Minggu, 24 Februari 2013

Galau



Jaman dulu aku nggak kenal kata ‘galau’ yang kutulis untuk judul tulisanku kali ini. Kalau dulu mungkin galau ini sama artinya dengan risau, gundah gulana…, apalagi ya…?

Nah, galau yang cukup parah ternyata telah melandaku beberapa hari lalu, sampai-sampai semua yang kukerjakan nggak focus. Sampai mandi aja aku jadi pakai shampoo karena tanganku bekerja otomatis tanpa menunggu komando otakku yang jadi lemot koneksinya.

Berangkat kerja jadi semakin galau karena ketinggalan kereta ekonomi, jadi terpaksa naik commuter line padahal kantong lagi bolong. Setelah itu jadi semakin galau lagi (plus be-te, kalau bahasa anak-anak sekarang), ketika aku dan empat orang temanku harus terbengkalai di Stasiun Manggarai sampai sejam lebih karena nunggu kereta yang ke Kota nggak datang-datang.
Penumpang sudah semakin menyemut, tapi kereta yang kami tunggu entah masih ada di mana. Ternyataaa…., setelah si sabar sudah sampai di ubun-ubun, tiba-tiba ada pengumuman dari pengeras suara kalau akan ada kereta api langsung yang akan melintas di jalur 3, jalur kereta yang sejak tadi kami tunggu kedatangannya. Tapi, kenapa pula harus kereta langsung yang lewat? (kereta langsung di sini maksudnya adalah kereta yang nggak berhenti di stasiun ini…, dia nyelonong aja gitu…)

Ternyata lagi, baru kusadari (teman-temanku juga), kalau di seberang peron sana telah berjejer para pegawai PJKA dengan rapinya. Mereka berjajar dengan tertib seperti anak sekolah yang sedang berbaris.
“Ooooh, rupanya akan ada kereta pejabat yang lewat…, pantas aja dari tadi nggak ada kereta lewat. Jalur pasti dibuat steril dulu sebelum kereta ini lewat…” pikirku.
“Ya ampun, hanya gara-gara mau ada pejabat lewat, terpaksa kita diterlantarkan sekian jam…” kudengar beberapa calon penumpang mengomel.

Maka, muncullah kereta itu dari arah kanan dengan santainya…. Kereta hanya terdiri dari satu rangkaian, tetapi kondisi fisiknya betul-betul masih mulus dan bagus. Bergambar satu corak tertentu yang membuatnya berbeda dengan kereta yang biasa kami (masyarakat) tumpangi.
Hampir semua pegawai PJKA yang sedang berdiri di seberang sana melambai-lambaikan tangannya ke arah kereta yang lewat itu, seolah orang-orang yang ada di dalamnya mereka kenal… dan melihat mereka… hehehe…. (kayak kalau aku lagi ngantar anakku pergi naik kereta gitu…)
“Itu tadi SBY yang lewat….” kudengar suara di antara para calon penumpang.
“Oh, SBY yang lewat ya…., semoga aja tadi yang di dalam kereta ada yang melihat ke arah kita dan melihat menumpuknya penumpang gara-gara nunggu kereta mereka lewat, sehingga lain kali dapat memberikan instruksi pada pejabat kereta supaya tidak pakai menelantarkan kita demi mengambil hati…. “ kudengar lagi suara calon penumpang yang mungkin kakinya sudah kram karena kelamaan berdiri,  hehehehe….
Dalam hati aku berpikir, apa iya akan ada pejabat di dalam kereta itu yang sampai berpikir ke arah itu, kan ini di Stasiun, yang memang tempatnya orang banyak berkumpul untuk menuju ke suatu tempat. Kalaupun misalnya tadi ada pejabat yang menengok ke arah kami (calon penumpang yang berjubel), kurasa mereka pasti menganggap hal itu wajar saja. Iya kan?

Sekarang, terlepas dari rasa jengkel para penumpang yang kelamaan nunggu kereta , ada terselip satu cerita tentang seseorang yang saat itu ada di sana.

Waktu aku dan teman-temanku baru turun dari kereta ke Jatinegara dan akan transit di Stasiun Manggarai ini, pandangan kami tertuju pada seorang perempuan yang sedang duduk di bangku stasiun. Penampilannya sungguh mencolok mata, dandanannya yang menor sudah terlihat dari jauh dan langsung menyita pandangan. Baju atasnya yang berbentuk jas berwarna merah menyala, roknya warna biru tua, tasnya warna hijau muda yang tajam dan sendalnya berwarna putih. Benar-benar mirip pelangi, beraneka warna…. (wajahnya juga).

Kami duduk di sebelah perempuan itu. Usianya sudah tidak muda lagi, kira-kira lima puluhan, rambutnya kemerahan dengan keriting buatan sepanjang leher. Maaf, tampaknya bukan dari golongan menengah ke atas, dan dari caranya berdandan, sepertinya hal itu bukanlah kebiasaannya. (teman-temanku malah menyebutnya ‘seperti wanita stress’)

Tiba-tiba salah seorang temanku memberi isyarat padaku yang mengatakan kalau perempuan itu ternyata sedang menangis. Ada sisa-sisa air mata yang masih membekas.
Seorang temanku yang duduk persis di sebelah perempuan itu kemudian bertanya, kenapa dia menangis.
Ternyata, perempuan itu kemudian bercerita kalau dia saat itu sedang menunggu suaminya yang berselingkuh. Katanya ada yang bilang padanya kalau suami dan selingkuhannya itu sering terlihat di Stasiun Manggarai ini. Dia sudah lama duduk di sana, tapi daritadi belum melihat suami serta selingkuhannya itu.
Jadi, rupanya dia sedang sakit hati, sedih yang tidak terkira karena suaminya menghianatinya. Entah apa yang akan dilakukannya nanti ketika dia benar-benar memergoki suaminya, (walaupun dalam hati aku ragu dia akan berhasil, karena Stasiun Manggarai ini luas sekali sedangkan dia hanya duduk saja di bangku itu), karena kereta commuter line dari Bekasi ke arah Stasiun Kota sudah masuk dan kamipun meninggalkannya di sana.

Sungguh malang nasibnya. Kasihan. Ternyata saat itu ada yang lebih galau dari aku. Tapi aku juga tidak tahu, apakah saking galaunya dia sampai salah mandi pakai kecap, bukannya sekedar salah pakai shampoo sepertiku. Hidup ini hanyalah babak demi babak untuk kita lalui. Setelah ending satu babak, nanti akan lanjut ke babak yang lain. Tetap tabah dan semangat, you are not alone…., kata seseorang padaku.



Bogor, 24 Februari 2013

Sabtu, 16 Februari 2013

Ucum



Sore itu aku dan anakku beli lauk buat makan malam di tempat yang tidak terlalu jauh dari rumahku, tapi ketika aku merogoh kantong untuk mengambil uang, ternyata duitnya tidak cukup, “Dek…., kayaknya duit mamie nggak cukup deh. Tolong ambilin di kantong baju yang tadi mamie pakai ya…, sekalian bawa payung takut nanti hujan…” kataku pada anakku. Anakkupun pulang dan aku menunggu pesananku disiapkan.

Tidak lama kemudian anakku kembali, “Ih mamie…, tadi pas Ndiek pulang… serem banget tau…” katanya.
“Serem gimana, orang masih terang gini koq…., emang ada apaan?” tanyaku.
“Tadi ada si Ucum di depan rumah Dinda tangannya panggil-panggil Ndiek…” katanya.
“Ucum siapa?” tanyaku.
“Itu, orang gila perempuan….”
“Yang suka cari makanan di tempat sampah?” tanyaku.
“Iya, koq mamie tau kalau dia suka cari makan di tempat sampah?”
“Ndiek sendiri kata siapa dia namanya Ucum?”
“Kata teman-teman di sekolah…, eh mie…, dia beneran gila nggak sih…. Koq tiap hari ganti baju?” tanya anakku.
“Mamie juga nggak tau dek, tapi kata orang-orang sih memang gila, soalnya pernah dikasih makanan yang bener malah dibuang dan dia tetap ngorek-orek tempat sampah.” jawabku.

Dulu aku juga pernah menceritakan orang gila yang selalu lewat depan rumahku yang bernama Nanang, yang setelah sekian tahun dia tetap dalam keadaan seperti itu dan tidak pernah sakit. Tetap hidup walaupun setiap saat cuma pakai sarung dan menurut perasaanku koq dia tidak bertambah tua.

Sekarang aku tertarik pada si Ucum ini. Pertama kali melihatnya, kira-kira beberapa waktu yang lalu, aku sama sekali tidak tahu kalau dia gila. Waktu itu aku melihat seorang ibu-ibu masih muda sekitar usia tiga puluhan yang sedang hamil dengan potongan rambut rapi, baju bersih dan menenteng tas kresek sedang melongok ke tempat sampah tetanggaku. Kupikir si ibu sedang membuang sampah di situ dan ada yang ikut terbuang kemudian berusaha mencarinya.

Beberapa waktu kemudian, aku melihat lagi si ibu sedang berjalan kaki tanpa sandal, makan krupuk dan juga melongok serta mengorek-orek tempat sampah. Saat itu aku sedikit heran, tapi tidak berpikir atau menduga apapun.

Ketika untuk ke tiga kalinya aku melihat si ibu ini di tempat sampah, aku baru berpikir  kalau si ibu ini mungkin agak kurang waras, dan ternyata semakin diperkuat dengan keterangan beberapa orang tetanggaku yang menyatakan kalau perempuan ini memang gila.

Salah seorang tetanggaku bilang kalau dia pernah memberi nasi bungkus pada si perempuan ini (yang ternyata kata anakku namanya si Ucum) tapi dibuangnya dan dia kembali menghampiri tempat sampah untuk mencari sisa makanan.  Si Ucum ini menurut pengamatanku, dia selalu menghindar untuk berinteraksi dengan orang lain. Dia selalu menjauh kalau ada orang lain, tidak mau melihat, serta tidak pernah berbicara/mengeluarkan suara. Artinya dia bukan jenis gila yang agresif, dan sayangnya aku bukan orang ahli yang tahu jenis sakit jiwa seperti ini disebut apa.

Beberapa tukang ojek juga pernah kutanya, katanya sih si Ucum ini punya keluarga (dan suami tentunya) dan sudah punya beberapa anak. Ini terbukti kalau tiap hari/tiap kali lewat tuh bajunya selalu ganti dan bersih. Yang jadi pertanyaan, kenapa keluarganya membiarkannya berkeliaran sendirian dan mengorek-orek tempat sampah?

Sempat agak lama aku tidak melihat si Ucum ini lagi, mungkin dilarang jalan sama keluarganya atau malah sudah melahirkan, pikirku. Semoga saja anak yang dilahirkannya terurus oleh keluarganya walaupun ibunya sedang terganggu ingatannya.

Ingat kalau si Ucum mungkin sudah melahirkan, aku jadi ingat juga pada kisah di Kaskus yang kubaca beberapa waktu yang lalu. Saat itu ada penulis yang menceritakan tentang  orang gila yang sedang hamil dan tampak akan melahirkan di depan kios di sebuah pasar tidak jauh dari rumahnya. Hari sudah malam, jadi kios-kios sudah pada tutup. Rupanya si orang gila itu tiap malam tidur di sana.
Ketika malam itu terdengar orang menjerit-jerit kesakitan, si penulis dan tetangganya jadi tahu kalau orang gila itu akan melahirkan. Hebohlah mereka untuk berusaha menolong persalinan itu. Si penulis berhasil memanggil bidan, bayinyapun lahir dengan selamat.  Si orang gilanya yang habis melahirkan itu dimandikan oleh ibu-ibu, tapi beberapa kali berusaha kabur, dan akhirnya memang benar-benar kabur. Bayinya kemudian diadopsi sepasang suami istri yang baik.

Kasihan. Aku beberapa kali sempat melihat orang gila perempuan yang sedang hamil berkeliaran di jalanan.  Ada yang telanjang bulat, tapi ada juga yang berpakaian ala kadarnya walaupun dekil. Betapa sedih keluarganya kalau tahu keadaan anak/istri/adik/kakak/saudaranya yang berkeliaran di jalananan dalam keadaan hamil tanpa tahu siapa yang menghamilinya. Kenapa harus ada yang seperti ini ya?

Kembali pada Ucum, rupanya dia sudah mulai berkeliling lagi. Mungkin anaknya sudah bisa ditinggal (kalau masih hidup) dan diasuh keluarga lainnya yang waras, sedang dia kembali melanjutkan petualangannya dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Semoga si Ucum ini tetap sehat walaupun hobbynya mencari makanan di tempat sampah itu tidak dapat dihilangkan.



Bogor, 17 Februari 2013

Yang Kau Lihat Bukan Yang Kumau






Sebetulnya merasa rindu
Sebetulnya ingin mengungkapkan rasa itu
Tapi yang terungkap tak begitu, selalu….
Menjadi tak terkontrol seolah meracau
Sebetulnya merasa rindu
Sebetulnya ingin mengungkapkan rasa itu
Tapi kau juga tahu
Apa yang tampak seringkali bukan yang kau mau
Apa yang tersurat bukan yang tersirat saat itu
Semoga kau tetap tahu
Perempuan menjadi begitu
Bila ke’perempuan’nya lebih memicu
Please, bolehkan maafmu...




Bogor, 17 Februari 2013





Sabtu, 09 Februari 2013

Pengunjung Warnet Yang Aneh-Aneh



Beberapa waktu yang lalu aku pernah menceritakan seorang pengunjung warnetku yang tahan setiap hari nyaris 24 jam nongkrongin PC. Pengunjung warnet itu adalah ibu-ibu yang sedang galau dengan urusan rumah tangganya sehingga seharian maunya chatting dengan teman-teman FB-nya.

Kali ini aku mau mnceritakan seorang pengunjung warnetku yang lain, yaitu seorang bapak-bapak sekitar usia lima puluh tahunan yang awalnya selalu datang ke warnet di atas jam 22.00, tetapi akhir-akhir ini aku juga melihatnya datang pagi atau siang hari.

Pertama kali aku melihat si bapak ini adalah waktu  aku baru pulang dari kerja jam 21.30 WIB, sekitar satu bulan yang lalu.  Saat itu,  sambil menata nafas karena baru datang, aku  membuka computer di sudut (nomer 3). Suamiku ada di computer sudut yang lain (nomer 1). Tiba-tiba masuklah sebuah sepeda motor ke teras rumah.
Siapa malam-malam begini bertamu, pikirku. Karena kalau pengunjung warnet biasanya tidak ada yang membawa kendaraannya masuk ke teras, cukup parkir di luar saja.
“Malam pak….” katanya menyapa suamiku, “Bu…. “ katanya ke arahku.
“Malam…., silahkan….” kataku mempersilahkan untuk duduk di meja computer lain yang kosong, termasuk computer 2 diantara aku dan suamiku.
“Iya bu,… nanti, sebentar lagi. Saya mau merokok dulu…” katanya sambil duduk di kursi di dekat pintu warnet. Ya sudah, pikirku sambil meneruskan membuka FB-ku.
Kira-kira lima menit kemudian, akupun menutup komputerku dan masuk ke dalam rumah mau mandi terus tidur. Besok masih harus berangkat kerja lagi.

Ketika aku sedang menunggu datangnya kantuk sambil menonton TV, suamiku masuk ke dalam sambil berkata padaku, “Itu tadi bapak-bapak yang pernah kuceritakan Mie…” katanya.
“Yang mana?” tanyaku.
“Itu…., yang pertama datang diantar pak Anton….” katanya.
“Oowhhh….” jawabku. Suamiku memang pernah menceritakan kalau akhir-akhir ini suka ada bapak-bapak yang datang ngenetnya malam-malam dan setiap kali selalu buka konten-konten dewasa.
“Makanya tadi dia nggak mau langsung ngenet, soalnya ada Mamie…, mungkin dia sungkan. Lagian, biasanya dia juga selalu di computer 3 itu Mie, di pojok, dan layar komputernya dimiringkan banget ke arah tembok…” kata suamiku. Ada-ada saja ya...

Suatu saat, ketika aku sedang off dan tidak berangkat kerja, akupun seharian di warnet (kecuali kalau komputernya terpakai semua, baru aku masuk ke dalam rumah).
Eee..., datanglah si bapak itu, yang kemudian kuberikan meja computer 1 yang letaknya juga di pojok, karena pojokan dan komputer yang lain sedang terpakai semua.
Satu jam dua jam tiga jam setengah, akhirnya si bapak sudahan ngenetnya.. Meja computer yang lain juga sudah pada kosong, karena rata-rata anak-anak hanya bermain sekitar satu jam saja.
“Berapa bu?” tanyanya.
“Sepuluh ribu pak…” jawabku.
Setelah si bapak pergi, aku menghampiri computer 1 dan duduk di sana.
Karena tadi computer belum dimatiin, aku  membuka history-nya yang masih belum terhapus. Penasaran pada cerita suamiku.

“Gilee…!!, Ternyata bener apa yang dibilang suamiku. Selama tiga jam setengah si bapak itu ngenet tadi, semua yang dibuka adalah konten dewasa, cuplikan-cuplikan video porno!”
Konten yang dia buka bukan video utuh, hanya penggalan-penggalan gambar sekian detik dengan judul beraneka macam, tapi ya gitu itu gambarnya.
Bujubuneng deh………, benar-benar berderet itu judul-judul aneka adegan dari atas layar sampai bagian bawah, penuh seluruh layar komputer dengan history semacam itu. Lha lamanya saja tiga jam setengah…. Ck ck ck…

Padahal suamiku pernah tanya, katanya di rumahnya dia tinggal dengan anak istrinya, berarti dia bukan bujangan yang libidonya tidak tersalurkan. Umurnya juga bukan usia anak-anak ABG yang masih begitu penasaran dengan gambar-gambar begitu. Tapi kenapa setiap ngenet yang dilihat cuma itu?

Tapi suamiku juga pernah bilang kalau dia sering melihat si bapak itu sebetulnya tidak terus-menerus selama berjam-jam melototi gambar itu, karena ternyata si bapak itu matanya terpejam alias tidur.

Kenyataan itu lebih aneh lagi kan? Ngapain pula dia harus tidur di warnet dengan pengantarnya nonton gambar-gambar begitu?! Waktunyapun tidak perduli pagi siang ataupun malam. Dasar sakit!
Pengunjung warnetku memang aneh-aneh.

Kalau anak-anak atau ABG yang ngenet di tempatku ini, mereka  tidak akan berani membuka konten-konten aneh seperti itu karena antara meja yang satu dan yang lain berdekatan, dan kita selalu mengontrol apa saja yang sedang dilihat oleh anak-anak itu karena kondisinya terbuka, tanpa sekat-sekat ataupun tutup ruangan dan sejenisnya. Tapi kalau orang dewasa yang pakai, ya terus terang kita memang tidak mengawasi apa yang mereka lihat, terserah, toh sudah dewasa dan tahu mana yang baik atau buruk.

Tentang kasus si bapak inipun sebetulnya ya biar saja, terserah dia mau ngapain, hanya saja aku merasa agak aneh saja dengan perilakunya. Masak si bapak harus kularang ngenet di sini karena perilakunya itu, yang numpang tidur dengan lagu nina boboknya gambar-gambar begitu?!



Bogopr, 9 Februari 2013

Sabtu, 02 Februari 2013

Anakku Sakit



Hari senin pagi anak sulungku yang tinggal di Malang menelpon, “Mamie, Itek badannya nggak enak semua, kepala pusing, badan lemes….” katanya.
Itek itu nama panggilan yang diciptakannya sendiri sejak kecil waktu dia belum dapat menyebut namanya dengan benar dan tetap dipakainya sampai sekarang kalau dia sedang berbicara padaku, pada Papienya ataupun pada beberapa keluarga saja.
“Terus maunya gimana?” tanyaku.
“Itek masuk kerja nggak ya…., sakit banget nih kepalanya…, tapi kalau nggak masuk nanti gaji Itek dipotong dong…”
“Emang kakak dapat liburnya kapan?” tanyaku.
“Tanggal 29…” katanya.
“Tanggal 29 kan besok kak…” kataku.
“Iya apa? Eh, iya….. tanggal 29 besok, ya udah deh… Itek hari ini tetep masuk ya Mie, besok kan libur jadi bisa istirahat seharian…”

Selasa siang kutelpon anakku, “Gimana kak, kakak jadi sakit?” tanyaku.
“Iya nih Mie, dari semalam di tempat kerja tuh sambil nahan sakit kepala yang rasanya sudah pingin meledak.” jawabnya. Suaranya  terdengar lemah.
“Tadi malam pulangnya gimana, sama siapa?” tanyaku. Sebelumnya anakku ini sering mengeluh setiap dapat jadwal masuk malam, sebab di jam dia pulang itu sudah tidak ada kendaraan umum yang menuju tempat tinggalnya lagi, jadi dia harus mencari tumpangan teman-temannya. Bulan lalu sih dia masih abonemen jemputan, tapi sudah sebulan ini tidak pakai jemputan lagi karena katanya selalu ada temannya yang menawarkan tumpangan atau dengan sukarela mau menjemputnya pulang kerja. Lumayan ongkos jemputan bisa buat makan, katanya.
“Semalam numpang mbak Sisca, kebetulan kemarin dia juga masuk malam…” Sisca ini sempat ikut kost di tempat anakku dua bulan ini, tapi mulai bulan depan sudah nggak kost lagi, mungkin tiap hari pulang ke rumah orang tuanya di Dampit.

“Kakak sudah makan?” tanyaku.
“Belum, ini baru bangun banget. Hujan lagi. Kata mbak Sisca, semalam badannya Itek panas banget Mie, keringatnya keluar terus-terusan… padahal mbak Sisca kedinginan.” katanya.
“Sekarang masih panas?” tanyaku.
“Masih, dan Itek sudah ganti baju tiga kali sebab basah terus….” katanya. Terus terang, setiap mendengar anakku mengeluh tidak enak badan atau sakit, hatiku serasa diiris-iris. Kasihan dia. Kasihan dia harus jauh dari rumah dalam keadaan seperti ini.  Apalagi saat ini, anakku yang satu juga panas badannya. Tadi pagi tidak masuk sekolah. Hati dan otakku serasa mengalami hempasan angin ribut. Kacau sekali.
“Nanti sore cari dokter ya kak…” kataku.
“Iya, nanti kalau sudah reda hujannya Mie…, ini sekarang masih hujan deres.” jawabnya.

Sore sebelum maghrib kutelpon lagi anakku, “Sudah ke dokter kak? Sudah makan belum?”
“Belum Mie, masih hujan…, nanti aja cari makannya sekalian ke dokter…” katanya.

Malamnya kutelpon lagi anakku, “Gimana kak, tadi sudah ke dokter?”
“Sudah Mie, tapi Itek keluar lagi, nggak jadi periksa…” katanya.
“Emang kenapa?”
“Pas Itek masuk, ternyata di dalam ada tulisannya ‘PENGGUNA JAMSOSTEK’, jadi Itek keluar lagi, kan Jamsostek Itek belum jadi….” katanya. Astaghfirullah, ternyata anakku ini o’on banget ya…
“Kakak ini gimana siiiiih, kalau kakak belum punya Jamsostek, ya kakak bayar ke dokternyaaaaa…” kataku.
“Emang boleh Mie? Jadi Itek tadi cuma beli roti aja buat makan, sekarang ketambahan meler nih gara-gara Itek jalan hujan-hujan cari dokter. Badannya juga panas lagi kayaknya…”
“Emang gak pakai payung? Kan waktu itu Mamie kirimin payung….” kataku.
“Pakai payung sih, tapi tetap aja basah Mie… hujannya deres…” jawabnya. Aaaahhhh…,kalau aku mempunyai daya atau aku punya sayap, pasti saat ini sudah terbang aku menemaninya.
“Ya sudah, kalau gitu sekarang makan rotinya terus tidur. Istirahat yang banyak…, besok pagi ke dokter lagi.” kataku sambil mencoba menahan getar suara dan air mataku yang sudah ingin keluar seperti tanggul  yang nyaris jebol. Aku membayangkan dia tidur sendirian di kamar kostnya sambil menahan sakit.

Jam 02.30 pagi anakku SMS. “Mamie, Itek habis muntah-muntah…”
Langsung kutelpon dia, “Emang apalagi yang sakit kak?”
“Giginya ikutan sakit Mie, jadi Itek minum obat sisa waktu ke dokter gigi yang terakhir tempohari. Obatnya kan kapsul… karena leher Itek sakit banget jadi kapsulnya Itek buka…, ternyata rasanya pahit banget sampai Itek muntah-muntah. Itek buka  kapsul satu lagi, barusan Itek minum.” katanya.
“Itu kapsul apaan koq sisa berobat tempohari?”
“Kayaknya sih antibiotic, tapi karena baru beberapa kali minum giginya sudah nggak sakit, ya Itek berhenti minum, soalnya harganya mahal Mie…, biar bisa dipake lagi…”
“Yah kak, kalau antibiotic itu harus dihabiskan biar penyakitnya nggak imun…” kataku.
“Apa itu?” tanyanya. Kujelaskan kalau penyakitnya imun, nanti giliran dikasih obat sudah nggak mempan lagi. Dia mengeluh menyadari ketidak tahuannya. Terus kusuruh dia untuk tidur lagi. Gantian aku yang tidak bisa tidur karena memikirkanya.


Besok paginya kutelpon anakku, “Gimana kondisi hari ini kak? Masih nggak enak badannya?”
“Masih, Mie… malah lebih parah kayaknya…. Lidah Itek putih banget, leher sakit kalau buat nelen…”
“Bisa bangun nggak? Cari dokterlah sekarang…. Naik ojek aja, sekalian cari makan dulu…” kataku.
“Di sini nggak ada ojek Mamie….., dan kayaknya nggak bakalan bisa makan deh, orang nelen air aja sakit..” katanya. Aku lupa, terbiasa di Bogor dan Jakarta yang di mana-mana banyak ojek.
“Ya naik apalah, becak masak nggak ada juga?! Pokoknya kakak harus cari dokter…, kalau perlu hari ini nggak usah masuk dulu.” kataku.
“Iya sih, tadi temen Itek juga sudah bilang kalau mau maintain ijin buat Itek, besok baru masuk tapi harus bawa surat dokter. Tapi Itek takut dimarahi…..” katanya.
“Ya ampun kak, kalau kakak sakit siapa yang mau maksa?”
“Ya udah, nanti sore Itek ke dokternya…, sekarang mau tidur aja.” katanya.

Malamnya, sebelum aku sampai rumah, anakku SMS yang mengatakan kalau dokter yang kemarin dia datangi tapi keluar lagi ternyata tutup dan dia nggak tau di mana ada dokter lagi, malah katanya yang ada dokter spesialis kandungan. Padahal dia sudah maksain jalan ke tempat dokter itu.
Ya ampuuun, masak sih di sekitar situ nggak ada dokter lagi? Lagian itu dokter kenapa juga bukanya nggak setiap hari? Kenapa bukan hari minggu aja tutupnya? Kasihan anakku.

Kamis pagi kutelpon anakku,”Sekarang cepet cari dokter kak…, biar tahu kakak sakit apa dan segera dikasih obat. Kalau nggak ada dokter yang praktek pagi, kakak cari PUSKESMAS. Nggak mungkin di satu kelurahan nggak ada puskesmas-nya.” kataku.

Sekitar jam sepuluh pagi anakku SMS, “Itek sudah habis dari PUSKESMAS Mie, tapi Itek jadi ragu dan dokternya nyeremin…”
Langsung kutelpon dia, “Nyeremin gimana kak?”
“Masak bayarnya cuma tiga ribu Mie, udah gitu dokternya malah yang nanya Itek sakit apa, lha kan dia yang dokternya bukan Itek….” katanya. Aku tertawa mendengarnya, “Terus?...” tanyaku.
“Ya Itek bilang aja kalau Itek radang tenggorokan…, terus Itek di suruh mangap… dan dia dari tempat duduknya yang lumayan jauh dari Itek manggut-manggut sambil bilang ‘iya’….. Itu tanpa mendekat ataupun menyentuh Itek sama sekali…. Terus Itek dikasih resep, terus Itek bilang kalau kayaknya Itek juga batuk…, resepnya diambil lagi, terus ditambahin obat batuk ‘kali.”
 
Aku tertawa mendengar suaranya yang terdengar kesal.
“Pas Itek mau keluar, dokternya bilang, ‘Ini saya kasih obatnya untuk dua hari, kalau dua hari nggak ada perubahan, silahkan complain ke mari atau ke rumah saya, atau langsung aja ke rumah sakit.”
“Coba Mie, gimana Itek nggak takut dengernya, masak ngasih obat tapi kalau nggak sembuh disuruh langsung ke rumah sakit, berarti dia ngasih obatnya cuma coba-coba dong….., jangan-jangan Itek dijadiin percobaan…, habis pas Itek ambil obat, Itek tanya harganya berapa, eh katanya gratis…. Itu kan meragukan Mamie…, ini gimana dongggg… Itek takut. Surat dokternya juga jangan-jangan palsu….” katanya.

Aku tertawa lagi mendengarnya, ya begitulah memang kalau ke PUSKESMAS. Mentang-mentang nggak bayar, layanan terhadap masyarakat ya suka-suka. Obatnya sih mungkin nggak suka-suka, karena dari pemerintah, jadi ya mudah-mudahan dapat menyembuhkan sakit anakku.
“Lagian kenapa kakak bilang kalau kakak sakit radang tenggorokan? Kenapa kakak yang mutusin? Kenapa kakak nggak bilang kalau dokternya bukan kakak?” tanyaku sambil tertawa.
“Habisnya dokternya yang nanya….” jawabnya.
“Ya udah, obat dari dokter itu nanti diminum dan nanti atau besok Om Eko juga mau anter obat buat kakak…., diminum juga ya….” kataku membesarkan hatinya. Eko ini teman baikku yang kebetulan rumahnya tidak begitu jauh dari tempat kost anakku.(Trimakasih banyak buatnya). Dia khawatir kalau typhus anakku kambuh, karena aku cerita kalau dulu anakku ini sudah pernah kena typhus, makanya dia anterin pil cacing buat membantu   proses penyembuhan. (Tapi aku nggak bilang anakku kalau yang dianter Eko itu pil cacing,… hehehe…., nanti dia nggak mau minum….)

Sampai saat aku nulis ini, (hari sabtu), anakku tetap berangkat kerja sejak hari kamis dan dia merasa yakin (pada diagnosanya sendiri) kalau dia hanya terkena radang tenggorokan.

Setiap saat pula aku hanya dapat berdoa dan berharap bahwa anakku memang hanya sakit radang tenggorokan karena sampai saat ini aku belum dapat menjenguknya untuk sekedar menyentuh keningnya dan memeriksa suhu tubuhnya ataupun mengompresnya kalau perlu. Keep be strong my daughter….



Bogor, 2 Februari 2013
(menunggu keajaiban yang dapat membawaku ke sisi anakku)