang terpaksa harus lepas dari genggamanku. Tidak sempat terekam baik dalam tulisan ataupun goresan. Fayaaahhhh!!!!

Padahal dulu nih, duluuuu……., waktu belum melek computer dan internet tuh aku bisa saja menulis di kertas pakai pulpen (atau pakai mesin tik manual), mengeluarkan isi kepala dengan lancar jaya walaupun harus menghabiskan berlembar-lembar kertas coretan dulu sebelum jadi bacaan yang bisa dibaca manusia.

Kenapa sekarang aku jadi begini? Sifat super malasku yang menjadi dasar atau karena ketergantungan yang parah pada benda-benda ini ya?!

Kalau jawabannya karena sifat super malasku, wah… itu sih sudah bawaan orok, nggak bisa diganggu gugat dan diperdebatkan lagi. Urusan cukup hanya sampai di sini, titik, tutup.

Tapi kalau jawabannya karena ketergantungan pada benda-benda ini….., wah, ini sih is not good dong…. Harus dicari solusinya. Harus up grade otak dan hati supaya kembali stabil.

(Apakah kisah seseorang dari sono yang kutulis di awal tadi juga termasuk upaya dirinya untuk meng-up grade dirinya sendiri ya?! Jadi kepikiran nih….)

Tapi, ketergantungan yang kurasakan ini memang tercipta karena situasi dan kondisi lingkungan terkini lho. Contohnya nih, kalau aku mendapat pesanan design leaflet nih, kalau semua harus kukerjakan secara manual kan pasti akan memakan waktu yang cukup lama, karena harus menggambar satu demi satu, lembar per lembar, menulisinya,  mewarnai satu demi satu dan seterusnya.

Dengan adanya computer, aku cukup menggambar manual beberapa saja dan tinggal sunting sana sunting sini, tempel sana tempel sini, mewarnaipun nggak perlu beli cat air tapi tinggal pencet tombol, sehingga dalam waktu relative singkatpun dapat menyelesaikan beberapa design, sehingga deadline dari pemesan dapat terpenuhi.

Terus, aku harus bagaimana dong?
Ada yang mau ngajak aku jalan-jalan untuk me-refungsikan lagi ‘aku’?

Surabaya, 13 Juni 2014
(hehehe…., kalimat penutupannya gak jelas ya?!)