Kamis, 28 Juni 2012

Harus Bagaimana?


Beberapa hari lalu, pagi-pagi, waktu aku baru membuka pintu dan akan menyapu teras, kulihat sudah banyak ibu-ibu tetanggaku yang berkumpul di taman depan rumahku. (Sebetulnya sih bukan taman, tapi jalur bebas bangunan karena berada di bawah route kabel listrik tegangan tinggi yang oleh warga ditanami untuk penghijauan).


Akupun ikut nimbrung dengan mereka, yang ternyata sedang membicarakan pendaftaran masuk SD Negri hari ini.


“Jadinya anakmu daftar di mana?” tanyaku pada pembantu tetangga sebelah rumah yang tinggalnya di perkampungan belakang perumahanku.


“Itulah, saya datang ke sekolah di depan itu, tapi formulirnya sudah habis. Padahal di pengumuman baru akan dibuka jam 07.00 pagi, nah saya datang setengah tujuh sudah nggak kebagian. Sebab ternyata yang lain sudah ngantri sejak jam 04.00 subuh tadi.” jawabnya.


Hah? Mau daftar masuk SD Negri di perumahanku ini sekarang sudah harus ngantri sejak jam 04.00 subuh? Benar-benar luar biasa.


Aku jadi ingat 12 tahun lalu ketika akan mendaftarkan anak sulungku ke SD Negri di Bogor. Aku juga harus berangkat subuh-subuh untuk mendapatkan formulirnya, yang ternyata masih tidak kebagian juga. Tapi itu kan dulu untuk mendapatkan formulir di SD Negri Unggulan di tingkat Kotamadya, bukan di tingkat Kecamatan di Kabupaten seperti tempat tinggalku ini.


Benar-benar keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di SD Negri ini luar biasa. Semua ingin mendapatkan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan gratis tentunya, karena berhubungan dengan Program Wajib Belajar 9 tahun dari Pemerintah. Kalau sekolahan yang dituju benar-benar amanah sih oke-oke saja, semua cara pasti akan dilakukan oleh para orang tua, termasuk berangkat subuh-subuh untuk mendapatkan formulir. Kalau saja misalnya ada yang nggak amanah, sungguh tragis sekali nasib pendidikan kita saat ini.


Buat orang tua yang punya duit dan tidak mau repot, biasanya mereka akan langsung memasukkan anaknya ke sekolah swasta favorit. Tentu saja dengan kompensasi  biaya yang harus dikeluarkan sama sekali tidak murah.


Berhubungan dengan biaya sekolah swasta yang tidak murah ini, aku jadi ingat waktu aku sedang melakukan wawancara dengan responden sebagai bagian pekerjaanku di lembaga riset. Ketika wawancara telah selesai, kami sempat ngobrol-ngobrol tentang hal lain, yang sampai juga pada topic pendidikan.


“Tolong deh mbak, kalau misalnya mbak kenal atau berhubungan dengan seseorang atau lembaga tertentu yang dapat mengupas tentang pendidikan, tolong sampaikan supaya membedah kembali masalah komersialisasi pendidikan yang sekarang ini semakin parah.”


“Sistem yang ada saat ini nampak nyata sekali komersialnya. Contohnya, buku paket. Kalau dulu, jaman kita sekolah kan para guru selalu melarang corat-coret di buku paket, sehingga buku itu masih dapat dipakai beberapa generasi di bawahnya. Kalau sekarang, guru-guru malah menyuruh muridnya untuk mengisi jawaban langsung di buku paket tersebut karena tiap tahun buku paketnya pasti ganti karena buku paket tahun lalu sudah tidak boleh dipakai lagi. Itu baru bukunya, belum uang masuk dan daftar ulang tiap tahunnya. Gila kan?”


Memang iya sih. Saat ini, hampir di seluruh sekolah mulai dari SD, SMP, sampai SMA, harga buku paket sudah dipatok langsung sejak awal tahun ajaran baru sampai sekian ratus ribu rupiah. Yang tidak beli di sekolah ya bakalan tidak punya buku, karena biasanya buku-buku itu jarang dijual di luar. 


Respondenku yang mengeluhkan soal mahalnya pendidikan ini bukanlah orang tidak mampu yang terpaksa atau memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta favorit tertentu, dia adalah Senior Vice President di salah satu Perusahaan Swasta ternama di negara kita ini.


Nah, kalau orang sekelas respondenku itu saja mengeluhkan mahalnya pendidikan saat ini, bagaimana pula dengan nasibku atau nasib mereka lainnya yang tidak mempunyai keberuntungan dalam hal materi? Apakah anak-anak kami yang tidak terjaring di Sekolah Negri harus tidak bersekolah?


Padahal nih, biarpun sekolah sekarang ini mahalnya bukan main, hasil lulusannya tidak lebih baik dibandingkan lulusan jaman dulu yang bukunya saja boleh dapat dari warisan kakaknya, tetangganya, ataupun dari tukang loak. Buktinya, akhlak, kecerdasan,  dan moral hasil lulusan masa kini itu masih perlu dipertimbangkan kembali. 


Memang belum pernah diriset sih, tapi kurasa bahwa batasan-batasan nilai saat ini memang sudah kabur. Contohnya, untuk membuat materi pelajaran anak SD saja tidak tahu batasan boleh dan tidak, pantas dan tidak, layak dan tidak  dan sebagainya. Parah sekali kan.


Ketika aku mau pulang, respondenku itu sekali lagi mengingatkan aku untuk menyampaikan pesannya tadi. Tapi aku sendiri tidak tahu, harus menyampaikan pesan itu pada siapa atau lembaga apa. Mungkin dengan kutulis seperti ini aku akan mendapat respon dari mana saja dan siapa saja. Sebab sebetulnya pesan itu bukan hanya dari respondenku seorang, tetapi dari banyak orang yang saat ini tercatat sebagai warga negara atau masyarakat Indonesia. 




Bogor, 27 Juni 2012