Dalam satu kesempatan aku harus
mengubek-ubek wilayah Lenteng Agung Jakarta Selatan untuk urusan kerjaanku
seperti biasa. Lokasi tujuan kebetulan tidak terlalu jauh dari Stasiun Lenteng
Agung, sehingga cukup berjalan kaki saja
kami sudah sampai.
Tidak seperti biasanya, ternyata kali
ini aku dan temanku harus lima kali kembali ke wilayah yang sama dalam satu
episode shooting…. (hehehe…), demi memenuhi target survey. Biasanya
paling-paling kami harus kembali tiga kali saja. Itupun kami sudah merasa
sendiri kalau orang-orang yang tinggal di wilayah itu pasti sudah bosen melihat
wajah kita yang tiap hari hilir mudik di sana.
Di hari terakhir episode shooting
kali ini, ada hal yang sempat menarik perhatianku tetapi sayangnya tidak sempat
kudalami kisahnya karena aku sedang berhadapan dengan responden.
Saat itu aku sedang interview
seorang gadis muda berusia 18 tahun, seumuran anak gadisku. Anak ini cantik
berkulit bersih yang sehari-harinya membantu ibunya berdagang sayuran.
Tiba-tiba datanglah seorang waria
yang menawarkan jasa potong rambut di tempat. Iya, ternyata waria itu adalah
tukang potong rambut keliling.
“Murah koq Teh…, cuma sepuluh
ribu…, mau ya dirapihin?!” katanya menawarkan pada ibu gadis itu.
“Emang lu bias model apaan?” tanya
si ibu,
“Ya Teteh maunya model apa? Kayak
Teteh itu juga boleh…, pasti nanti kelihatan lebih seger deh…” rayu waria itu
sambil menunjuk tetangga si ibu yang kebetulan sedang ikut meriung di situ.
Penasaran kutengok waria itu yang
berbedak cukup tebal dengan riasan lengkap. Rambut kritingnya yang sepanjang
leher hanya dirapihkan dengan sebuah bando/bandana dari kain. Sepasang
anting-anting berwarna menyala tampak menghiasai kedua telinganya.
Pandanganku mengawasi tubuhnya
yang ternyata tetap berdandan seperti laki-laki pada umumnya. Memakai setelan
kaos lengan pendek dan celana panjang dari bahan (bukan jeans) serta sepasang
sandal jepit. Dadanya datar saja tidak tampak memakai Bra ataupun disumpelin
sesuatu.
Terus terang penampilannya serba
tanggung, sebab biasanya aku sering menjumpai waria yang berdandan lengkap
termasuk memakai rok, dada menyembul, dan sepatu hak tinggi yang akan berangkat
ngamen naik Kereta Ekonomi.
Tetapi bukan itu alasanku
tertarik mengamati waria ini. Bukan penampilannya. Sebab aku ingat, waktu di
Surabaya dulu aku juga punya kenalan waria (mendiang Pangky Kentut, pendiri
Perwakos) yang tidak mengenakan baju
wanita setiap aku ketemu dengannya di DKS (Dewan Kesenian Surabaya) Jalan
Pemuda.
Rasa tertarikku adalah ketika
mendengar waria ini berkeliling pemukiman menawarkan jasanya memotong rambut
dari rumah ke rumah. Dia tidak hanya duduk diam menunggu pelanggan di satu
tempat. Dia menerapkan taktik menjemput bola yang kurasa penghasilannya pasti
juga lumayan. Memang sih, dia tadi tidak menawarkan layanan lain kecuali
gunting. Jadi peralatan yang dia bawapun hanya sisir, gunting, kaca, botol
penyemprot air, dan kain untuk menutup tubuh.
Tidak sampai setengah jam dia
sudah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan pergi lagi ke pelanggan yang
lain. Masih lebih lama waktu yang kuperlukan untuk mengorek keterangan dari
seorang responden, pikirku. Sebab ketika aku selesai, waria itu entah sudah
sampai di mana langkahnya.
Sungguh, aku kagum pada pola
pikirnya.
Sayang aku tidak sempat memotret dan
bertanya-tanya sedikit padanya karena aku sendiri sedang sibuk. Tapi suatu saat
kalau aku bertemu lagi hal-hal menarik seperti ini, aku harap aku sempat
mengambil gambarnya.
Bogor, 18 Mei 2013