Selasa, 11 Desember 2018

Deja vu



Pernah dengar kata deja vu kan? Pernah ngalami nggak? Suatu perasaan yang seolah sudah pernah melakukan hal yang sama sebelumnya.
Aku baca di artikel kesehatan, katanya sih sebagian besar manusia pernah merasakan sensasi deja vu ini dalam hidupnya. Mungkin sekitar dua atau tiga kali. Kalau lebih dari itu atau sering, sebaiknya diperiksakan kesehatan (dan mental) nya.
Nah Lo!!
Padahal aku tuh merasa sering lho mengalami deja vu. Walaupun secara terperinci dan detil, aku agak susah mengingatnya. Yang jelas, sering sekali di banyak aktifitasku, aku seolah pernah mengalami hal itu. Entah waktu mimpi atau sudah pernah benar-benar mengalaminya.
Ada sih penjelasan yang masuk akal lainnya, yaitu kemungkinan kita sudah pernah melakukan hal yang mirip di tempat yang mirip, sehingga memory otak menipu kita dengan merasakan seolah-olah sudah pernah.
Perasaan deja vu ini hanya sekian detik lho ya..., kalau lama ngerasakannya, berarti bukan deja vu, tapi sedang bernostalgia atau melamun.
Contohnya secara sederhana begini, ketika kaki melangkah turun dari kereta..., dan melihat suasana stasiun saat itu, tiba-tiba sekilas kita merasa kalau sudah pernah melakukan hal itu dengan kondisi yang sama. Sudah. Srettt, hilang begitu saja.
Tapi kalau rasa atau ingatan itu berlanjut, dengan melihat seseorang dari masa lalu tiba-tiba berdiri di depan kita. Saling pandang dan terpaku. Lidah terasa kelu. Jantungpun berdegup bak sedang lomba lari marathon.
Huft. Itu namanya ngarep.com.... 😁😁😁
Hehehe...., gimana..., pernah merasakan yang mana?
Kalau aku, kupikir aku sering merasakan sensasi deja vu itu dari mimpi, sebab seringkali mimpiku itu seperti sebuah kisah. Ada jalan ceritanya yang runtut dan bisa dinikmati.
Dulu sih aku rajin mencatat apa saja mimpiku begitu aku terbangun. Selalu ada kertas atau buku catatan di sampingku tidur, sehingga nantinya aku masih ingat apa mimpiku semalam dengan membaca catatan itu. Sebab kalau nggak langsung dicatat, pasti akan lupa.
"Sudah sarapan belum?" tadi pagi WA ku mencicit.
Pertanyaan ini pernah ditanyakan orang yang sama berpuluh tahun yang lalu. Bedanya, kalau dulu langsung diucapkan di depanku, sedangkan kali ini adalah via WA.
"Sarapan dulu sana, mukamu pucat. Sepertinya kamu masuk angin..." katanya.
"Memang kepalaku agak pusing sih, lututku juga gemetar..." jawabku.
"Makanya makan dulu sana, perutmu kosong itu. Kapan terakhir makan?" katanya.
"Apa iya aku kelaparan..., aku terakhir makan sih kemarin siang..." jawabku sambil berpikir, apakah betul kalau perut kosong, kepala jadi pusing.
Nah, kalau yang barusan itu aku sedang melamun, bukan deja vu. Aku memutar kembali memory berpuluh tahun lalu karena satu pertanyaan yang sama dengan masa yang berbeda, hehehe....
Deja vu-ku kali ini adalah, aku seolah sudah pernah menuliskan kata-kata dan kalimat yang sama, entah kapan dan di mana....



Status FB 12-12-2018

Senin, 26 November 2018

Cerpen : Di Ujung Tanjakan Cinta


Cerpen : Di Ujung Tanjakan Cinta


Jug ijag-ijug ijag-ijug..... Jug ijag-ijug ijag-ijug....

Commuter Line yang kunaiki mulai melambat ketika memasuki area Stasiun Bogor. Aaaah...., akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kota ini, pikirku dengan rasa hati yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Kita ga jemput Lo di Jakarta ya..., kita tunggu aja di Stasiun Bogor.” Semalam chat dari Indah memastikan kalau aku harus otw sendiri menuju Bogor setelah turun dari kereta yang membawaku dari Malang.
Kejam nian mereka!! Membiarkan aku menggendong sendiri carrier 60 liter di punggungku sambil membawa beberapa tentengan berisi Kripik Tempe, Coklat Tempe, Almond Cookies,  dan Pia pesanan mereka. Minta oleh-olehnya maruk, tapi nggak mau jemput.

Hawa panaspun secara nggak sopan langsung menyergap ketika kulangkahkan kaki menuju pintu keluar stasiun, sungguh berbanding terbalik dengan suasana di dalam Commuter Line yang sejuk damai sejahtera karena ber AC. Membuat wajah imutku serasa terbakar.  

Suasananya sih masih sama seperti dulu. Bedanya kalau dulu ada penjual Kue Gemblong di dekat pintu keluar, sekarang area stasiun benar-benar steril dari pedagang asongan. Tanpa sadar aku mengernyitkan dahi. Silau men!

Di pagar pembatas pintu keluar, tampak berderet wajah ceria makhluk-makhluk tersayangku sejak di SMA dulu. Mereka adalah Indah, Silva, Fani, Fahmi, Septian, dan .....Rendy! Lho, koq ada Rendy?!
“Nunaaa....., kangen ih sama Looo....” Indah, Silva, dan Fani serentak memelukku erat-erat begitu aku berdiri di depan mereka.. Kamipun berpelukan ala-alay sambil tertawa-tawa.....

Puas berpelukan, kami menghampiri para cowok yang menunggu dengan sabar di dekat loket. Akupun kembali memandang heran pada Rendy. Kenapa Rendy ada di sini?

Buntut  Lo pingin ngikut katanya...” Bisik Indah yang melihat keherananku. Haah?!! Rendy mau ikut?
“Kenapa Lo ada di sini sih?” Tanyaku pada Rendy yang seharusnya dia ada di Bandung.
“Emang ga boleh?” Balasnya bertanya. Rendy ini memang bagaikan buntutku karena sejak SD kami sudah berteman dekat. Bahkan ketika SMP dan SMA kami berbeda, dia tetap saja beredar di sekitarku. Makanya jangan heran kalau diapun mengenal baik sobat-sobitku di SMA.
“Kenapa pertanyaanku dijawab dengan tanya?” Jawabku.
“Jadi harus dijawab nih?” Katanya tetap dengan nada bertanya.
“Ya udah sih, biarin aja Rendy ikut. Dia sanggup nyetir sendiri sampai ke sono...” Sahut Fahmi.
“Nyetir sendiri? Kita bukannya pakai motor?” Tanyaku. Aku benar-benar tidak tahu perubahan rencana terakhir ini, yang tiba-tiba saja ada Rendy juga.

Dulu, sejak SMA, setiap tahun aku and the gank ini selalu merefresh hati dan pikiran dengan jalan-jalan ke Perkampungan Baduy di Kabupaten Lebak Banten, karena kebetulan kami sama-sama anggota Pecinta Alam di Sekolah.

Tapi sejak aku kuliah di Malang dan keluargaku ikut menyusul pindah beberapa tahun lalu, aktivitas tahunan itupun jadi terlewatkan olehku. Aku jarang sekali main lagi ke Bogor. Di banyak kesempatan, terutama liburan, aku sibuk menyatroni wilayah Bromo Tengger Semeru buat nganterin tamu, aku nge-guide nih ceritanya.

Sampai akhirnya beberapa hari lalu, tiba-tiba my gank menyuruhku mampir ke Bogor, terus ke Baduy dulu sebelum aku berniat nyamperin Rendy di Bandung yang minggu depan mau wisuda.

“Pakai motor aja..., biar pulangnya santai, nggak harus dikejar-kejar jadwal kereta dari Rangkasbitung. Start dari Bogor kita lewat Jasinga.” Kata Septian beberapa hari lalu di group my gank. Rencana perjalanan dan pembagian tugas sudah deal sejak itu.

Terus, gimana ceritanya si Rendy tiba-tiba ngikut dan bawa mobil? Itu pertanyaannya.

“Kita naik mobil aja yaaa...., biar Lo nggak capek ngegendong carrier.” Rendy menjawab pertanyaanku tadi sambil melepas carrier dari punggungku. My gank spontan terkena batuk berjamaah melihat perlakuan  Rendy padaku. Uhuk. Uhuk. Huk. Huk. Huk.

“Tapi Lo kan belum pernah main ke hutan. Ngapain ikut?” Jawabku mengacuhkan suara batuk yang saling menyalak bersahutan.
“Makanya sekarang gue mau ikut. Nanti kalau pulangnya Lo pingin langsung balik ke Malang juga gapapa deh...” Kata Rendy sambil merengkuh bahuku dan mengajak jalan ke tempat parkir.
“Kenapa gue nggak boleh ke Bandung? Apakah harus ada yang gue curigai?” Sergahku.
“Siapa bilang nggak boleh?” Selalu tanya yang berbalas tanya. Huh.
“Hoiiii, kita tetap jalan bareng atau pulang ke rumah masing-masing aja nih?” Kata Fahmi menyindir. Hehehe..., maafkeun ya gank.... Rendy ini memang kadang suka lebay gini.

“Mi, Lo apa Septian aja deh yang duduk depan, nemenin gue melek.” Kata Rendy ketika melihat Fahmi dan Septian yang memposisikan diri mengambil tempat duduk di bangku paling belakang.
“Ogah, gue mau tidur.” Jawab Fahmi, yang disambut anggukan setuju oleh Septian.
“Lhah gue kagak tau jalan....” Kata Rendy sambil menyalakan musik. Teman Hidup by Tulus.
 “Pakai maps! Susah amat sih hidup Lo!” Sahut Indah sambil menyusul Silva dan Fani yang duduk di bangku tengah.

 Dia indah meretas gundah, Dia yang selama ini kunanti/Memanja sejuk, memanja rasa/Dia yang selalu ada untukku/

Nada-nadanya memang harus aku yang duduk di depan menemani Rendy melek dan nyetir. Hoaahhmmm...., padahal aku juga ngantuk karena semalam di kereta  nggak bisa tidur gegara ada yang nyalain musik kencang-kencang. Berisik banget. Nggak seperti suara Tulus ini nih.

Di dekatnya aku lebih tenang/Bersamanya jalan lebih terang/

“Kita ke Rangkasbitung ya Mi?” Tanya Rendy sambil mengaktifkan maps di hpnya.
“Iyaaaa!!” Fani dan Silva serentak menjawab.
“Eit, ngapain....?! Langsung aja tujuan Ciboleger.” Sahut Septian.
“Kan biasanya kita ke Rangkas dulu...”  Kata Indah.
“Itu kalau naik angkutan umum, kita ke terminal Rangkas buat cari kendaraan yang ke Ciboleger.”  Kata Septian.
“Jadi, langsung ke Ciboleger nih....” Rendy memandang padaku minta persetujuan.
“Iya ‘kali....” Aku mengangguk tak pasti.
“Gimana sih....” Sungut Rendy sambil mendengus, “Nyasar bodo amat nih ya.”  Katanya sambil mulai menjalankan mobilnya menyibak mentari yang menyengat.

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Bila di depan nanti/Banyak cobaan untuk kisah cinta kita/Jangan cepat menyerah/Kau punya aku, ku punya kamu, selamanya kan begitu/

Suara Tulus membuat kantukku semakin menggayut ketika sejauh mata memandang, di depan mata adalah lautan mobil pribadi dan angkot yang sedang saling berebut jalan. Macet.

“Makan dulu yuk!! Gue lemes nih...” Aku hampir melompat  mendengar suara Rendy yang tiba-tiba membelah mimpi. Bagaikan suara petir Dewa Zeus yang menggelegar di siang bolong menyambar kepalaku. Eh, bukan ding...., ternyata tangan Rendy yang menyentuh kepala membangunkanku. 
Aku mengerjabkan mataku. Yihaa!! Ajaib!!  Baru juga sekerjaban mata, ternyata kami sudah sampai di....., tunggu, kulihat dulu sekeliling....., ternyata ada di depan Tugu Singa! Artinya kami sudah sampai di Jasinga, dan Rendy juga sudah memarkir mobilnya di depan sebuah warung lalapan.

“Cepet amat sampai sini, baru juga berkedip.” Kataku dengan mata berat.
“Enak aja berkedip!! Lo ngorok sejak masuk mobil...” Sahut Indah dari belakang kupingku. Ah, apa iya?! Terus siapa dong yang nemenin Rendy melek? Aku mengikuti langkah kaki mereka memasuki warung lalapan.

Ajaib!! Lagi-lagi ajaib!. Ternyata setelah perut kenyang mataku jadi melotot lebar, sedangkan menurut teori, biasanya kalau perut kenyang kan mata jadi ngantuk. Sepertinya dunia sedang berbalik 180 derajat buatku. Semoga ini awal yang baik. Aamiin.

“Yuk kita lanjuuut, masih setengah perjalanan lagi kan ke Ciboleger?” Kataku bersemangat.
“Iya yuk, buruan...., biar ga kemalaman nyampenya...” Fani menimpali sambil bergegas naik ke mobil.
“Kita keburu kan Mi?” Tanyaku pada Fahmi sambil melirik Rendy. Posisi duduk di mobil masih seperti tadi.
“Kalau menurut langkah kaki gue sih insha Allah keburu. Maximum maghrib deh...” Jawab Fahmi.

Langkah kaki penduduk lokal pasti keburu, jalan mereka cepat sekali. Langkah kaki Fahmi dan Septian insha Allah keburu. Langkah kakiku, Indah, dan Fani, semoga juga keburu. Terus langkah kaki Rendy? Aduuuh....., gimana nanti langkah kaki si Rendy ini???? Perjalanan pakai kaki nanti bisa 4 sampai 5 jam lho....

Rasa galau memikirkan bagaimana langkah kaki Rendy nanti sedikit terobati dengan tersajinya pemandangan elok nan rupawan dari negeriku tercinta ini. Hawa sejuk khas alam pegunungan sungguh membuat hatiku berbunga-bunga. Melupakan segala lara yang ada. Bukit berbunga..., bukit yang indah... Kalau tidak salah, jaman dulu ada syair lagu seperti itu, jamannya mamaku.

Waktu terus merangkak, dan tidak seperti tadi ketika aku berkedip sekali tiba-tiba sudah setengah perjalanan, kali ini sudah sampai berkejab-kejabpun ternyata belum nyampai juga. Berarti tadi aku tertidur lumayan lama ya..., hehehe... Sorry Rennn...., kedua mata cantikku tidak mampu menahan kantuk.

                                                            ***   ***

Ciboleger. Gerbang menuju Bumi Kanekes tegap menyapa. Seolah memanggil semua jiwa untuk berbahagia ketika melewatinya. Ada rindu yang membiru, menggayut di ujung ranting bambu malu-malu. Membuat hati tidak tahan untuk tidak mencintainya.

Suasana Baduy sudah terasa kental sekali, terlebih ketika di toko-toko sepanjang jalan menuju gerbang masuk rata-rata memajang kain  ikat kepala tradisional masyarakat Baduy yang berwarna biru dengan corak khas mereka.

“Sep, Lo cari si Aa’ yang biasa nemenin kita, gue udah kontak dia kemarin, sekarang gue ke Jaro dulu...” Kata Fahmi pada Septian. Septian mengangguk dan berjalan menuju sekelompok laki-laki berikat kepala warna putih dan berbaju putih atau hitam. Di bahunya tergantung tas tradisional khas Baduy. Mereka adalah orang Baduy Dalam yang siap mengantar pelancong-pelancong menembus hutan dan huma menuju pekampungan mereka.

“Mobil diparkir sini aja nih?” Tanya Rendy sambil membuka pintu bagasi dan mengeluarkan bawaan kami.
“Harusnya sih jangan ditinggal di sini. Harusnya  Lo gendong naik sampai ke atas...” Jawabku. Indah, Silva, dan Fani ngakak mendengar kata-kataku.
“Daritadi jawaban Lo ke gue ngeselin abis dah...” Kata Rendy sambil melotot dari balik kaca mata minusnya.
“Iya..., gue juga perhatiin tuh...” Timpal Silva sambil senyum-senyum kompor. Indah dan Fani mengangguk-angguk. Aku mendengus lirih. Mereka tahu kalau aku pasti kesal memikirkan nasib Rendy nanti. Kalau kami kan memang sudah biasa berkutat dengan alam lepas, mau ke gunung kek, hutan kek, no problemo. Lha ini, Rendy, si Tuan Arsitek yang biasanya cuma berkutat dengan diktat, proyek, dan mall, eeeh...., tiba-tiba ikut! Haduuuhhh.....

“Mana Septian, belum balik dia?” Tiba-tiba Fahmi muncul. Kami menggeleng. Septian belum nampak.
“Mi, ini yang mau dibawa yang mana aja nih?” Rendy menunjuk bawaan kami.
“Semua, kecuali carrier Nuna sama oleh-olehnya .... Tapi terserah sih, ‘kali aja anak-anak mau bawa....” Jawab Fahmi.

Biasanya kami memang tidak membawa banyak perlengkapan tiap jalan ke sini, paling juga sepasang baju cadangan, jaket, snack, dan air. Kan besok juga sudah balik.

Setelah menitipkan mobil ke petugas pengelola parkir, kami mulai berjalan pelan-pelan memasuki gerbang wilayah Baduy, sambil nunggu Septian yang belum juga nongol. Di kanan-kiri jalan setapak dekat gerbang ini, ada rumah-rumah tradisional beratap jerami, berdinding anyaman bambu, berbentuk panggung yang menjual pernak-pernik dan asesoris khas Baduy. Mulai dari gelang, gantungan kunci, teko, gelas, sendok garpu, tas, selendang, kaos, dan lain-lain yang semuanya dibuat dari bahan-bahan alami seperti serat kayu dan batok kelapa. Di beberapa rumah juga tampak ada ibu-ibu yang sedang menenun selendang dengan alat pintal tradisional. Sungguh pemandangan yang menyejukkan hati.

“Hoii..., kita langsung jalan nih?” Tiba-tiba Septian muncul dari arah belakang bersama si Aa’dan seorang anak kecil sekitar umur sepuluh tahunan.
“Maaf, tadi lagi di toko sekalian belanja...” Kata si Aa’sambil menyalami kami satu persatu. Begitu juga si anak laki-laki tadi. 

Aa’ini dulunya tinggal di Baduy Dalam, tapi setelah menikah tinggal di Baduy Luar. Orangtuanya masih tinggal di Baduy dalam, dan anak laki-laki kecil itu adalah adiknya.

“Ah, nggak apa-apa A’.... Oke, kita langsung jalan aja deh...., ya guys?!” Kata Fahmi sambil memberi isyarat pada kami untuk mulai jalan.
Si Aa’ jalan di depan bareng Fahmi, terus diikuti Fani, Silva, Indah, Aku, Rendy, Septian, dan terakhir adalah adik si Aa’.

“Si Rendy tanggung jawab Lo ya...” Septian sempat berbisik padaku sebelum kemudian dia menempati formasi di belakang Rendy. Aku hanya mengangguk pasrah.

Jalanan berbatu dengan tanjakan dan tikungan tajam saling silih berganti. Huma dan hutan sesekali juga silih berganti. Pemandangan luar biasa mempesona saja yang selalu setia mengiringi kami.

Untuk menghemat nafas, kami juga tidak banyak bicara. Semuanya fokus pada langkah kaki masing-masing.

Perjalanan satu jam masih terlampaui dengan mulus. Masuk hitungan dua jam, ritme langkah kaki Indah mulai kendor. Aku dan Rendy mengganti posisinya. Indah melangkah di belakang Rendy.

Masuk jam ketiga, iring-iringan kami mulai berjarak. Tidak sengaja terbentuk kelompok-kelompok  kecil yang mulai sering berhenti untuk beristirahat.

Si Aa’, Fahmi, Fani, dan Silva tetap konsisten dalam langkah di depan. Indah yang dijaga Septian dan adik si Aa’ semakin melambat. Aku dan Rendy di tengah-tengah dengan kondisi juga mulai melambat.

Entah kenapa, tiba-tiba saja perutku terasa mual dan kepalaku jadi berat. Otomatis dua hal itu membuat irama langkahku tidak sinkron lagi dengan otakku. Tapi gengsiku lebih mengalahkan lunglaiku. Masa’ kalah sama Rendy yang baru sekali ini seumur hidupnya menggunakan sepasang kakinya untuk berjalan jauh mendaki bukit menuruni lembah? Jadi ingat Ninja Hatori film kartun di TV jaman dulu.

“Na..., semalam gue mimpi dihadang Harimau Putih waktu jalan begini. Kira-kira ngaruh nggak sama perjalanan kita ini?” Tanya Rendy.
“Nggak ada hubungannya sama sekali. Mimpi itu kan  waktu Lo tidur...., nah sekarang Lo jalan kaki beneran, bukan tidur. Lagian, di sini ga ada binatang buas, apalagi harimau.” Jawabku.
“Mungkin ada mitos-mitos apa gitu?” Tanya Rendy lagi.
Ga ada Reeennn.... Cuma selama di sini ya kita harus ikuti aturan-aturan mereka. Mereka punya kearifan lokal yang terjaga secara turun temurun dari nenek moyangnya...” Jawabku.
“Paling nanti tuh, di Tanjakan Cinta depan situ tuh. Katanya, kalau Lo bisa ngelewatinnya dengan lancar, maka kisah cinta Lo nantinya juga bakalan lancar...” Sambungku.
“Emang iya gitu?! Kata siapa?”
“Kata gueee...., kan barusan juga gue yang bilang...” Sahutku sambil menahan mual yang rasanya semakin mengaduk-aduk perut.

Langkahkupun semakin berat karena kepalaku semakin pusing. Kelompok Fahmi menghilang di tikungan depan, kelompok Indah terhalang tikungan di belakangku. Kakiku melemas, aku terduduk di sebuah batu, hampir muntah. Rendy segera melepas tas punggungku dan meraba dahiku.

“Perut gue Ren.... Sama kepala gue....“ Aku mengernyit menahan sakit.
“Minum dulu nih!” Rendy menarik tubuhku menyender ke dia dan memaksaku minum. Aku minum seteguk.
Lo masuk angin ini. Istirahat aja dulu..., lurusin kaki...” Katanya sambil tetap memaksaku bersender padanya dan menuangkan minyak kayu putih ke tanganku. “Gosokin di perut.” Katanya.  

Aku menurut dan memejamkan kedua mataku. Sejenak, dua jenak. Kenapa rasanya nyaman sekali berada dalam dekapan Rendy? Tidak ada rasa canggung, tidak ada rasa gengsi, tidak ada yang kupikirkan lagi. Rasanya ingin begini terus. Seolah berasa di rumah.

Tapi itu tidak mungkin terus kulakukan. Aku harus bangun. Perjalanan masih panjang. Masih harus melewati tanjakan terheboh itu, Tanjakan Cinta yang panjangnya sekitar setengah kiloan.
“Jalan lagi yuk, gue sudah enakan koq...”  Kataku sambil bangkit dari zona nyaman dan meraih tas punggungku.
“Sudah, biarin sama gue....” Rendy menggendong tas punggungku di depan dadanya.
“Ini yang tadi gue bilang Tanjakan Cinta...., Lo jalan duluan deh. Gue ngerangkak aja pelan-pelan...” Aku mendorong tubuh Rendy supaya berjalan lebih dulu ketika kami sampai di depan tanjakan.  

Tapi Rendy meraih tanganku dan setengah ditariknya supaya aku tetap melangkahkan kakiku bersamanya melewati tanjakan cinta yang seolah tak berujung. Genggaman tangannya kokoh dan mantap menggenggam tanganku.

Dua kali aku terpeleset dan tiga kali hampir tiarap kalau saja Rendy tidak menahan tubuhku. Kenapa Rendy si anak kota ini tiba-tiba sekarang jadi Superman di pedalaman ini? Kenapa ternyata tenaganya tidak setipis tubuhnya? Kenapa juga dia seolah tahu apa yang harus dilakukannya di tempat seperti ini? Bukankan ini adalah pengalaman pertamanya? Kepalaku pusing lagi memikirkan berbagai pertanyaan tentang Rendy. Nyut nyut nyut.

Akhirnyaa!! Ulalaaa!!!

Tanjakan Cinta yang seolah tak berujung inipun sampai pada ujungnya, dan kemudian menampakkan wajah- wajah yang tadi sudah jauh di depan kami, Fahmi cs yang sedang duduk beristirahat sambil makan-minum dengan santainya.

Lo kenapa Na?” Tanya Silva yang mungkin melihat pucatnya wajahku.
“Mau pingsan dia...” Jawab Rendy. Siapa juga yang pingsan, pikirku. Tapi aku malas membantah, jadi aku diam saja, sibuk mengatur nafas yang tinggal satu-satu.

Aku merebahkan tubuhku di rerumputan. Dengkulku mau copot. Rendy duduk di sampingku sambil memijit telapak tangan dan jari-jariku. Lumayan juga, sakit kepalaku jadi berkurang. Sampai akhirnya Indah cs tiba dan ikutan tiarap tidak jauh dariku. Warna mukanya sudah merah seperti kepiting rebus.

“Gimana, termasuk lancarkah langkah gue ketika tadi melewati Tanjakan Cinta?” Tanya Rendy ketika aku nyaris tertidur. Aku mengangguk dengan mata terpejam.
“Berarti kisah cinta gue nanti lancar dong?” Tanya Rendy lagi. Aku mengangguk lagi sambil mata tetap terpejam.
“Apakah dalam mitosmu juga disebutkan, kalo yang ngelewatin adalah cowok-cewek, apa nanti mereka bakalan jadian?” Tanyanya  lagi. Aku melotot. Haahhh??!!
Mitos darimana itu?!” Fani yang mendengar kalimat Rendy langsung menyahut.
Mitosnya Nuna...” Jawab Rendy.
“Tapi gue nggak bilang ada acara jadian segala...” Sanggahku sambil bangun dari rebahan dan duduk. “Minyak kayu putihnya tadi mana?” pintaku ke Rendy.
“Jadi maksudnya Lo nggak mau jadian sama gue?” Tanya Rendy sambil memberikan botol minyak kayu putih.
Lo gila ya?!” Balasku.
“Serius ini.... Lo mau ga kalo kita jadian?” Rendy menatapku sambil tersenyum. Aku terhenyak. Masih belum yakin dengan kupingku. Jadi ceritanya si Rendy nembak aku nih? Nggak ngasih coklat, nggak ngasih bunga.... Malah ngasih botol minyak kayu putih. Nggak romantis amat!!

Kulihat wajah para sohibku tampak tidak terkejut. Mereka cuma senyam-senyum nggak jelas. Aku jadi curiga mereka memang sudah tahu.

“Abaikan dulu mereka, jawab gue..., mau nggak?!” Desak Rendy.
Lo berharap gue jawab apa?”.Aku masih berusaha mengelak.
“Jawaban apa itu, jelas aku maunya kamu jawab iya.”  Kata Rendy.

Lho..., koq dia jadi menyebut aku dan kamu, bukan Lo gue lagi....

“Aku maunya besok kamu datang ke wisudaku sebagai pasanganku, bukan sekedar teman kecilku. Apa selama ini kamu nggak pernah sedikitpun punya rasa yang berbeda padaku? Nggak pernah sekalipun mencoba menganggap aku sebagai orang yang lain? Padahal mereka aja tahu kalau aku suka sama kamu, masak kamu nggak ngerasa sih?” Sambungnya panjang lebar. Edan dia, ini semua dikatakan di depan publik men!

“Perjalanan ini sudah direncanakan sejak sebulan lalu, termasuk Fahmi jalan jauh di depan dan Indah jadi lelet. Sejak itu juga aku joging tiap hari. Latihan fisik. Biar nanti di sini minimum aku nggak bikin kamu jengkel... Eh, ternyata kamu pakai acara masuk angin segala, jadi deh rencanaku biar nampak keren di matamu makin mulus. Aku tadi keren kan?”
“Iya, keren! Tapi apa kamu pikir aku akan menjawab tidak, koq kamu ngomongnya jadi banyak banget gitu?” Aku berusaha menahan malu ketika akhirnya mengatakan itu. Kurasakan pipiku panas sekali seperti terkena tamparan, tapi tamparan cinta lho yaaaa....
“Artinya kamu mau?”
Aku mengangguk. Tersipu. “Iya. Aku kan bukan robot yang nggak bisa merasa...” Jawabku. Selama ini aku memang merasa nyaman dengannya. Nyaman dengan semua perlakuannya padaku, sehingga tidak merasa perlu mencari orang lain dalam banyak hal. Mungkinkah itu cinta?
Yessss!!!! Makasih sudah mau menjawab Iya.”  Rendy mengacaukan rambutku dengan gemas.

Horeee...., cie-cieee....., suit-suittt..... Rame sekali sambutan pemirsa melihat tontonan live di depan mata. Kecurigaanku terbukti, mereka sudah tahu tujuan Rendy ikut kali ini dan mendukungnya. Dasar, sekongkolik....!!

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Kau milikku, ku milikmu/Kau jiwa yang selalu aku puja/



                                    ***                  selesai              ***



           
2 Nopember 2018

Cerpen : Janji Yang Terhapus


Cerpen :  Janji Yang Terhapus
Oleh : Rieke Aria Saputri


(Saat pikiran melayang)

Setelah menyiapkan meja dagangan seperti biasa, akupun menyandarkan punggung di kursi kebesaranku sambil menunggu pembeli.

Sementara di depanku, kulihat Bu Soto yang selalu duduk terkantuk-kantuk sambil mendengarkan suara radio di sampingnya, yang membuatku kadang bertanya dalam hati, sebetulnya Bu Soto itu benar-benar sedang mendengarkan radio atau tidur?

Aku tersenyum mendengar suara Tulus menyanyikan Ruang Sendiri dari radionya. Lagu yang sering diputar anakku, anak muda jaman sekarang. Oke juga frekwensi pilihan Bu Soto ini.

Beri aku kesempatan tuk merindukanmu/Jangan datang terus/Beri juga aku ruang bebas dan sendiri/Jangan ada terus/Aku butuh tahu seberapa kubutuhkanmu/Percayalah rindu itu baik untuk kita

Kuraih HP dan melihat berapa banyak notice di WA yang belum kubuka. Tiba-tibakan kurasakan sensasi dejavu.

Wow, ada ratusan di group ini, ada ratusan lagi di group itu...., resiko punya banyak group di WA ya begini. Kadang malah HP sampai hank karena memorynya kepenuhan.

Kusentuh group SMAku yang tampak paling banyak noticenya. Hampir 400. Padahal baru semalam saja HP ini tidak tersentuh, pikirku.

[Teman-teman, ada pesawat hilang tadi pagi, aku jadi ingat almarhum suamiku....] Tulis Wati.

Yang kemudian dibalas dengan berbagai ucapan prihatin dan pertanyaan yang berkaitan dengan peristiwa itu dari teman-temanku lainnya.

Kemudian ditambah postingan berita terakhir tentang pesawat yang baru jatuh tadi pagi.  Ratusan percakapan sibuk membicarakan tentang kondisi  kecelakaan pesawat hari ini.

Aku tertegun menatap ratusan percakapan itu dengan pikiran bercampur aduk di dalam kepalaku. Tidak tahu harus bagaimana.

Apakah ikut menyatakan prihatin pada Wati seperti lainnya, atau diam saja tidak bereaksi seperti biasanya dan hanya cukup dengan menjadi pembaca saja? Bimbang membuatku membeku.

Suami Wati adalah seorang pilot dan kebetulan juga adalah seseorang yang pernah menempati salah satu sudut relung hatiku.  Salah satu tempat tersembunyi yang selalu terjaga di sana untuk waktu yang lama.

Jadi bukan hanya dia saja yang kembali teringat pada peristiwa menyedihkan itu. Aku juga. Aku juga punya cerita sedih tentangnya. Tentang kami berdua.

Memang hubungan kami adalah masa lalu.

Sama seperti dia yang sudah punya Wati, akupun punya seseorang yang lain dalam hidupku. Kami sudah punya cerita dan kehidupan masing-masing.

Hanya saja ibarat sebuah kisah, terkadang ada kisah yang tidak terselesaikan. Yang berawal tapi tidak berakhir, yang mungkin belum berakhir, atau yang memang tidak pernah ada akhirnya.



(Masuk ke lorong waktu)

Anganku melompat liar pada waktu itu, hari minggu setelah subuh, di akhir bulan April.

Tiba-tiba ada pesan japri darinya, [Sudah bangun belum? Cepat cuci muka dulu...!]
[Kenapa harus cuci muka?!] tanyaku.
[Kalau gitu, cepatlah mandi dan temani aku menghitung rusa di halaman istana] katanya.
[Rusa apa? Istana apa?!] tanyaku tidak mengerti.
[Rusa di Istana Bogor] jawabnya.

Istana Bogor?! Sepertinya dia sedang bermimpi.

[Apakah hari ini kamu ada waktu seharian?] tanyanya lagi.
[Kurasa bisa kuusahakan] jawabku.
[Kalau begitu, jam berapa kamu bisa kemari secepatnya? Tolong bawa motor  ya...]
[Ke mana???] aku masih belum mengerti.

Aku memang tinggal di Bogor, tapi dia tinggal di Medan.

Bagaimana mungkin aku harus ke tempatnya naik motor? Kecuali...., dia saat ini ada di Bogor!

[Kamu....., di..... Bogor?] tanyaku.
[Ya iyalah. Itu Gunung Salak ada di depan mataku]  jawabnya. Gubrak!! Ternyata dia masih tetap gila seperti dulu.

Tidak sampai satu jam kemudian aku sudah duduk di Lobby Hotel di depan Kebun Raya tempatnya menginap tadi malam, menunggunya turun dan sekalian check out.

Melihatnya keluar pintu lift dari tempatku duduk, kami sempat saling tatap tanpa kata ketika untuk pertama kalinya berjumpa seperti ini, setelah sekian puluh tahun berlalu.

Dia tidak memakai pakaian dinasnya dan hanya membawa sebuah ransel di bahu kirinya. Beberapa hal masih tampak seperti dulu. Hanya bertambah beberapa kerut wajah saja yang menandakan jenjang waktu yang berjarak sangat lama antara kami.

“Terimakasih kamu mau datang.” katanya. Aku mengangguk kecil.

Menepis canggung, aku segera bangkit dari dudukku dan mendahului ke arah pintu keluar, “Terus, mau ke mana kita naik motor seharian?” tanyaku.

Ternyata motorku ditinggal di penyewaan mobil dekat stasiun untuk jaminan, dan kamipun meluncur menuju Serang dengan mobil sewaan.

“Ada apa di Serang? “ tanyaku.
“Sebetulnya aku ingin mengajakmu ke Kampung Baduy, tapi waktuku terbatas hanya hari ini, nanti malam aku harus terbang kembali ke Medan. Dan kubaca berita, kebetulan tiga hari ini ada Festival Seba Baduy di Serang...., jadi kita coba lihat ke sana aja ya...” katanya.

Iya, betul. Aku jadi ingat, beberapa waktu lalu aku sempat baca promosinya di salah satu Medsos. Festival Seba Baduy yang diadakan tiap tahun sekali sudah dimulai sejak dua hari lalu.

Sebetulnya acara ini adalah semacam Upacara Adat Masyarakat Baduy yang sudah dilakukan sejak Kesultanan Banten dulu untuk bertemu dengan Ayah Gede (Pemimpin Pemerintahan, yang di masa sekarang adalah Gubernur Banten), untuk menyampaikan unek-unek mereka dan menyerahkan hasil bumi.

Seba Baduy ini sebelumnya diawali dengan melakukan ritual Kawalu selama  3 bulan (semacam puasa). Dan selama masa itu,  wisatawan tidak diperkenankan memasuki 3 Desa Kampung Baduy Dalam. Selama 3 bulan itu, masyarakat Baduy Dalam benar-benar tidak berhubungan dengan orang luar. Kearifan lokal dalam upaya menjaga tradisi dan kelestarian wilayahnya.

Hebatnya lagi, masyarakat Baduy melakukan perjalanan dari Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, menuju Serang dengan berjalan kaki  tanpa alas kaki. Telapak kaki mereka memang setebal sepatu boot.

Masyarakat Baduy mengamalkan ajaran turun temurun dari Kokolot atau Leluhur yaitu Ajaran Kejujuran Apa Adanya.

Lojor teu meunang diteukteuk, pendek teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Juga ajaran Luhur tentang Keikhlasan dan Pelestarian Alam, yang sangatlah dipegang teguh dan dipatuhi oleh masyarakat Baduy. Tidak heran kalau budaya masyarakat Baduy ini yang dijadikan semacam icon kebanggaan Propinsi Banten.

Setelah dua jam perjalanan lewat Tol yang membosankan, akhirnya Alun-alun kota Serangpun ada di depan mata.  

Perhelatan besar kemarin masih meninggalkan lapak-lapak tempat menjual hasil kerajinan masyarakat Baduy yang berupa kain tenun, tas, dan souvenir khas Baduy yang semuanya dikerjakan secara manual. Kami sempat berkeliling dan membeli beberapa souvenir berupa kain dan selendang Baduy. Sekedar tanda mata.

“Kita cari tempat makan, terus langsung balik ya. Aku pingin lewat Rangkas terus ke Bogor, nggak lewat tol... Nggak apa-apa kan?” katanya.

Terus terang sebetulnya aku masih tidak mengerti apa maunya mengajakku ke Serang ini. Apa iya hanya untuk melihat pameran ini saja?

“Entahlah. Apakah aku ingin menyelesaikan atau menyambung kembali sebuah kisah. Yang jelas saat ini harus kuselesaikan dulu satu yang pernah kujanjikan padamu. Dulu aku berjanji akan mengajakmu melangkahkan kaki lagi ke Bumi Kanekes kan....” katanya ketika kutanyakan padanya, sebenarnya kita ini mau apa ke sini.

Memory yang sempat berkarat dan mengendap di dasar kenanganpun mulai memberontak, menyeruak, mencoba keluar ke permukaan, karena dia mengajakku untuk mengobrak-abriknya saat ini. Membangkitkan rasa. Segala macam rasa. Termasuk di dalamnya penuh dengan cerita cinta yang indah, sakit, dan kecewa saat remaja. Memory masa SMA dan beberapa waktu setelahnya.

Menjelang akhir SMA, kami pernah punya rasa yang sama. Mencoba melangkah bersama, menatap dunia  berdua. Begitu juga ketika kemudian dia diterima di Akademi Angkatan Udara, kami masih mencoba menapakkan kaki bersama dengan nada dan irama yang sama. Sampai akhirnya, entah bagaimana, langkah itu tiba-tiba terhenti hanya di beberapa masa. Entah darimana bermula...

“Kenapa waktu itu kamu tiba-tiba menghilang?” akhirnya kukeluarkan juga pertanyaan yang selama ini berkutat di kepalaku tanpa berjawab.

Saat itu kami sudah memulai lagi perjalanan kembali ke Bogor. Dan seperti katanya tadi, kami tidak akan lewat jalan tol. Kami akan banyak melewati hutan tanaman sawit di kanan kiri jalan sepanjang Rangkasbitung ke Bogor. Lebih menyejukkan dan tenang daripada pemandangan gersang sepanjang jalan tol yang lebih identik dengan hiruk pikuk manusia kota dengan segala kesibukannya masing-masing.

“Bukankah kamu yang menyuruhku?” jawabnya.
“Aku menyuruh apa?!” tanyaku bingung.
“Kamu menyuruhku kembali padanya...” jawabnya lagi.
  
Memang sebelum jalan denganku di akhir SMA, saat kelas dua SMA, dia dan Wati memang pernah jalan bersama tetapi tidak lama.

Walaupun sebetulnya sih, sejak awal masuk SMA itu, aku dan dia sudah lebih dulu sempat saling memercikkan rasa yang sama, tetapi entah kenapa tidak jadi menyala.

“Kenapa aku menyuruhmu kembali padanya? Kapan?”
“Saat aku masih pendidikan, kamu  pernah menanyakan bagaimana hubunganku dengan dia dan menyuruhku untuk kembali berbaikan dengannya.” katanya dengan pasti, seolah memang benar seperti itu mauku sesuai keyakinannya.

“Dan aku menganggapnya itu sebagai caramu untuk menolakku, sehingga ketika hari itu aku pulang dari rumahmu, hatikupun sudah tercerai-berai..., hancur...” sambungnya.

Aku terdiam beberapa saat, sambil berusaha mengingat-ingat kapan aku menyuruhnya kembali pada Wati, sedangkan jelas-jelas saat itu aku sedang jalan dengannya.

“Oh itukah?! Ketika habis lebaran dan kusuruh kau menyambung lagi tali silaturahmi?" tanyaku.
"Aku memang menyuruhmu berbaikan lagi dengannya itu dalam arti kembali berteman, tidak menjadi musuh lagi, bukan menyuruhmu menikahinya!” semprotku.

Jadi itu alasannya tiba-tiba dia menghilang. Hhhfh. Tidak kusangka ternyata dia senaif itu, aku menghela nafas panjang.

Padahal beberapa waktu sebelumnya, ketika menunggu hasil ujian akhir keluar, kami sudah membuat janji.



(Makin terseret ke relung Lorong Waktu)

Waktu itu bersama beberapa orang teman, kami mengadakan perjalanan ke Kampung Baduy di Lebak. Maksudnya menunggu waktu bersejarah sambil mencoba mengukir kenangan, daripada bengong di rumah.

Sebuah perjalanan yang tidak dapat dikatakan mudah walaupun tidak sesulit mendaki gunung, karena trekking dari Ciboleger menuju Kampung Baduy Dalam harus ditempuh selama kurang lebih 4 jam dengan melalui hutan dan beberapa sungai dengan jembatan alam yang dibangun oleh masyarakat setempat secara tradisional. Juga harus melewati beberapa perkampungan Baduy Luar lebih dulu.

Jalan setapak berbatu yang terkadang licin, ditambah tanjakan-tanjakan curam yang sangat menguras tenaga, saat itu membuat dua hati kita semakin menyatu, seperti menyatunya dua tangan kita yang saling menggenggam.

Akhirnya, di ujung tanjakan tujuh puluh derajat yang panjangnya seolah tak berujung, yang berhasil kami lalui dengan jatuh bangun, dia berjanji suatu saat akan kembali menggenggam tanganku melewati Tanjakan Cinta itu. Aku percaya.



(Merangkak dari Lorong waktu)

“Kamu....,  mau mengajakku ke sana sekarang?” tanyaku ragu-ragu.
“Aku mau. Tapi tidak mungkin lagi ....” jawabnya lirih sambil menghela nafas panjang.

Kulihat wajahnya tampak pucat. Mungkin kelelahan.

“Terus terang, janjiku itu selalu menghantuiku selama berpuluh tahun ini... Tidak pernah hilang dari kepalaku. Tapi  kita kan tidak boleh menyesali takdir.  Hanya saja rasa bersalahku padamu belum juga pupus...  Rasa bersalah karena terlalu mudah mengumbar janji.” katanya.

“Perjalanan ini kuharap dapat mengurangi rasa bersalahku padamu, walaupun aku tahu kalau aku akan tampak egois karena hanya memikirkan perasaan bersalahku saja tanpa berusaha mencari tahu, apakah kamu bersedia memaafkanku karena harus memintamu untuk menghapus janji itu dari hatimu.” sambungnya sambil kembali menghela nafas panjang.

Apakah janji itu masih berlaku, ketika ikatan diantara kitapun bahkan sudah tidak jelas lagi, pikirku.

Aku terdiam mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan berat. Kucoba mengaduk-aduk ke dasar hatiku, berusaha mencari tahu, seberapa banyak rasa yang masih tertinggal di sana...., dan seberapa banyak yang harus kulepas...

Sebuah rasa yang pernah ada memang tidak harus selalu bertahan dengan rasa yang sama selamanya.  

Semua dapat berubah sesuai beredarnya  matahari dan bergantinya masa. Perlu keajaiban cinta untuk dapat tetap kuat, tetapi bukan pula karena tidak cukup cinta bila semua tidak dapat bercahaya. Itu semua karena takdir bukan kita yang punya.

“Menjadi apapun aku sekarang, tapi hatiku masih hati manusia yang lemah dan tidak berdaya pada ketentuan Yang Maha Kuasa. Tapi aku juga masih menyimpan dosa, karena punya rasa yang tidak seharusnya tetap kujaga... “  katanya lagi.

Tak perlu berbalas kata. Aku hanya diam mendengarkannya. Kurasa kita memang masih punya sisa rasa yang sama. Itu saja.

“Jadi kau mau memaafkan aku kan? Tolong hapus janjiku padamu dulu. Please.” katanya lagi.

Aku mengangguk  tetap tanpa  sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Tetap juga belum dapat kusadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi.

Sampai akhirnya menjelang maghrib kami tiba kembali di Bogor. Kuturunkan dia di depan Terminal Baranangsiang supaya segera dapat naik Bis Damri yang langsung mengantarnya ke Bandara Soetta, dan aku mengembalikan mobil sewaan di dekat stasiun kereta.

Setiba di rumah, kubuka HP ku yang seharian tidak kutengok karena bepergian dengannya. Aku takut salah bicara dan ketahuan teman yang lain bila  tiba-tiba menghubungi aku dan mengajak ngobrol.

Pertemuan kami ini hanya milik kami berdua saja.

Saat itu banyak sekali notice di WAG SMAku. Ada ratusan.
Kusentuh pelan. Klik.

[Teman-teman, mohon do’anya ya..., pesawat latih yang dibawa suamiku menuju Sulawesi Tengah sejak kemarin sore hilang kontak dengan Pangkalan] Tulis Wati di puncak percakapan.

Kulihat jam dikirimnya adalah tadi pagi, kira-kira jam yang sama ketika aku bertemu dengan dia.

Dadaku berguncang. Aku panik!

Kubaca lagi ke bawah. Kuscrol terus sampai kiriman percakapan terbaru. Jam dikirimnya percakapan terakhir adalah tadi sore.

[Pesawat yang dinaiki suamiku sudah ditemukan di daerah Mamuju, Sulawesi Barat. Hancur. Belum ada berita lagi. Mohon do’a dan maaf dari semua teman-teman untuk suamiku ya...] kubaca kalimat yang ditulis Wati satu-satu. Kubaca ulang lagi. Lagi. Lagi.

Lantas, siapa yang kutemani seharian tadi ke Serang, ke Lebak? Tiba-tiba kurasakan mataku panas dan pedih sekali. Kupandang selendang dan kain Baduy yang kupegang dengan hati yang sakit.

Esoknya dengan menguatkan diri, kudatangi lagi penyewaan mobil kemarin. Karyawannya masih mengingatku. Kutanya apa kira-kira dia ingat bagaimana aku datang dan perawakan seseorang yang bersama denganku kemarin.

Jawabannya hampir membuatku jatuh pingsan, sebab katanya aku datang sendiri. Subhanallah.  Allahu Akbar. Allahu Akbar.



(Terlempar dari Lorong waktu)

Praaanggggg!!!

Tiba-tiba suara benda pecah membuyarkan lamunanku, memaksaku membuka mata.  

Kulihat Bu Soto sedang membersihkan pecahan mangkok di lantai yang mungkin tadi tersenggol ketika dia terkantuk-kantuk di kursinya.

Tanpa kusadari air mataku sudah membasahi pipi. Buru-buru kuhapus dengan punggung tanganku, tapi  ternyata malah membuatku tersedu.

Aku berjongkok, pura-pura membersihkan lantai yang sebenarnya tidak kenapa-napa. Hanya sekedar supaya aku dapat menyembunyikan air mata dan isakku.

Kusadari sedalam apa sesalmu pada janji itu. Aku merelakannya. Sudah kuhapus janji itu dari hatiku dan kumaafkan kamu dengan seluruh hatiku. Tak perlu risaukan janji itu lagi. Sungguh, aku tidak apa-apa. Tenanglah kau di sisiNya. Begitu bisikku di sela isak.

Sayup-sayup terdengar suara Tulus masih berteriak dari radio Bu Soto, membelah emosi.....

                Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
                Tapi kita dalam diorama
     Harusnya sisa masa kubuat indah menukar sejarah
     Tapi kita dalam diorama




                                      *** s e l e s a i***




***** Yang bikin cerpen sih aku, tapi kupakai nama Kk.
31 Oktober 2018


Cinta itu Anugerah


Cinta itu anugerah.

Betul nggak sih kalimat itu?
Seorang sahabat wa aku malam-malam, "Aku mau cerita nih..., tapi aku malu..." katanya.
"Kalau malu ya nggak usah cerita... " jawabku.
"Iya ya...., aku malu nih." katanya lagi.
"Ya udah, nggak usah cerita..." jawabku lagi.
"Bukan gituuu..., sekarang ini lho aku sedang merasa malu..." katanya.
"Oooh, terus..., malu sama siapa?" tanyaku.
"Ya malu sama diriku sendiri, malu sama anak-anakku, malu sama kamu, malu sama Allah, ya semuanya deh..."
"Koq kamu borong sendiri sih?" tanyaku.
"Iya, aku maluuuu banget, kenapa di saat usiaku sekarang, aku tiba-tiba merasa jatuh cinta lagi..." katanya.
"Padahal waktu suamiku masih ada, aku ngerasa laki-laki di dunia ini hanya suamiku saja yang kucintai, dan tidak ada yang lainnya." katanya lagi.
"Ya kan sekarang suamimu sudah nggak ada...." kataku.
"Maksudku, waktu itu aku ngerasa kalau cintaku ya hanya satu-satunya itu saja untuk suamiku, Kalau dia sudah tidak ada, ya cintakupun sudah habis...Makanya waktu suamiku dipanggil Allah dulu, aku merasa seluruh hatiku juga sudah mati..." katanya.
"Menurutku, cinta itu anugerah. Kita tidak pernah tahu kapan rasa cinta itu akan datang dan pergi dari hati kita. Kurasa hanya Allah saja yang dapat membuat hati kita seperti itu. Hanya Dia yang dapat membolak-balikkan hati manusia. Jadi kenapa harus malu? Kurasa sebaiknya kita harus bersyukur bahwa masih diberi kepercayaan untuk merasakan cinta itu lagi. Kurasa juga kalau Allah sedikit menegur dengan kenyataan ini, Allah menyindir dengan rasa cinta ini, bahwa seharusnya cinta kepada sesama manusia itu tidak usah mati-matian pada satu orang saja , toh ternyata bisa juga tumbuh pada yang lain, hehehe...."
"Bagaimana dengan kesetiaan?" tanyanya.
"Kenapa dengan kesetiaan? Apakah jatuh cinta lagi berarti tidak setia pada yang sudah meninggal?" jawabku.
"Sepertinya begitu..."
"Mana bisa dibilang begitu, buktinya rasa cinta pada suami/istri yang telah meninggal toh tetap ada dan tersimpan di hati?"
Obrolan kami berakhir di tengah malam karena sudah sama-sama mengantuk dengan kalimat-kalimatku yang sudah mulai mengacau, karena mata sudah perih sekali sehingga banyak salah pencet. Huruf a jadi s, huruf h jadi n, dan seterusnya....
"Makanya kali ini nanti, jangan berikan hatimu 100 persen ke padanya..., kasih 50 aja, 25 buat dirimu, 25 buat yang lain..., buat jaga-jaga supaya kalau terjadi apa-apa yang tidak kita inginkan, kamu jatuhnya nggak dalam-dalam banget..., kamu masih punya cadangan buat tetap survive...." kataku.
"Hoiii, ini perasaan lho ya, bukan modal buatmu jualan teh poci..., enak aja bisa dibagi-bagi gitu..." katanya.
Waaah, nggak percaya dia.... (kalau perasaan bisa dibagi-bagi, ditahan, direm, ataupun digas poll seperti istilah anak jaman now)

*****Ini Status di FB tanggal 23 Nopember 2018