Kamis, 25 Oktober 2012

Bahasanya WOW…!!



Biasanya kalau aku berangkat kerja di hari sabtu atau minggu, suasana di kereta memang agak beda. Banyak anak-anak dan orang tua (manula) yang naik, sehingga suasananya jadi ribet banget deh. Ada yang nangis, ada yang teriak-teriak, ada yang bercanda. Pokoknya ribet.

Tapi ketika hari itu aku naik kereta ekonomi jam 10.00 pagi dan bukan hari libur, karena masih hari kamis dan lebaran haji masih seminggu lagi, ternyata suasana di dalam gerbong hiruk pikuk banget dengan suara anak-anak. Malahan ada yang duduk-duduk di lantai kereta dan bermain-main bersama teman atau saudaranya seolah di rumah sendiri. Ini bisa terjadi karena suasana kereta yang tidak terlalu penuh karena sudah lewat jam orang berangkat kerja.

Di antara anak-anak yang bermain di lantai kereta itu, ada tiga orang yang masih batita. Ya ampun…., ibunya gimana sih. Koq anak-anaknya dibiarin di lantai begitu. Kulihat, di bangku tidak jauh dari tempat anak-anak itu bermain, ada tiga orang ibu-ibu yang masing-masing membawa kain gendongan di pundaknya. Mereka sedang duduk santai, ngobrol dengan kupingnya dipasangi headset dan memegang HP di tangan. “Oh, itu ibu mereka…” pikirku.

“Goblok lu, tolol, bego!! Masak jagain adiknya aja kagak bisa!!” teriak salah seorang ibu ketika melihat salah seorang anak batita ada yang tiba-tiba nyungsep karena laju kereta yang tidak stabil. Hmm…., bahasa yang ‘indah’ untuk mengatai anak sendiri. Aku jadi ingat waktu di stasiun ada juga ibu-ibu yang mengatai anaknya ‘monyet’ ketika sang anak (yang juga masih sekitar satu tahun umurnya), tanpa sengaja menjatuhkan sendalnya ke luar pagar station.

Pernah juga aku mendengar seorang ibu muda yang kelihatannya sayang banget pada anaknya yang masih batita, tapi begitu anaknya mau makan kertas yang dipegangnya, si ibu langsung berteriak, “Eh, awas ya… nanti kalau dimakan, mama gaplok deh!” Wah..wah.. wah.., kekerasan dalam berkomunikasi nih…, hehehe…..

Kembali ke suasana anak-anak yang bermain di lantai kereta tadi ya…., eh ternyata, mereka sedang bernyanyi. Ketika kuperhatikan lagi, nyanyian mereka ternyata lagu dangdut orang dewasa…., ketika semakin kuperhatikan lagi…, ternyata aku mengenali salah seorang anak perempuan kecil berambut keriting itu sebagai pengamen (umurnya kukira tidak lebih dari lima tahun) yang sering mengamen dengan adiknya yang juga sama-sama kecilnya.

Ya ampuuun, jadi ini tadi ternyata adalah keluarga pengamen yang sedang berlatih menyanyi. Kuarahkan pandanganku pada ketiga ibu mereka yang berpenampilan gaya seperti orang yang mau pergi jalan-jalan, tapi ternyata menyuruh anak-anaknya untuk mengamen di atas kereta. Kenapa mereka harus menyuruh anak-anak itu untuk mengamen yang kalau dilihat dari penampilan mereka, bahwa mengamen itu bukanlah suatu keterpaksaan untuk sekedar bertahan hidup.

Hhhhh…………….., aku menghela nafas panjang. Bagaimana anak-anak itu kelak dapat mengelak dari ‘cara hidup’ yang serba keras bila sejak dini memang hanya cara berkomunikasi dan hidup keraslah yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekatnya setiap hari.

Bahasa menunjukkan Bangsa, menunjukkan Kualitas, menunjukkan Karakter, menunjukkan apa lagi ya….?! Yang jelas memang aku merasa harus mengatakan WOW dan KOPROL berguling-guling karena mendengar cara orang-orang seperti ini berkomunikasi dengan anak-anaknya.



Bogor, 26 Oktober 2012
(sudah koprol tiga kali)

Sebuah Cerita



Ada sebuah cerita
Tentang seorang anak manusia
Sedang berjalan seorang diri di tengah belantara
Melewati  jalan berbatu dan semak berduri penyebab luka

Ini hanyalah sebuah cerita
Bukan tentang seorang dara jelita
Tetapi hanyalah tentang wanita paruh baya
Yang telah kehilangan mimpi dan tertatih dengan sisa asa

Karena hanya sebuah cerita
Berharap datanglah satria berkuda
Yang mungkin akan membawanya serta
Atau sekedar membantunya membasuh luka

Akhirnya memang hanya sebuah cerita
Karena yang datang bukanlah satria berkuda
Yang akan membawanya keluar dari segala derita
Tetapi seorang penyamun yang tidaklah merampok harta

Cerita tinggallah cerita
Penyamun datang dengan berkedok muka
Mengambil isi kantong airnya yang amat berharga
Untuk membasahi kembali pundi-pundi air di rumah hatinya

Berakhirnya sebuah cerita
Wahai penyamun, tidakkah merasa
Kalau telah menyebabkan sebuah derita
Meninggalkannya sendiri menanggung sebuah lara



Bogor, 25 Oktober 2012
(Malam Iedul Adha)

Rabu, 17 Oktober 2012

Tukang Tahu Langganan



Namanya Pak Uyo, umurnya mungkin sekitar 50 atau 60 tahunan (aku lupa nanya umurnya), asli dari Sumedang dan sehari-hari kerjanya jual tahu sumedang, keliling jalan kaki di sekitar perumahan tempatku dengan pikulan di pundaknya. Lewat depan rumahku sekitar setengah tujuh pagi, dan selalu dengan teriakan khasnya.
“Tahu tahu…, tahunya Neng…, tahu mateng…. Tahu tahu…..” teriaknya dengan lantang. Beberapa rumah sebelum sampai depan rumahku aku sudah dapat mendengar suaranya.

Kalau anakku yang ke dua sekarang umur 11 tahun, itu artinya si bapak ini sudah berjualan tahu keliling selama lebih dari 16 tahun. Aku ingat betul ketika aku sedang hamil anak ke duaku ini, waktu itu aku beli tahu seperti biasanya, si bapak bertanya ke padaku, “Sudah berapa bulan Neng?”
“Sudah tinggal nunggu harinya pak….” jawabku.
“Mudah-mudahan nanti lahirnya lancar dan selamat ya Neng. Mungkin nanti lahirnya pas bapak lagi nggak jualan.” katanya.
“Memang kenapa nggak jualan pak? Kayaknya bapak sering deh nggak jualan.” kataku. Memang kadang si bapak sempat beberapa minggu tidak berjualan, kupikir sih karena libur atau sakit. Terus terang saat itu aku tidak terlalu ngeh.
“Kalau di kampung lagi tandur, panen atau ada kerjaan lain… ya bapak pulang dulu. Bapak ngerjain kerjaan di kampung dulu…., nanti kalau sudah, bapak balik ke sini jualan tahu lagi.” jawabnya.
“Memangnya sudah berapa lama sih pak, jualan tahu begini…” tanyaku.
“Sampai hari ini sudah sekitar lima tahunan Neng. Tapi bapak mah santai saja jualannya. Kalau hari ini misalnya dagangan habis ya alhamdulillah, kalau misalnya tidak habis, ya harus tetap disyukuri, mungkin rejeki hari hanya segini.” jawabnya. Hm.., sudah lima tahun. Lumayan juga tuh. Kalau sekolah SD, setahun lagi pasti sudah lulus, dan kurasa si bapak ini juga pasti sudah lulus dari berbagai macam ujian kehidupan, makanya bisa ikhlas begitu.
“Terus, selama di sini tinggalnya di mana, sama siapa saja pak?” tanyaku.
“Bapak mah tinggal sendiri, kontrak di dekat pabrik tahu ini… Keluarga tetap di kampung.” jawabnya.


Aku sempat lama tidak pernah beli tahunya sejak aku tugas ke luar kota selama tiga bulan. Rutinitas makan tahu sumedang tiap pagi sudah berkurang dan kehadiran si bapak penjual tahu itupun agak terlupakan. Hanya kadang-kadang saja belinya.

Pagi itu, aku lupa tepatnya kapan, mungkin sekitar bulan lalu. Telingaku tiba-tiba mendengar suara serak, “Tahu tahu…, tahunya Neng…. Tahu mateng… tahu tahu…”
Aku menyuruh anakku memanggil si bapak dan membeli tahunya. Mungkin si bapak lagi batuk, jadi suaranya agak serak, pikirku.
Tapi ternyata, hari-hari setelah itu, kudengar suara teriakan si bapak semakin serak dan perlahan. Tidak selantang dulu.

Dengan rasa penasaran, besoknya kutunggu si bapak lewat. Kuamati penampilannya. Masih tetap seperti dulu, selalu berpakaian rapi, kemeja lengan panjang yang selalu dikancing lengkap dan dimasukkan ke  celana panjangnya, bersepatu, bertopi koboi, dan ikat pinggang berkantong tempatnya menaruh uang. Terkadang memakai batik lengan panjang yang juga tetap rapi seperti itu, serta pikulan tahu sumedangnya.

Tapi ada yang berbeda, raut wajahnya tidak sekencang dulu, tubuhnyapun sedikit lebih ringkih. Rupanya itulah yang menyebabkan suara si bapak sudah tidak selantang dulu lagi. Sekarang si bapak penjual tahu ini sudah semakin tua, tetapi semangatnya untuk tetap berjualan tahu pada para pelanggannya belumlah berkurang. Si bapak tidak dapat dibilang renta, karena dia masih tetap kuat berjalan puluhan kilometer setiap harinya. Kesetiaan pada profesinya membuatku terkesan. Juga pada kegigihan dan keikhlasannya melakukan profesinya. Si bapak melakukannya setiap hari dengan senang hati dan tidak menjadikannya beban.

“Pak, sini deh saya foto…. “ kataku setelah beli tahunya seperti biasa.
Si bapak tersenyum dan mengangguk, “Buat apaan Neng?” tanyanya.
“Ya difoto aja, nggak buat apa-apa…” kataku sambil memotretnya dengan hapeku.
Tetanggaku di seberang jalan berteriak-teriak…, “Pak, jangan mau difoto kalau nggak dibayar…” katanya.
Si bapak tersenyum saja dan tetap santai menghadap padaku. Klik. Klik. Klik. Aku mengambil beberapa gambarnya.

Buat orang lain mungkin apa yang kulakukan aneh, karena memang tidak ada yang istimewa dari si bapak penjual tahu yang bernama Pak Uyo ini. Tapi sungguh, aku terkesan sekali dengan kesetiaannya pada profesinya sebagai Penjual Tahu Sumedang selama sekian tahun dan dengan penampilannya yang trendi.
Mungkin nanti, ketika suatu saat si bapak sudah benar-benar tidak kuat lagi untuk berjalan keliling berjualan tahu, aku masih punya foto dan sedikit cerita tentang kegigihannya untuk diceritakan pada anak cucuku. Keikhlasan dalam mengerjakan sesuatu sehingga pekerjaan itu tidak lagi menjadi beban buat kita. Sungguh hidup yang nyaman bukan?



Bogor, 17 Oktober 2012
(sambil menunggu hujan reda supaya dapat berangkat kerja)

Jumat, 05 Oktober 2012

Penumpang KRL Berteriak : Aaaaaaaaaaaa…..



Kondisi jadwal dan fisik KRL khususnya Jakarta-Bogor dalam beberapa hari ini benar-benar aduhai. Mau yang commuter ataupun yang ekonomi benar-benar menguras kesabaran dan tenaga.

Mulanya, waktu jadwal kereta mulai tersendat-sendat. Masih dapat dimaklumi. Sudah biasa kalau kereta suka telat mah. Tapi, ketika tiba-tiba ada kereta anjlok….., wow…, itu jadi hal yang luar biasa. Karena sebetulnya hal yang seperti ini jarang sekali terjadi.

Apalagi ketika aku dengar sebab yang membuat kereta itu anjlok. Ternyata rel-nya dipotong oleh seseorang. Edaaaannnnn, rel kereta api dipotong demi kepuasan hati orang gila yang tidak berotak itu. Taruhlah dia dendam pada seseorang atau pada Petinggi PT KAI, tapi haruskah sampai memepertaruhkan ribuan nyawa penumpang yang tidak berdosa? Benar-benar nggak punya otak kan? Beruntung saat kejadian itu tidak sampai mengorbankan jiwa manusia, hanya fisik bangunan peron stasiun saja yang jadi rusak.

Akibat dari anjloknya gerbong kereta itu, jelas membuat perjalanan kereta terganggu. Kereta yang biasanya dimulai dan berakhir di Stasiun Bogor dari Jakarta, terpaksa hari itu hanya dapat diberangkatkan dan diakhiri di Stasiun Bojonggede, dua stasiun sebelum Stasiun Bogor.

Waktu aku berangkat kerja, jadwal ngaco nggak masalah karena perjalanan masih lancar sampai ke tujuanku. Tapi ketika pulang….., ala maakkkk…, perjalanan yang biasanya memakan waktu hanya tiga perempat jam, bisa molor jadi hampir tiga jam. Ya, gimana nggak jadi molor kalau setiap akan masuk stasiun harus berhenti dulu sekian ratus meter sebelum stasiun, kemudian setelah kereta yang saat itu masuk di di stasiun itu jalan, barulah kereta kita masuk stasiun. Biasanya di setiap stasiun, kereta tidak pernah berhenti lebih dari tiga menit, sekarang bisa hampir setengah jam. Begitu seterusnya sampai tiba di Stasiun Bojonggede.

Kondisi di dalam kereta commuter yang sudah naik tarifnyapun menjadi semakin amburadul. Bayangin saja, penumpangnya sama berjubelnya dengan ekonomi. Pintu dan kaca semua tertutup karena janjinya kan kereta ini ber AC, tapi kenyataannya AC-nya jarang sekali terasa, paling-paling hanya fan yang sibuk muter berusaha mengatasi gerahnya penumpang, tapi kenyataannya ya tetap tidak terasa dan tidak sanggup mengatasi kondisi di dalam gerbong.

Ketika kereta sampai di Stasiun UI, penumpangnya sedikit berkurang, dalam artian aku sudah dapat mencari kakiku dan meletakkannya pada posisinya, yaitu berdiri dengan kokoh. (Tadinya kan aku sendiri tidak tahu, sedang berdiri atau menyandar pada orang lain, saking tidak bisa bergeraknya)

Karena kereta juga berhenti dalam waktu yang tidak dapat dipastikan, aku mencoba merangsek ke arah pintu sebelah kiri. Pintu ini tidak akan terbuka sampai Stasiun Depok Lama, karena arah peron stasiun-stasiun sebelumnya adalah sebelah kanan. Aku minta tempat pada bapak-bapak yang berdiri di situ untuk dapat duduk di bawah (lantai) dan menyender ke pintu. Bodo amat, aku memang seperti ini. Ngapain jaim. Capek ya duduk, kalau sudah nggak capek ya nanti berdiri lagi. Duduk di lantai juga nggak masalah, toh nggak ada juga yang kutaksir di dalam kereta ini…, hehehe……  Temanku kulihat masih berdiri berpegangan pada tiang kursi, padahal tadi dia tidak mau kuajak ke gerbong wanita karena berharap ada kaum adam yang memberinya tempat duduk…, tapi toh kenyataannya dia tetap juga berdiri, nggak ada yang memberinya tempat duduk. (Di gerbong wanita juga begitu, tidak ada yang saling memberi tempat duduk…, mungkin karena menganggap sama-sama wanita). Akhirnya, walaupun dengan  tersendat-sendat dan hawa yang pengap, keretaku sampai juga di Bojonggede setelah menempuh perjalanan selama hamper 3 jam. Aaaaaaa…………

Jujur saja kondisi kereta commuter memang agak mending bersihnya dibanding ekonomi, kalau di ekonomi ya tidak mungkin aku duduk di bawah seperti di dalam commuter. Di sana bercampur berbagai macam kotoran, termasuk air ludah ataupun air kencing… (Kadang anak-anak ada yang ngompol di kereta, dan orang tuanya cuek saja… hehehe…)

Itu kondisi di dalam kereta commuter waktu aku pulang kerja dua hari lalu. Lain lagi ceritanya di dalam kereta ekonomi waktu aku pulang kerja tadi malam. WOOOWW…, (wow-nya harus dengan huruf besar  semua supaya mantab!)

Waktu aku sampai di loket  Stasiun Tebet, ternyata kereta ke arah Bogor adalah ekonomi dulu.  Dua kali ekonomi, baru commuter. Ya sudah, aku beli ekonomi karena aku buru-buru harus meninggalkan Stasiun Tebet ini karena ada sesuatu hal. (Temanku belum pulang karena laporannya belum selesai, jadi aku sendirian)

Kereta langsung tiba begitu aku memasuki peron, akupun masuk karena masih ada celah. Perjalanan lancar jaya walaupun di luar hujan cukup deras. (Nggak kebayang gimana dinginnya para penumpang yang duduk di atap, terkena hujan dan angin yang kencang)

Eeh, begitu kereta memasuki Stasiun Pasar Minggu, ternyata kereta masuk ke jalur satu. Para penumpang mulai curiga, jangan-jangan keretanya mogok. Sebab, biasanya kereta yang bermasalah memang masuk jalur ini, supaya tidak mengganggu yang lain. Tapi kira-kira lima menit kemudian ternyata kereta berjalan kembali. Semua penumpang menarik nafas lega. Padahal kondisi kereta di dalam gerbong yang kunaiki ini lampunya mati dan bocor di sana-sini. Oh ya, saat aku naik tadi sekitar jam enam , berarti sekarang hampir setengah tujuh malam.

Masuk Stasiun Depok Baru, kereta berhenti lumayan lama. Aku dapat tempat duduk karena ibu-ibu yang duduk di depanku turun. Keretapun melaju ke Stasiun Depok Lama. Nahhh…, di Stasiun Depok Lama inilah kereta berhenti lamaaa……, bukan agak lagi. Sedangkan kondisi di dalam gerbong semakin berjubel karena kereta commuter sebelum kereta ini tadi kan hanya sampai Stasiun ini, tidak sampai Bogor. Jadi yang mau ke Bogor pada naik ke kereta ini.

Ternyata, sampai kereta ekonomi di belakang keretaku juga masuk ke Stasiun Depok Lama, kereta yang kutumpangi tidak juga berjalan. Pengumuman dari Pengeras Suara Stasiun sama sekali tidak menyinggung kapan kereta kami akan diberangkatkan. Sementara para penumpang sudah berteriak-teriak minta keretanya dijalankan.

Akhirnya ada juga pengumuman yang menyatakan kalau keretaku dan kereta ekonomi yang baru masuk tadi, tidak dapat melanjutkan perjalanan karena mogok! Para penumpang diminta menunggu di jalur dua, nanti setelah commuter ke arah Bogor yang masuk di jalur dua meninggalkan stasiun, akan ada kereta ekonomi dari DEPO yang menggantikan kereta kami yang mogok. Aaaaa…..

Kebayang nggak, dua rangkaian kereta ekonomi yang mogok, hanya digantikan satu rangkaian kereta ekonomi lagi. Huahhhh…..!!! Penumpangpun berebut untuk dapat masuk supaya terangkut. Sudah tidak perduli lagi tua muda, nenek-nenek ataupun anak-anak. Yang mau masuk ya masuk dengan keadaan seperti pindang, yang tidak mau ya silahkan menunggu entah sampai kapan kereta ekonomi berikutnya akan datang.

Kondisi seperti ini sudah pernah kualami, dan waktu itu aku langsung meninggalkan stasiun untuk berganti angkutan naik angkot ke Bojonggede. Tapi, angkot itu hanya dapat berjalan lancar sampai di depan Stasiun Citayam saja. Selanjutnya stag di situ sampai hampir satu jam karena macet. Aku sih sabar saja menunggu di dalam angkot, terserah mau nyampe jam berapa. Tapi ternyata sopir angkotnya yang patah hati dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami, para penumpangnya di suruh turun. Akupun turun, dan masuk ke dalam Stasiun Citayam. Menunggu kereta lagi. (???)

Makanya kali ini aku tidak mau keluar stasiun dan mencari angkot. Aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi, aku naik angkot tapi akhirnya keretanya jalan juga.

Hehehe…, ternyata kondisi kali ini beda. Ternyata kali ini jauuuhhhh lebih paraaahhhh dibanding saat itu. Aku yang sudah berhasil masuk dalam himpitan penumpang di kereta pengganti, rupanya masih harus menelan kekecewaan lagi. Sebab baru beberapa ratus meter dari Stasiun Depok Lama, lampu kereta mati dan diikuti mesin kereta yang juga mati. Aaaa…… Keretanya mogok lagi!!
Suara penumpang berteriak-teriak, “Kiloin aja… kiloin aja….”
Lampu dinyalain lagi…, kereta mulai jalan… lampu mati lagi….. Aaaaaaaa…
“Sudah, nggak usah lampu asal jalan…!!” teriak penumpang-penumpang yang sudah pada stress.
“Gua mandi keringet nih!” kata penumpang laki-laki di sebelah kananku.
“Iyalah…, kalau mandi susu mah di spa!” jawab temannya. Hehehe…., dalam kondisi seperti ini, mereka masih juga bisa bercanda. Aku sendiri sibuk memeluk buah melon yang tadi kubeli di Stasiun Depok Lama. Takut ibu-ibu di depanku punggungnya sakit karena buah melon kan keras.

Setelah lewat setengah jam, tapi rasanya sudah lima tahun…, akhirnya kereta jalan juga. Tanpa lampu. Untungnya hujan sudah berhenti sejak tadi, jadi tidak ada adegan kebocoran lagi di dalam gerbong kereta, dan akupun sampai di rumah dengan perjalanan selama hampir tiga jam juga.

Benar-benar deh, beberapa hari ini aku harus menguras kesabaran dan tenaga demi menempuh perjalanan dengan KRL tercinta. Seharusnya para Petinggi dan Pejabat PT KAI memasukkan juga kondisi kereta dan penumpangnya ini ke dalam agendanya. Walaupun kondisinya hanya sekian persen, tapi kan kami ini juga masih rakyat yang harus diberi perhatian juga. Kalaupun rangkaian kereta ekonomi itu sudah uzur banget dan tidak layak pakai, mbok ya jangan dipaksain. Tolong diganti dengan yang lebih layak dan agak manusiawi…. Alokasi dana yang kadang terbuang mubazir (dan akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ‘cerdas’) di bagian lain, mbok ya disalurkan ke bagian urgent seperti ini.


Bogor, 6 Oktober 2012
(ngetiknya masih dalam keadaan lemas karena capek)

Senin, 01 Oktober 2012

Lelaki di Persimpangan



Apa sebenarnya yang kau hadapi?
Apa sebenarnya yang kau cari?
Usah kau lara sendiri
Usah kau mencari tempat bersembunyi

Bahkan mentaripun tak ingin kau menepi
Bahkan bulanpun tak ingin kau berhenti bermimpi
Usah kau lara sendiri
Usah kau mencari tempat bersembunyi

Kau kuat dan tegar bagai sang surya
Kau hangat dan lembut bagai purnama
Jangan lepaskan mimpimu
Jangan bekukan hatimu

Hanya itu yang kutitip padamu
Hanya itu yang kuminta darimu
Aku yakin kau mampu
Akupun percaya itu



Bogor, 1 Oktober 2012
Buatmu sahabatku, usir galaumu…