Sabtu, 18 Mei 2013

Menjemput Bola



Dalam satu kesempatan aku harus mengubek-ubek wilayah Lenteng Agung Jakarta Selatan untuk urusan kerjaanku seperti biasa. Lokasi tujuan kebetulan tidak terlalu jauh dari Stasiun Lenteng Agung, sehingga  cukup berjalan kaki saja kami sudah sampai.

Tidak seperti biasanya, ternyata kali ini aku dan temanku harus lima kali kembali ke wilayah yang sama dalam satu episode shooting…. (hehehe…), demi memenuhi target survey. Biasanya paling-paling kami harus kembali tiga kali saja. Itupun kami sudah merasa sendiri kalau orang-orang yang tinggal di wilayah itu pasti sudah bosen melihat wajah kita yang tiap hari hilir mudik di sana.

Di hari terakhir episode shooting kali ini, ada hal yang sempat menarik perhatianku tetapi sayangnya tidak sempat kudalami kisahnya karena aku sedang berhadapan dengan responden.

Saat itu aku sedang interview seorang gadis muda berusia 18 tahun, seumuran anak gadisku. Anak ini cantik berkulit bersih yang sehari-harinya membantu ibunya berdagang sayuran.
Tiba-tiba datanglah seorang waria yang menawarkan jasa potong rambut di tempat. Iya, ternyata waria itu adalah tukang potong rambut keliling.
“Murah koq Teh…, cuma sepuluh ribu…, mau ya dirapihin?!” katanya menawarkan pada ibu gadis itu.
“Emang lu bias model apaan?” tanya si ibu,
“Ya Teteh maunya model apa? Kayak Teteh itu juga boleh…, pasti nanti kelihatan lebih seger deh…” rayu waria itu sambil menunjuk tetangga si ibu yang kebetulan sedang ikut meriung di situ.
Penasaran kutengok waria itu yang berbedak cukup tebal dengan riasan  lengkap. Rambut kritingnya yang sepanjang leher hanya dirapihkan dengan sebuah bando/bandana dari kain. Sepasang anting-anting berwarna menyala tampak menghiasai kedua telinganya.
Pandanganku mengawasi tubuhnya yang ternyata tetap berdandan seperti laki-laki pada umumnya. Memakai setelan kaos lengan pendek dan celana panjang dari bahan (bukan jeans) serta sepasang sandal jepit. Dadanya datar saja tidak tampak memakai Bra ataupun disumpelin sesuatu.
Terus terang penampilannya serba tanggung, sebab biasanya aku sering menjumpai waria yang berdandan lengkap termasuk memakai rok, dada menyembul,  dan sepatu hak tinggi yang akan berangkat ngamen naik Kereta Ekonomi.

Tetapi bukan itu alasanku tertarik mengamati waria ini. Bukan penampilannya. Sebab aku ingat, waktu di Surabaya dulu aku juga punya kenalan waria (mendiang Pangky Kentut, pendiri Perwakos) yang tidak  mengenakan baju wanita setiap aku ketemu dengannya di DKS (Dewan Kesenian Surabaya) Jalan Pemuda.

Rasa tertarikku adalah ketika mendengar waria ini berkeliling pemukiman menawarkan jasanya memotong rambut dari rumah ke rumah. Dia tidak hanya duduk diam menunggu pelanggan di satu tempat. Dia menerapkan taktik menjemput bola yang kurasa penghasilannya pasti juga lumayan. Memang sih, dia tadi tidak menawarkan layanan lain kecuali gunting. Jadi peralatan yang dia bawapun hanya sisir, gunting, kaca, botol penyemprot air, dan kain untuk menutup tubuh.
Tidak sampai setengah jam dia sudah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan pergi lagi ke pelanggan yang lain. Masih lebih lama waktu yang kuperlukan untuk mengorek keterangan dari seorang responden, pikirku. Sebab ketika aku selesai, waria itu entah sudah sampai di mana langkahnya.
Sungguh, aku kagum pada pola pikirnya.

Sayang aku tidak sempat memotret dan bertanya-tanya sedikit padanya karena aku sendiri sedang sibuk. Tapi suatu saat kalau aku bertemu lagi hal-hal menarik seperti ini, aku harap aku sempat mengambil gambarnya.



Bogor, 18 Mei 2013