Sabtu, 12 Januari 2013

Serba Salah atau Memang Harus Begitu?



Tadi aku pulang naik Comuter Line Kereta Khusus Wanita, jadi rangkaian kereta sebanyak 8 gerbong ini penumpangnya wanita semua dan balita. Hari Sabtu, jam tiga sore, keretanya sudah lumayan penuh walaupun tidak sepadat kalau gerbong campuran. Sudah banyak ibu-ibu yang duduk di lantai kereta beralaskan koran di bagian pintu yang tidak terbuka (seperti kelakuanku).

Aku berdiri sampai sekitar stasiun UI Depok, sebab ibu-ibu yang duduk di depanku tampaknya akan turun di Pondok Cina. Akupun duduk di tempat ibu-ibu tadi, lumayanlah masih lima stasiun lagi untuk sampai di tempat tujuanku.

Aku melepaskan pandanganku ke seluruh ruangan/gerbong. Semua penumpang adalah wanita termasuk kondekturnya, kecuali petugas keamanan kereta dan beberapa anak laki-laki kecil (balita). Sebab ketika ada seorang ibu membawa anak laki-laki yang berusia 6 tahunpun dipersilahkan turun oleh petugas. Diberitahu untuk naik kereta berikutnya saja yang campuran.

Hal seperti itu beberapa kali kutemui ketika aku naik kereta rangkaian khusus wanita ini, anak laki-laki di atas 5 tahun tidak boleh naik. Makanya suatu ketika, waktu aku mengajak anakku yang laki-laki (usianya 11 tahun), dan terpaksa naik ke gerbong khusus wanita karena saat itu kereta sudah mau jalan, akupun berusaha mencari jalan untuk pindah ke gerbong campuran. Tapi ada ibu-ibu yang bertanya padaku, “Mau kemana Bu?”
“Mau ke gerbong sebelah Bu, anak saya kan laki-laki…” jawabku.
“Ah, sudahlah di sini saja, tidak apa-apa…, orang masih kecil gitu…” jawab ibu itu. Kudengar beberapa orang juga menyatakan setuju.
“Iya Bu, nggak papa… di sini saja…”
Akhirnya akupun tetap di gerbong itu. Dan kulihat ibu-ibu yang lain juga tidak merasa keberatan. Mereka akan tampak keberatan kalau ada anak laki-laki yang tampaknya ABG atau yang usianya mungkin usia anak-anak SMP ke atas. (Ya iyalaaahhhh…, itu sih bukan anak-anak lagi, tapi laki-laki dewasa…. Hehehe…)

Waktu melihat ibu-ibu dengan anak laki-laki umur 6 tahun yang dipersilahkan turun di stasiun berikutnya oleh petugas, beberapa ibu-ibu tampak membicarakannya, “Kasihan,” kata mereka.

Iya sih, aku juga merasa kasihan sebetulnya. Tapi itu peraturan, dan di kereta rangkaian khusus wanita ini memang peraturannya agak ketat dalam artian betul-betul berusaha memenuhi semua aturan yang ada. Kursi prioritas untuk Ibu Hamil, Membawa Balita, Manula ataupun Penyandang Kekurangan Fisik, adalah kursi yang paling terakhir terisi. Bila terisipun pasti akan diminta bila ada penumpang dalam kondisi tersebut naik. (Penumpang yang tiap hari naik kereta akan sebisa mungkin menghindari kursi tersebut karena sudah tahu konsekwensinya kalau duduk di situ, yaitu bakalan diminta pindah…. Hehehe…)

Nah, tadi ketika di Stasiun Citayam ada ibu-ibu yang membawa tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil naik ke kereta yang kutumpangi dan berdiri di depanku, akupun berdiri. Ada dua alasanku untuk berdiri, pertama karena anak-anak itu semua masih balita (berentet deh pokoknya, mungkin setahun sekali ibu itu melahirkan), yang ke dua karena tujuanku juga tinggal satu stasiun lagi.

Ketika kondektur menghampiri si ibu untuk menanyakan tiketnya, si ibu menjawab, “Saya numpang ke Bojong Bu…”
“TIdak bisa begitu bu, ini kereta Comuter, ibu tidak bisa menumpang begitu saja. Ini anak ibu semua? Tiga orang? Ibu dikenakan denda 50 ribu.” kata kondektur. Si Ibu itu diam saja.
“Biarpun cuma satu stasiun, ibu tetap harus beli tiket. Kecuali ibu naik ekonomi, ibu masih bisa numpang-numpang begitu.” si Ibu diam saja. Yah, mungkin pikir si ibu kalau mau diturunin ya turunin saja, orang tujuannya memang cuma satu stasiun.

Ketika kondektur meninggalkan tempat si ibu dan mencari temannya, mungkin mau melapor, kudengar anak si ibu yang paling besar mengatakan pada ibunya kalau dia takut. Ibunya membentaknya sambil mengatakan, kenapa begitu saja takut?

Aku jadi pusing melihat pemandangan ini. Untung aku bukan kondektur kereta yang mungkin akan sering sekali mengalami hal seperti itu setiap harinya. Kalau dibilang kasihan ya memang kasihan, apalagi melihat anak-anaknya yang berentet begitu. Tapi kalau melihat dari sisi kondektur tadi ya memang tidak boleh begitu, karena kalau dilanggar sedikit-sedikit nanti jadi kebiasaan dan peraturan itu lama-lama hanya akan berupa peraturan saja tanpa makna.

Tak lama kemudian kereta sampai di stasiun Bojonggede.  Aku turun, si Ibu dan anak-anaknya juga turun di belakangku. Sudah sampai. Mau apa lagi?



Bogor, 12 Januari 2013