Minggu, 24 Februari 2013

Galau



Jaman dulu aku nggak kenal kata ‘galau’ yang kutulis untuk judul tulisanku kali ini. Kalau dulu mungkin galau ini sama artinya dengan risau, gundah gulana…, apalagi ya…?

Nah, galau yang cukup parah ternyata telah melandaku beberapa hari lalu, sampai-sampai semua yang kukerjakan nggak focus. Sampai mandi aja aku jadi pakai shampoo karena tanganku bekerja otomatis tanpa menunggu komando otakku yang jadi lemot koneksinya.

Berangkat kerja jadi semakin galau karena ketinggalan kereta ekonomi, jadi terpaksa naik commuter line padahal kantong lagi bolong. Setelah itu jadi semakin galau lagi (plus be-te, kalau bahasa anak-anak sekarang), ketika aku dan empat orang temanku harus terbengkalai di Stasiun Manggarai sampai sejam lebih karena nunggu kereta yang ke Kota nggak datang-datang.
Penumpang sudah semakin menyemut, tapi kereta yang kami tunggu entah masih ada di mana. Ternyataaa…., setelah si sabar sudah sampai di ubun-ubun, tiba-tiba ada pengumuman dari pengeras suara kalau akan ada kereta api langsung yang akan melintas di jalur 3, jalur kereta yang sejak tadi kami tunggu kedatangannya. Tapi, kenapa pula harus kereta langsung yang lewat? (kereta langsung di sini maksudnya adalah kereta yang nggak berhenti di stasiun ini…, dia nyelonong aja gitu…)

Ternyata lagi, baru kusadari (teman-temanku juga), kalau di seberang peron sana telah berjejer para pegawai PJKA dengan rapinya. Mereka berjajar dengan tertib seperti anak sekolah yang sedang berbaris.
“Ooooh, rupanya akan ada kereta pejabat yang lewat…, pantas aja dari tadi nggak ada kereta lewat. Jalur pasti dibuat steril dulu sebelum kereta ini lewat…” pikirku.
“Ya ampun, hanya gara-gara mau ada pejabat lewat, terpaksa kita diterlantarkan sekian jam…” kudengar beberapa calon penumpang mengomel.

Maka, muncullah kereta itu dari arah kanan dengan santainya…. Kereta hanya terdiri dari satu rangkaian, tetapi kondisi fisiknya betul-betul masih mulus dan bagus. Bergambar satu corak tertentu yang membuatnya berbeda dengan kereta yang biasa kami (masyarakat) tumpangi.
Hampir semua pegawai PJKA yang sedang berdiri di seberang sana melambai-lambaikan tangannya ke arah kereta yang lewat itu, seolah orang-orang yang ada di dalamnya mereka kenal… dan melihat mereka… hehehe…. (kayak kalau aku lagi ngantar anakku pergi naik kereta gitu…)
“Itu tadi SBY yang lewat….” kudengar suara di antara para calon penumpang.
“Oh, SBY yang lewat ya…., semoga aja tadi yang di dalam kereta ada yang melihat ke arah kita dan melihat menumpuknya penumpang gara-gara nunggu kereta mereka lewat, sehingga lain kali dapat memberikan instruksi pada pejabat kereta supaya tidak pakai menelantarkan kita demi mengambil hati…. “ kudengar lagi suara calon penumpang yang mungkin kakinya sudah kram karena kelamaan berdiri,  hehehehe….
Dalam hati aku berpikir, apa iya akan ada pejabat di dalam kereta itu yang sampai berpikir ke arah itu, kan ini di Stasiun, yang memang tempatnya orang banyak berkumpul untuk menuju ke suatu tempat. Kalaupun misalnya tadi ada pejabat yang menengok ke arah kami (calon penumpang yang berjubel), kurasa mereka pasti menganggap hal itu wajar saja. Iya kan?

Sekarang, terlepas dari rasa jengkel para penumpang yang kelamaan nunggu kereta , ada terselip satu cerita tentang seseorang yang saat itu ada di sana.

Waktu aku dan teman-temanku baru turun dari kereta ke Jatinegara dan akan transit di Stasiun Manggarai ini, pandangan kami tertuju pada seorang perempuan yang sedang duduk di bangku stasiun. Penampilannya sungguh mencolok mata, dandanannya yang menor sudah terlihat dari jauh dan langsung menyita pandangan. Baju atasnya yang berbentuk jas berwarna merah menyala, roknya warna biru tua, tasnya warna hijau muda yang tajam dan sendalnya berwarna putih. Benar-benar mirip pelangi, beraneka warna…. (wajahnya juga).

Kami duduk di sebelah perempuan itu. Usianya sudah tidak muda lagi, kira-kira lima puluhan, rambutnya kemerahan dengan keriting buatan sepanjang leher. Maaf, tampaknya bukan dari golongan menengah ke atas, dan dari caranya berdandan, sepertinya hal itu bukanlah kebiasaannya. (teman-temanku malah menyebutnya ‘seperti wanita stress’)

Tiba-tiba salah seorang temanku memberi isyarat padaku yang mengatakan kalau perempuan itu ternyata sedang menangis. Ada sisa-sisa air mata yang masih membekas.
Seorang temanku yang duduk persis di sebelah perempuan itu kemudian bertanya, kenapa dia menangis.
Ternyata, perempuan itu kemudian bercerita kalau dia saat itu sedang menunggu suaminya yang berselingkuh. Katanya ada yang bilang padanya kalau suami dan selingkuhannya itu sering terlihat di Stasiun Manggarai ini. Dia sudah lama duduk di sana, tapi daritadi belum melihat suami serta selingkuhannya itu.
Jadi, rupanya dia sedang sakit hati, sedih yang tidak terkira karena suaminya menghianatinya. Entah apa yang akan dilakukannya nanti ketika dia benar-benar memergoki suaminya, (walaupun dalam hati aku ragu dia akan berhasil, karena Stasiun Manggarai ini luas sekali sedangkan dia hanya duduk saja di bangku itu), karena kereta commuter line dari Bekasi ke arah Stasiun Kota sudah masuk dan kamipun meninggalkannya di sana.

Sungguh malang nasibnya. Kasihan. Ternyata saat itu ada yang lebih galau dari aku. Tapi aku juga tidak tahu, apakah saking galaunya dia sampai salah mandi pakai kecap, bukannya sekedar salah pakai shampoo sepertiku. Hidup ini hanyalah babak demi babak untuk kita lalui. Setelah ending satu babak, nanti akan lanjut ke babak yang lain. Tetap tabah dan semangat, you are not alone…., kata seseorang padaku.



Bogor, 24 Februari 2013