Jaman dulu aku nggak kenal kata ‘galau’
yang kutulis untuk judul tulisanku kali ini. Kalau dulu mungkin galau ini sama
artinya dengan risau, gundah gulana…, apalagi ya…?
Nah, galau yang cukup parah
ternyata telah melandaku beberapa hari lalu, sampai-sampai semua yang
kukerjakan nggak focus. Sampai mandi aja aku jadi pakai shampoo karena tanganku
bekerja otomatis tanpa menunggu komando otakku yang jadi lemot koneksinya.
Berangkat kerja jadi semakin
galau karena ketinggalan kereta ekonomi, jadi terpaksa naik commuter line
padahal kantong lagi bolong. Setelah itu jadi semakin galau lagi (plus be-te,
kalau bahasa anak-anak sekarang), ketika aku dan empat orang temanku harus
terbengkalai di Stasiun Manggarai sampai sejam lebih karena nunggu kereta yang
ke Kota nggak datang-datang.
Penumpang sudah semakin menyemut,
tapi kereta yang kami tunggu entah masih ada di mana. Ternyataaa…., setelah si
sabar sudah sampai di ubun-ubun, tiba-tiba ada pengumuman dari pengeras suara
kalau akan ada kereta api langsung yang akan melintas di jalur 3, jalur kereta
yang sejak tadi kami tunggu kedatangannya. Tapi, kenapa pula harus kereta
langsung yang lewat? (kereta langsung di sini maksudnya adalah kereta yang
nggak berhenti di stasiun ini…, dia nyelonong aja gitu…)
Ternyata lagi, baru kusadari
(teman-temanku juga), kalau di seberang peron sana telah berjejer para pegawai
PJKA dengan rapinya. Mereka berjajar dengan tertib seperti anak sekolah yang
sedang berbaris.
“Ooooh, rupanya akan ada kereta
pejabat yang lewat…, pantas aja dari tadi nggak ada kereta lewat. Jalur pasti
dibuat steril dulu sebelum kereta ini lewat…” pikirku.
“Ya ampun, hanya gara-gara mau
ada pejabat lewat, terpaksa kita diterlantarkan sekian jam…” kudengar beberapa
calon penumpang mengomel.
Maka, muncullah kereta itu dari
arah kanan dengan santainya…. Kereta hanya terdiri dari satu rangkaian, tetapi
kondisi fisiknya betul-betul masih mulus dan bagus. Bergambar satu corak
tertentu yang membuatnya berbeda dengan kereta yang biasa kami (masyarakat)
tumpangi.
Hampir semua pegawai PJKA yang
sedang berdiri di seberang sana melambai-lambaikan tangannya ke arah kereta
yang lewat itu, seolah orang-orang yang ada di dalamnya mereka kenal… dan
melihat mereka… hehehe…. (kayak kalau aku lagi ngantar anakku pergi naik kereta
gitu…)
“Itu tadi SBY yang lewat….” kudengar
suara di antara para calon penumpang.
“Oh, SBY yang lewat ya…., semoga
aja tadi yang di dalam kereta ada yang melihat ke arah kita dan melihat
menumpuknya penumpang gara-gara nunggu kereta mereka lewat, sehingga lain kali
dapat memberikan instruksi pada pejabat kereta supaya tidak pakai menelantarkan
kita demi mengambil hati…. “ kudengar lagi suara calon penumpang yang mungkin
kakinya sudah kram karena kelamaan berdiri, hehehehe….
Dalam hati aku berpikir, apa iya akan
ada pejabat di dalam kereta itu yang sampai berpikir ke arah itu, kan ini di
Stasiun, yang memang tempatnya orang banyak berkumpul untuk menuju ke suatu
tempat. Kalaupun misalnya tadi ada pejabat yang menengok ke arah kami (calon
penumpang yang berjubel), kurasa mereka pasti menganggap hal itu wajar saja.
Iya kan?
Sekarang, terlepas dari rasa
jengkel para penumpang yang kelamaan nunggu kereta , ada terselip satu cerita
tentang seseorang yang saat itu ada di sana.
Waktu aku dan teman-temanku baru
turun dari kereta ke Jatinegara dan akan transit di Stasiun Manggarai ini,
pandangan kami tertuju pada seorang perempuan yang sedang duduk di bangku
stasiun. Penampilannya sungguh mencolok mata, dandanannya yang menor sudah
terlihat dari jauh dan langsung menyita pandangan. Baju atasnya yang berbentuk
jas berwarna merah menyala, roknya warna biru tua, tasnya warna hijau muda yang
tajam dan sendalnya berwarna putih. Benar-benar mirip pelangi, beraneka warna….
(wajahnya juga).
Kami duduk di sebelah perempuan
itu. Usianya sudah tidak muda lagi, kira-kira lima puluhan, rambutnya kemerahan
dengan keriting buatan sepanjang leher. Maaf, tampaknya bukan dari golongan
menengah ke atas, dan dari caranya berdandan, sepertinya hal itu bukanlah
kebiasaannya. (teman-temanku malah menyebutnya ‘seperti wanita stress’)
Tiba-tiba salah seorang temanku memberi
isyarat padaku yang mengatakan kalau perempuan itu ternyata sedang menangis.
Ada sisa-sisa air mata yang masih membekas.
Seorang temanku yang duduk persis
di sebelah perempuan itu kemudian bertanya, kenapa dia menangis.
Ternyata, perempuan itu kemudian
bercerita kalau dia saat itu sedang menunggu suaminya yang berselingkuh.
Katanya ada yang bilang padanya kalau suami dan selingkuhannya itu sering
terlihat di Stasiun Manggarai ini. Dia sudah lama duduk di sana, tapi daritadi
belum melihat suami serta selingkuhannya itu.
Jadi, rupanya dia sedang sakit
hati, sedih yang tidak terkira karena suaminya menghianatinya. Entah apa yang
akan dilakukannya nanti ketika dia benar-benar memergoki suaminya, (walaupun
dalam hati aku ragu dia akan berhasil, karena Stasiun Manggarai ini luas sekali
sedangkan dia hanya duduk saja di bangku itu), karena kereta commuter line dari
Bekasi ke arah Stasiun Kota sudah masuk dan kamipun meninggalkannya di sana.
Sungguh malang nasibnya. Kasihan.
Ternyata saat itu ada yang lebih galau dari aku. Tapi aku juga tidak tahu,
apakah saking galaunya dia sampai salah mandi pakai kecap, bukannya sekedar
salah pakai shampoo sepertiku. Hidup ini hanyalah babak demi babak untuk kita
lalui. Setelah ending satu babak, nanti akan lanjut ke babak yang lain. Tetap
tabah dan semangat, you are not alone…., kata seseorang padaku.
Bogor, 24 Februari 2013