Dulu katanya kalau punya anak
laki-laki bisa lebih tenang, lebih enjoy bila dibanding punya anak perempuan
yang harus senam jantung setiap saat. Huft..!! Siapa bilang?! Sama saja coy!!
Dalam hal pelajaran, waktu SD
anak laki-lakiku ini benar-benar menguras kesabaranku. Mulai kasus malas
sekolah dan seminggu hanya masuk dua hari (karena waktu itu aku tugas ke luar
kota selama 3 bulan, dan dia hanya mau sekolah kalau aku pulang), sampai kalau
di suruh belajar matematika matanya merem. Setiap ulangan sumatif dia nggak
punya jadwal, jadi nggak pernah tahu besok pagi ulangan apa. Disuruh les nggak
mau ke tempat les lain, maunya les sama guru kelasnya saja di sekolah yang
hasilnya tidak dapat maksimal karena kebanyakan peserta.
Sekarang, ketika sudah mulai
menginjak di SMP, aku agak bernafas lega dalam urusan pelajaran karena ternyata
dia cukup bersemangat menjalani sebagai siswa baru (mungkin merasa sudah gede,
sudah remaja, bukan anak-anak lagi ). Kalau ada PR, langsung dikerjakan sendiri
hanya terkadang minta ditemani karena tidak berani sendirian di dalam rumah.
Yang terakhir itu kemungkinan
karena keseringan nonton acara TV yang berbau misteri dan dunia lain, sehingga
di rumah sendiri saja nggak berani sendirian.
Yang jadi masalah sekarang ini,
yaitu ternyata di lingkungan anak laki-laki selalu saja ada acara bully
membully dan palak memalak. Pusing aku.
“Duit jajannya jangan utuh mamie,
recehan aja. Gopekan, ribuan, sama dua ribuan.” katanya ketika kuberikan uang
jajan selembar lima ribuan. Dia sendiri yang minta jajannya lima ribu saja
karena di Sekolahannya tidak ada penjual makanan yang dia suka. Katanya hanya
ada penjual kripik-kripik, cilok, dan minuman gopekan yang dia tahu kalau aku
tidak memperbolehkannya beli, dan dia selalu membawa minum dari rumah.
“Kenapa harus recehan, recehannya
buat mamie kembalian orang ngenet nanti…” jawabku.
“Nanti buat yang minta duit….” katanya
lirih. Mungkin keceplosan, mungkin maksudnya tidak akan bercerita padaku.
“Ada yang suka minta duit?
Siapa?!!” tanyaku.
“Ada, itu si A sama si B…”
“Teman jemputan? Rumahnya mana? Kenapa
nggak lapor ke bu guru?” tanyaku.
“Bukan teman jemputan tapi
sekelas…, rumahnya nggak tau di mana, mungkin dekat sekolahan…” katanya.
“Koq nggak lapor bu guru?”
tanyaku.
“Biarin mamie, mintanya nggak
banyak koq, cuma gopek jadi ngancamnya juga sedikit…” katanya santai.
“Pakai ngancam juga?!!” aku mulai
jengkel.
“Iya, tapi cuma ngomong doang….,
awas lo ya kalau bilang siapa-siapa…, gitu doang…” katanya lagi.
Hh…, ya sudahlah biarin saja, kan
cuma minta gopek gopek, pikirku terpengaruh kalimat anakku tadi. Tapi, eittt…. Tunggu
dulu!! Aku jadi berpikir keras, apa iya harus dibiarin walaupun hanya minta
gopek…, sebab bukannya itu bibit-bibit premanisme? Belajar dari gopek dulu
nanti lama-lama menjadi gobang!! (gobang=senjata). Tapi pikiranku itu
akhirnya terpinggirkan dengan hal-hal yang lain. Maklum, manusia hidup, hehehe….,
ada saja masalah di otakku yang ngantri untuk dicari solusinya.
“Mie, besok tolong jilidkan tugas
kliping IPS ya…, sudah Ndiek simpan di FD…" katanya sebelum tidur.
Malamnya kusempatkan memeriksa
dulu tugas kliping yang minta dijilidkan itu dan merapikan sedikit formatnya biar
besok tinggal di print dan dijilid.
“Nih Dek, sudah mamie jilidkan…”
kataku sepulang kerja sambil menyodorkan pesanannya.
“Tau nggak Mie, kan si C minta
dibuatkan juga klipingnya sama Ndiek…” katanya.
“Koq minta dibuatkan? Enak aja…,
suruh bikin sendiri dong. Emang gimana ngomongnya, kenapa nggak bikin sendiri?”
“Ren, bikinin juga gua klipingnya
ya! Awas lo kalau nggak lo bikinin, tau sendiri nanti!!” kata anakku.
Hhhh…hhh…, aku mulai kesal juga.
Masak pergaulan anak laki-laki di luaran sana begitu amat sih? Apa ini karena
Lokasi Sekolahan anakku yang amat jauh di Perkampungan, sehingga menganggap
semua yang tinggal di Perumahan wajib di pajakin? Tapi itu kan Sekolah Menengah
Pertama Negeri?!!
Aku jadi ingat, bertahun-tahun
lalu, ketika anak tetangga sebelah rumahku pulang dari sekolah tanpa sepatu
alias ‘nyeker’. Ceritanya, sepulang sekolah dia bersama beberapa orang temannya
(anak laki-laki semua dan masih SMP), mampir main ke Taman Topi di dekat
Stasiun Bogor. Ketika mereka sedang nongkrong, mereka dihampiri serombongan
anak laki-laki dari Sekolah lain dan dipaksa menyerahkan sepatu yang sedang
dipakainya itu. Sepatu temannya yang lain tidak diminta karena sepatu biasa,
sedang sepatu anak tetanggaku itu memang kelihatan kalau sepatu mahal. Gila
kan?!
Kata anakku, nanti kalau mamie
lapor ke Sekolahan, Ndiek bakalan akan semakin dikerjain, bisa-bisa dihajar ‘kali….
Aku terdiam.
“Kenapa sih koq Ndiek sering
dipalakin? Apa karena Ndiek badannya kecil? Apa yang lain enggak?” tanyaku.
“Yang lain juga banyak mamie,
yang malakin itu ada juga yang bukan dari sekolahan, mungkin sudah lulus tapi
nongkrongnya di kantin sekolah. Falah
yang badannya segitu gede aja hampir nangis kalau dipalakin…” kata anakku.
Gimana dong ini? Kalau aku lapor
ke Sekolah, pasti anakku nanti jadi incaran, dan aku nggak yakin kalau orangtua
anak-anak yang lain juga tahu kalau anaknya pada dipalakin. Anak-anak lainnya mungkin
nggak sepolos anakku yang semua hal diceritakan ke orangtuanya.
Kata tetanggaku, yang kebetulan
sempat kuceritakan hal ini (anaknya perempuan seumuran anakku dan sekolah di
Sekolah Swasta berbasis agama yang full disiplin di Bogor Kota, beda kondisi
banget), mending aku lapor via SMS saja ke Sekolah/Guru/Wali Kelas, tapi pakai
nomer HP lain, jangan nomer HP-ku.
Anakku sempat cerita kalau
beberapa waktu yang lalu juga ada beberapa anak yang mendapat hukuman karena
ketahuan memalak temannya. Katanya sih sempat dijemur di lapangan sambil
disuruh berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tapi ternyata anak
itu belum jera juga dan masih tetap melanjutkan kegiatan memalaknya dan
mengerjain si pelapor. Waduh!!
Ada pikiran jelek yang menggelayutiku,
yaitu…. anak-anak sebangsa anakku ini, yang tidak mempunyai daya upaya,
nantinya nih, demi menyelamatkan diri supaya tidak selalu menjadi korban palak,
maka mereka akan menerima tawaran geng pemalak itu untuk menjadi anggotanya….
Aduuuh, koq jadi kayak mafia ya? Aku terlalu parno nggak sih? Aduuuhhh….,
gimana dong?! (Tuh, kan…. Siapa bilang punya anak laki-laki lebih santai
daripada anak punya anak perempuan?)
Bogor, 27 September 2013
(lagi tepar di rumah, nggak bisa
cari duit: akhirnya parno deh…)