Setelah kereta yang dinaiki
anakku berangkat, aku mencari tempat duduk di peron stasiun. Tadi memang aku
berdiri terus melihat ke tempat duduk anakku, walaupun terhalang dua gerbong
kereta yang sejajar. Peraturan sekarang memang
melarang pengantar untuk masuk sampai ke gerbong kereta, sehingga aku tidak bisa
mengantar anakku sampai ke tempat duduknya.
Aku bisa masuk ke dalam stasiun
karena aku juga akan naik kereta (KRL) untuk kembali ke Bogor, tapi anakku di
jalur satu, dan aku di jalur tiga. Kalau mau turun lewat rel sih bisa saja,
tapi aku nanti pasti tidak bisa naik kembali ke peron jalur tiga karena tinggi
sekali, hampir setinggi dada orang dewasa.
Aku mengeluarkan HPku dan membuka
beberapa pesan SMS yang masuk ketika aku tadi sedang mengawasi kereta anakku
yang mulai bergerak meninggalkan stasiun.
“Mami duduk aja.” Ternyata SMS dari anakku. Mungkin dia melihat
kalau aku dari tadi berdiri di sana.
“Mi berangkat ya, dadah. Tadi gak
sempet salim.” Dari anakku lagi. Kedua
mataku langsung perih, hidung dan pipiku terasa panas. Kutahan sebisa mungkin
supaya aku tidak menangis di tempat umum ini. Nanti orang-orang pada bingung.
Tetapi air yang menggenangi kedua mataku tidak bisa kutahan lagi, langsung
membanjir sendiri.
Kasihan anakku, karena ketidak
berdayaanku, dia terpaksa harus terenggut dari mimpinya dengan paksa. Dia harus
rela melakukan hal yang diluar kehendaknya demi aku, walaupun kelak apa yang
dia lakukan saat ini adalah demi dirinya juga. Demi masa depannya yang harus
diperjuangkannya sendiri.
Selama ini aku tidak mau menangis
dan terlihat menangis di hadapannya, karena dia tidak boleh melihatku lemah.
Aku harus kuat. Sebab kalau aku kuat, dia juga pasti akan kuat. Kalau aku
lemah, dia pasti akan ragu dan ikut lemah.
Aku pernah berkata seperti ini
padanya, “Kakak pasti dapat melakukan apa yang selama ini kakak pikir tidak
dapat melakukannya karena kakak kuat. Selama
ini mamie selalu menganggap kalau mamie ini orang yang kuat, sedang kakak
adalah anak mamie. Jadi mamie yakin pasti ada sedikit dari mamie yang turun
pada kakak. Kakak pasti bisa.”
Air mata ini adalah air mata
sesalku, rasa sesal yang teramat dalam karena saat ini belum dapat mewujudkan
mimpimu anakku. Tetapi air mata ini juga adalah air mata haru, karena ternyata
bayiku dulu sekarang telah tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa…, dewasa
luar dalam kuharap.
Terimakasih karena mau mengerti
keadaan mamie, do’a mamie selalu bersamamu dimanapun kau berada. Selamat jalan
anakku, tapaki langkahmu dengan senyum ikhlas, karena ikhlas dan rasa syukur akan
berbunga keindahan. Percayalah itu.
Sambil menghapus air mata, aku
melompat ke KRL yang membawaku pulang ke Bogor, berlawanan arah dengan kereta
anakku yang membawanya menuju masa depannya.
Bogor, 6 Juni 2012