Selasa, 22 Oktober 2013

Seekor Anak Kucing Yang Sebatangkara




Beberapa hari lalu anakku membawa seekor anak kucing pulang ke rumah, katanya nemu di pinggir jalan. Kubiarkan saja, padahal sudah ada seekor ikan alligator dan seekor anak biawak yang jadi tanggungannya.

Seperti biasa, tiap memelihara anak kucing, kucing itu akan dimasukkan ke etalase paling bawah supaya kalau malam tidak kabur karena aku melarangnya membawa ke dalam.

Setiap akan berangkat sdan pulang sekolah, anakku selalu bercanda dengan anak kucingnya, digendong, diajak lari-larian, bermain bola, pokoknya anakku sudah mulai akrab dengan kucingnya. Eh, tiba-tiba saja si anak kucing kabur/minggat setelah diberi makan malam berupa beberapa sendok nasi goreng (maklum, emaknya yang punya kucing sudah teler sepulang kerja, jadi nggak sempat masak lagi…., sehingga beli nasi goreng adalah pilihan paling oke… hehehe…), padahal saat itu si anak kucing sudah kelihatan agak gemuk, lucu dan segar.

Akhirnya tidak ada kucing lagi di rumahku, dan setiap pulang sekolah anakku hanya memandang etalase yang kosong dengan harapan si anak kucing kembali.

Tiga hari kemudian…, ketika anakku akan berangkat sekolah, tiba-tiba aku melihatnya sedang mengelus-elus seekor kucing lagi di depan pintu pagar.
“Dia pulang sendiri mamie, tapi sudah babak belur…” kata anakku.
Kulihat, ternyata memang anak kucing yang tempohari minggat itu dan sekarang memang sudah jadi kurus, peot, tinggal tulang terbungkus kulit dan hampir tidak kuat berjalan. Anakku memasukkannya ke dalam etalase dengan diberi sepotong ayam goreng kemudian ditinggal pergi ke sekolah.
Sampai malam hari ayam gorengnya tidak disentuh oleh anak kucing itu, begitupun sampai keesokan harinya karena pagi-pagi aku melihatnya masih utuh.

                                                           berdirinya saja sudah oleng


“Mungkin dia maunya ikan dek, beliin ikan sana ke warung…” kataku sebelum anakku berangkat sekolah.
“Ikan cuek mie?” tanyanya.
“Iyalah, masak ikan paus…” kataku.

Setelah memberi makan kucingnya dengan sepotong ikan, anakku berangkat ke sekolah. Kucingnya tidak lagi dimasukkan ke etalase karena dia pikir si anak kucing sudah mulai tahu kalau pulangnya adalah ke rumah ini. Tapi kulihat ikannyapun tidak disentuh si anak kucing.

Aku kemudian menyapu warnet dan teras, tapi tidak kulihat anak kucing itu di manapun. Ternyata dia ada di seberang jalan, sembunyi dirimbun daunnya pohon sereh. Mungkin dia sedang mencari obat untuk dirinya sendiri, sebab kata nenekku dulu, tiap pagi kucing akan selalu makan rumput buat jamu.

Tidak lama kemudian si kucing melangkah tertatih menyeberang jalan menuju rumahku, tapi kemudian berhenti di ujung pagar. Kupanggil-panggil dia diam saja, berdiri mematung di situ. Kuambilkan lagi sepotong ikan yang dibeli anakku tadi dan kuletakkan di depannya, tapi dia tetap cuek. Pandangannya kosong.
Karena aku tidak tega, akhirnya kuangkatlah si anak kucing itu dan kutaruh di dalam etalase tapi kacanya tidak kututup. Kulihat dia tertatih berjalan menuju selembar kain yang disiapkan anakku buat tempat tidurnya.

                                                   beralaskan jaket buat tidurnya


Hari ini aku tidak kemana-mana, tidak ada kerjaan yang harus kukerjakan hari ini, sehingga tidak perlu keluar rumah.
Siang yang tadinya cerah tiba-tiba saja mendung dan hujan deras sekali disertai angin yang menderu-deru. Lampupun sudah dapat dipastikan mengalami pemadaman. Akupun makan siang di warnet sambil memandangi hujan (warnetku kosong dari pagi, mungkin karena hujan jadi pada malas keluar rumah).
Tiba-tiba kulihat anak kucing itu berdiri di pintu warnet, kubuka pintunya dan dia masuk. Kuberi sedikit sisa nasiku dan kucampur ikan yang tadi diberi anakku. Tidak disentuhnya. Tapi dia berdiam diri di dekatku. Dia mengikuti aku kemanapun aku pergi.
Dia mencari teman, takut petir dan geledek, atau haus kasih sayang?
Akhirnya kuambil jaket pengunjung warnet yang ketinggalan dan sudah berbulan-bulan tidak diambil pemiliknya untuk kujadikan alas tidur si kucing. Diapun tidur di sana, di sudut ruangan. Tubuhnya benar-benar lemah tanpa tenaga, maklumlah, dari kemarin tidak mau makan, dan tidak terdengar mengeong sekalipun.

                                                    habis diobatin dan minum susu



Aku jadi berpikir, apa yang sudah terjadi padanya di luaran selama tiga hari kabur kemarin? Apakah dia mengalami kekerasan seksual dari kucing-kucing jantan dewasa di luaran sana? (Emangnya manusia ya? Tidak punya adab,…..) Atau dia terlantar tidak ada yang memberinya makan selama tiga hari ini? Atau dia telah mengalami penyiksaan dari anak-anak manusia yang nakal-nakal? Ah, entahlah… yang jelas kondisinya memang mengenaskan.

Waktu anakku pulang dari sekolah menjelang maghrib, dia melihat keadaan kucingnya dan meminta uang buat beli obat tetes mata dan susu.
“Kasihan, kayaknya matanya sakit mie…” katanya.

Kulihat, kondisi kucing itu mungkin tidak akan melewati malam ini. Tapi biarlah, paling tidak anakku sudah berusaha untuk menyelamatkannya. Untuk malam ini, kuijinkan anak kucing itu dibawa ke dalam rumah dan anakku menaruhnya ke dalam kardus bekas mie instan yang diberi alas jaket tadi.

                                                            disuapin sari kurma

Ternyata benar firasatku, sebelum subuh, ketika aku terbangun dan menengok ke tempat anakku meletakkan anak kucingnya, kulihat kepala anak kucing itu sudah terkulai di pinggir kardus.
Anakku menggunting sebuah handuk bekas, membungkus anak kucingnya, kemudian dikubur di jalur hijau seberang jalan. Selamat jalan anak kucing....



Bogor, 22 Oktober 2013






Rabu, 16 Oktober 2013

Individualistis



Ada satu cerita.
Kisah ini kualami bertahun-tahun lalu, sekitar tahun 1996 atau 1997 aku lupa, ketika anak pertamaku masih kecil, tapi sudah bisa bermain dan berkomunikasi lancar dengan orang lain.

Sore itu aku sedang berbelanja keperluan rutin di Muara  Swalayan di sekitaran Muara Karang Jakarta Utara. (Dulu aku tinggal di sana, di tempat kerja suamiku sebelum pindah ke Bogor)
Aku sedang sibuk memilih belanjaan dari daftar belanja yang harus kubeli, sedangkan anakku juga sibuk mencari belanjaannya sendiri (snack dan permen) dengan hilir mudik membawa keranjang belanjaannya sendiri.
“Eh, Rieke lagi belanja ya? Ini Rieke kan?!...” tiba-tiba aku mendengar suara tidak jauh dari tempatku berjongkok. Aku menengok ke  arah suara yang menegur anakku.
“Iya… “ jawab anakku sambil berlari ke arahku. Aku memandang dua orang wanita yang berdiri di depanku dengan pandangan tanya. Yang seorang adalah oma-oma, yang seorang lagi lebih muda.
“Ini mamanya Rieke? Saya mamanya Michels….” katanya sambil tersenyum. Akhirnya kamipun sempat ngobrol sedikit sebelum masing-masing meneruskan belanja.

Tau nggak siapa Michels itu?
Michels itu adalah gadis kecil sebaya anakku yang tinggal di depan rumah. Aku tahu itu, karena biasanya setiap sore, anakku diajak office boy kantor suamiku ataupun pembantu di kantor suamiku itu untuk bermain-main di depan rumah. Aku sendiri jarang ikut keluar, hanya mengawasi saja dari dalam rumah. Begitu juga dengan Michels. Kalau tidak pembantunya, terkadang aku suka lihat papanya yang mengajaknya main di depan rumah, jadi aku tahu yang mana papa si Michels tapi tidak tahu mana mamanya.
Ternyata hal yang sama juga terjadi pada mama Michels ini, dia tahu anakku, tapi tidak tahu aku. Bukankah agak lucu mendengarnya ya? Kami bertetangga berhadapan rumah, tapi sama sekali tidak tahu muka dan saling kenal.

Tapi itu tidak aneh untuk kehidupan di Jakarta yang tiap orang tidak kenal ataupun perduli pada orang- orang di sebelahnya. Sebagian besar adalah pendatang yang rata-rata hanya perduli pada komunitasnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, ternyata hal yang sama mulai terjadi di lingkungan rumah Ibu-Bapakku di Surabaya. Kami yang tinggal di Kompleks TNI dan waktu kecil dulu saling mengenal semua warga dari ujung ke ujung, ternyata hal itu sekarang sudah berubah.
Tetangga-tetanggaku sudah banyak berganti dengan orang baru, dan teman-teman sebayaku dulu kini sudah tersebar ke seluruh penjuru bumi. Aku tidak lagi mengenal tetanggaku dan semua sudah jadi asing.

Begitu juga halnya dengan yang terjadi di lingkungan rumah mendiang Ibu mertuaku. Dulu waktu aku pertama-tama mulai main ke sana, tetangga sekitar masih amat perduli antara satu dan lainnya. Karena waktu itu perumahannya tergolong masih baru, penduduknya juga masih care satu sama lain.
Terakhir-terakhir, terlebih ketika ibu mertuaku sudah meninggal dunia, kurasa tinggal tetangga depan rumah saja yang masih mengenalku dan kukenal. Semuanya sudah berganti menjadi orang asing atau berperilaku asing, entahlah.

Sekarang, momok individualistis itu sepertinya mulai menghantui dan siap mencengkeram kehidupan social di stempat tinggalku. Dulu setiap warganya selalu guyub dalam setiap acara sehingga sering memenangkan setiap lomba yang diadakan di tingkat RW. Kami selalu kompak dalam melakukan banyak hal dan suasana kekeluargaan begitu kental.
Beda sekali dengan sekarang, ketika kepentingan dan kesibukan masing-masing semakin bertambah, acara kumpul-kumpulpun sudah sangat jarang. Arisan ibu-ibu yang hanya sebulan sekali dengan tujuan mempererat tali silaturahmi juga makin jarang didatangi atau malah tidak lagi diikuti. Antara warga baru dan warga lama tidak ada acara basa-basi buat saling memperkenalkan diri. Jadi bila nanti akan terjadi kejadian seperti aku dan mama Michels di perumahanku sekarang, semoga saja aku tidak kaget mendengarnya.
(Ada rencana jalan-jalan di tempatku yang diadakan karena pergantian pengurus RT, jadi uang kas dari hasil ngumpulin di periode yang lama akan dipakai buat jalan-jalan, nanti warga tinggal nambah sedikit saja kekurangannya. Tapi sayangnya banyak warga yang tidak mau ikut karena alasan ‘jalan-jalan’ tadi. Ada yang bilang, “Buat apa sih jalan-jalan segala…, aku nggak butuh. Anak-anakku sudah gede, ga ada yang bakalan mau ikut.”
Ada lagi yang tidak mau ikut kalau harus menambah bayar? Lha, kalau uangnya nggak cukup, Cuma nambah sedikit saja koq tidak mau… kecuali memang tidak mampu.
Ada lagi yang tidak mau keukeuh tanpa alasan, “Pokoknya nggak ikut…, nggak boleh sama bapaknya.” Padahal si bapak itu termasuk warga juga.
Dan masih ada beberapa alasan lain yang agak membuat jengkel.
Aku prihatin, kenapa harus dilihat atau ditekankan pada jalan-jalannya? Kenapa tidak mau melihat maksud atau tujuan dari acara ini, dimana sedang diupayakan untuk menyatukan lagi hubungan kekeluargaan antar warga yang semakin lama semakin merenggang dan ternyata jumlahnya juga semakin berkurang karena banyak yang pindah.
Tapi mungkin memang tidak perlu ada yang disesali karena kondisi yang berkembang nantinya akan menuju ke Individualistis juga….., seperti halnya ciri masyarakat perkotaan pada umumnya).



Bogor, 16 Oktober 2013
(keluarga terdekat adalah tetanggamu...)