Senin, 29 April 2013

Hanya berandai-andai….



Beberapa hari lalu sempat nonton tayangan dari TVRI yang entah judulnya apa, tapi sempat membuatku terlempar ke masa lalu dalam kenanganku tentang sekolah.

Di TV itu aku lihat anak-anak yang harus mengayuh sampan untuk menyebrangi danau Sentani menuju sekolahnya. Berseragam merah putih dan membawa sebuah buku tulis serta sebatang pensil atau pulpen, mereka tampak semangat untuk belajar walaupun dengan peralatan seadanya.

Di depan kelas, pak guru menuliskan materi pelajaran di papan tulis dan murid-murid menyalin ke bukunya. Tidak ada Buku Paket ataupun LKS = Lembar Kerja Siswa yang sekarang sudah menjadi buku pegangan wajib para siswa di Kota Besar.
Seperti jamanku dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Buku Paket memang sudah ada, tetapi tidak ada yang namanya LKS. Guru-gurupun masih mempunyai materi lain yang tidak ada di Buku Paket, dan harus ditulis di papan tulis supaya anak-anak juga punya catatan dari materi tambahan itu.
Tahukan apa artinya itu? Dengan menyalin catatan dari papan tulis ke buku tulis, secara tidak langsung sudah membuat anak-anak belajar tiga kali. Pertama ketika membaca catatan itu di papan tulis, dan yang ke dua adalah ketika menyalinnya ke buku masing-masing serta yang ke tiga adalah ketika siswa mendengarkan uraian dari para guru tentang materi tersebut.
Untuk anak malas sepertiku, biasanya aku cukup dengan mendengarkan baik-baik apa yang diberikan oleh Bapak atau Ibu Guru hari itu, tidak perlu mengulang lagi di rumah,  aku sudah mengerti isinya. Tapi buat teman-teman yang lain yang lebih rajin dibanding aku, materi pelajaran yang diberikan langsung oleh Bapak atau Ibu Guru itu adalah pemacu mereka untuk semakin rajin membaca lagi di rumah.
Soal-soal Ulangan atau PR juga dibuat sendiri oleh Bapak atau Ibu Guru, yang biasanya mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari di lingkungan kita tinggal, sehingga siswa lebih cepat mengerti karena perumpamaan yang dipakai tidak asing. Artinya seluruh bagian otak bekerja karena disamping logika yang bekerja, kreatifitas juga ikut ambil bagian.

Pemberian materi seperti itu sampai saat ini kuanggap paling ideal bila dibandingkan cara seperti sekarang yang mewajibkan LKS untuk para murid. Bapak atau Ibu Guru tidak perlu membuat soal sendiri sehingga ketika anak-anak diberi tugas untuk mengerjakan PR, ternyata ada beberapa soal yang tidak dapat dikerjakan karena ternyata soalnya salah cetak. Misalnya saja, titik jadi koma, tanda minus jadi tanda plus, angka 0 yang kelebihan atau kurang, atau malah lebih parahnya adalah narasi soal yang ternyata isinya sungguh tidak mendidik.

Aku sering menjumpai buku tulis anakku tetap kosong mulai dari awal semester sampai akhir semester, karena katanya tidak pernah ada catatan dari Bapak atau Ibu Guru, tetapi mereka langsung mengerjakan soal-soal yang ada di LKS saja.

Dari segi ekonomi aku jadi beruntung sih, buku tulisnya masih dapat dipakai untuk semester selanjutnya karena tidak perlu beli lagi. Tetapi di sisi lain, otak anakku isinya hanya teori. Sama sekali tidak ada materi tambahan yang lebih manusiawi, nggak balance dengan realita.

Aku sama sekali tidak menyalahkan Guru-guru di Kota Besar yang sudah masuk ke dalam system ini karena tututan kurikulum yang padat.  Aku hanya berandai-andai saja  kalau pelajaran yang diberikan itu bukan hanya sesuai yang di buku saja…, tetapi juga lebih mengaktifkan otak kanan dan hatinya dengan berdialog. Ngobrol saja yang santai, Insya Allah pengetahuan yang siswa serap akan lebih lama mengendap, lebih cerdas dan kreatif.



Bogor, 29 April 2013
(buat teman-teman yang berprofesi guru, jangan marah sama aku ya….. )