Namanya Pak Uyo, umurnya mungkin sekitar
50 atau 60 tahunan (aku lupa nanya umurnya), asli dari Sumedang dan sehari-hari
kerjanya jual tahu sumedang, keliling jalan kaki di sekitar perumahan tempatku dengan
pikulan di pundaknya. Lewat depan rumahku sekitar setengah tujuh pagi, dan
selalu dengan teriakan khasnya.
“Tahu tahu…, tahunya Neng…, tahu
mateng…. Tahu tahu…..” teriaknya dengan lantang. Beberapa rumah sebelum
sampai depan rumahku aku sudah dapat mendengar suaranya.
Kalau anakku yang ke dua sekarang
umur 11 tahun, itu artinya si bapak ini sudah berjualan tahu keliling selama lebih
dari 16 tahun. Aku ingat betul ketika aku sedang hamil anak ke duaku ini, waktu
itu aku beli tahu seperti biasanya, si bapak bertanya ke padaku, “Sudah berapa
bulan Neng?”
“Sudah tinggal nunggu harinya pak….”
jawabku.
“Mudah-mudahan nanti lahirnya lancar
dan selamat ya Neng. Mungkin nanti lahirnya pas bapak lagi nggak jualan.” katanya.
“Memang kenapa nggak jualan pak?
Kayaknya bapak sering deh nggak jualan.” kataku. Memang kadang si bapak sempat
beberapa minggu tidak berjualan, kupikir sih karena libur atau sakit. Terus
terang saat itu aku tidak terlalu ngeh.
“Kalau di kampung lagi tandur,
panen atau ada kerjaan lain… ya bapak pulang dulu. Bapak ngerjain kerjaan di kampung
dulu…., nanti kalau sudah, bapak balik ke sini jualan tahu lagi.” jawabnya.
“Memangnya sudah berapa lama sih
pak, jualan tahu begini…” tanyaku.
“Sampai hari ini sudah sekitar
lima tahunan Neng. Tapi bapak mah santai saja jualannya. Kalau hari ini
misalnya dagangan habis ya alhamdulillah, kalau misalnya tidak habis, ya harus
tetap disyukuri, mungkin rejeki hari hanya segini.” jawabnya. Hm.., sudah lima
tahun. Lumayan juga tuh. Kalau sekolah SD, setahun lagi pasti sudah lulus, dan
kurasa si bapak ini juga pasti sudah lulus dari berbagai macam ujian kehidupan,
makanya bisa ikhlas begitu.
“Terus, selama di sini tinggalnya
di mana, sama siapa saja pak?” tanyaku.
“Bapak mah tinggal sendiri,
kontrak di dekat pabrik tahu ini… Keluarga tetap di kampung.” jawabnya.
Aku sempat lama tidak pernah beli
tahunya sejak aku tugas ke luar kota selama tiga bulan. Rutinitas makan tahu
sumedang tiap pagi sudah berkurang dan kehadiran si bapak penjual tahu itupun
agak terlupakan. Hanya kadang-kadang saja belinya.
Pagi itu, aku lupa tepatnya
kapan, mungkin sekitar bulan lalu. Telingaku tiba-tiba mendengar suara serak, “Tahu
tahu…, tahunya Neng…. Tahu mateng… tahu tahu…”
Aku menyuruh anakku memanggil si
bapak dan membeli tahunya. Mungkin si bapak lagi batuk, jadi suaranya agak
serak, pikirku.
Tapi ternyata, hari-hari setelah
itu, kudengar suara teriakan si bapak semakin serak dan perlahan. Tidak
selantang dulu.
Dengan rasa penasaran, besoknya
kutunggu si bapak lewat. Kuamati penampilannya. Masih tetap seperti dulu,
selalu berpakaian rapi, kemeja lengan panjang yang selalu dikancing lengkap dan
dimasukkan ke celana panjangnya,
bersepatu, bertopi koboi, dan ikat pinggang berkantong tempatnya menaruh uang.
Terkadang memakai batik lengan panjang yang juga tetap rapi seperti itu, serta
pikulan tahu sumedangnya.
Tapi ada yang berbeda, raut
wajahnya tidak sekencang dulu, tubuhnyapun sedikit lebih ringkih. Rupanya
itulah yang menyebabkan suara si bapak sudah tidak selantang dulu lagi.
Sekarang si bapak penjual tahu ini sudah semakin tua, tetapi semangatnya untuk
tetap berjualan tahu pada para pelanggannya belumlah berkurang. Si bapak tidak
dapat dibilang renta, karena dia masih tetap kuat berjalan puluhan kilometer
setiap harinya. Kesetiaan pada profesinya membuatku terkesan. Juga pada kegigihan
dan keikhlasannya melakukan profesinya. Si bapak melakukannya setiap hari
dengan senang hati dan tidak menjadikannya beban.
“Pak, sini deh saya foto…. “
kataku setelah beli tahunya seperti biasa.
Si bapak tersenyum dan
mengangguk, “Buat apaan Neng?” tanyanya.
“Ya difoto aja, nggak buat
apa-apa…” kataku sambil memotretnya dengan hapeku.
Tetanggaku di seberang jalan
berteriak-teriak…, “Pak, jangan mau difoto kalau nggak dibayar…” katanya.
Si bapak tersenyum saja dan tetap
santai menghadap padaku. Klik. Klik. Klik. Aku mengambil beberapa gambarnya.
Buat orang lain mungkin apa yang
kulakukan aneh, karena memang tidak ada yang istimewa dari si bapak penjual
tahu yang bernama Pak Uyo ini. Tapi sungguh, aku terkesan sekali dengan
kesetiaannya pada profesinya sebagai Penjual Tahu Sumedang selama sekian tahun
dan dengan penampilannya yang trendi.
Mungkin nanti, ketika suatu saat
si bapak sudah benar-benar tidak kuat lagi untuk berjalan keliling berjualan
tahu, aku masih punya foto dan sedikit cerita tentang kegigihannya untuk
diceritakan pada anak cucuku. Keikhlasan dalam mengerjakan sesuatu sehingga
pekerjaan itu tidak lagi menjadi beban buat kita. Sungguh hidup yang nyaman
bukan?
Bogor, 17 Oktober
2012
(sambil menunggu hujan reda
supaya dapat berangkat kerja)