Rabu, 17 Oktober 2012

Tukang Tahu Langganan



Namanya Pak Uyo, umurnya mungkin sekitar 50 atau 60 tahunan (aku lupa nanya umurnya), asli dari Sumedang dan sehari-hari kerjanya jual tahu sumedang, keliling jalan kaki di sekitar perumahan tempatku dengan pikulan di pundaknya. Lewat depan rumahku sekitar setengah tujuh pagi, dan selalu dengan teriakan khasnya.
“Tahu tahu…, tahunya Neng…, tahu mateng…. Tahu tahu…..” teriaknya dengan lantang. Beberapa rumah sebelum sampai depan rumahku aku sudah dapat mendengar suaranya.

Kalau anakku yang ke dua sekarang umur 11 tahun, itu artinya si bapak ini sudah berjualan tahu keliling selama lebih dari 16 tahun. Aku ingat betul ketika aku sedang hamil anak ke duaku ini, waktu itu aku beli tahu seperti biasanya, si bapak bertanya ke padaku, “Sudah berapa bulan Neng?”
“Sudah tinggal nunggu harinya pak….” jawabku.
“Mudah-mudahan nanti lahirnya lancar dan selamat ya Neng. Mungkin nanti lahirnya pas bapak lagi nggak jualan.” katanya.
“Memang kenapa nggak jualan pak? Kayaknya bapak sering deh nggak jualan.” kataku. Memang kadang si bapak sempat beberapa minggu tidak berjualan, kupikir sih karena libur atau sakit. Terus terang saat itu aku tidak terlalu ngeh.
“Kalau di kampung lagi tandur, panen atau ada kerjaan lain… ya bapak pulang dulu. Bapak ngerjain kerjaan di kampung dulu…., nanti kalau sudah, bapak balik ke sini jualan tahu lagi.” jawabnya.
“Memangnya sudah berapa lama sih pak, jualan tahu begini…” tanyaku.
“Sampai hari ini sudah sekitar lima tahunan Neng. Tapi bapak mah santai saja jualannya. Kalau hari ini misalnya dagangan habis ya alhamdulillah, kalau misalnya tidak habis, ya harus tetap disyukuri, mungkin rejeki hari hanya segini.” jawabnya. Hm.., sudah lima tahun. Lumayan juga tuh. Kalau sekolah SD, setahun lagi pasti sudah lulus, dan kurasa si bapak ini juga pasti sudah lulus dari berbagai macam ujian kehidupan, makanya bisa ikhlas begitu.
“Terus, selama di sini tinggalnya di mana, sama siapa saja pak?” tanyaku.
“Bapak mah tinggal sendiri, kontrak di dekat pabrik tahu ini… Keluarga tetap di kampung.” jawabnya.


Aku sempat lama tidak pernah beli tahunya sejak aku tugas ke luar kota selama tiga bulan. Rutinitas makan tahu sumedang tiap pagi sudah berkurang dan kehadiran si bapak penjual tahu itupun agak terlupakan. Hanya kadang-kadang saja belinya.

Pagi itu, aku lupa tepatnya kapan, mungkin sekitar bulan lalu. Telingaku tiba-tiba mendengar suara serak, “Tahu tahu…, tahunya Neng…. Tahu mateng… tahu tahu…”
Aku menyuruh anakku memanggil si bapak dan membeli tahunya. Mungkin si bapak lagi batuk, jadi suaranya agak serak, pikirku.
Tapi ternyata, hari-hari setelah itu, kudengar suara teriakan si bapak semakin serak dan perlahan. Tidak selantang dulu.

Dengan rasa penasaran, besoknya kutunggu si bapak lewat. Kuamati penampilannya. Masih tetap seperti dulu, selalu berpakaian rapi, kemeja lengan panjang yang selalu dikancing lengkap dan dimasukkan ke  celana panjangnya, bersepatu, bertopi koboi, dan ikat pinggang berkantong tempatnya menaruh uang. Terkadang memakai batik lengan panjang yang juga tetap rapi seperti itu, serta pikulan tahu sumedangnya.

Tapi ada yang berbeda, raut wajahnya tidak sekencang dulu, tubuhnyapun sedikit lebih ringkih. Rupanya itulah yang menyebabkan suara si bapak sudah tidak selantang dulu lagi. Sekarang si bapak penjual tahu ini sudah semakin tua, tetapi semangatnya untuk tetap berjualan tahu pada para pelanggannya belumlah berkurang. Si bapak tidak dapat dibilang renta, karena dia masih tetap kuat berjalan puluhan kilometer setiap harinya. Kesetiaan pada profesinya membuatku terkesan. Juga pada kegigihan dan keikhlasannya melakukan profesinya. Si bapak melakukannya setiap hari dengan senang hati dan tidak menjadikannya beban.

“Pak, sini deh saya foto…. “ kataku setelah beli tahunya seperti biasa.
Si bapak tersenyum dan mengangguk, “Buat apaan Neng?” tanyanya.
“Ya difoto aja, nggak buat apa-apa…” kataku sambil memotretnya dengan hapeku.
Tetanggaku di seberang jalan berteriak-teriak…, “Pak, jangan mau difoto kalau nggak dibayar…” katanya.
Si bapak tersenyum saja dan tetap santai menghadap padaku. Klik. Klik. Klik. Aku mengambil beberapa gambarnya.

Buat orang lain mungkin apa yang kulakukan aneh, karena memang tidak ada yang istimewa dari si bapak penjual tahu yang bernama Pak Uyo ini. Tapi sungguh, aku terkesan sekali dengan kesetiaannya pada profesinya sebagai Penjual Tahu Sumedang selama sekian tahun dan dengan penampilannya yang trendi.
Mungkin nanti, ketika suatu saat si bapak sudah benar-benar tidak kuat lagi untuk berjalan keliling berjualan tahu, aku masih punya foto dan sedikit cerita tentang kegigihannya untuk diceritakan pada anak cucuku. Keikhlasan dalam mengerjakan sesuatu sehingga pekerjaan itu tidak lagi menjadi beban buat kita. Sungguh hidup yang nyaman bukan?



Bogor, 17 Oktober 2012
(sambil menunggu hujan reda supaya dapat berangkat kerja)