Pulang kerja naik krl ekonomi
menjelang maghrib, penumpangnya tidak sepadat hari-hari biasa waktu belum bulan
puasa. Mungkin sebagian ada yang pulang lebih awal, atau mungkin malah menunggu
buka puasa dulu baru pada pulang, yang jelas kereta jadi lumayan lengang, sorga
bagi para penumpang… hehehe…
Para pedagang asongan semangat
banget mondar-mandir, “Ayo, persiapan-persiapan…., sebentar lagi buka…., yang
dingin yang dingin, ayo persiapan….. “ begitu teriak para penjual minuman.
Kebanyakan memang yang lewat hanya penjual minuman dan buah. Mungkin para
pedagang asongan yang lain juga pada istirahat nunggu buka puasa dulu.
Tiba-tiba ada yang mengucapkan
salam dari ujung gerbong, “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…, dan
salam sejahtera pada para penumpang semuanya.”
Aku sempat menengok dan melihat
seorang laki-laki gondrong berpakaian hitam-hitam dengan ikat rambut batik
membawa tas kain dan sebuah seruling berdiri di sana. Setelan bajunya seperti
pakaian orang Baduy atau Madura dengan celana lebar tiga perempat. Pokoknya
penampilan etnik gitu.
“Permisi bapak-bapak dan ibu-ibu
sekalian, saya minta waktunya sebentar untuk bersedia mendengarkan saya. Saya
berasal dari sanggar bla bla bla…. yang ingin mengungkapkan isi hati….” Aku
lupa nama sanggar yang dia sebut, dan masih ada beberapa kalimat panjang
pembuka yang diucapkannya, tapi aku lupa. Intinya semacam protes social pada
para pemimpin begitu.
Kemudian dia langsung menjatuhkan
diri bersimpuh di lantai kereta sampai nyaris bersujud sambil mulai meniup
serulingnya yang melengkingkan penderitaan. Aku sih tidak terlalu faham dengan
bahasa music, tapi kalau yang seperti ini sih, kurasa semua orang juga tau
kalau suara lengkingan seruling itu adalah suara kesedihan karena mendayu-dayu
mirip orang merintih.
Selanjutnya aksi theatrikalnyapun
berlanjut, diselang-seling antara suara seruling dan puisi serta
gerakan-gerakan tubuhnya yang mengekspresikan kalimat-kalimatnya. Kulihat
beberapa penumpang menahan tawa dan ada
juga yang cekikikan karena tidak bisa menahan tawanya.
Aku jadi berpikir, apakah
pertunjukan ini tepat sasaran? Disuguhkan pada masyarakat penumpang kereta
ekonomi yang sudah lelah lahir batin dalam memperjuangkan hidup sehari-hari.
Apakah pertunjukan ini tidak terlalu berat bagi mereka? Apakah mereka dapat
memahami apa maksud dan tujuan pertunjukan ini? Apakah tidak sia-sia
pertunjukan ini digelar di hadapan mereka?
Ataukah sang actor memang sengaja
mencari penumpang kelas ini karena merekalah yang paling mudah tersulut api bila
disuguhi kata-kata yang sedikit bernada protes pada para pemimpin, sehingga
lebih gampang mengambil simpati mereka dan mendapatkan recehan dari mereka?
Hehehe…., pikiran setan mulai menggelitikku,
mulai berandai-andai dan merangkai prasangka-prasangka negative.
Di akhir pertunjukannya, sang
actor kembali bernarasi, mengucap doa keselamatan bagi para penumpang kemudian
berkeliling mengacungkan tas kainnya yang sudah kumal. Kulihat banyak juga yang
memasukkan recehannya ke dalam tas kain itu, termasuk yang tadi kulihat menahan
tawa dan cekikikan melihat pertunjukannya.
Hehehe, kurasa sang actor pasti
bersyukur karena pertunjukannya berhasil menarik simpati para penumpang
sehingga mereka bersedia mengeluarkan recehannya. Atau mungkin hanya sekedar
rasa kasihan tanpa tahu sama sekali arti pertunjukan itu karena tadi melihat
sang actor yang sampai bersimpuh seperti itu?!..... Ah, tidak tahulah aku,
apapun alasannya, yang pasti kantong kain sang actor berhasil menampung recehan
itu…. Hehehe…
Kereta semakin melaju, waktupun
sudah memasuki saatnya berbuka puasa. Dengan kecanggihan tekhnologi masa kini,
khususnya HP yang dimiliki oleh hampir setiap penumpang kereta ekonomi ini,
semua penumpang dapat mengakses dengan tepat kapan saatnya berbuka.
Alhamdulillah. Setetes demi
setetes air mineral yang melewati tenggorokan, sudah membatalkan puasaku hari
ini. Kenikmatan yang eksotis karena berada di atas kereta ekonomi yang
rata-rata juga hanya meneguk segelas air mineral, tanpa kolak, es buah, kurma,
biji salak, dan sebangsanya. Semoga
puasa hari ini diterima oleh Sang Pemberi Hidup. Aamiin.
Bogor, 10 Agustus 2012