Minggu, 22 Maret 2020

Keranda Yang Tertinggal


Siang itu hari jum’at.
Aku masih mengikuti pelajaran tambahan Bahasa Inggris di Sekolah untuk persiapan ujian akhir kelas tiga SMA.

“Diane disuruh pulang sekarang...”  kata Bu Guru Bahasa Inggrisku setelah menerima pesan dari petugas TU, Tholib.

Akupun mengemasi tas dan buku-buku pelajaranku sambil berpikir ada apa koq aku disuruh pulang cepat. Biasanya yang cuma urusan OSIS saja, sampai sore aku nggak pernah dicari atau disuruh pulang. Lha sekarang justru pas pelajaran tambahan, aku disuruh pulang.

Belum jauh berjalan kaki dari sekolahan, masih di sekitar Masjid Al Muttaqin depan gang tujuh, adikku menjemputku.

“Ayo Mbak An, cepetan...., Iie tenggelam...” kata adikku.

Dhuarrrr!!!
Seperti ada meteor meledak di atas kepala, aku mendengarnya.  Iie tenggelam? Tenggelam di mana? Iie adikku? Akupun langsung naik ke atas boncengan vespanya.

Sampai di rumah ternyata sudah sepi, tidak ada orang. Tinggal Nenekku yang sedang menangis terisak-isak.

“Semua pada ke mana Mbah?” tanyaku ikut menangis.
“Ke Karang Menjangan...”   jawabnya sambil terus mengusap air matanya yang mengalir tanpa henti.

Ke Karang Menjangan? Parahkah kondisi adikku? Aku harus bagaimana? Aku naik apa ke sana? Bawa motor sendiri? Aduuuh...., aku bingung. Ayo berpikirlah otakku! Plisss!!

Aa’! Ya, Aa’....!!  Akupun langsung lari ke rumah Aa’..., menerobos garasi dan langsung menggedor pintu kamarnya.

“Ada apa sih, gangguin orang tidur aja...” katanya sambil melemparkan tubuhnya lagi ke ranjang setelah membuka pintu kamarnya.
“Bangun A’..., tolong anterin ke Rumah sakit...., Iie tenggelam...” kataku sambil menangis.
“Haah..., tenggelam?! “ serunya sambil melompat dari ranjang dan langsung menyambar celana panjang di gantungan.
“Hadap sana, aku ganti baju dulu...!”  teriaknya.

Sepanjang perjalanan ke Rumah sakit aku terus menangis sambil berdoa supaya adikku baik-baik saja. Sebab sampai saat itu aku sama sekali belum tahu kondisi adikku yang sesungguhnya. Hanya kata tenggelam itu saja informasi yang kupunya.  Saking bingungnya, aku lupa tidak bertanya apapun pada adikku nomer tiga yang menjemputku tadi. Diapun kutinggal begitu saja di rumah.

“Jangan nangis dong, aku jadi ikutan panik nih...” kata Aa’ melihatku terus menangis.
“Berdo’a aja supaya Iie tidak kenapa-napa...” sambungnya.

Sampai di Rumah Sakit Karang Menjangan (Dr. Soetomo), kami mencari-cari dulu di mana UGD-nya. Maklum, kami berdua belum pernah berurusan dengan UGD RS ini.

Begitu ketemu di mana UGD-nya, Aa’pun memarkir mobilnya asal-asalan kemudian buru-buru mengejarku yang berlari ke meja penerimaan pasien.

“Suster, mau nanya dong...., apakah tadi ada pasien anak kecil yang tenggelam?” tanyaku.
“Oh, anak laki-laki yang katanya tenggelam di pantai? Ya di kamar mayatlah..., wong sudah meninggal koq...” jawab Suster itu dengan santainya.

Kedua kakiku langsung lemas. Aa’ menahanku supaya tidak jatuh dan diajak keluar.

“Gile, kalimat si Suster kejam amat ya...., nggak kira-kira kalau ngomong.” Kata Aa’.  Aku diam saja, makin bingung.

Tiba-tiba kulihat Bapakku berjalan dari gedung sebelah menuju ke arah meja penerima tadi. Aku langsung mengejarnya. Aa’mengikuti di belakangku.

“Pak...” panggilku. Bapak menoleh dan berhenti.
“Gimana kondisi Iie?” tanyaku.
“Iie sudah dipanggil Allah...” jawab Bapakku dengan mata membasah.
“Innalillahi wa inna illaihi roji’un...” kataku dan Aa’ bersamaan.

Kemudian Bapak menyuruhku dan Aa’ untuk pulang saja, serta menunggu di rumah. Menyiapkan rumah buat nanti ketika jenazah dibawa pulang. Sekarang Bapak masih mengurus surat-suratnya,  sedangkan Ibu dan adik-adikku yang lain menunggu di kamar jenazah.

Kebetulan kami tidak punya saudara yang tinggal di Surabaya, jadi tidak ada yang perlu didatangi untuk dikhabari. Ibuku hanya dua bersaudara, dan kakaknya tinggal di Bondowoso. Adik-adik serta kakak dari Bapakku semua tinggal di Jakarta dan Jawa Barat.

Semua meja kursi dikeluarkan dari dalam rumahku, dan ada sebuah meja yang ditaruh di tengah ruangan untuk jenazah nanti.

Tetangga dan teman-temanku mulai berdatangan, begitu juga teman-teman adik-adikku. Semua menemaniku membaca Surat Yasin.

Kira-kira habis maghrib jenazah adikku datang dengan ambulance dan di letakkan di meja yang sudah dipersiapkan. Tubuhnya masih lemas. Dan dari hidungnya  meleleh cairan bercampur darah, yang kuduga pasti dari paru-parunya yang dipenuhi air.

Ibuku yang terus-terusan mengusap cairan itu dan mengeringkannya dengan hati-hati.  Air matanya sudah tidak menetes lagi, tapi meninggalkan kedua pasang mata yang merah membengkak dari wajahnya yang kusut.

Adikku ini baru berumur sembilan tahun, kelas empat SD. Kalau di urutan keluarga, dia anak nomer lima. Masih ada adik satu lagi di bawahnya. Aku sendiri adalah sulung.

Ketika semua orang masih duduk mengelilingi jenazah, Bapak memintaku mengaji dikamar. Aku disuruh membaca Ayat Kursi sebanyak yang kumampu, minimum seratus kali. Bapak sendiri membaca Surat Yasin, minimum seratus kali juga.

Di sela-sela konsentrasiku membaca Ayat Kursi itu, tiba-tiba aku seolah mendengar suara sesenggukan adikku (yang saat ini tubuhnya terbujur di ruang tengah) dari garasi di samping kamar.

“Ibuuu...., hh...., Ibuuu...., hh...., Ibuuu....., hh....”

Kucoba mendengarkan dengan serius, tapi ternyata tidak terdengar lagi. Kulihat, sudah jam sembilan. Sudah malam.

Aku meneruskan mengaji sambil berpikir kalau suara itu tadi mungkin hanya perasaanku saja atau halusinasi. Toh Bapak di depanku juga masih terus mengaji, dan sepertinya tidak mendengar suara apapun.

Besoknya, pemakaman adikku alhamdulillah diiringi pelayat yang lumayan banyak.

Dari kantor Bapak ada satu truk tentara berisi marinir teman-teman Bapakku. Kemudian para tetangga. Teman-teman sekolahku yang dikoordinir Aa’. Kemudian teman-teman adik-adikku.

Yang lebih mengharukan lagi, ketika iring-iringan mobil jenazah melewati sekolahan adikku, ternyata di sepanjang tepi jalan sekitar sekolahan adikku itu telah berjejer teman-teman sekolahnya, kakak dan adik kelas, serta para bapak dan ibu gurunya yang melambaikan tangan. Aku menangis melihatnya.

Setelah pemakaman, masih banyak juga yang datang melayat. Termasuk ada seorang Bapak yang tidak kami kenal yang datang dengan membawa sepeda adikku.

“Saya kemarin kebetulan sedang memancing di sana, dan saya yang mengangkat tubuhnya dari dalam kolam.” Si Bapak memperkenalkan diri.

Jadi rupanya, kemarin itu, sepulang sekolah..., adikku ini pergi ke pantai dengan teman-temannya. Mereka masuk dari bawah pagar kawat, jadi tidak membayar ke tempat wisata pemancingan ini. Rencananya memang mau memancing. Tapi namanya anak-anak melihat air, ya tergodalah mereka untuk mandi sekalian di kolam itu.

Adikku tadinya juga tidak ikut mandi, karena kalau di rumahpun mandinya pakai air hangat karena dia punya sakit ashma, nggak kuat dingin.
Nah, sekali lagi namanya anak-anak, melihat semua temannya nyebur ke air, ya akhirnya diapun ikutan.

Saat itulah mereka melihat kalau adikku seolah melambaikan tangan meminta tolong. Dia memang tidak bisa berenang. Dipikir teman-temannya dia bercanda, jadi malah ditinggal pulang.

Tapi ada satu orang temannya yang tidak ikut pulang dengan yang lain. Dia menunggu adikku yang ternyata tidak muncul-muncul juga dari dalam air.

Kemudian dia datang ke Bapak Pemancing tadi dan minta tolong untuk melihat temannya yang tidak keluar-keluar dari dalam air. Si Bapak masuk ke air dan mencari-cari dengan kakinya. Begitu ketemu, dibawa naiklah tubuh adikku.

Ketika dibaringkan ke tanah dan dijungkir untuk mengeluarkan airnya, kata si Bapak, adikku sempat siuman dan memanggil Ibuku tiga kali. Ibuuu..., Ibuuu..., Ibuuu...

Rupanya suara yang kudengar itu adalah suara terakhir adikku yang memanggil Ibu. Subhanallah.

Beberapa hari kemudian, adik-adikku tidak ada yang mau tidur di kamar. Katanya hawanya beda. Jadi semua tidur di ruang tengah di depan tivi, menggelar kasur di sana. Padahal aku dan Bapakku tetap mengaji di kamar, dan tidak merasakan apa-apa.

Kata salah satu adikku, kalau dia membuka pintu akan masuk ke kamar paling depan, nanti pintu penghubungnya  tiba-tiba menutup sendiri, seolah ada seseorang yang meninggalkan kamar depan masuk ke kamar tengah. Begitu juga misalnya adikku sedang membuka pintu akan masuk ke kamar tengah, tiba-tiba pintu penghubungnya menutup sendiri seolah ada orang yang meninggalkan kamar tengah dan masuk ke kamar depan dari pintu penghubung itu.

Tiga buah kamar di rumah kami itu memang punya dua pintu yang menghubungkan antara satu kamar dengan kamar lainnya. Jadi tiga kamar itu saling berhubungan.

Suasana tidak enak itu berlangsung berhari-hari. Adik-adikku tiba-tiba saja menjadi penakut semua. Aku sendiri karena tidak merasakan apa-apa ya tetap mengaji dan tidur di kamar seperti biasa.

Sampai suatu siang, tiba-tiba ada Pengurus Masjid yang datang ke rumah.
“Mau nanya, apa keranda yang tempohari masih ada di sini?”

Waduh. Sudah berhari-hari kami tidak ada yang pergi ke garasi. Apa benar kerandanya masih tertinggal di sini?

Ternyata benar lho....., keranda jenazahnya masih anteng bertenger di garasi...., terlupakan.

Akhirnya, alhamdulillah setelah keranda itu dibawa kembali ke Masjid, tidak ada lagi ‘seseorang’ yang selalu berpindah kamar lewat pintu penghubung kalau pintu kamar dibuka. Wallohualam.


***terjadi februari 1984, saat adikku ke lima dipanggil olehNya.
(Alfatehah untukmu adikku.....)