Siang itu hari jum’at.
Aku masih mengikuti pelajaran
tambahan Bahasa Inggris di Sekolah untuk persiapan ujian akhir kelas tiga SMA.
“Diane disuruh pulang sekarang...” kata Bu Guru Bahasa Inggrisku setelah
menerima pesan dari petugas TU, Tholib.
Akupun mengemasi tas dan
buku-buku pelajaranku sambil berpikir ada apa koq aku disuruh pulang cepat.
Biasanya yang cuma urusan OSIS saja, sampai sore aku nggak pernah dicari atau
disuruh pulang. Lha sekarang justru pas pelajaran tambahan, aku disuruh pulang.
Belum jauh berjalan kaki dari
sekolahan, masih di sekitar Masjid Al Muttaqin depan gang tujuh, adikku
menjemputku.
“Ayo Mbak An, cepetan...., Iie
tenggelam...” kata adikku.
Dhuarrrr!!!
Seperti ada meteor meledak di
atas kepala, aku mendengarnya. Iie
tenggelam? Tenggelam di mana? Iie adikku? Akupun langsung naik ke atas
boncengan vespanya.
Sampai di rumah ternyata sudah
sepi, tidak ada orang. Tinggal Nenekku yang sedang menangis terisak-isak.
“Semua pada ke mana Mbah?”
tanyaku ikut menangis.
“Ke Karang Menjangan...” jawabnya sambil terus mengusap air matanya
yang mengalir tanpa henti.
Ke Karang Menjangan? Parahkah
kondisi adikku? Aku harus bagaimana? Aku naik apa ke sana? Bawa motor sendiri?
Aduuuh...., aku bingung. Ayo berpikirlah otakku! Plisss!!
Aa’! Ya, Aa’....!! Akupun langsung lari ke rumah Aa’..., menerobos
garasi dan langsung menggedor pintu kamarnya.
“Ada apa sih, gangguin orang
tidur aja...” katanya sambil melemparkan tubuhnya lagi ke ranjang setelah
membuka pintu kamarnya.
“Bangun A’..., tolong anterin ke
Rumah sakit...., Iie tenggelam...” kataku sambil menangis.
“Haah..., tenggelam?! “ serunya
sambil melompat dari ranjang dan langsung menyambar celana panjang di
gantungan.
“Hadap sana, aku ganti baju dulu...!”
teriaknya.
Sepanjang perjalanan ke Rumah
sakit aku terus menangis sambil berdoa supaya adikku baik-baik saja. Sebab
sampai saat itu aku sama sekali belum tahu kondisi adikku yang sesungguhnya. Hanya
kata tenggelam itu saja informasi yang kupunya.
Saking bingungnya, aku lupa tidak bertanya apapun pada adikku nomer tiga
yang menjemputku tadi. Diapun kutinggal begitu saja di rumah.
“Jangan nangis dong, aku jadi ikutan
panik nih...” kata Aa’ melihatku terus menangis.
“Berdo’a aja supaya Iie tidak
kenapa-napa...” sambungnya.
Sampai di Rumah Sakit Karang
Menjangan (Dr. Soetomo), kami mencari-cari dulu di mana UGD-nya. Maklum, kami
berdua belum pernah berurusan dengan UGD RS ini.
Begitu ketemu di mana UGD-nya, Aa’pun
memarkir mobilnya asal-asalan kemudian buru-buru mengejarku yang berlari ke
meja penerimaan pasien.
“Suster, mau nanya dong....,
apakah tadi ada pasien anak kecil yang tenggelam?” tanyaku.
“Oh, anak laki-laki yang katanya
tenggelam di pantai? Ya di kamar mayatlah..., wong sudah meninggal koq...”
jawab Suster itu dengan santainya.
Kedua kakiku langsung lemas. Aa’
menahanku supaya tidak jatuh dan diajak keluar.
“Gile, kalimat si Suster kejam
amat ya...., nggak kira-kira kalau ngomong.” Kata Aa’. Aku diam saja, makin bingung.
Tiba-tiba kulihat Bapakku
berjalan dari gedung sebelah menuju ke arah meja penerima tadi. Aku langsung
mengejarnya. Aa’mengikuti di belakangku.
“Pak...” panggilku. Bapak menoleh dan berhenti.
“Gimana kondisi Iie?” tanyaku.
“Iie sudah dipanggil Allah...”
jawab Bapakku dengan mata membasah.
“Innalillahi wa inna illaihi roji’un...”
kataku dan Aa’ bersamaan.
Kemudian Bapak menyuruhku dan Aa’
untuk pulang saja, serta menunggu di rumah. Menyiapkan rumah buat nanti ketika
jenazah dibawa pulang. Sekarang Bapak masih mengurus surat-suratnya, sedangkan Ibu dan adik-adikku yang lain
menunggu di kamar jenazah.
Kebetulan kami tidak punya
saudara yang tinggal di Surabaya, jadi tidak ada yang perlu didatangi untuk
dikhabari. Ibuku hanya dua bersaudara, dan kakaknya tinggal di Bondowoso.
Adik-adik serta kakak dari Bapakku semua tinggal di Jakarta dan Jawa Barat.
Semua meja kursi dikeluarkan dari
dalam rumahku, dan ada sebuah meja yang ditaruh di tengah ruangan untuk jenazah
nanti.
Tetangga dan teman-temanku mulai
berdatangan, begitu juga teman-teman adik-adikku. Semua menemaniku membaca
Surat Yasin.
Kira-kira habis maghrib jenazah
adikku datang dengan ambulance dan di letakkan di meja yang sudah dipersiapkan.
Tubuhnya masih lemas. Dan dari hidungnya meleleh cairan bercampur darah, yang kuduga
pasti dari paru-parunya yang dipenuhi air.
Ibuku yang terus-terusan mengusap
cairan itu dan mengeringkannya dengan hati-hati. Air matanya sudah tidak menetes lagi, tapi meninggalkan
kedua pasang mata yang merah membengkak dari wajahnya yang kusut.
Adikku ini baru berumur sembilan
tahun, kelas empat SD. Kalau di urutan keluarga, dia anak nomer lima. Masih ada
adik satu lagi di bawahnya. Aku sendiri adalah sulung.
Ketika semua orang masih duduk
mengelilingi jenazah, Bapak memintaku mengaji dikamar. Aku disuruh membaca Ayat
Kursi sebanyak yang kumampu, minimum seratus kali. Bapak sendiri membaca Surat Yasin,
minimum seratus kali juga.
Di sela-sela konsentrasiku
membaca Ayat Kursi itu, tiba-tiba aku seolah mendengar suara sesenggukan adikku
(yang saat ini tubuhnya terbujur di ruang tengah) dari garasi di samping kamar.
“Ibuuu...., hh...., Ibuuu...., hh....,
Ibuuu....., hh....”
Kucoba mendengarkan dengan
serius, tapi ternyata tidak terdengar lagi. Kulihat, sudah jam sembilan. Sudah
malam.
Aku meneruskan mengaji sambil berpikir
kalau suara itu tadi mungkin hanya perasaanku saja atau halusinasi. Toh Bapak
di depanku juga masih terus mengaji, dan sepertinya tidak mendengar suara
apapun.
Besoknya, pemakaman adikku
alhamdulillah diiringi pelayat yang lumayan banyak.
Dari kantor Bapak ada satu truk
tentara berisi marinir teman-teman Bapakku. Kemudian para tetangga. Teman-teman
sekolahku yang dikoordinir Aa’. Kemudian teman-teman adik-adikku.
Yang lebih mengharukan lagi,
ketika iring-iringan mobil jenazah melewati sekolahan adikku, ternyata di
sepanjang tepi jalan sekitar sekolahan adikku itu telah berjejer teman-teman
sekolahnya, kakak dan adik kelas, serta para bapak dan ibu gurunya yang
melambaikan tangan. Aku menangis melihatnya.
Setelah pemakaman, masih banyak
juga yang datang melayat. Termasuk ada seorang Bapak yang tidak kami kenal yang
datang dengan membawa sepeda adikku.
“Saya kemarin kebetulan sedang
memancing di sana, dan saya yang mengangkat tubuhnya dari dalam kolam.” Si
Bapak memperkenalkan diri.
Jadi rupanya, kemarin itu,
sepulang sekolah..., adikku ini pergi ke pantai dengan teman-temannya. Mereka
masuk dari bawah pagar kawat, jadi tidak membayar ke tempat wisata pemancingan
ini. Rencananya memang mau memancing. Tapi namanya anak-anak melihat air, ya
tergodalah mereka untuk mandi sekalian di kolam itu.
Adikku tadinya juga tidak ikut
mandi, karena kalau di rumahpun mandinya pakai air hangat karena dia punya
sakit ashma, nggak kuat dingin.
Nah, sekali lagi namanya
anak-anak, melihat semua temannya nyebur ke air, ya akhirnya diapun ikutan.
Saat itulah mereka melihat kalau
adikku seolah melambaikan tangan meminta tolong. Dia memang tidak bisa berenang.
Dipikir teman-temannya dia bercanda, jadi malah ditinggal pulang.
Tapi ada satu orang temannya yang
tidak ikut pulang dengan yang lain. Dia menunggu adikku yang ternyata tidak
muncul-muncul juga dari dalam air.
Kemudian dia datang ke Bapak
Pemancing tadi dan minta tolong untuk melihat temannya yang tidak keluar-keluar
dari dalam air. Si Bapak masuk ke air dan mencari-cari dengan kakinya. Begitu
ketemu, dibawa naiklah tubuh adikku.
Ketika dibaringkan ke tanah dan
dijungkir untuk mengeluarkan airnya, kata si Bapak, adikku sempat siuman dan
memanggil Ibuku tiga kali. Ibuuu..., Ibuuu..., Ibuuu...
Rupanya suara yang kudengar itu
adalah suara terakhir adikku yang memanggil Ibu. Subhanallah.
Beberapa hari kemudian,
adik-adikku tidak ada yang mau tidur di kamar. Katanya hawanya beda. Jadi semua
tidur di ruang tengah di depan tivi, menggelar kasur di sana. Padahal aku dan
Bapakku tetap mengaji di kamar, dan tidak merasakan apa-apa.
Kata salah satu adikku, kalau dia
membuka pintu akan masuk ke kamar paling depan, nanti pintu penghubungnya tiba-tiba menutup sendiri, seolah ada
seseorang yang meninggalkan kamar depan masuk ke kamar tengah. Begitu juga
misalnya adikku sedang membuka pintu akan masuk ke kamar tengah, tiba-tiba
pintu penghubungnya menutup sendiri seolah ada orang yang meninggalkan kamar
tengah dan masuk ke kamar depan dari pintu penghubung itu.
Tiga buah kamar di rumah kami itu
memang punya dua pintu yang menghubungkan antara satu kamar dengan kamar
lainnya. Jadi tiga kamar itu saling berhubungan.
Suasana tidak enak itu
berlangsung berhari-hari. Adik-adikku tiba-tiba saja menjadi penakut semua. Aku
sendiri karena tidak merasakan apa-apa ya tetap mengaji dan tidur di kamar
seperti biasa.
Sampai suatu siang, tiba-tiba ada
Pengurus Masjid yang datang ke rumah.
“Mau nanya, apa keranda yang
tempohari masih ada di sini?”
Waduh. Sudah berhari-hari kami
tidak ada yang pergi ke garasi. Apa benar kerandanya masih tertinggal di sini?
Ternyata benar lho....., keranda
jenazahnya masih anteng bertenger di garasi...., terlupakan.
Akhirnya, alhamdulillah setelah
keranda itu dibawa kembali ke Masjid, tidak ada lagi ‘seseorang’ yang selalu
berpindah kamar lewat pintu penghubung kalau pintu kamar dibuka. Wallohualam.
***terjadi februari 1984, saat
adikku ke lima dipanggil olehNya.
(Alfatehah untukmu adikku.....)