Tadi aku pulang naik Comuter Line
Kereta Khusus Wanita, jadi rangkaian kereta sebanyak 8 gerbong ini penumpangnya
wanita semua dan balita. Hari Sabtu, jam tiga sore, keretanya sudah lumayan
penuh walaupun tidak sepadat kalau gerbong campuran. Sudah banyak ibu-ibu yang
duduk di lantai kereta beralaskan koran di bagian pintu yang tidak terbuka (seperti
kelakuanku).
Aku berdiri sampai sekitar
stasiun UI Depok, sebab ibu-ibu yang duduk di depanku tampaknya akan turun di
Pondok Cina. Akupun duduk di tempat ibu-ibu tadi, lumayanlah masih lima stasiun
lagi untuk sampai di tempat tujuanku.
Aku melepaskan pandanganku ke
seluruh ruangan/gerbong. Semua penumpang adalah wanita termasuk kondekturnya,
kecuali petugas keamanan kereta dan beberapa anak laki-laki kecil (balita).
Sebab ketika ada seorang ibu membawa anak laki-laki yang berusia 6 tahunpun
dipersilahkan turun oleh petugas. Diberitahu untuk naik kereta berikutnya saja
yang campuran.
Hal seperti itu beberapa kali
kutemui ketika aku naik kereta rangkaian khusus wanita ini, anak laki-laki di
atas 5 tahun tidak boleh naik. Makanya suatu ketika, waktu aku mengajak anakku
yang laki-laki (usianya 11 tahun), dan terpaksa naik ke gerbong khusus wanita
karena saat itu kereta sudah mau jalan, akupun berusaha mencari jalan untuk
pindah ke gerbong campuran. Tapi ada ibu-ibu yang bertanya padaku, “Mau kemana
Bu?”
“Mau ke gerbong sebelah Bu, anak
saya kan laki-laki…” jawabku.
“Ah, sudahlah di sini saja, tidak
apa-apa…, orang masih kecil gitu…” jawab ibu itu. Kudengar beberapa orang juga
menyatakan setuju.
“Iya Bu, nggak papa… di sini saja…”
Akhirnya akupun tetap di gerbong
itu. Dan kulihat ibu-ibu yang lain juga tidak merasa keberatan. Mereka akan
tampak keberatan kalau ada anak laki-laki yang tampaknya ABG atau yang usianya
mungkin usia anak-anak SMP ke atas. (Ya iyalaaahhhh…, itu sih bukan anak-anak
lagi, tapi laki-laki dewasa…. Hehehe…)
Waktu melihat ibu-ibu dengan anak
laki-laki umur 6 tahun yang dipersilahkan turun di stasiun berikutnya oleh
petugas, beberapa ibu-ibu tampak membicarakannya, “Kasihan,” kata mereka.
Iya sih, aku juga merasa kasihan
sebetulnya. Tapi itu peraturan, dan di kereta rangkaian khusus wanita ini
memang peraturannya agak ketat dalam artian betul-betul berusaha memenuhi semua
aturan yang ada. Kursi prioritas untuk Ibu Hamil, Membawa Balita, Manula
ataupun Penyandang Kekurangan Fisik, adalah kursi yang paling terakhir terisi.
Bila terisipun pasti akan diminta bila ada penumpang dalam kondisi tersebut
naik. (Penumpang yang tiap hari naik kereta akan sebisa mungkin menghindari
kursi tersebut karena sudah tahu konsekwensinya kalau duduk di situ, yaitu
bakalan diminta pindah…. Hehehe…)
Nah, tadi ketika di Stasiun
Citayam ada ibu-ibu yang membawa tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil naik
ke kereta yang kutumpangi dan berdiri di depanku, akupun berdiri. Ada dua
alasanku untuk berdiri, pertama karena anak-anak itu semua masih balita (berentet
deh pokoknya, mungkin setahun sekali ibu itu melahirkan), yang ke dua karena
tujuanku juga tinggal satu stasiun lagi.
Ketika kondektur menghampiri si
ibu untuk menanyakan tiketnya, si ibu menjawab, “Saya numpang ke Bojong Bu…”
“TIdak bisa begitu bu, ini kereta
Comuter, ibu tidak bisa menumpang begitu saja. Ini anak ibu semua? Tiga orang?
Ibu dikenakan denda 50 ribu.” kata kondektur. Si Ibu itu diam saja.
“Biarpun cuma satu stasiun, ibu
tetap harus beli tiket. Kecuali ibu naik ekonomi, ibu masih bisa numpang-numpang
begitu.” si Ibu diam saja. Yah, mungkin pikir si ibu kalau mau diturunin ya
turunin saja, orang tujuannya memang cuma satu stasiun.
Ketika kondektur meninggalkan
tempat si ibu dan mencari temannya, mungkin mau melapor, kudengar anak si ibu
yang paling besar mengatakan pada ibunya kalau dia takut. Ibunya membentaknya
sambil mengatakan, kenapa begitu saja takut?
Aku jadi pusing melihat
pemandangan ini. Untung aku bukan kondektur kereta yang mungkin akan sering
sekali mengalami hal seperti itu setiap harinya. Kalau dibilang kasihan ya
memang kasihan, apalagi melihat anak-anaknya yang berentet begitu. Tapi kalau
melihat dari sisi kondektur tadi ya memang tidak boleh begitu, karena kalau
dilanggar sedikit-sedikit nanti jadi kebiasaan dan peraturan itu lama-lama
hanya akan berupa peraturan saja tanpa makna.
Tak lama kemudian kereta sampai
di stasiun Bojonggede. Aku turun, si Ibu
dan anak-anaknya juga turun di belakangku. Sudah sampai. Mau apa lagi?
Bogor, 12 Januari 2013