Minggu, 06 Mei 2012

Terjebak


Pernah dengar kata ‘terjebak’ kan? Tentu sudah pernah dengar dan kita semua pasti sudah tidak asing dengan kata itu. Kata ‘terjebak’ itu sendiri menurut Kamus Besar bahasa Indonesia mengandung arti masuk (ke tempat yang tidak menyenangkan), menderita, terhalang, dan beberapa pengertian lain yang sejenis.
Memang sungguh tidak nyaman kalau kita yang sedang berada dalam posisi terjebak, hanya saja terkadang kita tidak menyadari kalau sebenarnya kita sedang dalam posisi terjebak itu dan baru menyadarinya setelah kita masuk semakin dalam.
Sebagai contoh, pada satu kesempatan, aku ada janji untuk wawancara riset dengan VP Head of…. Sebuah Bank Pemerintah di Indonesia jam 10.00 WIB di kantornya di Jl Jenderal Sudirman. Untuk mengantisipasi supaya aku tiba tepat waktu dan tidak terjebak kemacetan, aku berangkat pukul 07.30 WIB dari rumah. KRL yang duluan berangkat adalah KRL Ekonomi jurusan Tanah Abang pukul 07.50 WIB, baru setelah itu Commuter Line pukul 08.13 WIB.
Buatku, untuk ukuran Jakarta dengan kendaraan umum, perjalanan dengan selisih waktu 15 menit itu sangat berharga sekali. Daripada terjebak macet sehingga jadi terlambat, mending aku mendahului lawan. Berusaha semaksimal mungkin supaya tidak telat.
Nah, akupun naiklah KRL Ekonomi itu di gerbong 1, paling depan. Karena nanti kalau turun di Stasiun Sudirman, arah pintu keluarnya berada di depan, supaya jalannya tidak jauh-jauh gitu. Aku masuk ke tengah gerbong dan mencari tempat yang masih ada untuk berpegangan dan kelak masih bisa dapat udara dari jendela.
Tasku yang cukup berat karena berisi netbook, souvenir untuk responden dan beberapa berkas urusan pekerjaan kuletakkan di tempat tas di atas tempat duduk penumpang karena perjalanan yang cukup jauh dan lama…. (mungkin sekitar satu jam). Lumayan untuk mengistirahatkan bahu dan punggungku.
Satu stasiun, dua stasiun terlewati, dan keadaan kereta yang makin penuh, membuat tumpuan kaki menjadi tidak stabil karena sudah penuh dengan kaki-kaki penumpang lain, untung saja kaki kanan dan kiriku masih pada tempatnya, bersebelahan. Biasanya malah bisa tertukar dengan kaki penumpang lain (jangan heran membacanya ya…., itu artinya di antara kaki kanan  dan kiriku ada terselip kaki orang lain).
Percakapan antara penumpang kudengarkan dalam diam, coba kurekam dalam ingatan. Mungkin ada yang menarik untuk bahan berbagi cerita. Sebelah kanan, sebelah kiri, di depanku, di belakangku, percakapan itu ternyata saling bersahutan. Saling tanya dan jawab diselingi gurau dan canda.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa aku telah masuk dalam sebuah komunitas kecil di dalam kereta ini, di mana penumpang di sekitarku semuanya telah saling kenal dan aku adalah makhluk asing yang tiba-tiba nyempil di antara mereka. Menyadari ini, aku jadi merasa ada yang berputar di dalam perutku. Sungguh rasa yang tidak enak.
Aku sadar kalau aku sudah terjebak, dan untuk dapat keluar dari situasi ini adalah harus ada kemauan dari diri sendiri untuk mencari jalan keluar. Setelah kita berusaha sendiri, orang lain baru akan bergerak untuk membantu kita yang sedang berusaha mencari jalan ini karena mereka tidak tau pasti seberapa parahkah kondisi kita dalam situasi tersebut.
Begitu juga bila kita terjebak dalam masa lalu, kita akan tetap berada di dalamnya selama kita sendiri tidak ingin keluar dari kondisi itu. Mau indah atau pahit, yang namanya masa lalu itu hanya patut dikenang dalam memory saja, bukan membuat kita jadi hanyut di dalamnya.
Terjebak dalam masa lalu ini akan makin diperparah dengan hadirnya harapan-harapan semu dari bagian masa lalu itu yang sampai kini masih kita dapatkan. Di sini kita seolah-olah masih diberi harapan untuk merengkuh kembali masa lalu itu, padahal yang namanya harapan semu tentu saja hasilnya tidaklah seindah kenyataan. Bagaikan memeluk bayangan. Tampaknya ada di depan mata, tapi tidak tersentuh.
Lebih ironis lagi adalah bila kita yang sedang terjebak dalam masa lalu ini tidak menyadari kalau kita sedang terjebak. Karena kita tidak sadar, maka orang lain yang berusaha membantu kita supaya kita keluar dari belenggu ini malah akan kita lawan. Kita akan berusaha melawan mati-matian karena orang itu kita anggap sebagai perusak zona nyaman kita. Apalagi bila lingkungan sekitar malah menyuburkan zona nyaman itu dengan terus menerus memberikan stimulus yang tidak pada tempatnya.
Sungguh aku tidak ingin berada dalam situasi itu. Aku tidak ingin terjebak masa lalu dan aku juga tidak ingin terperangkap dalam mimpi yang terlalu indah. Aku hanya ingin menjalani langkah ini satu-satu, tetapi di setiap langkahku kuberikan seluruh hatiku dengan ridho yang Kuasa. Semoga.





Bogor, 5 Mei 2012
Renungan untuk diri sendiri semoga tetap berjalan dengan hati.