Bengong sendiri di kereta kali
ini membuat kedua alis mataku harus tertaut, dadaku sesak dan leherku sakit
karena menahan sesuatu yang memang harus ditahan.
Pertama, melihat dua mbak-mbak
cantik yang santai saja duduk sedangkan di depannya ada seorang ibu-ibu yang
kerepotan menggendong anak balitanya yang pingin tidur. Yang seorang tidak
berkerudung tapi memakai kaca mata, sedang yang satu lagi cantik sekali. Memakai
kerudung warna coklat muda, alisnya berjejer rapi, bulu matanya yang panjang lentik
dengan mascara, dan lipstiknya warna bata.
Mungkin si mbak-mbak itu capek
berdiri karena sedang puasa, tapi apakah tidak terlintas juga di benaknya kalau
mungkin si ibu yang menggendong anaknya itu juga sedang puasa? Atau merasa sayang,
sudah bayar tiket tapi harus berdiri?
Hfft…., cantikmu berkurang 50%
mbak, kataku dalam hati. Padahal cantikmu bisa berlipat 200% kalau hatimu juga
secantik parasmu.
Akhirnya si ibu itu dipanggil
oleh seseorang yang duduknya agak jauh dan memberikan tempat duduknya. Aku
tidak sempat melihat, yang memberikan tempat duduk tadi sesama ibu-ibu atau
perempuan muda. Beginilah situasi di gerbong khusus wanita, minim toleransi.
Yang ke dua, aku melihat seorang
nenek atau ibu beserta anak perempuan yang ketika kuamati, wajah anak perempuan
itu mengingatkan aku pada seorang sepupu jauh (satu buyut) berpuluh tahun yang
lalu.
Anak perempuan ini tubuhnya
tampak berumur sepuluh tahunan, tapi ketika melihat wajahnya, aku rasa usianya
mungkin sudah lebih dari itu, karena ternyata anak perempuan ini menyandang
keterbatasan fisik dan mental (kuduga), karena air liurnya sering menetes tidak
terkontrol. Nenek atau ibunya itu meletakkan kain selendang didadanya supaya
bajunya tidak basah. Keluarganya pastilah amat menyayanginya, bagaimanapun
kondisinya, sebab anak perempuan ini didandani dengan cantik. Rambutnya dibelah
dua dan dikepang kemudian ditekuk serta diberi pita warna merah muda.
Kuduga lagi, anak ini mungkin
juga tidak dapat menggerakkan tubuhnya, karena ketika kuperhatikan, kedua
tangannya seperti dibalut penyangga seperti anak-anak yang terkena pholio di
jaman dulu. Subhannallah. Hanya kepalanya saja yang dapat menengok ke sana ke mari dan kedua
matanya tampak ingin tahu mengamati sekelilingnya sementara mulutnya kadang
tersenyum lebar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Ketika tubuh anak perempuan ini
agak condong ke samping, si nenek atau ibu itu menepuk pipinya agak keras
sambil menegakkan kembali tubuh anak ini. Menegakkan dengan agak kasar seolah
menggerakkan benda mati. Sorot matanya yang memandang nenek atau ibunya itu seolah mengatakan, kenapa?
Dadaku sesak, leherku sakit dan
mataku berembun karena mencoba menahan tetesannya. Kasihan anak itu, kenapa
harus diperlakukan kasar begitu, sedangkan diapun juga pasti tidak ingin
tubuhnya condong. Kalau mampu, pasti dia juga akan bergerak sendiri untuk membetulkan
posisi duduknya supaya tidak mengganggu penumpang yang duduk di sebelahnya.
(Aku teringat sepupu jauhku yang
juga mengalami kondisi yang sama seperti anak perempuan ini, tapi sepupuku dulu
itu masih bisa berjalan terseok-seok karena tubuhnya hanya sebelah yang
berfungsi. Air liurnya juga selalu menetes karena syaraf sebelah tubuh tidak
terkontrol. Kalau makan sendiri, suapannya sering melenceng melewati mulutnya, sampai
ke hidung-hidung, jadi belepotanlah seluruh wajah. Tapi dia tetap makan sambil
tersenyum lebar kalau ada yang melihatnya.)
Tapi aku juga tidak menyalahkan
nenek atau ibunya itu, mungkin dia memang tidak ingin anak itu mengganggu orang
lain, yang akan merasa jijik karena air liurnya yang menetes terus, dan diapun
sudah terbiasa menghadapi anak ini setiap saat. Mungkin baginya (perlakuan yang
kuanggap agak kasar itu) sudah biasa, ataupun mungkin ada juga rasa lelah. Aku
maklum, dan aku yakin kalau nenek atau ibu itu pastilah sangat menyayangi anak
perempuan itu dan sama sekali tidak bermaksud kasar.
(Bayangkan seorang perempuan usia
50-60 an yang membawa gendongan kain yang pastilah untuk menggendong anak
perempuan se usia 10 tahunan, kemudian ada dua tas lagi yang mungkin berisi
baju dan makanan. Apakah bukan rasa sayang namanya kalau dia mau melakukan hal
yang tidak ringan itu?)
Sungguh, sendirian naik kereta
tanpa ada kesibukan kali ini ternyata sungguh tidak nyaman. Untungnya tiba-tiba
hp-ku berbunyi. Ada SMS. Akupun mengalihkan pandanganku ke layar hp, yang
ternyata jadi tidak terbaca karena mataku yang buram.
Bogor, 25 Juli 2013
Hari itu puasaku gak batal kan,
kan airnya belum turun…..