Beberapa
kali baca berita tentang seorang anak yang tertinggal orangtuanya ketika sedang
bepergian ke suatu tempat, terus terang saja, begitu baca pasti dong langsung
terucap kata: Koq bisa?!
Coba
saja contohnya nih, ada berita yang anaknya tertinggal di Rest Area, di Bandara,
di Restorant, di Mall, dan lain-lain, yang intinya memang seolah orangtuanya
koq ya kebangetan amat. Masak iya anak bisa ketinggalan, orang hape saja nggak
pernah lepas dari tangan....
Baca
komennya juga pedas-pedas lho, dan rata-rata menyalahkan orangtua terutama
ibunya yang harusnya memang selalu mengawasi anaknya.
Aku
jadi ingat waktu Kk masih kelas 2 SD dan Ndiek masih bayi dalam gendonganku.
Saat itu aku habis ambil raport dari sekolahan Kk dan kami naik KRL ekonomi untuk
pulang (saat itu Comuter Line-nya masih ada beberapa dan di jam-jam tertentu
saja).
Kk
dari kelas 1 SD sudah terbiasa naik KRL ini dan sejak kecil kakinya memang
lincah seperti Kijang dan Kambing Gunung. Jadi buat dia tidak masalah harus
melompat-lompat sendiri di antara sambungan gerbong yang bagi orang awam agak
ngeri, atau merangkak naik ke atas gerbong karena dari lantai stasiun ke atas
pintu kereta memang agak tinggi (kadang petugas terlambat meletakkan tangga di
pintu gerbong).
Nah,
saat itu, ketika kami baru saja masuk ke Stasiun, ada pengumuman kalau KRL
Ekonomi jurusan Bogor – jakarta Kota yang tersedia di jalur sekian siap
diberangkatkan.
Kk
kecil langsung berlari ke jalur itu dan berusaha langsung naik. Mungkin
kebiasaan kalau dia pas pulang sekolah sendirian dan harus cepat-cepat naik
supaya nggak lama lagi menunggu kereta berikutnya. Dia lupa kalau aku di
belakangnya sambil menggendong Ndiek.
Akhirnya
terjadi deh, begitu Kk naik, keretanya jalan.
“Ayo
mamie, cepetan...,!!” katanya sambil
mengulurkan tangan dari pintu kereta. (Dia pikir dia kuat menarik mm-nya kali
ya...)
Kalau
aku nggak sambil nggendong Ndiek ya mungkin bisa langsung melompat naik. Lha
ini..., sambil nggendong bayi, masih ada juga tas dan prekenak-prekenik bayi
dalam tanganku.
“Nggak
bisa Kak, nanti tunggu mm di Stasiun aja...” jawabku. Kulihat dia mau melompat
turun.
“Eh,
nggak usah turun..., nanti tunggu mm di Stasiun!” teriakku sebelum kereta
semakin melaju dan menjauh.
Dari
Stasiun Bogor, nanti akan melewati Stasiun Cilebut dulu, baru setelah itu kami
turun di Stasiun Bojonggede. Rumahku di Bogor dulu.
Jadi
ceritanya waktu itu bukan anaknya yang tertinggal di Stasiun, tapi mm-nya yang
ketinggalan, hehehe...
Kalau
kemarin nih, waktu aku sedang ngantri di Poli Kandungan di RS Puri Bunda, aku
sedang melototin hape, jadi sedang tidak ngeh dengan yang sedang terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara tangis anak kecil. Akupun menengok.
Kulihat
seorang gadis kecil berkerudung lucu yang kira-kira berumur 2 tahun sedang
menanggis di depan pintu ruang periksa yang baru saja tertutup. Perlu beberapa
waktu sampai akhirnya pintu itu terbuka kembali dan si gadis kecil bisa masuk.
Penasaran.
Kutunggu dan ingin kulihat seperti apa penampakan orangtuanya yang tadi sempat
lepas kontrol pada anaknya walaupun sebentar.
Ketika
keluar dari ruang periksa, tampak sepasang pasutri muda, mungkin belum 30 tahun
usia mereka. Sang suami menggendong bayi mengikuti langkah istri yang berada
paling depan dan melenggang menuju apotek di seberang ruang periksa. Baru di
belakang sang ayah adalah gadis kecil tadi yang berjalan sendiri, dan seperti
umumnya anak kecil yang mudah terpesona dengan lingkungan, diapun berjalan
sambil tengak-tengok dan sering berhenti...
Kalau
melihat pemandangan ini, memang tergelitik hati ingin memprotes; kenapa si ibu
tidak mau menggenggam tangan anaknya? Toh tangannya bebas melambai....
Tapi
terlepas dari semua contoh kejadian di atas, kita tetap nggak boleh lho
menjudge seseorang hanya berdasarkan penampakan semata. Kita kan tidak tahu
pasti kondisi perasaan mereka saat itu bagaimana. Kan ada kata-kata bijak yang
menyatakan kalau yang kita lihat tidaklah selalu seperti yang terlihat....
Hayooo...., iya apa iyaaaa???
Penampakan
di ruang tunggu Poli Kandungan saat itu memang bertebaran dengan pasutri muda
dan pengantin baru. Rata-rata ibu muda yang mungkin perut membuncitnya adalah
kehamilan anak pertama atau kedua. Yang jelas, maksimum umur mereka paling 35
tahun.
Lha
terus di sini, ada nenek-nenek ikut ngantri di Poli Kandungan, apa juga
hamil???!!!
(Ssssssssstttttttt!!!!!!
Ceritanya dilanjut lain kali ya......)
Malang,
21 Maret 2019