Siapa
sih yang nggak pernah dengar atau tidak tahu kata ‘operasi’ ?
Terlepas
dari apapun artinya, dalam satu hari mungkin aku bisa mendengar atau membaca
kata itu lebih dari satu kali. Yang artinya kata operasi itu bukanlah satu hal
asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya operasi anggota bagian tubuh,
atau operasi lalu-lintas, ataupun yang lainnya.
Tetapi
ketika kata operasi itu merujuk pada diriku sendiri, berhubungan dengan
tubuhku...., tiba-tiba saja aku merasa arti kata itu bisa menjadi sesuatu yang
mengerikan. Iya, menakutkan! Karena kata operasi yang kumaksud kali ini adalah
berhubungan dengan kesehatanku.
Alhamdulillah
dalam setengah abad lebih hidupku ini, aku pernah ngamar (tidur) di RS itu
hanya dua kali. Yaitu pada tahun 1994 waktu melahirkan Kakak di RS Adi Husada
Surabaya dan tahun 2001 waktu melahirkan Ndiek di RS Karya Bhakti Bogor.
Kedua
peristiwa itu murni karena melahirkan, bukan karena aku menderita suatu
penyakit tertentu. Walaupun sempat juga ketika akan melahirkan Ndiek, aku pakai
acara diinfus dan pasang oksigen segala, karena ketuban sudah pecah di rumah
sedangkan saat itu belum waktunya buat Ndiek untuk lahir ke dunia... (maju 3
minggu dari perkiraan yang ditentukan).
Bukannya
aku tidak percaya pada dunia kedokteran atau medis, bukan!
Aku
percaya koq kalau pada saat ini dunia kedokteran sudah amat maju dengan segala
macam penemuan medis terbaru. Semua sudah serba canggih dan tehnologi yang oke.
Hanya
saja, aku tidak suka kalau itu harus berhubungan denganku.
Sebab
biasanya kalau aku sedang merasa tidak enak badan dan seperti akan kena flu
misalnya, maka sebelum tidur malam ini, aku menggosok leherku dengan minyak
kayu putih, kemudian membungkusnya dengan selendang supaya hangat. Setelah itu
tidur. Tidak perlu minum obat apapun. Insya Allah besok bangun pagi aku nggak
jadi sakit... Aku nggak suka obat.
Aku
percaya dengan tidur cukup, maka tubuhku akan dapat merevitalisasi sendiri,
mengobati sendiri..... (Itu, kata merevitalisasi sendiri bener nggak sih? Dulu
sepertinya pernah baca begitu...)
Sekarang,
tiba-tiba aku divonis eh didiagnosis harus operasi. OMG!! Sumprit aku takut!
Semuanya
berawal ketika bulan Januari 2019 lalu aku main ke rumah seniorku Wanala di
Blitar yang kebetulan adalah seorang Dokter Ahli Kandungan, mas dr. Didik Agus
Gunawan SpOG.
“Dokter,
tolong Aan ini diperiksa dong. Selama ini sering ngeluh sakit perut, tapi nggak
pernah mau periksa...” kata mbak Herida.
“Ada
Myom tuh An...” kata mas Didik waktu menyuruhku berbaring di tempat periksa.
Wah, mas Didik sakti..., cuma lihat bentuk perutku saja sudah langsung tahu.
“Nih,
diameter myomnya sudah 13,50 cm. Harusnya maximum 12 cm itu sudah diambil.”
kata mas Didik sambil memperlihatkan layar monitor USG perutku.
“Harus
dioperasi. Itu sudah gede dan takutnya berubah sifat.” Kata mas Didik.
Saat
itu, semua yang dengar dan melihat hasil pemeriksaanku seolah ikut shock karena
tiba-tiba ditemukan monster sebesar itu di dalam perutku.
Mereka
ini adalah saudara sehobby dan senasib dalam kelompok Pecinta Alam Wanala Unair
yang pernah kuikuti berpuluh tahun lalu ketika masih kuliah, dan alhamdulillah kami masih terhubung sampai
sekarang.
Mereka
ini pula yang akhirnya hampir tiap hari mencerewetiku untuk segera menindak
lanjuti hasil diagnosis mas Didik itu. Byuh!!
Ada
yang bertanya, apa selama ini tidak pernah merasakan gejala apapun, sebab tidak
mungkin myom itu secara tiba-tiba muncul sebesar itu.
Sungguh.
Selama ini aku tidak pernah merasakan gejala sakit perut atau apapun yang
ekstreem. Paling-paling kalau kurunut lagi ke belakang, mungkin ya terkadang
ada rasa seperti sunduk’en (bahasa Jawa, aku nggak tau bahasa Indonesianya
apa), celekit-celekit gitu. Suatu rasa sakit seperti kram perut saat kita habis
makan atau minum, terus berlari/OR. Itu biasanya terasa di perut bawah kiri.
Pernah sih, waktu masih tinggal di Bogor, perutku tiba-tiba kram begini sampai
tidak bisa bangun saking sakitnya. Tapi itu cuma sekali dan sudah lama sekali.
(Tidak kuhiraukan)
Selain
itu, aku juga sudah agak lama tidak bisa tidur terlentang atau tengkurap
terlalu lama karena kalau itu kulakukan, nanti rasanya tulang punggung bagian
pinggang itu seperti rontok dan menempel ke ranjang. Sakit sekali. Jadi
biasanya kalau tidur aku selalu miring. (Kupikir karena aku mulai tua, jadi
tidak kuhiraukan)
Satu
lagi, akhir-akhir ini aku merasa perut
bagian bawah tepat di bawah pusar, sering tiba-tiba terasa keras, kaku, mirip
orang yang sedang hamil dan kontraksi. Kalau dipegang, seolah di dalam itu ada
batunya. Tapi aku kan tidak sedang hamil. Haidku masih tetap lancar tiap bulan
dengan kondisi derasnya agak berlebihan sih. (Tidak kuhiraukan, karena kupikir
sedang bersih-bersih karena mau menaphause)
Ternyata
yang tidak kuhiraukan-kuhiraukan itu tadi tidak terjadi pada orang lain. Hanya
terjadi padaku. Kalau normal sih, harusnya aku mencurigai itu semua sebagai
suatu hal yang tidak wajar. Ada sesuatu dalam tubuhku. Harusnya begitu.
Tapi
kan selama ini aku mendiagnosis diriku sendiri bahwa tidak terjadi apa-apa dan
tidak ada apa-apa dalam tubuhku. Jadi ya aku biasa saja.
Kalau
sudah begini, aku jadi ingat kata-kata mbak Khurin, “ Diagnosis Dokter Fisip
tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis
Dokter Ekonomi tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis
Dokter Hukum tidak dapat dipercaya!”
Hahahaaa....,
itu semua gara-gara kami memberikan diagnosis pada kondisi kesehatan mbak
Khurin sesuai dengan pengetahuan awam yang kami ketahui, waktu mbak Khurin menceritakan
kondisi kesehatannya, padahal kami semua bukan Dokter. Makanya mbak Khurin menyebutkan asal Fakultas
kami masing-masing sebagai latar belakang ke-sotoy-an kami.....
Mbak
Khurin, mbak Herida, mas Didik, Pratmi, Rini, Mas Anang, mas Ganis, mas
Makhsus, Burhani, mbak Sawitri, adalah seniorku di Pecinta Alam yang kebetulan
kali ini dapat berkumpul bersama dengan adik-adik (junior) seperti Agus dan Iis
yang seangkatan denganku, kemudian ada Harjati, Widarti, Eka, Memes, Erna,
Zindy, Ita. Kami berasal dari berbagai Fakultas dan Bidang Study, tapi di dalam
wadah ini, kami semua seolah satu nafas, satu rasa, satu jiwa. Persaudaraan
kami tiada batas. Itulah kekuatan yang kami banggakan sebagai Mantan Mahasiswa
Pecinta Alam, Wanala Unair.
Okeee....,
kita kembali ke laptop.
Sambil
mengurus berbagai surat rujukan untuk operasi, aku berusaha menguatkan diri
juga untuk berani melakukan operasi ini. Antara mau dan tidak masih sibuk
berlomba dalam kepalaku. Berusaha saling mengalahkan.
Tapi
kalau nggak operasi, ya serba salah sih. Karena sejak tahu kalau di dalam
perutku ada monster sebesar itu, aku jadi agak mengurangi aktifitasku yang
memang banyak di luar rumah. Jadi agak takut untuk bepergian jauh. Padahal
tadinya mah aku bebas saja, mau loncat ke sana ke mari ya oke saja...
Ibuku
sempat meminta supaya aku melakukan operasinya di Surabaya saja karena beliau
ingin mengurusiku, katanya. ***Al Fatihah untuk Ibuku.
Biarpun
aku sudah setua ini, sudah punya keluarga dan anak-anak sendiri, bagi ibuku,
aku pasti tetap anaknya yang ingin diurusnya ketika sakit.... (Huhuhu.....,
pingin mewek nggak sih?)
Padahal
kondisi ibuku saat ini tidaklah dapat dibilang bagus juga. Karena beliau pernah
kena strooke ringan yang sampai sekarang kaki kanan dari lutut ke bawah tidak
terasa (lumpuh). Begitu juga gula darahnya yang pernah melewati batas sehingga
harus mengalami koma dan meninggalkan bekas kurang berfungsinya ginjal sebagai
pengontrol cairan yang akibatnya perut ibuku agak membesar karena cairan yang
gagal terbuang seluruhnya (harus disedot dalam jangka waktu tertentu).
Sementara
bapakku sendiri, akhir-akhir ini kesehatannya juga mulai menurun. Mulai
merasakan sakit di sana dan di sini yang selama ini mungkin juga tidak pernah dirasakannya.
Dengan
kondisi ibu dan bapakku yang seperti itu, apa iya aku masih tega harus diurusi
mereka berdua? Tapi kalau menolak langsung, aku juga nggak sanggup
mengutarakannya.
Alhamdulillah,
dokter Faskes pertamaku tidak dapat memberikan rujukan RS di Luar Kota Malang,
jadi harus di RS di Malang. Maka inilah alasan yang kuberikan pada ibu dan
bapakku supaya aku bisa operasi di Malang saja
“Ya
sudah nggak apa-apa kamu operasi di Malang, tapi apa kamu sudah siap? Kalau
sudah siap ya pasrahkan saja semuanya ke Allah..., nggak usah mikir yang lain.”
kata ibuku.
“Insya
Allah siap...” jawabku. Biar ibuku nggak khawatir.
Pertama
kali ke RS Puri Bunda untuk periksa, aku ditemani suamiku dan mbak Herida. Tapi
mereka nggak ikut masuk ke dalam.
“Selamat
pagi bu..., ada yang bisa saya bantu? Ada keluhan apa?” sambut dokternya begitu
melihatku masuk.
“Koq
pagi dok? “ kataku. Orang saat itu sudah lewat jam 12.00 siang.
“Pagi
sajalah kalau sama saya...., eh apa ibu nggak keberatan ya..., kanan kiri batu
semua....” katanya.
Hehehe...,
selalu begitu setiap perjumpaanku yang pertama dengan seseorang. Gelangku. Iya,
gelangku yang selalu menarik perhatian mereka.
“Sebetulnya
saya nggak punya keluhan dok, tapi hasil USG dari teman saya menyatakan kalau
saya harus operasi...” jawabku sambil menyerahkan amplop foto USG dari mas
Didik.
“Lho,
teman ibu bisa USG?”
“Iya,
teman saya, tepatnya senior saya di Pecinta Alam waktu kuliah dulu, adalah
Dokter Kandungan...” jawabku.
“Wah,
temannya ibu Dokter Kandungan, lha ibu sendiri Dokter apa?” tanyanya.
“Saya
sih Dokteranda, dokter-dokteran...” jawabku.
Kesanku
pada dokter ini adalah ramah dan suka bercanda. Entah semua itu keluar dari
dalam hatinya atau sekedar pemanis di bibir saja, aku tidak tahu. Yang jelas
aku menghargai upayanya supaya orang tidak merasa asing dan akward ketika harus
memeriksakan diri padanya. Terbukti aku merasa nyaman dan mempertimbangkan
untuk benar-benar melakukan operasi itu. Mungkin kalau dokternya jaim, aku juga
agak enggan meneruskan. Soalnya takut duluan.
Namanya
dr. N Luwang Wisena SpOG...., yang setelah ku googling N di depan namanya itu
adalah Nyoman. Orang Bali ternyata. Posturnya tinggi, kurasa ada sekitar 185
cm-an.
“Oke...,
ibu mau operasinya kapan?” katanya setelah memeriksa perutku dengan USG.
“Lho,
memangnya bisa kapan saja dok? “ tanyaku. Waduh, sekarang aku yang keder.
Kenapa cepat sekali?
“Bisa.
Kenapa enggak. Kondisi ibu baik koq. Terserah ibu kapan maunya, asal satu hari
sebelumnya ibu datang dulu ke saya, kita ceklab dulu...” jawabnya.
“Oke
deh, saya pikir dulu ya dok...” kataku.
“Silahkan.
Kapan saja ibu siap, ayo kita lakukan. Sambil nunggu, ibu boleh papsmear dulu,
terserah mau papsmear di mana. Nanti minggu depan ibu kontrol ke sini lagi
ya...” katanya.
“Salam
buat dokter Didik...”katanya sebelum aku keluar dari ruangannya.
Waaaah,
gimana ini.... Kenapa aku sendiri yang harus menentukan waktu operasinya
ya... Aku merasa seolah aku menyerahkan
diri menunggu hukuman. Nggak asyik ah dokternya. Bikin aku galau nih.
Waktu
seminggu ternyata cepet sekali Ferguso! Tiba-tiba saja sudah waktunya aku harus
kontrol ke RS, dan aku belum papsmear...., hayooo looo....
Hari
Selasa, tanggal 26 Maret 209, kuajak Kk menemani periksa ke RS. Eh, kesiangan.
Sudah tutup. Dokternya sudah pulang. Suasana di ruang tunggu juga sepi. Padahal
masih jam 11.00 an.
Besoknya,
hari Rabu tanggal 27 Maret 2019, datang lagi agak pagian. Berhasil. Dapat nomor
antrian kesekian belas, lupa aku.
“Selamat
pagi, ini yang mau periksa siapa?” tanya pak dokter melihatku masuk berdua dengan
Kk.
“Saya
yang mau operasi myom dok, tapi saya belum papsmear. Emang langsung operasi
saja nggak bisa dok?” tanyaku.
“Ya
sudah, saya periksa dulu...” katanya.
“Ini
anaknya bu? Sudah nikah belum?”
“Belum
dok...” jawabku. Aku disuruh berbaring
sama perawatnya, copot CD, dan membuka lebar kedua pahaku. Aduuuh.
“Oke,
kondisinya bagus, nggak ada radang atau apapun. Bisa langsung operasi besok.
Jam 11.00 ya bu...” kata pak dokter setelah memeriksa ‘dalamku’.
“Anaknya
tinggi kayak model gini masak nggak ada yang mau bu? Saya lamar boleh?”
katanya.
“Mau
dijadiin yang ke berapa dok?” kataku. Pak dokternya tertawa.
Akhirnya
hari itu juga aku langsung melakukan ceklab. Mulai periksa darah, urine, rekam
jantung, dan rontgent yang harus kulakukan di lab luar karena RS ini tidak ada
fasilitas itu.
Yang
lucu waktu rekam jantung. Petugasnya sampai dua kali harus mengulang merekam
detak jantungku. Yang pertama detaknya ada yang tidak terdeteksi.
“Kenapa
mbak? Jantung saya nggak berdetak ya mbak?” tanyaku dengan maksud bercanda.
“Ah,
enggak bu...., bukan begitu....” jawabnya serius dan mencoba menghiburku dengan
beberapa kalimat yang menenangkan. Ah, si mbaknya nggak bisa diajak bercanda.
Mungkin dia pikir aku ketakutan karena jantungku tidak terdeteksi, hehehe.....
Oh
ya..., apakah karena RS ini adalah RS Ibu dan Anak, sehingga perawat dan
petugasnya semua baik-baik dan ramah? Sopan-sopan dan benar-benar memanusiakan
manusia. Perlakuannya juga tidak kasar. Ini sungguh menyenangkan.
Hari
Kamis, tanggal 28 Maret 2019, aku sudah puasa sejak jam 05.00 pagi. Jam 09.00
harus sudah di RS untuk persiapan operasi. Jam 08.00 pagi aku berangkat dengan
Kk naik motor menuju RS.
.....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
****
Aku menulis ini beberapa hari sebelum ibuku dipanggil Allah. Maksudku
menulisnya kucicil karena agak panjang yang ingin kutulis, makanya tidak segera
kumasukin Blog dan kuposting.
Ternyata
pada tgl 17 April 2019 Ibuku dipanggil Allah. Al Fatihah untuk Ibu.
Sampai
hari ini, tgl 3 Mei 2019, aku belum dapat tenaga untuk melanjutkan lagi. Jadi
kupikir tidak apa-apa ini saja dulu yang kuposting.