Rabu, 19 Mei 2010

burung...

Di depan rumahku membentang kabel tegangan tinggi PLN, dan sepanjang tanah yang dibawahnya dilalui kabel itu tidak boleh didirikan bangunan permanent/non permanent apapun.

Dulu, sebelum aku pindah ke Perumahan ini, tetangga-tetanggaku menanami lahan jalur hijau itu dengan aneka tanaman. Ada yang tanaman bunga, pohon jambu, pohon mangga, pohon pisang, pohon kelapa dan sebagainya.

PLN tidak pernah melarang lahan itu ditanami, tetapi setiap beberapa bulan sekali, akan ada Petugas dari PLN yang memeriksa kondisi pepohonan itu, apakah masih dibatas toleransi ataukah sudah melewati ambang batas yang ditentukan. Bila menurut mereka pohon-pohon itu sudah terlalu tinggi, maka siapapun penanam pohon itu tidak boleh protes kalau petugas akan memangkas pohonnya.

Di depan rumahku kebetulan yang tumbuh adalah pohon jambu dan mangga yang sudah rimbun sekali daunnya, sehingga banyak burung-burung kecil yang bersarang di sana. Ada yang dadanya berbulu kuning, ada yang paruhnya panjang (buat nyedot madu tuh), dan beberapa jenis lainnya.

Kalau pagi suara burung berkicau lumayan ramai, sebab ada yang bersuara nyaring sekali. Mereka juga terlihat sibuk berterbangan kesana kemari, mungkin cari sarapan buat anak-anaknya…hehehe..

Tetapi, sudah beberapa hari ini aku melihat ada seorang bapak-bapak tua yang tampak hilir mudik di depan rumahku ini. Dia membawa sebatang pipa besi yang panjangnya kira-kira satu meter, segumpal tanah liat dan sebuah tas/kantong dari kain.

Tadinya kupikir dia pemulung atau pengemis gitu, tapi ternyata… ketika suatu saat kuperhatikan, si bapak tampak sedang membidik sesuatu di antara rimbunnya daun pohon jambu dan mangga.

“Ssssrrtt!!!......” dan, nggak lama gitu…, “Bukkk!!!”

Ternyata si bapak membidik seekor burung dengan senjata pipa besinya itu dengan cara diisi sejumput kecil tanah liat yang sudah dipilin jadi butiran kecil sebagai pelurunya.

Burung yang jatuh itu tidak mati, mungkin hanya kaget atau kesakitan sedikit sehingga dia kehilangan keseimbangan terbangnya, atau malah mungkin sempat pingsan sebentar. Kemudian si bapak mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong.

Dua hal bersarang di benakku, pertama, aku kagum pada kemampuan si bapak yang begitu tepat mengenai sasaran. Yang ke dua, aku sedih memikirkan nasib anak-anak burung yang terpaksa harus kehilangan orang tuanya.

Aku juga galau dengan peristiwa ini, apa yang harus kulakukan??!! Haruskah aku melarang si bapak untuk terus membidik dan mengambil burung-burung itu? Sedangkan mungkin hanya itulah kemampuannya untuk dapat menghidupi anak istrinya, yaitu dengan cara menjual burung. Apakah aku mau menanggung konsekwensinya dan memberinya pekerjaan yang lain?! (sedangkan aku sendiri bukanlah seseorang yang berada dalam posisi bisa membantu orang lain dalam keadaan itu…)

Bogor, 20 Mei 2010