Awal bulan, pertengahan bulan
puasa, beberapa waktu menjelang lebaran. Byuh. Manusia tumplek blek di Pasar
Grosir ini. Seumur-umur tinggal di Ibu Kota, sebelumnya aku tidak pernah
menginjakkan kakiku ke tempat ini. Sudah males kalau mendengar cerita
teman-teman ataupun tetangga yang pernah atau sering pergi ke sana. Bayangin
saja, apa enaknya coba, dengan suasana yang panas menyengat, sedang berpuasa, kemudian
hiruk pikuk suara pedagang yang saling bersahutan menjajakan dagangannya, suara
tangis anak-anak, dan menurutku yang terparah adalah berdesakan dengan para
pembeli lain, yang sampai-sampai mau jalan aja susssaaahhh. (Ini suasana di
sepanjang lapak-lapak pedagang eceran dan grosir kecil)
Tapi kali ini aku terpaksa harus
ke tempat ini karena tuntutan pekerjaan. Hari ini aku harus mengelilingi Pusat
Grosir Tanah Abang ini untuk mencari responden yang mau diwawancara.
“Memangnya kita harus lewat sini
ya?” tanyaku pada temanku yang jalan di depan karena aku memang tidak tahu sama
sekali daerah ini.
“Sebetulnya bisa lewat jalan
lain, tapi kejauhan…., lewat sini aja lebih dekat.” jawabnya.
Dalam suasana seperti itu, hal
yang paling membuatku pusing
adalah banyaknya ibu-ibu yang mengajak anak-anaknya yang masih
kecil-kecil ke tempat ini. Kenapa harus bawa anak-anak sih? Apa nggak kasihan
sama anaknya? Mereka pada menangis kepanasan dan pasti merasa sangat tidak
nyaman, belum lagi yang terinjak-injak. Wewwww, benar-benar kacauuu….
Ketika hampir sampai ke Lokasi
Gedung tujuan, ada tempat yang agak lengang. Aku dan temanku berhenti sejenak
untuk menarik nafas sebab tadi rasanya mau nafas aja susah. (hehehe… lebay.com….)
Mataku berputar berusaha
menangkap moment-moment menarik yang mungkin dapat dijadikan bahan cerita.
Biasa, naluri ‘penggosip’…., hehehe….
Betul saja, aku melihat ada
sekitar lima orang ibu-ibu yang tampak berembuk, sambil celingak-celinguk
dengan muka nggak jelas. Ternyata beberapa orang diantara mereka kecopetan. Aku
rasa pasti dompetnya, karena sang copet juga pasti tau kalau ibu-ibu yang datang
ke tempat ini pasti bawa duit banyak. Lain kalau di atas kereta, rata-rata
penumpang cuma bawa uang pas untuk ongkos dan makan, makanya dompetnya bukan
sasaran copet, tapi HP.
Hal seperti itu juga yang membuat
daftar malasku untuk pergi ke tempat seperti ini bertambah, sebab seandainyapun
isi dompetku cuma sepuluh ribu dan aku kecopetan, pasti rasanya nyesek dan
jengkel banget. Lain kalau uang sepuluh ribu itu memang sudah niat mau
disedekahkan. Bener nggak?
Suasana di dalam gedung Blok A, Blok
B, dan Blok F yang kumasuki juga ramai pembeli, tapi tidak separah yang tadi.
Di sini agak tertib karena di dalam gedung ‘kali ya…., dan mungkin juga karena barang
dan harganya juga agak beda, hehehe…., jadi yang masuk juga sudah tersaring.
Dari beberapa responden pedagang
yang berhasil kuwawancara, rata-rata omzetnya tiap hari aja sudah puluhan juta,
per bulannya berapa, per tahunnya berapa? Woww…., perputaran duit yang kenceng
sekali…. Itu baru di sini, di Tanah Abang. Di tempat lain, apakah juga seperti
ini? Membludak dengan lautan manusia yang ingin membelanjakan duitnya?
Apakah itu artinya masyarakat
kita juga banyak duitnya? Katanya masyarakat semakin menderita secara ekonomi? Lha
ini, koq pada berebut membelanjakan duitnya semua? Hehehe…., tunggu dulu…..,
orang-orang yang membludak memenuhi pusat-pusat perbelanjaan ini jumlahnya belum
mencapai sekian persen dari seluruh rakyat Indonesia lho…
Masih banyak di belahan Indonesia
yang lain yang untuk makan hari ini saja susah. Nggak usah jauh-jauh deh
contohnya, yaitu copet tadi. Coba dia hidupnya mapan, ada pekerjaan tetap yang
dapat diandalkan, apa dia juga mau jadi copet? (Sebetulnya sih, jawabannya relative
ya…., sebab ternyata jadi copet itu juga terkadang bukan karena sekedar kepepet
tapi karena males. Jadi gimana dong…? Jadi bingung nih nulisnya….., hehehe…)
Oke deh, nulisnya sudah dulu. Aku
juga tidak tahu harus nulis apa lagi, aku kan hanya sekedar share perasaan dan pengalamanku
ke Pasar Tanah Abang yang baru pertama kalinya kudatangi ini, hanya saja otakku
terlalu penuh dan tanganku selalu gatal kalau aku belum mengeluarkannya seperti
ini…. Anggap saja ini salah satu referensi pengalaman buat yang tidak pernah
bersentuhan secara langsung dengan mereka yang berada di kebanyakan masyarakat
kita…..
Bogor, 2 Agustus 2012