Pengeras suara di Stasiun Pasar
Minggu memberitahu kalau Kereta Comuter Line jurusan Bogor masih belum
berangkat dari Stasiun Jakarta Kota, tapi Comuter Line yang hanya sampai
Stasiun Depok Lama sudah berangkat dari Stasiun Cawang dan Stasiun Juanda. Oke
deh, aku naik Kereta yang ke Depok ini aja, pikirku sambil melihat jam di HP-ku
yang menunjukkan waktu sekitar jam sepuluh malam lebih.
Maka sekitar setengah jam
kemudian akupun turun di Stasiun Depok Lama menunggu Kereta jurusan Bogor. Aku
duduk di bangku peron 4 yang terbuat dari potongan rel. Pandanganku kuputar
sejauh mataku dapat memandang. Masih lumayan banyak calon penumpang yang sedang
menunggu Kereta ke Bogor sepertiku, baik laki-laki maupun perempuan. Beda
banget dengan suasana Stasiun Senen kalau malam hari. Suasananya sepi, calon penumpang
hanya bertiga termasuk aku, lampunyapun merah sehingga meninggalkan suasana
seram. Waktu itu aku malah berpikir kalau aku sedang ikut uji nyali, hehehe….
Tidak lama kemudian, Kereta
tujuan terakhir Depok Lama kembali masuk. Para penumpangpun keluar. Ada yang
sebagian langsung menuju pintu keluar, tapi ada juga yang mencari tempat duduk
menunggu Kereta selanjutnya yang tujuan Bogor. Termasuk dua orang wanita muda
yang duduk di sampingku. Salah satunya yang berambut pendek menggendong bayi
yang tampaknya masih bayi banget, sedang yang berambut panjang membawa tiga
tas, termasuk tas bayi dan botol-botol susu.
Aku menengok kepala bayi yang
dekat di sebelah kananku dan membantu menutupkan ubun-ubunnya dengan selimut karena
agak terbuka. Kasihan, sudah malam, nanti masuk angin.
Tiba-tiba si ibu yang menggendong
bayi terisak, aku kaget. “Sudah, jangan nangis ya… sabar…” kata teman jalannya
tadi yang sekarang berdiri di depan si ibu sambil mengusap air matanya.
Aku belum sempat bersuara ketika
ibu-ibu di sebelah kanannya bertanya, “Umur berapa bayinya?”
“Dua bulan bu….” jawab keduanya.
“Kenapa nangis? Anaknya sakit?” tanya
si ibu lagi.
“Ini baru keluar dari Rumah Sakit
bu, pulang paksa…” jawab yang berdiri dan agak mudaan dari si ibu yang
menggendong bayi, mungkin adiknya, saudara, atau tetangganya.
“Koq pulang paksa? Sakit apa?”
“Dua hari mencret-mencret, kata
dokter harus opname…, jadi dari kemarin diopname, tapi hari ini terpaksa harus
pulang sebab kakaknya meninggal bu….” kata yang muda.
“Anak saya meninggal bu….” Samar-samar
kudengar lirih suara si ibu di sela isaknya.
“Inna Lillahi Wa’inna Illaihi
Roji’un, kakaknya siapa yang meninggal?” tanya si ibu lagi. Dalam hati aku juga
mengucapkan Inna Lillahi Wa’inna Illaihi Roji’un.
“Kakaknya si bayi, anak pertama
ibu ini…” kata yang muda lagi. Sementara si ibu yang menggendong bayi itu masih
tetap terisak-isak. Aku hanya mendengar tanpa kata.
“Jadi ceritanya, waktu si bayi
harus opname, kakaknya dititipkan ke rumah saudara di Tebet. Saya nemani di
Rumah Sakit, bapaknya kalau siang kerja. Nah, pas tadi sore saya ke Tebet mau
ambil buat saya ajak ke Rumah Sakit, ternyata anaknya nggak ada. Kata saudara
dia pulang sendiri naik Kereta ke Citayam…”
“Umur berapa kakaknya itu?”
“Umur 6 tahun, tapi dia memang
sudah berani naik Kereta sendiri. Makanya tadi saya langsung nyusul ke Citayam.
Ternyata sampai di Citayam saya dikasih tau pak RT kalau dia meninggal hanyut
di kali pas mandi sama teman-temannya. Mayatnya masih di rumah pak RT belum di
apa-apain. Saya langsung balik lagi ke Rumah Sakit ngabarin ini ke ibunya.
Sekarang bapaknya juga dalam perjalanan ke Citayam naik motor.”
Ya Allah, aku terhenyak mendengar
cerita itu. Seperti cerita sinetron rohani ketika musibah datang bertubi-tubi
tanpa kita dapat mencegahnya dan hanya berharap keikhlasan serta kesabaran kita
dalam menghadapinya. Tapi ini nyata! Sungguh terjadi di depan mataku….. Apakah
aku akan dengan gampangnya mengucapkan kata itu; sabar, tabah, ikhlaskan? Aku
tahu benar bagaimana perasaan si ibu saat ini. Aku tahu betapa hancur hatinya….
Akupun semakin terdiam.
“Sabar ya,….. jangan terlalu
sedih, kasihan bayinya yang sedang sakit…” ternyata si ibu di seberang sana
mampu mengucapkan kata itu. Diam-diam aku berdiri dari tempat dudukku dan
menjauh. Aku tak ingin ada orang yang melihat buram mataku. Hanya do’aku saja
di dalam hati, semoga ibu itu tabah menghadapi semua cobaan ini. Percayalah
kalau Allah pasti punya rencana indah yang kita tidak pernah tahu. Semoga juga si
bayi cepat sembuh sehingga dapat sedikit menutupi lobang di hati ibunya.
Aamiin.
Bogor, 30 Juli 2013
(sedang mengorek kembali
peristiwa yang sempat terlupakan karena keterbatasan waktu)