Setelah dua hari selalu pulang
(nyaris) tengah malam, akhirnya hari ini bisa juga pulang sore hari…, walaupun
sampai rumahnya juga sudah hampir setengah tujuh malam.
Tadi, waktu duduk di peron Stasiun
Tanah Abang sambil menunggu kereta yang ke Bogor, aku berdebat dengan temanku
tentang jalur mana yang akan dimasuki kereta yang kami tunggu, sebab ketika
dari tadi kami sudah menunggu di jalur tiga, ternyata ada kereta ke Depok yang
masuk di jalur lima. (Saat itu di jalur tiga memang sedang ada kereta AC
Ekonomi Brantas jurusan Kediri yang sudah standby dan siap berangkat)
Kalau dari jalur tiga ke jalur
lima tinggal melangkahkan kaki aja sih, kami pasti sudah berada di jalur lima
untuk naik kereta ke Depok ini. Tapi, di sini masalahnya adalah, dari jalur
tiga ke lima itu kami harus naik tangga dulu, terus nyebrang lewat bangunan di atas
rel, baru kemudian turun lagi masuk ke
jalur lima itu. Temanku tidak mau, “Capek!” katanya.
Ya sudah, kamipun tetap duduk di
tempat sambil menunggu kereta Brantas ini berangkat, baru kemudian Commuter
Line jurusan Depok masuk ke jalur ini. Nanti, setelah sampai di Depok lama kami
akan menunggu dan nyambung kereta yang akan ke Bogor.
“Coba tanya ibu-ibu di sebelah
itu, dia mau ke mana…” kataku pada temanku sambil menunjuk dengan isyarat mataku
pada ibu-ibu yang duduk di samping kiri temanku.
“Ibu mau ke mana?” tanya temanku.
“Oh, saya mau pulang ke Solo…”
jawabnya.
“Oh, ibu mau ke Solo? Jam berapa
keretanya berangkat bu…?” kata temanku.
“Nanti malam, jam delapan..”
jawabnya.
“Jam delapan malam?!” Aku dan
temanku bersamaan mengeluarkan kata-kata itu. Saat itu masih jam empat sore lewat lima belas menit.
“Ya ampun bu, apa nggak kelamaan
nunggu di sini sampai malam…” kata temanku.
“Daripada di tempat kost anak
saya, panas banget dan sumpek. Mending di sini, pikiran saya tenang karena
nggak takut ketinggalan kereta karena macet.” jawab si ibu. Aku tersenyum
sendiri. Aku setuju dengan si ibu. Memang begitulah rasanya, daripada tinggal terlalu
lama di tempat asing, ya lebih baik di tempat umum seperti ini.
“Anaknya laki-laki atau perempuan
bu?” tanya temanku lagi.
“Perempuan bu, dan tau nggak…. Anak
saya itu bobotnya 107 kg dan hitam banget kayak saya. Bener-bener persis saya…”
jawab si ibu. Aku dan temanku langsung tertawa mendengar si ibu yang langsung bercerita tentang anaknya pada kami seolah ibu itu dan kami sudah kenal puluhan tahun.
“Ibu ini bisa aja…” kata temanku.
“Lho, memang bener bu, anak saya
ini hitam dan gendut sekali. Kalau diingatkan supaya jangan terlalu sering
makan, eh dia malah marah-marah…. Padahal bu, kakaknya yang laki-laki itu
baguuuss banget, kulitnya bersih kayak bapaknya…., pokoknya bagus deh….., eh..
kenapa yang perempuan ini koq persis saya banget…” katanya. Aku tertawa dan
mencoba mengamati penampilan si ibu yang ternyata memang bentuk fisiknya agak
kurang langsing dan berkulit agak gelap…. Hehehe…
“Tapi bu, kalau otaknya…., anak
saya ini nomer satu se kabupaten. Matematika, juara olimpiade. Fisika, tok cer….
Pokoknya kalau otaknya, boleh diadu. Dia memang pinter sekali…” kata si ibu
lagi.
“Walaupun dia itu sering diejek
dan dipandang sebelah mata oleh orang lain, tapi saya selalu besarkan hatinya…,
biarpun terkadang saya juga mikir sendiri, kenapa ya, punya dua anak itu koq berbeda
jauh dalam hal bentuknya…., sampai-sampai orang nggak percaya kalau anak saya
yang laki-laki itu adalah anak saya…” sambungnya lagi.
“Kalau anaknya sendiri nggak
minder ya nggak masalah kan bu?” tanyaku.
“Wah, kalau itu sih enggak ya…
anak saya biar begitu juga pede banget koq…, tapi pernah juga sih dia bilang ke
saya begini…, bu orang-orang itu lho, kusapa koq diam aja, apa karena aku
gendut dan hitam sekali ya, sampai kutegur saja nggak merespon.” kata si ibu.
“Saya sih bilang begini ke anak
saya, kalau kamu nggak ditegur atau disapa sama orang, ya nggak usah negur lagi….,
begitu. Biarkan saja mereka seperti itu,
kelak mereka akan menyesal bila tau kamu akan jadi apa besoknya, siapa tahu
jodohmu kelak malah orang bule… Orang pinter dan sukses itu tidak melihat fisik
dalam mencari jodoh. Yang penting otaknya.” kata si ibu lagi.
Ibu yang hebat. Dia menerima
semua kekurangan anaknya (kalau gendut dan hitam itu dilihat sebagai
kekurangan) dengan ikhlas dan jujur, tetapi dia juga sangat bangga pada
kelebihan (maksudnya bukan kelebihan berat badan, tapi otak cerdas … hehehe…)
yang dimiliki anaknya. Si Ibu percaya bahwa anaknya kelak dapat menaklukkan
dunia dengan otak cerdasnya itu.
Aku benar-benar salut pada si ibu
yang dapat memberikan harapan indah pada si anak tentang jodohnya kelak,
walaupun disamping setuju pada pendapat si ibu tentang jodoh itu, pikiran
jahatku juga meloncat-loncat berandai-andai seperti ini?
Apa betul orang-orang pintar dan
sukses itu tidak melihat fisik dalam memilih pasangan hidupnya? Sebab yang
selalu tampak di TV adalah para pejabat, pengusaha, bahkan ustad yang istrinya
cantik-cantik jelita lho. Mereka semua
punya pasangan hidup yang sedap dipandang mata dan dapat dibanggakan alias
dipamerkan ke hadapan public.
Kalau kantor atau perusahaan yang
mencari karyawan sih memang iya, mereka tidak terlalu perduli pada fisik
(kecuali bagian yang berhadapan dengan public ya) asalkan otaknya brilliant,
asalkan otaknya dapat dimanfaatkan untuk menumbuh kembangkan perusahaan
tersebut. Bukannya begitu?
Astagfirullah al adzim, kenapa
aku jadi membicarakan bentuk fisik manusia? Sedangkan semua itu, bagaimanapun
bentuknya, mau cantik atau jelek, mau gendut atau kurus, adalah ciptaan Tuhan,
yang bahkan manusia itu sendiri membuat sehelai rambut yang terus menerus
tumbuh saja tidak bisa.
Seorang sahabatku ada yang pernah
bilang begini, aku lebih suka pada orang-orang yang hanya dapat membaca huruf Braille,
sebab mereka tidak melihat materi dengan matanya tetapi mereka melihat dengan
rasa, dengan hati.
Mudah-mudahan masih banyak lagi
orang-orang yang punya pikiran seperti sahabatku tadi, sehingga teori si ibu
tadi ada yang mendukung. Semoga harapan (yang dapat berarti doa) ibu kelak
terjadi ya ibu ya…., semoga kelak anak perempuan ibu berhasil menaklukkan dunia
ini dengan otaknya. Semoga…
Bogor, 12 September 2012
(teori sahabatku tadi indah
sekali ya, walaupun istrinya sendiri termasuk cantik jelita… hehehe,…sehingga teorinya agak
tidak mendukung kenyataannya, begituuuu ….)