Sabtu, 18 Mei 2019

Operasi


Kamis pagi 28 Maret 2019. Aku harus puasa sejak subuh untuk persiapan operasi hari ini. Tapi sebetulnya sih makan dan minum terakhir ya malam sebelum tidur. Aku tidak biasa sarapan pagi-pagi.

Kusiapkan beberapa baju ganti dan kain yang kira-kira akan dipakai nanti kalau nginep di RS. Paling kan biasanya 3 hari. Biar nanti Kk yang packing. Dia sudah nyiapin carrier dan matras buat alas tidurnya ketika nanti nemenin aku di RS. Kusiapkan juga sebuah bantal boneka buat dibawa.

Aku juga nyiapin teh buat diantar ke tempat Poci di depan SMK Telkom. Nanti pas aku dan Kk berangkat, bisa sekalian kami bawa.

Begitulah, setengah sembilan pagi, aku dan Kk berangkat naik motor menuju RS.
Terus terang, sebetulnya perasaanku seolah masih di awang-awang. Aku masih tidak pasti apakah aku betul-betul mau melakukan operasi ini. Rasa takut itu masih ada.

Tanpa memahami kegundahan hatiku, petugas RS langsung menanganiku sesuai prosedur persiapan operasi ketika aku dan Kk mendaftar ke IGD dan menyerahkan hasil foto rontgen di Lab luar kemarin.
“Mari bu, silahkan ibu berbaring di sini, dan pakaiannya dilepas ya....” seorang petugas (entah perawat atau bukan, sebab tidak pakai seragam) mengantarku ke sebuah ranjang periksa yang hanya berbatas tirai sambil menyerahkan sepotong baju atasan RS warna hijau.

Kulepas baju atasan dan bra, kemudian berganti baju RS tadi, dan berbaring berselimutkan kain yang ada di ranjang.

Tidak lama petugas laki-laki datang akan memasang infus di lengan kiriku. Aduuuh...., aku mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya dulu ketika jarum infus masuk ke lenganku waktu akan melahirkan Ndiek.

“Mau operasi jam 11.00 ya bu...., maaf, saya pasang infus dulu ya...” katanya.  Aku mengangguk.
Pertama dicoblosnya punggung tanganku dengan jarum, dan dimasuki dengan jarum yang lebih panjang. Tapi kemudian ditahan dan dibongkar lagi, bekas lubang jarum ditekannya dengan sangat kuat.
“Maaf, saya pindah ke pergelangan tangan saja ya bu. Yang di punggung sepertinya terlalu halus, uratnya pecah. “ kata petugas itu. Sekali lagi aku hanya sanggup mengangguk. Pikiranku masih belum mantab.

Sempat ditanya juga sama petugas aku alergi apa. Kubilang dulu sih sepertinya pernah alergi obat, tapi lupa obat apa. 

Waktu kuliah dulu, aku pernah sakit. Terus, sama mas Ary yang Mahasiswa Kedokteran, aku dikasih obat. Ternyata beberapa hari kemudian seluruh persendian jari-jari tanganku bentol-bentol gatal, dan aku dikasih incidal. Saat itu dikasih tahu kalau aku alergi obat titik-titik itu, disuruh ingat-ingat sih..., tapi ya namanya lupa masak boleh disalahin?

Mas Ary ini kakaknya mas Tomy, kakak kelasku di FISIP Unair yang sudah seperti kakakku sendiri. Tiap nunggu jam kuliah, biasanya aku nunggu di rumahnya yang memang tidak jauh dari kampusku. Mereka tinggal di Perumahan Dosen di dalam Kampus B.

Mendengar aku ada alergi obat, petugas RS-nya kemudian menyuntikkan sesuatu di lengan kiriku. Untuk test alergi. Kulihat reaksi obat itu berbuih seperti mendidih membentuk gelembung (busa) kecil-kecil. Rasanya seperti serrrrr....

Selain itu aku sepertinya juga alergi kepiting, sebab setiap kesenggol daging kepiting sedikit saja, perutku seperti diaduk-aduk.

Terus aku dikasih gelang satu lagi di tangan kananku. Tadinya sudah ada dua gelang, sekarang jadi ada tiga dan warna-warni. Sayang aku lupa motretnya. Lumayan buat ganti sekumpulan aksesories gelang batu yang biasa kupakai dan terpaksa harus dilepas karena mau operasi ini.

Sambil menunggu itu kucoba berdoa dan ingat kata-kata ibuku kalau aku harus memantabkan hati dan pasrah sama Allah. Berharap semoga semuanya lancar.
Selama itu Kk yang mondar-mandir menyiapkan semua urusan yang diminta. Mulai surat-surat , beli popok di apotek, sampai kain untuk kubawa ke kamar operasi.

Tiba-tiba adikku Dodi datang, “Jam berapa jadwalnya?” tanyanya.
“Katanya sih jam 11.00 nanti. Tapi ya nggak tau lagi, soalnya kudengar hari ini dokternya operasi 5 atau 7 orang gitu lho...”  jawabku.
“Ya sebentar lagi...” kata adikku sambil melihat arlojinya.

Kemudian datang perawat yang sepertinya sedang hamil dan memeriksa selang infusku.
“Ibu pindah ke ruang operasi ya..., dan maaf tolong ditunggu di luar ya...” katanya pada Kk dan adikku sambil membuka selimutku.
“Lho, koq celananya belum dibuka? Berarti belum cukur bu?” katanya lagi begitu melihat di bawah selimut itu aku masih memakai celana panjangku.
Aku disuruh membuka celana panjang termasuk CD-ku dan berbaring untuk ‘diurusnya’.
“Nanti pemati rasa dilakukan dari pinggang ke bawah ya bu..” katanya. Sebetulnya aku pingin bilang kalau aku mau dibius total saja, tapi tidak sebuah katapun keluar dari bibirku.

Setelah selesai, kain selimut tadi diikatkan dipinggangku dan seorang petugas laki-laki datang membawa kursi roda.

Sebendel surat-surat, popok, dan kainku ditaruh di sisi kursi rodaku.
“Bapak dan mbak-nya silahkan ditunggu di ruang ujung sana, saya akan masuk lewat sini...”  kata petugas yang mendorong kursi rodaku ke adikku dan Kk.

Akupun didorong masuk ke sebuah ruangan yang ternyata sudah ada dua ibu-ibu muda duduk di kursi roda sepertiku di sana.

“Nah, sudah sampai bu...., tunggu giliran ya..., silahkan buat group trio ya...” kata petugas yang mendorongku tadi dan kemudian meninggalkan aku di situ. Posisiku berada di belakang dua ibu-ibu itu.

Dua orang ibu-ibu itu menoleh dan tersenyum padaku. Mereka berdua tampak ngobrol seru. Sepertinya teman lama yang sedang reuni.
“Ibu operasi juga?” tanya salah seorang.
“Iya, myom...” jawabku, “Ibu?” sambungku bertanya.
“Saya cesar bu.” Jawab ibu di depan kiri.
“Kalau ibu, cesar juga?” tanyaku ke ibu di depan kanan.
“Iya bu, saya anak kedua.” Jawabnya.

Subhanallah. Aku sempat blank melihat pemandangan dua orang ibu-ibu di depanku ini. Mereka begitu santai, bercerita-cerita sambil tertawa-tawa. Padahal beberapa saat lagi akan melahirkan.

Beda banget dengan suasana di ruang bersalin tempatku dulu yang akan melahirkan secara normal, tidak operasi. Ada erangan-erangan tertahan menahan sakit. Termasuk aku sendiri yang tidak bisa berbaring enak dan terus menggeliat-geliat karena sakit. Aku berusaha setengah mati untuk tidak mengeluarkan kata-kata keluhan dan hanya berdo’a segala macam do’a yang sempat terlintas. Semua do’a.

Kira-kira seperempat jam kemudian ibu di kanan depan dibawa masuk. Tinggal aku berdua ibu-ibu di kiri depan.

“Saya akan cesar kedua kali bu, tapi sebetulnya ini anak ketiga. Yang pertama meninggal dalam kandungan bu...” katanya.
“Saya belum pernah operasi. Kedua anak saya lahir normal, dan sekarang sudah besar-besar...” kataku.

Tidak lama, terdengar tangis bayi dari dalam ruangan. Satu kehidupan baru telah hadir ke dunia ini.

Tidak sampai setengah jam kemudian, ibu inipun dibawa masuk. Dan seperti tadi, tidak lama kemudian terdengar tangis bayi dari dalam ruangan.

Hatiku benar-benar masih kacau, tapi bukan karena balon merahku habis meletus lho ya... Aku masih tetap belum merasa mantab dan takut. Tapi aku harus terus melakukannya, pikirku.

Saat itulah aku jadi ingat kalimat-kalimat bijak saat menonton Drama Korea. Katanya, berani itu bukan tidak takut. Tapi berani itu adalah tetap melanjutkan ketika perasaan tidak berani itu datang. Jadi aku harus berani. Kata di Drama Korea: Hwaiting!!

Tapiii..., tau nggak. Ruang tunggu giliran ini sungguh sepi.  Hanya ruang kosong kecil sekitar 3X3 meter tanpa tivi ataupun perabotan lainnya. Suasananya terkesan dingin. Dan aku seolah sedang menunggu giliran untuk dijatuhi hukuman. Hiii....

Tiba giliranku dibawa masuk. Aku disuruh naik keranjang operasi. Disuruh duduk sebentar dan ditembak bagian belakangku dua kali. Nggak tau sebelah mana. Dess dessss!!

Kemudian disuruh berbaring, dan diapasang kain pembatas di daerah dada.
“Coba kakinya diangkat bu..., yang tinggi...” kata petugas.
“Sudah...” kataku sambil mengangkat kedua kakiku.
“Coba diangkat lagi bu....”
Kucoba mengangkat kakiku lagi, tapi koq nggak mau terangkat. Malah mulai kerasa kesemutan. Aduuuh...., pingin dipindah posisinya nih kaki..., nggak enak banget kan kalau kesemutan.
“Tolong dong kaki saya diangkatin sebentar, dipindahin posisinya. Kesemutan nih...” kataku.
“Ya memang begitu rasanya kalau dibius bu...” jawab petugas.
“Iya..., tapi tolong pindahin dikit deh, geser dikit gitu..., ini nggak enak banget rasanya...” aku tetap ngeyel. Tapi petugasnya nggak mau nurutin.

Haduuuuh, ini adalah momen paling tidak nyaman selama episode dibius. Sungguh aku ingin bangun dan menggeser sedikit kakiku. Tapi aku tidak bisa bangun karena kedua tanganku direntangkan dan sepertinya diikat.

“Ibu kalau ngantuk tidur aja, jangan dilawan, nanti pusing.” Entah siapa yang ngomong itu. Seperti suara dari antah berantah.

Aku memang mau tidur. Siapa juga yang mau lihat dokter mengobrak-abrik perutku, pikirku. Maka akupun tidur. Lep. Tidak dengar ataupun ingat apapun. Kapan dokternya datangpun aku nggak tau.

Ketika kubuka mata, kedua tanganku bersidekap di perut. Bajuku sudah bukan baju RS lagi. Selimut yang dililitkan di bagian bawahku tadi sudah berganti Kain Bali yang kubawa dari rumah. Ruanganpun sudah berganti dari yang tadi. Tapi aku masih belum bisa menggerakkan kedua kakiku.

Tampak di sisiku juga ada sebuah ranjang yang lain. Aku mencoba menengok, dan kulihat ibu yang tadi di depan kiriku tersenyum padaku. Kubalas senyumnya.
Tidak ada kata-kata yang terucap diantara kami, karena aku juga tidak tahu harus ngomong apa. Otakku masih kosong. Masih mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Sampai akhirnya ranjang si ibu tadi didorong ke tempat lain.

Tiba-tiba, dokter Luwang menghampiriku.
“Sudah selesai operasinya ya bu..., myom ibu sudah saya keluarkan. Gede lho bu..., segini...” katanya sambil membentuk bulatan dengan kedua tangannya.
“Cepat sembuh ya..., sekarang saya tinggal dulu...” katanya lagi. Aku masih juga tergugu. Tidak dapat berucap sepatah katapun. Ini mungkin yang disebut shock.
Ranjangkupun didorong ke tempat lain yang ternyata ke samping ibu tadi. Tapi perasaanku masih kacau balau dan kaki masih belum juga dapat digerakkan. Ada botol infus di sebelah kiriku. Kepalaku sih enteng.

“Bu, kita ke kamar ya sekarang...” akhirnya beberapa petugas dan perawat menghampri ranjangku. Mendorongku keluar dari ruang eksekusi ini.

Keluar dari lift, aku melihat Ndiek yang sepertinya sedang memastikan apakah yang sedang dilihatnya saat itu adalah mamienya.

Sampai di kamar, aku dipindahkan ke ranjang dan kedua kakiku masih belum dapat digerakkan. Sepintas kulihat ada Kk, Ndiek, adikku, dan suamiku. Tapi aku pingin tidur, belum pingin ngobrol. Jadi akupun tidur.

Bangun tidur, adikku sudah pulang. Sudah lewat maghrib ternyata.
Nggak lama kemudian suamiku pulang bawa motor Kk dan ngurusin rumah. Kk dan Ndiek yang bakalan campink di RS nemenin aku.

“Mamie pingin miring dong, punggungnya nggak enak nih...” kataku.
“Nggak boleh mie...” kata Ndiek.
“Boleh. Ayo kak, tolong pasang bantal di punggung mamie, mamie mau miring...” kataku. Kakiku masih belum bisa digerakkan, dan rupanya ada selang kateter yang dipasang. Aduh, ribet banget sih.

Dua orang anakku bingung. Antara mau nurutin maunya mamienya atau gimana.
Tiba-tiba perawat datang nganter obat.
“Suster, saya boleh miring kan?” tanyaku.
“Oh, boleh bu..., nggak apa-apa... Tetap bergerak seperti biasa nggak apa-apa...” jawabnya.

Baru deh Kk menaruh bantal boneka buat ganjal punggungku supaya aku bisa bertahan miring.

Ada jatah makan malam yang sudah disiapkan. Tapi siapa yang bisa makan di kondisi itu, sebab saat itu perutku sudah mulai terasa ngilu, ngilu, sakit, dan semakin sakiiit sekali... Setetes airpun tidak ingin kutelan.

Ketika selang infus di tanganku merah, Kk memencet bel memanggil perawat. Ternyata botol infusku sudah kosong. Diganti botol infus yang baru.
Kalau Cuma cairan infus yang dimasukkan ke tubuh sih nggak terasa apa-apa. Tapi ketika selang insusnya dimasukin obat, haduuuh...., itu baru terasa sakit.

“Suster, boleh minta pereda nyeri lagi dong..., ini perut saya sakit sekali...” kataku.
“Nggak boleh bu, sudah ada dosisnya yang diberikan tiap 8 jam sekali.” Jawabnya.
8 Jam sekali???!!! Astaghfirullah, bisa koít aku karena sakit.
“Kasih resepnya aja deh suster, biar ditebus sendiri sama anak saya ke apotek...” kataku lagi.
“Nggak ada ibu..., nanti sebentar lagi sudah reda koq sakitnya...” jawabnya.
“Ibu sudah buang angin belum?” tanyanya. Aku menggeleng. Males njawabnya. Orang minta pereda nyeri saja nggak boleh, pikirku.

Reda apanya?! Semakin lama sakitnya setengah mati. Haduuuuh, ini momen terparah setelah operasi. Sakitnya bukan main. Amit-amit banget aku nggak akan lagi mau operasi beginian. Kapok banget aku.

Sekitar jam 21.00 mbak Ririt, sobat Wanalaku datang dengan keponakannya. Aku jadi ingat ceritanya yang juga kesakitan waktu operasi serupa. Waktu itu dia sedang merayuku supaya mau operasi.

“Operasi itu memang sakit An, tapi ada obatnya koq buat ngatasi rasa sakit itu...” katanya.
“Mbak, obat apa yang kata mbak Ririt penghilang sakit itu..., kasih tau Rieke dong biar dia beli sendiri di apotek...” tanyaku.
“Sudahlah An, tahan sebentar. Ini aja sudah cukup koq...” jawabnya. Dan tetap nggak mau ngasih tahu biarpun aku tanya sampai berkali-kali.
Waaah, mbak Ririt ini nantang aku ya..., saking aku masih tidak berdaya. Coba aku sehat, kuajak gulat dia! Oh ya, kakiku sudah mulai bisa digerakkan.

Sekitar jam 02.00 atau 03.00 pagi, tiba-tiba perutku campur mulas, seperti ingin BAB.
“Kak, tolong anterin mamie ke toilet dong, kayaknya pingin BAB nih...”  kataku ke Kk yang sedang  kebagian jaga. Ndieknya lagi tidur. Tapi bangun juga begitu melihat aku turun dari ranjang berjalan ke toilet diantar Kk. Kk harus pegang botol infus dan kantong kateter.

Tapi sudah nongkrong lama sampai kesemutan di closet, tidak ada apapun yang keluar, bahkan sepotong kentutpun tidak.
“Bisa?” tanya Ndiek begitu aku dan Kk dari toilet.
“Nggak bisa. Nggak ada apa-apa yang keluar.” jawabku.
“Ya gimana ada sampahnya, orang mamie nggak mau makan apa-apa, minum aja nggak mau...” katanya. Aku cuma menggelengkan kepala. Siapa yang nafsu makan kondisi begini Dek...
Kuputus dulu ceritanya ya, biar nggak bosan.


Malang, 19 Mei 2019