Pernah dengar kata ‘terjebak’
kan? Tentu sudah pernah dengar dan kita semua pasti sudah tidak asing dengan
kata itu. Kata ‘terjebak’ itu sendiri menurut Kamus Besar bahasa Indonesia mengandung
arti masuk (ke tempat yang tidak menyenangkan), menderita, terhalang, dan
beberapa pengertian lain yang sejenis.
Memang sungguh tidak nyaman kalau
kita yang sedang berada dalam posisi terjebak, hanya saja terkadang kita tidak
menyadari kalau sebenarnya kita sedang dalam posisi terjebak itu dan baru
menyadarinya setelah kita masuk semakin dalam.
Sebagai contoh, pada satu
kesempatan, aku ada janji untuk wawancara riset dengan VP Head of…. Sebuah Bank
Pemerintah di Indonesia jam 10.00 WIB di kantornya di Jl Jenderal Sudirman.
Untuk mengantisipasi supaya aku tiba tepat waktu dan tidak terjebak kemacetan,
aku berangkat pukul 07.30 WIB dari rumah. KRL yang duluan berangkat adalah KRL
Ekonomi jurusan Tanah Abang pukul 07.50 WIB, baru setelah itu Commuter Line
pukul 08.13 WIB.
Buatku, untuk ukuran Jakarta dengan
kendaraan umum, perjalanan dengan selisih waktu 15 menit itu sangat berharga
sekali. Daripada terjebak macet sehingga jadi terlambat, mending aku mendahului
lawan. Berusaha semaksimal mungkin supaya tidak telat.
Nah, akupun naiklah KRL Ekonomi
itu di gerbong 1, paling depan. Karena nanti kalau turun di Stasiun Sudirman,
arah pintu keluarnya berada di depan, supaya jalannya tidak jauh-jauh gitu. Aku
masuk ke tengah gerbong dan mencari tempat yang masih ada untuk berpegangan dan
kelak masih bisa dapat udara dari jendela.
Tasku yang cukup berat karena
berisi netbook, souvenir untuk responden dan beberapa berkas urusan pekerjaan
kuletakkan di tempat tas di atas tempat duduk penumpang karena perjalanan yang
cukup jauh dan lama…. (mungkin sekitar satu jam). Lumayan untuk mengistirahatkan
bahu dan punggungku.
Satu stasiun, dua stasiun
terlewati, dan keadaan kereta yang makin penuh, membuat tumpuan kaki menjadi
tidak stabil karena sudah penuh dengan kaki-kaki penumpang lain, untung saja
kaki kanan dan kiriku masih pada tempatnya, bersebelahan. Biasanya malah bisa tertukar
dengan kaki penumpang lain (jangan heran membacanya ya…., itu artinya di antara
kaki kanan dan kiriku ada terselip kaki
orang lain).
Percakapan antara penumpang
kudengarkan dalam diam, coba kurekam dalam ingatan. Mungkin ada yang menarik
untuk bahan berbagi cerita. Sebelah kanan, sebelah kiri, di depanku, di
belakangku, percakapan itu ternyata saling bersahutan. Saling tanya dan jawab
diselingi gurau dan canda.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa aku
telah masuk dalam sebuah komunitas kecil di dalam kereta ini, di mana penumpang
di sekitarku semuanya telah saling kenal dan aku adalah makhluk asing yang
tiba-tiba nyempil di antara mereka. Menyadari ini, aku jadi merasa ada yang
berputar di dalam perutku. Sungguh rasa yang tidak enak.
Aku sadar kalau aku sudah
terjebak, dan untuk dapat keluar dari situasi ini adalah harus ada kemauan dari
diri sendiri untuk mencari jalan keluar. Setelah kita berusaha sendiri, orang
lain baru akan bergerak untuk membantu kita yang sedang berusaha mencari jalan
ini karena mereka tidak tau pasti seberapa parahkah kondisi kita dalam situasi
tersebut.
Begitu juga bila kita terjebak
dalam masa lalu, kita akan tetap berada di dalamnya selama kita sendiri tidak
ingin keluar dari kondisi itu. Mau indah atau pahit, yang namanya masa lalu itu
hanya patut dikenang dalam memory saja, bukan membuat kita jadi hanyut di
dalamnya.
Terjebak dalam masa lalu ini akan
makin diperparah dengan hadirnya harapan-harapan semu dari bagian masa lalu itu
yang sampai kini masih kita dapatkan. Di sini kita seolah-olah masih diberi harapan
untuk merengkuh kembali masa lalu itu, padahal yang namanya harapan semu tentu
saja hasilnya tidaklah seindah kenyataan. Bagaikan memeluk bayangan. Tampaknya
ada di depan mata, tapi tidak tersentuh.
Lebih ironis lagi adalah bila
kita yang sedang terjebak dalam masa lalu ini tidak menyadari kalau kita sedang
terjebak. Karena kita tidak sadar, maka orang lain yang berusaha membantu kita
supaya kita keluar dari belenggu ini malah akan kita lawan. Kita akan berusaha
melawan mati-matian karena orang itu kita anggap sebagai perusak zona nyaman
kita. Apalagi bila lingkungan sekitar malah menyuburkan zona nyaman itu dengan
terus menerus memberikan stimulus yang tidak pada tempatnya.
Sungguh aku tidak ingin berada
dalam situasi itu. Aku tidak ingin terjebak masa lalu dan aku juga tidak ingin
terperangkap dalam mimpi yang terlalu indah. Aku hanya ingin menjalani langkah
ini satu-satu, tetapi di setiap langkahku kuberikan seluruh hatiku dengan ridho
yang Kuasa. Semoga.
Bogor, 5 Mei 2012
Renungan untuk diri sendiri
semoga tetap berjalan dengan hati.