Minggu, 29 Desember 2013

Serba Salah

                                                    Ibuku, di RSAL 30 Nopember 2013



Melihat dan menjaga orang terdekat sakit itu benar-benar suatu dilemma. Sungguh sangat serba salah karena rasa sayang yang kita punya terkadang dapat mengalahkan logika.

Ibuku sudah lama sakit, sudah bertahun-tahun mengidap sakit Gula atau istilah medisnya adalah Diabetes. Beberapa tahun terakhir ini tampaknya diabetesnya sudah menyerang ginjal sehingga ginjal menjadi berkurang fungsinya. Air seni yang harusnya terbuang keluar menjadi terhambat dan tidak lancar lagi pembuangannya. Perut ibukupun membesar seperti orang hamil sepuluh bulan, dua belas bulan malah.

Sekitar satu tahun lalu, ibuku sudah pernah mengalami tindakan medis berupa sedot cairan  dengan cara dicoblos secara langsung di bagian perutnya (aku lupa istilah medisnya apa), selain obat minum yang membuatnya amat sangat sering buang air kecil tiap malam sehingga dipakaikan diapers supaya tidak terlalu sering ke kamar mandi. Setelah itu, harusnya tiap 3 bulan sekali dilakukan ritual coblos perut ini, tapi ibuku selalu mengelak tidak mau dan mengulur-ulur waktu terus. Ya siapa sih yang mau masuk dan tinggal di RS, orang yang sehat aja bisa jadi sakit, apalagi yang sakit..., bisa lebih parah sakitnya karena bosan.

Selama ibuku sakit, ayahkulah satu-satunya orang yang selama ini ada dan selalu siap sedia merawat ibuku. Kami anak-anaknya hanya bisa menyalahkan ayah kalau tiba-tiba ibuku anfal karena salah makan sesuatu. Kami anak-anaknya selama ini tidak pernah mengetahui bagaimana perasaan ayahku selama merawat ibu.

Kenapa hanya ayahku saja yang merawat ibuku? Kenapa anak-anaknya tidak?
Pertanyaan ini dapat sangat telak mendepak perasaan kami anak-anaknya kalau saja dilontarkan dengan nada menuntut. Sebab, terus terang saja, bukannya anak-anaknya tidak ada yang mau merawat ibuku, tetapi adalah karena ibuku sendiri yang hanya merasa nyaman kalau ayahku yang merawatnya. Misalnya saja kalau ibuku merasa sakit di kaki,  hanya ayahku yang cocok dan benar cara memijatnya menurut ibuku. Ketika ibuku merasa pegal di punggung, hanya ayahku yang tahu letak pasti sakit itu dan bagaimana cara memijat yang benar. Mau ganti diapers, mau makan, apa menunya, seberapa ukurannya, semua hanya ayahku yang tahu.

Sebetulnya kasihan ayahku karena ayahku jadi tidak pernah punya waktu lagi untuk dirinya sendiri, hampir seluruh waktunya selama 24 jam adalah di sisi ibuku dan mengurusi semua keperluannya.

Beberapa waktu yang lalu, aku berkesempatan nungguin ibuku yang anfal dan harus nginep selama 10 hari di RS. Padahal aku baru saja 2 minggu balik dari Surabaya ketika adikku mengabari kalau ibu masuk RS. Akupun balik lagi ke Surabaya. (Waktu kutinggal kembali ke Bogor tempo hari, ibuku tampak baik-baik saja, hanya tampak agak kelelahan karena habis melakukan perjalanan darat PP Surabaya – Bogor – Surabaya, tetapi rupanya fisiknya tidak kuat menahan lagi rasa lelah itu).

***(Melihat kondisi ibuku yang sakit, harusnya perjalanan darat dari Surabaya ke rumahku (Bogor) kemarin itu tidak perlu dilakukan, tapi ibuku yang memaksa. Bahkan, kata adikku, kalau adik-adikku tidak ada yang bersedia menyupiri mobilnya, mereka berdua (ayah dan ibuku) akan berangkat sendiri, dan ayahku akan menyupir pelan-pelan…. Gimana coba?!
Terus terang dalam hati juga sering terpikirkan, kenapa ayahku harus selalu menuruti apa keinginan ibuku? Bukankah hal-hal semacam itu menurut logika adalah kelewatan? Harusnya kan bisa ditolak saja, toh ibuku tidak akan mungkin nekad merangkak dari Surabaya ke Bogor?
Itu tadi adalah pikiran dan perasaanku yang tidak pernah ikut merawat ibuku selama ini, yang bisanya hanya menyalahkan ayahku saja)***


Selama menunggu ibu di RS, aku berbagi tugas dengan adikku. Adikku selalu (bertugas) mengajak ayahku makan di luar RS, sekalian mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikiran ayahku dari rutinitasnya menjaga ibu sehari-hari. Adikku berkata, “Kalau kita nggak datang ke RS, apa bapak sempat makan ya? Orang ibu sama sekali nggak mau ditinggal bapak….” katanya. Aku baru tersadar, benar juga ya? Kan RS tidak menyediakan makanan buat penunggu pasien. Kondisi ibuku pasti baik-baik saja karena ada ayahku yang menjaga. Tapi kondisi ayahku, apakah terpikirkan?

Tugasku adalah menemani ibuku di RS dan berusaha mencegahnya melakukan hal-hal diluar control seperti misalnya keinginannya untuk ‘nggelosor’ tidur di lantai RS karena katanya tidur di kasur RS malah bikin badannya sakit semua, dan aku juga berusaha memijat bagian-bagian tubuhnya yang sakit walaupun mungkin pijatanku tidak senyaman pijatan ayahku.

Setiap kali ayah dan adikku pergi, ibuku selalu merengek minta turun biar bisa tidur di lantai RS. Yang ini aku benar-benar tidak pernah menurutinya walaupun hatiku sebenarnya tidak tega melihatnya tidur sambil duduk. Aku kan tidak tahu ada bakteri, kuman, atau monster apa saja yang bersarang di lantai RS ini.

Ada satu saat, ibuku merengek terus, menangis minta pulang karena sudah tidak tahan lagi (saat itu albumennya dianggap masih terlalu rendah, jadi belum bisa diambil tindakan medis dengan cara coblos perut itu), duduk sakit, berbaring tidak bisa karena perut besar, nafas sesak karena cairan perut yang sepertinya sudah sampai di ulu hati, tidurpun tidak pernah lebih dari lima menit, selalu kesakitan di mata kaki kanannya yang aku takut memijatnya karena kondisi kedua kakinya yang bengkak.

“Ibu sabar ya, ibu ingin apa, asal jangan minta pulang atau tidur di lantai…., nanti kalau aku tidak kuat menahan tubuh ibu terus kita nggelundung berdua gimana?” kataku sambil menahan mataku yang panas. Terus terang dalam hati aku sempat berdoa, kalau seandainya Allah mau memanggil ibuku sekarang, aku ikhlas, aku benar-benar tidak tega melihat penderitaannya. Mungkin orang akan menganggapku anak durhaka, ingin ibunya cepat meninggal, biar saja, mereka tidak tahu apa yang ada di dalam hatiku.

“Ibu mau jeruk.” jawab ibuku. Aduuuuh….., kenapa ingin jeruk? Itu adalah makanan yang juga dilarang untuk ibuku saat ini.
“Kayaknya nggak boleh bu, tapi nanti coba kutanyakan suster dulu ya, kalau boleh nanti kubelikan jeruk….”
“Boleh-boleh…, dikit aja koq…., pasti boleh….” katanya memelas. Aku benar-benar tidak tega, karena memang tidak ada makanan lain yang dapat masuk ke lambungnya dengan cukup. Bubur dua sendok saja katanya perutnya sudah penuh, nggak muat lagi.

Tidak lama, ada temanku datang menjenguk ibuku dengan membawa buah-buahan. Diantaranya ada jeruk dan anggur yang tidak boleh untuk ibuku. Ibuku terlihat menatap penuh nafsu pada buah jeruknya.
“Ibu minta jeruknya dong, dikiiiiit aja…., Cuma buat nyegerin mulut….” rengeknya ketika kami tinggal berdua.
“Kamu koq tega sih sama ibu…” katanya sambil mau nangis.
Akhirnya, sambil menunduk aku mengupaskan ibuku buah jeruk. Kucoba dulu, ternyata manis, tidak asam koq. “Ini bu, satu aja ya…. “ kataku sambil menyuapkan ibuku satu potong. Ibuku mengangguk kegirangan dan menikmati satu potong jeruk itu dengan kebahagiaan yang tampak jelas di matanya.
“Hmmm, segernyaaa…. Enak sekali…” desahnya. Aku menunduk menyembunyikan air mataku. Maafkan aku bu…, aku menyuapimu racun, kataku dalam hati sambil menangis. Gemuruhnya perasaanku seolah badai di lautan, sungguh sulit diungkapkan.
“Yang lain kusimpan ya bu, nanti aku dimarahi semua orang….” kataku sambil memasukkan jeruk yang sudah kukupas tadi ke dalam tasku.
Kurasa seperti inilah perasaan ayahku setiap ibuku merengek meminta sesuatu yang seharusnya tidak boleh untuknya. Kualami hal itu sekarang….. Maafkan aku yang selama ini hanya dapat menyalahkanmu Pak…., kataku dalam hati.

Saat ini kondisi ibuku agak membaik dibanding sebelum masuk RS. Kalau ditanya apakah ibuku sudah sembuh? Kurasa kondisi sembuh adalah mukjizat dari Allah, jadi kami sudah cukup bersyukur dengan kondisi ibu saat ini. Semuanya kuserahkan pada Yang Mengatur, Sang Pemberi Kehidupan.

Terimakasih pada semua teman, sahabat, dan saudaraku yang sempat menjenguk ibuku dan turut mendoakan kesehatannya. Semoga yang kalian lakukan Dibalas pahala yang berlimpah oleh Allah AWT. Aamiin.



Bogor, 29 Desember 2013
(kembali ke Bogor untuk ringkes-ringkes)

Selasa, 22 Oktober 2013

Seekor Anak Kucing Yang Sebatangkara




Beberapa hari lalu anakku membawa seekor anak kucing pulang ke rumah, katanya nemu di pinggir jalan. Kubiarkan saja, padahal sudah ada seekor ikan alligator dan seekor anak biawak yang jadi tanggungannya.

Seperti biasa, tiap memelihara anak kucing, kucing itu akan dimasukkan ke etalase paling bawah supaya kalau malam tidak kabur karena aku melarangnya membawa ke dalam.

Setiap akan berangkat sdan pulang sekolah, anakku selalu bercanda dengan anak kucingnya, digendong, diajak lari-larian, bermain bola, pokoknya anakku sudah mulai akrab dengan kucingnya. Eh, tiba-tiba saja si anak kucing kabur/minggat setelah diberi makan malam berupa beberapa sendok nasi goreng (maklum, emaknya yang punya kucing sudah teler sepulang kerja, jadi nggak sempat masak lagi…., sehingga beli nasi goreng adalah pilihan paling oke… hehehe…), padahal saat itu si anak kucing sudah kelihatan agak gemuk, lucu dan segar.

Akhirnya tidak ada kucing lagi di rumahku, dan setiap pulang sekolah anakku hanya memandang etalase yang kosong dengan harapan si anak kucing kembali.

Tiga hari kemudian…, ketika anakku akan berangkat sekolah, tiba-tiba aku melihatnya sedang mengelus-elus seekor kucing lagi di depan pintu pagar.
“Dia pulang sendiri mamie, tapi sudah babak belur…” kata anakku.
Kulihat, ternyata memang anak kucing yang tempohari minggat itu dan sekarang memang sudah jadi kurus, peot, tinggal tulang terbungkus kulit dan hampir tidak kuat berjalan. Anakku memasukkannya ke dalam etalase dengan diberi sepotong ayam goreng kemudian ditinggal pergi ke sekolah.
Sampai malam hari ayam gorengnya tidak disentuh oleh anak kucing itu, begitupun sampai keesokan harinya karena pagi-pagi aku melihatnya masih utuh.

                                                           berdirinya saja sudah oleng


“Mungkin dia maunya ikan dek, beliin ikan sana ke warung…” kataku sebelum anakku berangkat sekolah.
“Ikan cuek mie?” tanyanya.
“Iyalah, masak ikan paus…” kataku.

Setelah memberi makan kucingnya dengan sepotong ikan, anakku berangkat ke sekolah. Kucingnya tidak lagi dimasukkan ke etalase karena dia pikir si anak kucing sudah mulai tahu kalau pulangnya adalah ke rumah ini. Tapi kulihat ikannyapun tidak disentuh si anak kucing.

Aku kemudian menyapu warnet dan teras, tapi tidak kulihat anak kucing itu di manapun. Ternyata dia ada di seberang jalan, sembunyi dirimbun daunnya pohon sereh. Mungkin dia sedang mencari obat untuk dirinya sendiri, sebab kata nenekku dulu, tiap pagi kucing akan selalu makan rumput buat jamu.

Tidak lama kemudian si kucing melangkah tertatih menyeberang jalan menuju rumahku, tapi kemudian berhenti di ujung pagar. Kupanggil-panggil dia diam saja, berdiri mematung di situ. Kuambilkan lagi sepotong ikan yang dibeli anakku tadi dan kuletakkan di depannya, tapi dia tetap cuek. Pandangannya kosong.
Karena aku tidak tega, akhirnya kuangkatlah si anak kucing itu dan kutaruh di dalam etalase tapi kacanya tidak kututup. Kulihat dia tertatih berjalan menuju selembar kain yang disiapkan anakku buat tempat tidurnya.

                                                   beralaskan jaket buat tidurnya


Hari ini aku tidak kemana-mana, tidak ada kerjaan yang harus kukerjakan hari ini, sehingga tidak perlu keluar rumah.
Siang yang tadinya cerah tiba-tiba saja mendung dan hujan deras sekali disertai angin yang menderu-deru. Lampupun sudah dapat dipastikan mengalami pemadaman. Akupun makan siang di warnet sambil memandangi hujan (warnetku kosong dari pagi, mungkin karena hujan jadi pada malas keluar rumah).
Tiba-tiba kulihat anak kucing itu berdiri di pintu warnet, kubuka pintunya dan dia masuk. Kuberi sedikit sisa nasiku dan kucampur ikan yang tadi diberi anakku. Tidak disentuhnya. Tapi dia berdiam diri di dekatku. Dia mengikuti aku kemanapun aku pergi.
Dia mencari teman, takut petir dan geledek, atau haus kasih sayang?
Akhirnya kuambil jaket pengunjung warnet yang ketinggalan dan sudah berbulan-bulan tidak diambil pemiliknya untuk kujadikan alas tidur si kucing. Diapun tidur di sana, di sudut ruangan. Tubuhnya benar-benar lemah tanpa tenaga, maklumlah, dari kemarin tidak mau makan, dan tidak terdengar mengeong sekalipun.

                                                    habis diobatin dan minum susu



Aku jadi berpikir, apa yang sudah terjadi padanya di luaran selama tiga hari kabur kemarin? Apakah dia mengalami kekerasan seksual dari kucing-kucing jantan dewasa di luaran sana? (Emangnya manusia ya? Tidak punya adab,…..) Atau dia terlantar tidak ada yang memberinya makan selama tiga hari ini? Atau dia telah mengalami penyiksaan dari anak-anak manusia yang nakal-nakal? Ah, entahlah… yang jelas kondisinya memang mengenaskan.

Waktu anakku pulang dari sekolah menjelang maghrib, dia melihat keadaan kucingnya dan meminta uang buat beli obat tetes mata dan susu.
“Kasihan, kayaknya matanya sakit mie…” katanya.

Kulihat, kondisi kucing itu mungkin tidak akan melewati malam ini. Tapi biarlah, paling tidak anakku sudah berusaha untuk menyelamatkannya. Untuk malam ini, kuijinkan anak kucing itu dibawa ke dalam rumah dan anakku menaruhnya ke dalam kardus bekas mie instan yang diberi alas jaket tadi.

                                                            disuapin sari kurma

Ternyata benar firasatku, sebelum subuh, ketika aku terbangun dan menengok ke tempat anakku meletakkan anak kucingnya, kulihat kepala anak kucing itu sudah terkulai di pinggir kardus.
Anakku menggunting sebuah handuk bekas, membungkus anak kucingnya, kemudian dikubur di jalur hijau seberang jalan. Selamat jalan anak kucing....



Bogor, 22 Oktober 2013