Kamis, 02 Mei 2019

Operasi (pra-operasi)



Siapa sih yang nggak pernah dengar atau tidak tahu kata ‘operasi’ ?

Terlepas dari apapun artinya, dalam satu hari mungkin aku bisa mendengar atau membaca kata itu lebih dari satu kali. Yang artinya kata operasi itu bukanlah satu hal asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya operasi anggota bagian tubuh, atau operasi lalu-lintas, ataupun yang lainnya.

Tetapi ketika kata operasi itu merujuk pada diriku sendiri, berhubungan dengan tubuhku...., tiba-tiba saja aku merasa arti kata itu bisa menjadi sesuatu yang mengerikan. Iya, menakutkan! Karena kata operasi yang kumaksud kali ini adalah berhubungan dengan kesehatanku.

Alhamdulillah dalam setengah abad lebih hidupku ini, aku pernah ngamar (tidur) di RS itu hanya dua kali. Yaitu pada tahun 1994 waktu melahirkan Kakak di RS Adi Husada Surabaya dan tahun 2001 waktu melahirkan Ndiek di RS Karya Bhakti Bogor.

Kedua peristiwa itu murni karena melahirkan, bukan karena aku menderita suatu penyakit tertentu. Walaupun sempat juga ketika akan melahirkan Ndiek, aku pakai acara diinfus dan pasang oksigen segala, karena ketuban sudah pecah di rumah sedangkan saat itu belum waktunya buat Ndiek untuk lahir ke dunia... (maju 3 minggu dari perkiraan yang ditentukan).

Bukannya aku tidak percaya pada dunia kedokteran atau medis, bukan!

Aku percaya koq kalau pada saat ini dunia kedokteran sudah amat maju dengan segala macam penemuan medis terbaru. Semua sudah serba canggih dan tehnologi yang oke.

Hanya saja, aku tidak suka kalau itu harus berhubungan denganku. 
Sebab biasanya kalau aku sedang merasa tidak enak badan dan seperti akan kena flu misalnya, maka sebelum tidur malam ini, aku menggosok leherku dengan minyak kayu putih, kemudian membungkusnya dengan selendang supaya hangat. Setelah itu tidur. Tidak perlu minum obat apapun. Insya Allah besok bangun pagi aku nggak jadi sakit... Aku nggak suka obat.

Aku percaya dengan tidur cukup, maka tubuhku akan dapat merevitalisasi sendiri, mengobati sendiri..... (Itu, kata merevitalisasi sendiri bener nggak sih? Dulu sepertinya pernah baca begitu...)

Sekarang, tiba-tiba aku divonis eh didiagnosis harus operasi. OMG!! Sumprit aku takut!

Semuanya berawal ketika bulan Januari 2019 lalu aku main ke rumah seniorku Wanala di Blitar yang kebetulan adalah seorang Dokter Ahli Kandungan, mas dr. Didik Agus Gunawan SpOG.
“Dokter, tolong Aan ini diperiksa dong. Selama ini sering ngeluh sakit perut, tapi nggak pernah mau periksa...” kata mbak Herida.
“Ada Myom tuh An...” kata mas Didik waktu menyuruhku berbaring di tempat periksa. Wah, mas Didik sakti..., cuma lihat bentuk perutku saja sudah langsung tahu.
“Nih, diameter myomnya sudah 13,50 cm. Harusnya maximum 12 cm itu sudah diambil.” kata mas Didik sambil memperlihatkan layar monitor USG perutku.
“Harus dioperasi. Itu sudah gede dan takutnya berubah sifat.” Kata mas Didik.

Saat itu, semua yang dengar dan melihat hasil pemeriksaanku seolah ikut shock karena tiba-tiba ditemukan monster sebesar itu di dalam perutku.

Mereka ini adalah saudara sehobby dan senasib dalam kelompok Pecinta Alam Wanala Unair yang pernah kuikuti berpuluh tahun lalu ketika masih kuliah,  dan alhamdulillah kami masih terhubung sampai sekarang.

Mereka ini pula yang akhirnya hampir tiap hari mencerewetiku untuk segera menindak lanjuti hasil diagnosis mas Didik itu. Byuh!!

Ada yang bertanya, apa selama ini tidak pernah merasakan gejala apapun, sebab tidak mungkin myom itu secara tiba-tiba muncul sebesar itu.

Sungguh. Selama ini aku tidak pernah merasakan gejala sakit perut atau apapun yang ekstreem. Paling-paling kalau kurunut lagi ke belakang, mungkin ya terkadang ada rasa seperti sunduk’en (bahasa Jawa, aku nggak tau bahasa Indonesianya apa), celekit-celekit gitu. Suatu rasa sakit seperti kram perut saat kita habis makan atau minum, terus berlari/OR. Itu biasanya terasa di perut bawah kiri. Pernah sih, waktu masih tinggal di Bogor, perutku tiba-tiba kram begini sampai tidak bisa bangun saking sakitnya. Tapi itu cuma sekali dan sudah lama sekali. (Tidak kuhiraukan)

Selain itu, aku juga sudah agak lama tidak bisa tidur terlentang atau tengkurap terlalu lama karena kalau itu kulakukan, nanti rasanya tulang punggung bagian pinggang itu seperti rontok dan menempel ke ranjang. Sakit sekali. Jadi biasanya kalau tidur aku selalu miring. (Kupikir karena aku mulai tua, jadi tidak kuhiraukan)

Satu lagi, akhir-akhir ini aku  merasa perut bagian bawah tepat di bawah pusar, sering tiba-tiba terasa keras, kaku, mirip orang yang sedang hamil dan kontraksi. Kalau dipegang, seolah di dalam itu ada batunya. Tapi aku kan tidak sedang hamil. Haidku masih tetap lancar tiap bulan dengan kondisi derasnya agak berlebihan sih. (Tidak kuhiraukan, karena kupikir sedang bersih-bersih karena mau menaphause)

Ternyata yang tidak kuhiraukan-kuhiraukan itu tadi tidak terjadi pada orang lain. Hanya terjadi padaku. Kalau normal sih, harusnya aku mencurigai itu semua sebagai suatu hal yang tidak wajar. Ada sesuatu dalam tubuhku. Harusnya begitu.
Tapi kan selama ini aku mendiagnosis diriku sendiri bahwa tidak terjadi apa-apa dan tidak ada apa-apa dalam tubuhku. Jadi ya aku biasa saja.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat kata-kata mbak Khurin, “ Diagnosis Dokter Fisip tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Ekonomi tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Hukum tidak dapat dipercaya!”
Hahahaaa...., itu semua gara-gara kami memberikan diagnosis pada kondisi kesehatan mbak Khurin sesuai dengan pengetahuan awam yang kami ketahui, waktu mbak Khurin menceritakan kondisi kesehatannya, padahal kami semua bukan Dokter.  Makanya mbak Khurin menyebutkan asal Fakultas kami masing-masing sebagai latar belakang ke-sotoy-an kami.....

Mbak Khurin, mbak Herida, mas Didik, Pratmi, Rini, Mas Anang, mas Ganis, mas Makhsus, Burhani, mbak Sawitri, adalah seniorku di Pecinta Alam yang kebetulan kali ini dapat berkumpul bersama dengan adik-adik (junior) seperti Agus dan Iis yang seangkatan denganku, kemudian ada Harjati, Widarti, Eka, Memes, Erna, Zindy, Ita. Kami berasal dari berbagai Fakultas dan Bidang Study, tapi di dalam wadah ini, kami semua seolah satu nafas, satu rasa, satu jiwa. Persaudaraan kami tiada batas. Itulah kekuatan yang kami banggakan sebagai Mantan Mahasiswa Pecinta Alam, Wanala Unair.

Okeee...., kita kembali ke laptop.

Sambil mengurus berbagai surat rujukan untuk operasi, aku berusaha menguatkan diri juga untuk berani melakukan operasi ini. Antara mau dan tidak masih sibuk berlomba dalam kepalaku. Berusaha saling mengalahkan.

Tapi kalau nggak operasi, ya serba salah sih. Karena sejak tahu kalau di dalam perutku ada monster sebesar itu, aku jadi agak mengurangi aktifitasku yang memang banyak di luar rumah. Jadi agak takut untuk bepergian jauh. Padahal tadinya mah aku bebas saja, mau loncat ke sana ke mari ya oke saja...

Ibuku sempat meminta supaya aku melakukan operasinya di Surabaya saja karena beliau ingin mengurusiku, katanya. ***Al Fatihah untuk Ibuku.

Biarpun aku sudah setua ini, sudah punya keluarga dan anak-anak sendiri, bagi ibuku, aku pasti tetap anaknya yang ingin diurusnya ketika sakit.... (Huhuhu....., pingin mewek nggak sih?)

Padahal kondisi ibuku saat ini tidaklah dapat dibilang bagus juga. Karena beliau pernah kena strooke ringan yang sampai sekarang kaki kanan dari lutut ke bawah tidak terasa (lumpuh). Begitu juga gula darahnya yang pernah melewati batas sehingga harus mengalami koma dan meninggalkan bekas kurang berfungsinya ginjal sebagai pengontrol cairan yang akibatnya perut ibuku agak membesar karena cairan yang gagal terbuang seluruhnya (harus disedot dalam jangka waktu tertentu).

Sementara bapakku sendiri, akhir-akhir ini kesehatannya juga mulai menurun. Mulai merasakan sakit di sana dan di sini yang selama ini mungkin juga tidak pernah dirasakannya.

Dengan kondisi ibu dan bapakku yang seperti itu, apa iya aku masih tega harus diurusi mereka berdua? Tapi kalau menolak langsung, aku juga nggak sanggup mengutarakannya.

Alhamdulillah, dokter Faskes pertamaku tidak dapat memberikan rujukan RS di Luar Kota Malang, jadi harus di RS di Malang. Maka inilah alasan yang kuberikan pada ibu dan bapakku supaya aku bisa operasi di Malang saja
“Ya sudah nggak apa-apa kamu operasi di Malang, tapi apa kamu sudah siap? Kalau sudah siap ya pasrahkan saja semuanya ke Allah..., nggak usah mikir yang lain.” kata ibuku.
“Insya Allah siap...” jawabku. Biar ibuku nggak khawatir.

Pertama kali ke RS Puri Bunda untuk periksa, aku ditemani suamiku dan mbak Herida. Tapi mereka nggak ikut masuk ke dalam.

“Selamat pagi bu..., ada yang bisa saya bantu? Ada keluhan apa?” sambut dokternya begitu melihatku masuk.
“Koq pagi dok? “ kataku. Orang saat itu sudah lewat jam 12.00 siang.
“Pagi sajalah kalau sama saya...., eh apa ibu nggak keberatan ya..., kanan kiri batu semua....” katanya.
Hehehe..., selalu begitu setiap perjumpaanku yang pertama dengan seseorang. Gelangku. Iya, gelangku yang selalu menarik perhatian mereka.
“Sebetulnya saya nggak punya keluhan dok, tapi hasil USG dari teman saya menyatakan kalau saya harus operasi...” jawabku sambil menyerahkan amplop foto USG dari mas Didik.
“Lho, teman ibu bisa USG?”
“Iya, teman saya, tepatnya senior saya di Pecinta Alam waktu kuliah dulu, adalah Dokter Kandungan...” jawabku.
“Wah, temannya ibu Dokter Kandungan, lha ibu sendiri Dokter apa?” tanyanya.
“Saya sih Dokteranda, dokter-dokteran...” jawabku.

Kesanku pada dokter ini adalah ramah dan suka bercanda. Entah semua itu keluar dari dalam hatinya atau sekedar pemanis di bibir saja, aku tidak tahu. Yang jelas aku menghargai upayanya supaya orang tidak merasa asing dan akward ketika harus memeriksakan diri padanya. Terbukti aku merasa nyaman dan mempertimbangkan untuk benar-benar melakukan operasi itu. Mungkin kalau dokternya jaim, aku juga agak enggan meneruskan. Soalnya takut duluan.

Namanya dr. N Luwang Wisena SpOG...., yang setelah ku googling N di depan namanya itu adalah Nyoman. Orang Bali ternyata. Posturnya tinggi, kurasa ada sekitar 185 cm-an.

“Oke..., ibu mau operasinya kapan?” katanya setelah memeriksa perutku dengan USG.
“Lho, memangnya bisa kapan saja dok? “ tanyaku. Waduh, sekarang aku yang keder. Kenapa cepat sekali?
“Bisa. Kenapa enggak. Kondisi ibu baik koq. Terserah ibu kapan maunya, asal satu hari sebelumnya ibu datang dulu ke saya, kita ceklab dulu...” jawabnya.
“Oke deh, saya pikir dulu ya dok...” kataku.
“Silahkan. Kapan saja ibu siap, ayo kita lakukan. Sambil nunggu, ibu boleh papsmear dulu, terserah mau papsmear di mana. Nanti minggu depan ibu kontrol ke sini lagi ya...” katanya.
“Salam buat dokter Didik...”katanya sebelum aku keluar dari ruangannya.

Waaaah, gimana ini.... Kenapa aku sendiri yang harus menentukan waktu operasinya ya...  Aku merasa seolah aku menyerahkan diri menunggu hukuman. Nggak asyik ah dokternya. Bikin aku galau nih.

Waktu seminggu ternyata cepet sekali Ferguso! Tiba-tiba saja sudah waktunya aku harus kontrol ke RS, dan aku belum papsmear...., hayooo looo....

Hari Selasa, tanggal 26 Maret 209, kuajak Kk menemani periksa ke RS. Eh, kesiangan. Sudah tutup. Dokternya sudah pulang. Suasana di ruang tunggu juga sepi. Padahal masih jam 11.00 an.

Besoknya, hari Rabu tanggal 27 Maret 2019, datang lagi agak pagian. Berhasil. Dapat nomor antrian kesekian belas, lupa aku.
“Selamat pagi, ini yang mau periksa siapa?” tanya pak dokter melihatku masuk berdua dengan Kk.
“Saya yang mau operasi myom dok, tapi saya belum papsmear. Emang langsung operasi saja nggak bisa dok?” tanyaku.
“Ya sudah, saya periksa dulu...” katanya.
“Ini anaknya bu? Sudah nikah belum?”
“Belum dok...” jawabku.  Aku disuruh berbaring sama perawatnya, copot CD, dan membuka lebar kedua pahaku. Aduuuh.
“Oke, kondisinya bagus, nggak ada radang atau apapun. Bisa langsung operasi besok. Jam 11.00 ya bu...” kata pak dokter setelah memeriksa ‘dalamku’.
“Anaknya tinggi kayak model gini masak nggak ada yang mau bu? Saya lamar boleh?” katanya.
“Mau dijadiin yang ke berapa dok?” kataku. Pak dokternya tertawa.

Akhirnya hari itu juga aku langsung melakukan ceklab. Mulai periksa darah, urine, rekam jantung, dan rontgent yang harus kulakukan di lab luar karena RS ini tidak ada fasilitas itu.

Yang lucu waktu rekam jantung. Petugasnya sampai dua kali harus mengulang merekam detak jantungku. Yang pertama detaknya ada yang tidak terdeteksi.
“Kenapa mbak? Jantung saya nggak berdetak ya mbak?” tanyaku dengan maksud bercanda.
“Ah, enggak bu...., bukan begitu....” jawabnya serius dan mencoba menghiburku dengan beberapa kalimat yang menenangkan. Ah, si mbaknya nggak bisa diajak bercanda. Mungkin dia pikir aku ketakutan karena jantungku tidak terdeteksi, hehehe.....

Oh ya..., apakah karena RS ini adalah RS Ibu dan Anak, sehingga perawat dan petugasnya semua baik-baik dan ramah? Sopan-sopan dan benar-benar memanusiakan manusia. Perlakuannya juga tidak kasar. Ini sungguh menyenangkan.

Hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019, aku sudah puasa sejak jam 05.00 pagi. Jam 09.00 harus sudah di RS untuk persiapan operasi. Jam 08.00 pagi aku berangkat dengan Kk naik motor menuju RS.

.....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................


**** Aku menulis ini beberapa hari sebelum ibuku dipanggil Allah. Maksudku menulisnya kucicil karena agak panjang yang ingin kutulis, makanya tidak segera kumasukin Blog dan kuposting.
Ternyata pada tgl 17 April 2019 Ibuku dipanggil Allah. Al Fatihah untuk Ibu.
Sampai hari ini, tgl 3 Mei 2019, aku belum dapat tenaga untuk melanjutkan lagi. Jadi kupikir tidak apa-apa ini saja dulu yang kuposting.