Rabu, 06 Juni 2012

Buat Anak Gadisku


Setelah kereta yang dinaiki anakku berangkat, aku mencari tempat duduk di peron stasiun. Tadi memang aku berdiri terus melihat ke tempat duduk anakku, walaupun terhalang dua gerbong kereta yang sejajar.  Peraturan sekarang memang melarang pengantar untuk masuk sampai ke gerbong kereta, sehingga aku tidak bisa mengantar anakku sampai ke tempat duduknya.


Aku bisa masuk ke dalam stasiun karena aku juga akan naik kereta (KRL) untuk kembali ke Bogor, tapi anakku di jalur satu, dan aku di jalur tiga. Kalau mau turun lewat rel sih bisa saja, tapi aku nanti pasti tidak bisa naik kembali ke peron jalur tiga karena tinggi sekali, hampir setinggi dada orang dewasa.


Aku mengeluarkan HPku dan membuka beberapa pesan SMS yang masuk ketika aku tadi sedang mengawasi kereta anakku yang mulai bergerak meninggalkan stasiun.
“Mami duduk aja.”  Ternyata SMS dari anakku. Mungkin dia melihat kalau aku dari tadi berdiri di sana.
“Mi berangkat ya, dadah. Tadi gak sempet salim.”  Dari anakku lagi. Kedua mataku langsung perih, hidung dan pipiku terasa panas. Kutahan sebisa mungkin supaya aku tidak menangis di tempat umum ini. Nanti orang-orang pada bingung. Tetapi air yang menggenangi kedua mataku tidak bisa kutahan lagi, langsung membanjir sendiri.


Kasihan anakku, karena ketidak berdayaanku, dia terpaksa harus terenggut dari mimpinya dengan paksa. Dia harus rela melakukan hal yang diluar kehendaknya demi aku, walaupun kelak apa yang dia lakukan saat ini adalah demi dirinya juga. Demi masa depannya yang harus diperjuangkannya sendiri.


Selama ini aku tidak mau menangis dan terlihat menangis di hadapannya, karena dia tidak boleh melihatku lemah. Aku harus kuat. Sebab kalau aku kuat, dia juga pasti akan kuat. Kalau aku lemah, dia pasti akan ragu dan ikut lemah.


Aku pernah berkata seperti ini padanya, “Kakak pasti dapat melakukan apa yang selama ini kakak pikir tidak dapat melakukannya karena kakak kuat.  Selama ini mamie selalu menganggap kalau mamie ini orang yang kuat, sedang kakak adalah anak mamie. Jadi mamie yakin pasti ada sedikit dari mamie yang turun pada kakak. Kakak pasti bisa.”


Air mata ini adalah air mata sesalku, rasa sesal yang teramat dalam karena saat ini belum dapat mewujudkan mimpimu anakku. Tetapi air mata ini juga adalah air mata haru, karena ternyata bayiku dulu sekarang telah tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa…, dewasa luar dalam kuharap.


Terimakasih karena mau mengerti keadaan mamie, do’a mamie selalu bersamamu dimanapun kau berada. Selamat jalan anakku, tapaki langkahmu dengan senyum ikhlas, karena ikhlas dan rasa syukur akan berbunga keindahan. Percayalah itu.


Sambil menghapus air mata, aku melompat ke KRL yang membawaku pulang ke Bogor, berlawanan arah dengan kereta anakku yang membawanya menuju masa depannya.




Bogor, 6 Juni 2012