Rabu, 24 Juli 2013

Mistery Illahi



Bengong sendiri di kereta kali ini membuat kedua alis mataku harus tertaut, dadaku sesak dan leherku sakit karena menahan sesuatu yang memang harus ditahan.

Pertama, melihat dua mbak-mbak cantik yang santai saja duduk sedangkan di depannya ada seorang ibu-ibu yang kerepotan menggendong anak balitanya yang pingin tidur. Yang seorang tidak berkerudung tapi memakai kaca mata, sedang yang satu lagi cantik sekali. Memakai kerudung warna coklat muda, alisnya berjejer rapi, bulu matanya yang panjang lentik dengan mascara, dan lipstiknya warna bata.
Mungkin si mbak-mbak itu capek berdiri karena sedang puasa, tapi apakah tidak terlintas juga di benaknya kalau mungkin si ibu yang menggendong anaknya itu juga sedang puasa? Atau merasa sayang, sudah bayar tiket tapi harus berdiri?

Hfft…., cantikmu berkurang 50% mbak, kataku dalam hati. Padahal cantikmu bisa berlipat 200% kalau hatimu juga secantik parasmu. 

Akhirnya si ibu itu dipanggil oleh seseorang yang duduknya agak jauh dan memberikan tempat duduknya. Aku tidak sempat melihat, yang memberikan tempat duduk tadi sesama ibu-ibu atau perempuan muda. Beginilah situasi di gerbong khusus wanita, minim toleransi.

Yang ke dua, aku melihat seorang nenek atau ibu beserta anak perempuan yang ketika kuamati, wajah anak perempuan itu mengingatkan aku pada seorang sepupu jauh (satu buyut) berpuluh tahun yang lalu.
Anak perempuan ini tubuhnya tampak berumur sepuluh tahunan, tapi ketika melihat wajahnya, aku rasa usianya mungkin sudah lebih dari itu, karena ternyata anak perempuan ini menyandang keterbatasan fisik dan mental (kuduga), karena air liurnya sering menetes tidak terkontrol. Nenek atau ibunya itu meletakkan kain selendang didadanya supaya bajunya tidak basah. Keluarganya pastilah amat menyayanginya, bagaimanapun kondisinya, sebab anak perempuan ini didandani dengan cantik. Rambutnya dibelah dua dan dikepang kemudian ditekuk serta diberi pita warna merah muda.

Kuduga lagi, anak ini mungkin juga tidak dapat menggerakkan tubuhnya, karena ketika kuperhatikan, kedua tangannya seperti dibalut penyangga seperti anak-anak yang terkena pholio di jaman dulu. Subhannallah. Hanya kepalanya saja yang dapat menengok ke sana ke mari dan kedua matanya tampak ingin tahu mengamati sekelilingnya sementara mulutnya kadang tersenyum lebar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. 

Ketika tubuh anak perempuan ini agak condong ke samping, si nenek atau ibu itu menepuk pipinya agak keras sambil menegakkan kembali tubuh anak ini. Menegakkan dengan agak kasar seolah menggerakkan benda mati. Sorot matanya yang memandang nenek atau ibunya itu seolah mengatakan, kenapa?

Dadaku sesak, leherku sakit dan mataku berembun karena mencoba menahan tetesannya. Kasihan anak itu, kenapa harus diperlakukan kasar begitu, sedangkan diapun juga pasti tidak ingin tubuhnya condong. Kalau mampu, pasti dia juga akan bergerak sendiri untuk membetulkan posisi duduknya supaya tidak mengganggu penumpang yang duduk di sebelahnya. 

(Aku teringat sepupu jauhku yang juga mengalami kondisi yang sama seperti anak perempuan ini, tapi sepupuku dulu itu masih bisa berjalan terseok-seok karena tubuhnya hanya sebelah yang berfungsi. Air liurnya juga selalu menetes karena syaraf sebelah tubuh tidak terkontrol. Kalau makan sendiri, suapannya sering melenceng melewati mulutnya, sampai ke hidung-hidung, jadi belepotanlah seluruh wajah. Tapi dia tetap makan sambil tersenyum lebar kalau ada yang melihatnya.)

Tapi aku juga tidak menyalahkan nenek atau ibunya itu, mungkin dia memang tidak ingin anak itu mengganggu orang lain, yang akan merasa jijik karena air liurnya yang menetes terus, dan diapun sudah terbiasa menghadapi anak ini setiap saat. Mungkin baginya (perlakuan yang kuanggap agak kasar itu) sudah biasa, ataupun mungkin ada juga rasa lelah. Aku maklum, dan aku yakin kalau nenek atau ibu itu pastilah sangat menyayangi anak perempuan itu dan sama sekali tidak bermaksud kasar.

(Bayangkan seorang perempuan usia 50-60 an yang membawa gendongan kain yang pastilah untuk menggendong anak perempuan se usia 10 tahunan, kemudian ada dua tas lagi yang mungkin berisi baju dan makanan. Apakah bukan rasa sayang namanya kalau dia mau melakukan hal yang tidak ringan itu?)

Sungguh, sendirian naik kereta tanpa ada kesibukan kali ini ternyata sungguh tidak nyaman. Untungnya tiba-tiba hp-ku berbunyi. Ada SMS. Akupun mengalihkan pandanganku ke layar hp, yang ternyata jadi tidak terbaca karena mataku yang buram.


Bogor, 25 Juli 2013
Hari itu puasaku gak batal kan, kan airnya belum turun…..