Ah, ternyata aku masih punya
hutang nulis perjalananku waktu ke Bekasi kemarin. Kembali ke rumah,
kesibukanku sudah ngalahin presiden kali…, sampai nulis saja jadi tidak sempat
lagi. (Kurasa kesibukanku memang lebih parah dari presiden deh. Presiden kan
nggak nyapu, masak, cuci piring, cuci baju, belanja, masak ayam buat mie, order
mie, nungguin jualan, ngurusin sewa tempat jualan, ngurusin sekolah anak, buka
fb, dll)
Semoga masih banyak ingatan yang
tersisa ketika satu minggu aku tinggal di Muara Gembong, Bekasi, beberapa bulan
lalu. Eng ing eeeng…….
Kami berangkat jum’at pagi dari
apartmen mas Inang di Kalibata City menuju Bekasi dengan mobil Mas Inang. Kali
ini nggak ada yang berangkat naik motor, semua dimasukkan jadi satu di dalam
mobil. Cukup nggak cukup harus cukup kup kup kup.
Sepertinya jarak Jakarta Bekasi
memang tidak jauh, tapi kenyataannya hampir waktunya sholat jum’at kami baru
sampai di Giant Harapan Indah. Janjian dijemputnya oleh staf GNI Bekasi memang
di Giant ini.
Info yang kami terima adalah
daerah tujuan kami ini cukup terpencil,
tidak ada in**mart, atm, dll. Jadi sambil menunggu para lelaki melaksanakan
sholat jum’at, kami berbelanja keperluan logistic yang praktis, macam mie
instan, sarden, kornet, dan sebangsanya.
Ternyata benar juga, lokasi
tujuan masih jauh di ujung dunia. Buktinya sudah lewat satu jam perjalanan tuh,
kami belum sampai juga. Oh ya, sebagian penumpang dan bawaan kami dari mobil
mas Inang dipindahkan ke mobil staf GNI, jadi sekarang kami dapat bergerak
nyaman…. J J
Kami berhenti makan siang di
sebuah warung bakso depan pasar, yang katanya itu adalah keramaian terdekat
dari lokasi kami nanti. Huft….
Perjalanan dilanjutkan sejam
lagi, dan akhirnya sampai deh di kantor CDP GNI Bekasi. Hari sudah menjelang
sore (kalau melihat jam, tapi terik matahari seperti tengah hari bolong).
Muara Gembong. Kuinjakkan kakiku
di daerah ini untuk satu minggu ke depan. Air menggenang di mana-mana, sisa
banjir yang tertinggal.
Setelah acara perkenalan dengan
staf GNI Bekasi dan beberapa orang relawannya, pembagian wilayah untuk besok,
dan persiapan segala tetek bengek keperluan pekerjaan untuk besok pagi, kamipun
diantar ke rumah penduduk tempat kami akan menginap.
Hari sudah malam saudara-saudara,
bayangan kasur dan bantal seolah memanggil-manggil, dan ternyata di sepanjang
jalan yang kami lalui untuk menuju penginapan itu, kami melihat banyak penjual
makanan seperti warung bakso, ayam goreng, lalapan, dan lain-lain. Lah,
katanya, informasinya, daerah ini terpencil…., tapi koq ramai begini? Justru di
sini tampaknya kami tidak akan mengalami kelaparan seperti di Cileuksa kemarin,
karena minimnya penjual makanan matang.
Tiba di penginapan…., wuiiih…,
baru terasa….., haredang saudara-saudara……, dan nyamuknyaaaa…., galak-galak
seperti monster. Buanyak dan bandel-bandel…., nggak mempan disemprot……
Sudah dapat dibayangkan kalau
seminggu ke depan nggak bakalan dapat bermimpi indah, sebab boro-boro mau
mimpi, tidurpun juga pasti akan susah…. Hiksss….. :’(
Signal yang ada, sama seperti di
Cileuksa, hanya in**sat yang konek. Signal dari provider lain malu-malu kucing,
kadang nongol kadang ngumpet.
Perjuangan hari pertama dimulai.
Aku membawa mobil mas Inang dengan mengangkut semua pasukan cewek (sebab mas
Inang dan Insan tidur di kantor GNI) menuju kantor GNI. Di sana para staf dan relawan
yang akan mengantar kami menuju masing-masing desa tujuan sudah siap.
Petugas yang akan mengantarku
kalau nggak salah ingat namanya mang Aja (sorry kalau salah, aku sudah tua…,
ingatan lemah), sudah siap dengan sepatu
boot dari karet dan topi lapangan.
Kamipun berangkat. Tugasku adalah
menuju Desa Muara Mati dan Muara Pecah, yang katanya saat ini jalanan menuju ke
sana masih lumayan parah karena banjir luapan air sungai Citarum belum asat
semuanya.
Subhanallah. Jalanan yang harus
kami tempuh adalah benar-benar diluar bayanganku. Jalanan yang lebih mirip
disebut kubangan kerbau itu harus dilewati motor. Bekas roda motor terdahulu
itulah yang juga diikuti oleh motor kami. Selain betul-betul butuh ketrampilan
mengemudi yang lihai, juga harus pandai-pandai mengambil inisiatif ekstreem, maklum
selebihnya lebih mirip atraksi.
Sepanjang jalan tanganku tidak
lepas berpegangan pada besi di belakang boncengan motor dan tangan satunya erat
memegang perlengkapan berburu responden. Kondisinya benar-benar ajrut-ajrutan….
Sama sekali nggak lucu kan kalau belum apa-apa aku sudah harus terjatuh ke
kubangan?!
“Bu, sekarang kan jam sekolah…,
kita coba ke sekolahannya dulu aja ya…” tawar mang Aja padaku.
“Iya, boleh mang… “ jawabku
pasrah. Dengan medan seperti ini, aku mah ngikut aja, nggak sanggup kalau
misalnya disuruh jalan sendiri. Bisa-bisa minggu depan baru nyampai satu
lokasi.
Setelah perjalanan yang rasanya lima
tahun nggak nyampai-nyampai, kamipun sampai di sekolah yang dituju. Eeeeh, si
anak nggak sekolah. Baguslah. Menambah PR-ku.
Kata gurunya, sejak banjir
melanda daerah ini, anak-anak memang jarang yang masuk sekolah karena medannya
tidak memungkinkan. Kebetulan rumah respondenku kali ini harus menyeberang kali Citarum setiap berangkat dan pulangnya,
sedangkan arus kalinya sedang deras-derasnya.
Halaman sekolahnya juga terendam
banjir, dan penampakannya lebih mirip sawah yang habis dibajak pak tani.
Kemudian kamipun menuju kali,
mencari getek yang akan menyeberangkan kami ke desa Muara Mati. Sambil menunggu
getek menepi dan mang Aja menaikkan motornya, aku mengamati dua orang ibu-ibu
yang sedang mencuci ayam di pinggiran kali itu. Sepertinya akan dimasak untuk
menu hajatan di dekat sekolahan itu. Apakah bersih? Apakah higienis? Please jangan
tanyakan itu sekarang di kondisi seperti ini.
Pandangankupun beralih ke
ketinggian air sungai yang kira-kira setengah meter lebih tinggi dari kubangan
kerbau eh jalanan motor yang kami lalui tadi. Ya gimana nggak banjir coba….,
air meluap sedikit saja ya sudah tenggelamlah desa-desa ini….
Menyeberang naik getek ada
sensasi tersendiri. Duduk di tepian perahu sambil nyengir kepanasan, aku
mencoba merasakan dan mencari nikmatnya tinggal di tempat seperti ini. (Kalau
nggak ada kenikmatannya, nggak mungkin kan banyak penduduk yang tetap bertahan
tinggal di daerah ini?)
Sampai di seberang, kondisi
jalanannya lebih bagus dibanding yang tadi. Ada becek sedikit, tapi tidak
seperti kubangan kerbau. Walaupun kondisi sekolahan yang kami datangi saat ini
tidak lebih bagus daripada yang tadi.
Di sekolahan ini aku berhasil
menemukan dua orang anak untuk diwawancara, yang seorang lagi tidak masuk
sekolah karena sakit, nanti tinggal ke rumahnya untuk wawancara orangtuanya. Perjalananpun
dilanjutkan. Yuuukkk…., mariii….
Lalala……, perjalanan ternyata
dilanjutkan dengan melalui pematang. Ya, pematang diantara tambak-tambak/empang
di bawah teriknya matahari. (Kalau seandainya pulang nanti anak-anakku pangling
pada emaknya, aku nggak nyalahin deh…., sebab kenyataannya memang seminggu
harus dihajar sengatan mentari setelah kemarin dua minggu di pegunungan)
Ini benar-benar muara, karena
sejauh mata memandang, memang yang tampak hanyalah tambak/empang dengan sedikit
sekali gerumbulan pohon bakau.
Sebelum ini aku tidak pernah tahu
kalau di antara lautan tambak/empang ini ada komunitas social yang dapat tinggal
di sana, suatu kehidupan yang sudah lama terbentuk karena keadaan.
Ajaibnya, orang-orang di daerah
sini koq ingat ya, harus belok ke mana dan terus ke mana, padahal menurutku
semua bentuk empangnya sama, dan bukan cuma melewati satu atau dua empang
saja…., tapi puluhan, ratusan, atau malah ribuan empang sejauh mata memandang.
Perburuan dimulai diantara
rumah-rumah nelayan. Tidak ada pohon besar di sini, sebab kupikir komunitas
desa ini hanya berdiri di atas timbunan tanah lumpur pantai yang sedikit demi
sedikit mengeras dan menyerupai daratan. Itupun hanya secuil kecil diantara
lautan empang.
Salah satu responden yang tadi
nggak masuk sekolah karena sakit, kucari ke rumahnya. Hanya ada ibunya. Si anak
ikut ayahnya melaut.
“Lho, katanya tadi di sekolah
nggak masuk karena sakit bu…” tanyaku.
“Iya, tadi katanya sudah enakan,
makanya terus ikut ayahnya…”
“Emangnya sering ikut ayahnya
melaut bu?” tanyaku lagi. Yang kupikir-pikir sebetulnya pertanyaan ini nggak
penting banget. Secara, ini desa nelayan…, sudah pasti dari kecil mereka sudah
sering melaut. Apalagi respondenku ini sudah kelas 6 SD.
“Sering bu, sebab sama ayahnya
suka dikasih uang jajan kalau mau bantuin ke laut. Apalagi hari sabtu minggu
begini. Kalau hari minggu ayahnya nggak pergi, dia sudah bisa bawa perahu
sendiri buat cari kerang.”
“Sendiri?! Ke laut sendiri?!”
tanyaku takjub.
“Iya bu, tapi ya nggak jauh-jauh,
dekat-dekat aja….” Jawabnya santai. Alamak…, ke laut nggak jauh-jauh, macam mau
main ke tetangga aja, nggak jauh-jauh.
“Ya udah, kalau gitu saya minta
tolong bu, besok jangan ikut ayahnya ke laut dulu ya…, nanti uang jajannya saya
ganti….” kataku sebelum pergi.
Selesai di desa ini, perjalanan
kembali dilanjut, juga dengan melalui pematang menuju desa lainnya. Desa Muara
Pecah.
Untuk penampakannya, kondisi
daratan di Muara Pecah ini sepertinya lebih kokoh dibanding Muara Mati,
walaupun suasana desa nelayannya tidak kalah kentalnya dengan di Muara Mati.
Juga ada sungai kecil yang membelah desa tempat berparkirnya para perahu
nelayan. Bedanya di Muara Mati sudah dapat melihat laut, kalau di sini hanya
empang empang dan empang di sekeliling….
Sebagian besar responden berhasil
kutemui di sini, tetapi kami tetap harus kembali besok sebab hari sudah sore.
Takut kemalaman di tengah empang, sedangkan jalanannya hanya pematang begitu.
Ngeri kecebur.
“Mang, rata-rata empang ini
kedalamannya berapa meter?” tanyaku. Untuk antisipasi kalau misalnya aku
tercebur, apakah aku masih bisa menyelamatkan diri.
“Kalau semester dua meter mah ada
kali bu…” jawabnya.
“Oke, kalau misalnya jalanan
nggak memungkinkan buat saya tetap nangkring di motor, tolong jangan sungkan
suruh saya turun dulu ya mang…., daripada saya kecebur dan dikerikitin ikan….”
kataku. Dan, kenyataannya memang ada beberapa kali aku harus turun dan berjalan
dulu beberapa meter sebelum naik lagi ke motor.
Hari minggu pagi, langsung menuju
rumah respondenku yang kemarin pergi melaut dengan ayahnya. Eehhh…, baru juga
nyampai, si ibu tergopoh-gopoh nyamperin dan minta maaf kelupaan belum bilang
ke anaknya supaya hari ini jangan melaut.
“Pagi tadi saya ke pengajian lupa
belum bilang bu, dan ketika saya pulang, anaknya sudah terlanjur ikut
ayahnya…., maaf…” katanya.
“Ya sudah nggak apa-apa, besok saja
saya balik lagi…” jawabku lemas.
Salah seorang relawan bercerita
padaku kalau minat anak laki-laki di desa ini untuk sekolah sangat kecil.
Mereka lebih suka ke laut karena dapat duit. Jadi istilahnya sekolah asal dapat
baca tulis saja sudah cukup. Malah pernah ada katanya, keesokan harinya adalah
UNAS, tapi hari ini sengaja pergi ke laut. Sedangkan biasanya sekali melaut
yang agak jauh gitu, bisa berhari-hari lamanya. Akibatnya bisa dipastikan kalau anak
tersebut tidak lulus sekolahnya, tidak ada ijazah. Tapi itu nggak masalah buat
mereka.
Belum lagi kalau dapat cerita
orang-orang yang pernah kerja di kota. Katanya cari kerjaan di kota susah,
gajinya kecil, jadi mending jadi nelayan saja, langsung dapat duit.
Langsung dapat duit di sini
karena rata-rata nelayan tidak menjual hasil tangkapannya sendiri ke pasar,
tapi ada dua orang pengepul di desa itu yang berangkat ke Tanjung Priuk
bergantian tiap harinya untuk membawa hasil tangkapan warga dan menjualnya di
sana. Dari pengepul itu mereka sudah langsung dibayar.
Relawan ini mengkhawatirkan
keinginan respondenku untuk tetap bersekolah, sebab kebetulan teman sebangkunya
sudah tidak mau sekolah lagi dan lebih memilih ikut ayahnya tiap hari ke laut,
padahal sebentar lagi kan sudah ujian.
Tapi dari beberapa orang tua yang
kuwawancara, rata-rata jawabannya adalah ingin agar anaknya dapat sekolah
tinggi supaya tidak seperti orangtuanya yang hanya menjadi nelayan dengan
penghasilan tidak menentu. Mungkin memang ada orangtua yang ingin anaknya
meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai nelayan, tapi itu tidak banyak. Pasti ada
alasan yang sangat kuat untuk itu.
Hari senin, tinggal satu lagi nih
responden yang belum berhasil kutemui. Maka akupun langsung menuju ke rumahnya.
“Anaknya pergi ke sekolah bu…”
kata ibunya begitu melihatku dan mang Aja datang. Alhamdulillah anaknya sekolah,
bukan melaut. Kamipun cuss ke sekolahan.
“Akhirnyaaa….” begitu kataku
ketika melihat seorang anak laki-laki dengan postur yang lumayan tinggi untuk
anak kelas 6 SD dengan kulit yang hitam mengkilat karena seringnya melaut.
“Kemarin sabtu katanya sakit, koq
malah ikut ayah melaut?” tanyaku.
“Paginya memang kurang enak badan
bu, tapi siangnya sudah enakan, makanya saya ikut ayah ke laut..”
“Sepertinya sering sekali ya ikut
ayah ke laut?”
“Iya bu…, senang…, enak bisa
dapat duit….”
“Enak mana sama sekolah?”
“Enak sekolah…”
“Tapi sekolah kan nggak dapat
duit?”
“Buat masa depan bu…”
“Nanti setelah lulus SD masih mau
lanjut sekolahnya?”
“Masih bu, saya mau ke SMP di
Muara Gembong…”
Alhamdulillah dia masih mau
sekolah. Kekhawatiran relawan padanya pupus sudah, semoga tercapai keinginanmu
ya nak. Aamiin.
Selesai sudah pengumpulan dataku,
nanti tinggal input yang biasanya bikin mata berat banget. Pulangnya aku beli
ikan (yang belum terjual di desa ini tinggal ikan belanak, yang lain sudah
dibawa ke Tanjung Priuk) buat nanti di makan rame-rame di kantor GNI dan lewat
jalan pertama kali aku terjun ke daerah ini supaya aku dapat mengambil
gambarnya. Buat bukti bahwa tidak jauh dari Ibu Kota, masih ada jalanan mirip
kubangan kerbau yang perlu perhatian.
Di jalan pulang ketemu A Rahmat
dan Ega. A Rahmat dan mang Aja mengusulkan supaya mampir ke rumah mbak Maria
(relawan juga) dan minta tolong masakin ikannya supaya nanti sampai kantor
tinggal makan.
Usul yang bagus, akupun setuju.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Mbak
Maria menambahi bawaanku dengan udang-udang segar yang gede-gede….., hmmm
enaknyaaa…. (makasih banyak ya mbak Maria)
Hari-hari terakhir di Muara
Gembong diisi dengan input data. Setelah itu kita balik ke Jakarta. Entah kapan
lagi akan kuinjakkan kaki ke daerah ini lagi.
Ada yang menarik di sini, yaitu
staff GNI terdahulu, ternyata membuat angket lebih dahulu buat anak-anak untuk
menanyakan kira-kira bantuan apa yang ingin mereka dapatkan dari GNI. Kalau
peralatan sekolah, bentuknya apa saja. Kalau buah-buahan, sukanya buah apa…
Jadi mereka tidak asal memberi, mereka membuat studi dulu.
Bagus. Hanya saja, program GNI
selanjutnya saat ini di daerah ini apa, itu agak sulit kutangkap. Karena
rata-rata responden yang kutanya menjawab, bahwa terakhir kali mereka
mendapatkan itu semua adalah satu tahun yang lalu.
Malang, 24 Juli 2016
(mengorek sisa cerita dari otak
tuaku)