Senin, 26 November 2018

Cerpen : Di Ujung Tanjakan Cinta


Cerpen : Di Ujung Tanjakan Cinta


Jug ijag-ijug ijag-ijug..... Jug ijag-ijug ijag-ijug....

Commuter Line yang kunaiki mulai melambat ketika memasuki area Stasiun Bogor. Aaaah...., akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kota ini, pikirku dengan rasa hati yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Kita ga jemput Lo di Jakarta ya..., kita tunggu aja di Stasiun Bogor.” Semalam chat dari Indah memastikan kalau aku harus otw sendiri menuju Bogor setelah turun dari kereta yang membawaku dari Malang.
Kejam nian mereka!! Membiarkan aku menggendong sendiri carrier 60 liter di punggungku sambil membawa beberapa tentengan berisi Kripik Tempe, Coklat Tempe, Almond Cookies,  dan Pia pesanan mereka. Minta oleh-olehnya maruk, tapi nggak mau jemput.

Hawa panaspun secara nggak sopan langsung menyergap ketika kulangkahkan kaki menuju pintu keluar stasiun, sungguh berbanding terbalik dengan suasana di dalam Commuter Line yang sejuk damai sejahtera karena ber AC. Membuat wajah imutku serasa terbakar.  

Suasananya sih masih sama seperti dulu. Bedanya kalau dulu ada penjual Kue Gemblong di dekat pintu keluar, sekarang area stasiun benar-benar steril dari pedagang asongan. Tanpa sadar aku mengernyitkan dahi. Silau men!

Di pagar pembatas pintu keluar, tampak berderet wajah ceria makhluk-makhluk tersayangku sejak di SMA dulu. Mereka adalah Indah, Silva, Fani, Fahmi, Septian, dan .....Rendy! Lho, koq ada Rendy?!
“Nunaaa....., kangen ih sama Looo....” Indah, Silva, dan Fani serentak memelukku erat-erat begitu aku berdiri di depan mereka.. Kamipun berpelukan ala-alay sambil tertawa-tawa.....

Puas berpelukan, kami menghampiri para cowok yang menunggu dengan sabar di dekat loket. Akupun kembali memandang heran pada Rendy. Kenapa Rendy ada di sini?

Buntut  Lo pingin ngikut katanya...” Bisik Indah yang melihat keherananku. Haah?!! Rendy mau ikut?
“Kenapa Lo ada di sini sih?” Tanyaku pada Rendy yang seharusnya dia ada di Bandung.
“Emang ga boleh?” Balasnya bertanya. Rendy ini memang bagaikan buntutku karena sejak SD kami sudah berteman dekat. Bahkan ketika SMP dan SMA kami berbeda, dia tetap saja beredar di sekitarku. Makanya jangan heran kalau diapun mengenal baik sobat-sobitku di SMA.
“Kenapa pertanyaanku dijawab dengan tanya?” Jawabku.
“Jadi harus dijawab nih?” Katanya tetap dengan nada bertanya.
“Ya udah sih, biarin aja Rendy ikut. Dia sanggup nyetir sendiri sampai ke sono...” Sahut Fahmi.
“Nyetir sendiri? Kita bukannya pakai motor?” Tanyaku. Aku benar-benar tidak tahu perubahan rencana terakhir ini, yang tiba-tiba saja ada Rendy juga.

Dulu, sejak SMA, setiap tahun aku and the gank ini selalu merefresh hati dan pikiran dengan jalan-jalan ke Perkampungan Baduy di Kabupaten Lebak Banten, karena kebetulan kami sama-sama anggota Pecinta Alam di Sekolah.

Tapi sejak aku kuliah di Malang dan keluargaku ikut menyusul pindah beberapa tahun lalu, aktivitas tahunan itupun jadi terlewatkan olehku. Aku jarang sekali main lagi ke Bogor. Di banyak kesempatan, terutama liburan, aku sibuk menyatroni wilayah Bromo Tengger Semeru buat nganterin tamu, aku nge-guide nih ceritanya.

Sampai akhirnya beberapa hari lalu, tiba-tiba my gank menyuruhku mampir ke Bogor, terus ke Baduy dulu sebelum aku berniat nyamperin Rendy di Bandung yang minggu depan mau wisuda.

“Pakai motor aja..., biar pulangnya santai, nggak harus dikejar-kejar jadwal kereta dari Rangkasbitung. Start dari Bogor kita lewat Jasinga.” Kata Septian beberapa hari lalu di group my gank. Rencana perjalanan dan pembagian tugas sudah deal sejak itu.

Terus, gimana ceritanya si Rendy tiba-tiba ngikut dan bawa mobil? Itu pertanyaannya.

“Kita naik mobil aja yaaa...., biar Lo nggak capek ngegendong carrier.” Rendy menjawab pertanyaanku tadi sambil melepas carrier dari punggungku. My gank spontan terkena batuk berjamaah melihat perlakuan  Rendy padaku. Uhuk. Uhuk. Huk. Huk. Huk.

“Tapi Lo kan belum pernah main ke hutan. Ngapain ikut?” Jawabku mengacuhkan suara batuk yang saling menyalak bersahutan.
“Makanya sekarang gue mau ikut. Nanti kalau pulangnya Lo pingin langsung balik ke Malang juga gapapa deh...” Kata Rendy sambil merengkuh bahuku dan mengajak jalan ke tempat parkir.
“Kenapa gue nggak boleh ke Bandung? Apakah harus ada yang gue curigai?” Sergahku.
“Siapa bilang nggak boleh?” Selalu tanya yang berbalas tanya. Huh.
“Hoiiii, kita tetap jalan bareng atau pulang ke rumah masing-masing aja nih?” Kata Fahmi menyindir. Hehehe..., maafkeun ya gank.... Rendy ini memang kadang suka lebay gini.

“Mi, Lo apa Septian aja deh yang duduk depan, nemenin gue melek.” Kata Rendy ketika melihat Fahmi dan Septian yang memposisikan diri mengambil tempat duduk di bangku paling belakang.
“Ogah, gue mau tidur.” Jawab Fahmi, yang disambut anggukan setuju oleh Septian.
“Lhah gue kagak tau jalan....” Kata Rendy sambil menyalakan musik. Teman Hidup by Tulus.
 “Pakai maps! Susah amat sih hidup Lo!” Sahut Indah sambil menyusul Silva dan Fani yang duduk di bangku tengah.

 Dia indah meretas gundah, Dia yang selama ini kunanti/Memanja sejuk, memanja rasa/Dia yang selalu ada untukku/

Nada-nadanya memang harus aku yang duduk di depan menemani Rendy melek dan nyetir. Hoaahhmmm...., padahal aku juga ngantuk karena semalam di kereta  nggak bisa tidur gegara ada yang nyalain musik kencang-kencang. Berisik banget. Nggak seperti suara Tulus ini nih.

Di dekatnya aku lebih tenang/Bersamanya jalan lebih terang/

“Kita ke Rangkasbitung ya Mi?” Tanya Rendy sambil mengaktifkan maps di hpnya.
“Iyaaaa!!” Fani dan Silva serentak menjawab.
“Eit, ngapain....?! Langsung aja tujuan Ciboleger.” Sahut Septian.
“Kan biasanya kita ke Rangkas dulu...”  Kata Indah.
“Itu kalau naik angkutan umum, kita ke terminal Rangkas buat cari kendaraan yang ke Ciboleger.”  Kata Septian.
“Jadi, langsung ke Ciboleger nih....” Rendy memandang padaku minta persetujuan.
“Iya ‘kali....” Aku mengangguk tak pasti.
“Gimana sih....” Sungut Rendy sambil mendengus, “Nyasar bodo amat nih ya.”  Katanya sambil mulai menjalankan mobilnya menyibak mentari yang menyengat.

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Bila di depan nanti/Banyak cobaan untuk kisah cinta kita/Jangan cepat menyerah/Kau punya aku, ku punya kamu, selamanya kan begitu/

Suara Tulus membuat kantukku semakin menggayut ketika sejauh mata memandang, di depan mata adalah lautan mobil pribadi dan angkot yang sedang saling berebut jalan. Macet.

“Makan dulu yuk!! Gue lemes nih...” Aku hampir melompat  mendengar suara Rendy yang tiba-tiba membelah mimpi. Bagaikan suara petir Dewa Zeus yang menggelegar di siang bolong menyambar kepalaku. Eh, bukan ding...., ternyata tangan Rendy yang menyentuh kepala membangunkanku. 
Aku mengerjabkan mataku. Yihaa!! Ajaib!!  Baru juga sekerjaban mata, ternyata kami sudah sampai di....., tunggu, kulihat dulu sekeliling....., ternyata ada di depan Tugu Singa! Artinya kami sudah sampai di Jasinga, dan Rendy juga sudah memarkir mobilnya di depan sebuah warung lalapan.

“Cepet amat sampai sini, baru juga berkedip.” Kataku dengan mata berat.
“Enak aja berkedip!! Lo ngorok sejak masuk mobil...” Sahut Indah dari belakang kupingku. Ah, apa iya?! Terus siapa dong yang nemenin Rendy melek? Aku mengikuti langkah kaki mereka memasuki warung lalapan.

Ajaib!! Lagi-lagi ajaib!. Ternyata setelah perut kenyang mataku jadi melotot lebar, sedangkan menurut teori, biasanya kalau perut kenyang kan mata jadi ngantuk. Sepertinya dunia sedang berbalik 180 derajat buatku. Semoga ini awal yang baik. Aamiin.

“Yuk kita lanjuuut, masih setengah perjalanan lagi kan ke Ciboleger?” Kataku bersemangat.
“Iya yuk, buruan...., biar ga kemalaman nyampenya...” Fani menimpali sambil bergegas naik ke mobil.
“Kita keburu kan Mi?” Tanyaku pada Fahmi sambil melirik Rendy. Posisi duduk di mobil masih seperti tadi.
“Kalau menurut langkah kaki gue sih insha Allah keburu. Maximum maghrib deh...” Jawab Fahmi.

Langkah kaki penduduk lokal pasti keburu, jalan mereka cepat sekali. Langkah kaki Fahmi dan Septian insha Allah keburu. Langkah kakiku, Indah, dan Fani, semoga juga keburu. Terus langkah kaki Rendy? Aduuuh....., gimana nanti langkah kaki si Rendy ini???? Perjalanan pakai kaki nanti bisa 4 sampai 5 jam lho....

Rasa galau memikirkan bagaimana langkah kaki Rendy nanti sedikit terobati dengan tersajinya pemandangan elok nan rupawan dari negeriku tercinta ini. Hawa sejuk khas alam pegunungan sungguh membuat hatiku berbunga-bunga. Melupakan segala lara yang ada. Bukit berbunga..., bukit yang indah... Kalau tidak salah, jaman dulu ada syair lagu seperti itu, jamannya mamaku.

Waktu terus merangkak, dan tidak seperti tadi ketika aku berkedip sekali tiba-tiba sudah setengah perjalanan, kali ini sudah sampai berkejab-kejabpun ternyata belum nyampai juga. Berarti tadi aku tertidur lumayan lama ya..., hehehe... Sorry Rennn...., kedua mata cantikku tidak mampu menahan kantuk.

                                                            ***   ***

Ciboleger. Gerbang menuju Bumi Kanekes tegap menyapa. Seolah memanggil semua jiwa untuk berbahagia ketika melewatinya. Ada rindu yang membiru, menggayut di ujung ranting bambu malu-malu. Membuat hati tidak tahan untuk tidak mencintainya.

Suasana Baduy sudah terasa kental sekali, terlebih ketika di toko-toko sepanjang jalan menuju gerbang masuk rata-rata memajang kain  ikat kepala tradisional masyarakat Baduy yang berwarna biru dengan corak khas mereka.

“Sep, Lo cari si Aa’ yang biasa nemenin kita, gue udah kontak dia kemarin, sekarang gue ke Jaro dulu...” Kata Fahmi pada Septian. Septian mengangguk dan berjalan menuju sekelompok laki-laki berikat kepala warna putih dan berbaju putih atau hitam. Di bahunya tergantung tas tradisional khas Baduy. Mereka adalah orang Baduy Dalam yang siap mengantar pelancong-pelancong menembus hutan dan huma menuju pekampungan mereka.

“Mobil diparkir sini aja nih?” Tanya Rendy sambil membuka pintu bagasi dan mengeluarkan bawaan kami.
“Harusnya sih jangan ditinggal di sini. Harusnya  Lo gendong naik sampai ke atas...” Jawabku. Indah, Silva, dan Fani ngakak mendengar kata-kataku.
“Daritadi jawaban Lo ke gue ngeselin abis dah...” Kata Rendy sambil melotot dari balik kaca mata minusnya.
“Iya..., gue juga perhatiin tuh...” Timpal Silva sambil senyum-senyum kompor. Indah dan Fani mengangguk-angguk. Aku mendengus lirih. Mereka tahu kalau aku pasti kesal memikirkan nasib Rendy nanti. Kalau kami kan memang sudah biasa berkutat dengan alam lepas, mau ke gunung kek, hutan kek, no problemo. Lha ini, Rendy, si Tuan Arsitek yang biasanya cuma berkutat dengan diktat, proyek, dan mall, eeeh...., tiba-tiba ikut! Haduuuhhh.....

“Mana Septian, belum balik dia?” Tiba-tiba Fahmi muncul. Kami menggeleng. Septian belum nampak.
“Mi, ini yang mau dibawa yang mana aja nih?” Rendy menunjuk bawaan kami.
“Semua, kecuali carrier Nuna sama oleh-olehnya .... Tapi terserah sih, ‘kali aja anak-anak mau bawa....” Jawab Fahmi.

Biasanya kami memang tidak membawa banyak perlengkapan tiap jalan ke sini, paling juga sepasang baju cadangan, jaket, snack, dan air. Kan besok juga sudah balik.

Setelah menitipkan mobil ke petugas pengelola parkir, kami mulai berjalan pelan-pelan memasuki gerbang wilayah Baduy, sambil nunggu Septian yang belum juga nongol. Di kanan-kiri jalan setapak dekat gerbang ini, ada rumah-rumah tradisional beratap jerami, berdinding anyaman bambu, berbentuk panggung yang menjual pernak-pernik dan asesoris khas Baduy. Mulai dari gelang, gantungan kunci, teko, gelas, sendok garpu, tas, selendang, kaos, dan lain-lain yang semuanya dibuat dari bahan-bahan alami seperti serat kayu dan batok kelapa. Di beberapa rumah juga tampak ada ibu-ibu yang sedang menenun selendang dengan alat pintal tradisional. Sungguh pemandangan yang menyejukkan hati.

“Hoii..., kita langsung jalan nih?” Tiba-tiba Septian muncul dari arah belakang bersama si Aa’dan seorang anak kecil sekitar umur sepuluh tahunan.
“Maaf, tadi lagi di toko sekalian belanja...” Kata si Aa’sambil menyalami kami satu persatu. Begitu juga si anak laki-laki tadi. 

Aa’ini dulunya tinggal di Baduy Dalam, tapi setelah menikah tinggal di Baduy Luar. Orangtuanya masih tinggal di Baduy dalam, dan anak laki-laki kecil itu adalah adiknya.

“Ah, nggak apa-apa A’.... Oke, kita langsung jalan aja deh...., ya guys?!” Kata Fahmi sambil memberi isyarat pada kami untuk mulai jalan.
Si Aa’ jalan di depan bareng Fahmi, terus diikuti Fani, Silva, Indah, Aku, Rendy, Septian, dan terakhir adalah adik si Aa’.

“Si Rendy tanggung jawab Lo ya...” Septian sempat berbisik padaku sebelum kemudian dia menempati formasi di belakang Rendy. Aku hanya mengangguk pasrah.

Jalanan berbatu dengan tanjakan dan tikungan tajam saling silih berganti. Huma dan hutan sesekali juga silih berganti. Pemandangan luar biasa mempesona saja yang selalu setia mengiringi kami.

Untuk menghemat nafas, kami juga tidak banyak bicara. Semuanya fokus pada langkah kaki masing-masing.

Perjalanan satu jam masih terlampaui dengan mulus. Masuk hitungan dua jam, ritme langkah kaki Indah mulai kendor. Aku dan Rendy mengganti posisinya. Indah melangkah di belakang Rendy.

Masuk jam ketiga, iring-iringan kami mulai berjarak. Tidak sengaja terbentuk kelompok-kelompok  kecil yang mulai sering berhenti untuk beristirahat.

Si Aa’, Fahmi, Fani, dan Silva tetap konsisten dalam langkah di depan. Indah yang dijaga Septian dan adik si Aa’ semakin melambat. Aku dan Rendy di tengah-tengah dengan kondisi juga mulai melambat.

Entah kenapa, tiba-tiba saja perutku terasa mual dan kepalaku jadi berat. Otomatis dua hal itu membuat irama langkahku tidak sinkron lagi dengan otakku. Tapi gengsiku lebih mengalahkan lunglaiku. Masa’ kalah sama Rendy yang baru sekali ini seumur hidupnya menggunakan sepasang kakinya untuk berjalan jauh mendaki bukit menuruni lembah? Jadi ingat Ninja Hatori film kartun di TV jaman dulu.

“Na..., semalam gue mimpi dihadang Harimau Putih waktu jalan begini. Kira-kira ngaruh nggak sama perjalanan kita ini?” Tanya Rendy.
“Nggak ada hubungannya sama sekali. Mimpi itu kan  waktu Lo tidur...., nah sekarang Lo jalan kaki beneran, bukan tidur. Lagian, di sini ga ada binatang buas, apalagi harimau.” Jawabku.
“Mungkin ada mitos-mitos apa gitu?” Tanya Rendy lagi.
Ga ada Reeennn.... Cuma selama di sini ya kita harus ikuti aturan-aturan mereka. Mereka punya kearifan lokal yang terjaga secara turun temurun dari nenek moyangnya...” Jawabku.
“Paling nanti tuh, di Tanjakan Cinta depan situ tuh. Katanya, kalau Lo bisa ngelewatinnya dengan lancar, maka kisah cinta Lo nantinya juga bakalan lancar...” Sambungku.
“Emang iya gitu?! Kata siapa?”
“Kata gueee...., kan barusan juga gue yang bilang...” Sahutku sambil menahan mual yang rasanya semakin mengaduk-aduk perut.

Langkahkupun semakin berat karena kepalaku semakin pusing. Kelompok Fahmi menghilang di tikungan depan, kelompok Indah terhalang tikungan di belakangku. Kakiku melemas, aku terduduk di sebuah batu, hampir muntah. Rendy segera melepas tas punggungku dan meraba dahiku.

“Perut gue Ren.... Sama kepala gue....“ Aku mengernyit menahan sakit.
“Minum dulu nih!” Rendy menarik tubuhku menyender ke dia dan memaksaku minum. Aku minum seteguk.
Lo masuk angin ini. Istirahat aja dulu..., lurusin kaki...” Katanya sambil tetap memaksaku bersender padanya dan menuangkan minyak kayu putih ke tanganku. “Gosokin di perut.” Katanya.  

Aku menurut dan memejamkan kedua mataku. Sejenak, dua jenak. Kenapa rasanya nyaman sekali berada dalam dekapan Rendy? Tidak ada rasa canggung, tidak ada rasa gengsi, tidak ada yang kupikirkan lagi. Rasanya ingin begini terus. Seolah berasa di rumah.

Tapi itu tidak mungkin terus kulakukan. Aku harus bangun. Perjalanan masih panjang. Masih harus melewati tanjakan terheboh itu, Tanjakan Cinta yang panjangnya sekitar setengah kiloan.
“Jalan lagi yuk, gue sudah enakan koq...”  Kataku sambil bangkit dari zona nyaman dan meraih tas punggungku.
“Sudah, biarin sama gue....” Rendy menggendong tas punggungku di depan dadanya.
“Ini yang tadi gue bilang Tanjakan Cinta...., Lo jalan duluan deh. Gue ngerangkak aja pelan-pelan...” Aku mendorong tubuh Rendy supaya berjalan lebih dulu ketika kami sampai di depan tanjakan.  

Tapi Rendy meraih tanganku dan setengah ditariknya supaya aku tetap melangkahkan kakiku bersamanya melewati tanjakan cinta yang seolah tak berujung. Genggaman tangannya kokoh dan mantap menggenggam tanganku.

Dua kali aku terpeleset dan tiga kali hampir tiarap kalau saja Rendy tidak menahan tubuhku. Kenapa Rendy si anak kota ini tiba-tiba sekarang jadi Superman di pedalaman ini? Kenapa ternyata tenaganya tidak setipis tubuhnya? Kenapa juga dia seolah tahu apa yang harus dilakukannya di tempat seperti ini? Bukankan ini adalah pengalaman pertamanya? Kepalaku pusing lagi memikirkan berbagai pertanyaan tentang Rendy. Nyut nyut nyut.

Akhirnyaa!! Ulalaaa!!!

Tanjakan Cinta yang seolah tak berujung inipun sampai pada ujungnya, dan kemudian menampakkan wajah- wajah yang tadi sudah jauh di depan kami, Fahmi cs yang sedang duduk beristirahat sambil makan-minum dengan santainya.

Lo kenapa Na?” Tanya Silva yang mungkin melihat pucatnya wajahku.
“Mau pingsan dia...” Jawab Rendy. Siapa juga yang pingsan, pikirku. Tapi aku malas membantah, jadi aku diam saja, sibuk mengatur nafas yang tinggal satu-satu.

Aku merebahkan tubuhku di rerumputan. Dengkulku mau copot. Rendy duduk di sampingku sambil memijit telapak tangan dan jari-jariku. Lumayan juga, sakit kepalaku jadi berkurang. Sampai akhirnya Indah cs tiba dan ikutan tiarap tidak jauh dariku. Warna mukanya sudah merah seperti kepiting rebus.

“Gimana, termasuk lancarkah langkah gue ketika tadi melewati Tanjakan Cinta?” Tanya Rendy ketika aku nyaris tertidur. Aku mengangguk dengan mata terpejam.
“Berarti kisah cinta gue nanti lancar dong?” Tanya Rendy lagi. Aku mengangguk lagi sambil mata tetap terpejam.
“Apakah dalam mitosmu juga disebutkan, kalo yang ngelewatin adalah cowok-cewek, apa nanti mereka bakalan jadian?” Tanyanya  lagi. Aku melotot. Haahhh??!!
Mitos darimana itu?!” Fani yang mendengar kalimat Rendy langsung menyahut.
Mitosnya Nuna...” Jawab Rendy.
“Tapi gue nggak bilang ada acara jadian segala...” Sanggahku sambil bangun dari rebahan dan duduk. “Minyak kayu putihnya tadi mana?” pintaku ke Rendy.
“Jadi maksudnya Lo nggak mau jadian sama gue?” Tanya Rendy sambil memberikan botol minyak kayu putih.
Lo gila ya?!” Balasku.
“Serius ini.... Lo mau ga kalo kita jadian?” Rendy menatapku sambil tersenyum. Aku terhenyak. Masih belum yakin dengan kupingku. Jadi ceritanya si Rendy nembak aku nih? Nggak ngasih coklat, nggak ngasih bunga.... Malah ngasih botol minyak kayu putih. Nggak romantis amat!!

Kulihat wajah para sohibku tampak tidak terkejut. Mereka cuma senyam-senyum nggak jelas. Aku jadi curiga mereka memang sudah tahu.

“Abaikan dulu mereka, jawab gue..., mau nggak?!” Desak Rendy.
Lo berharap gue jawab apa?”.Aku masih berusaha mengelak.
“Jawaban apa itu, jelas aku maunya kamu jawab iya.”  Kata Rendy.

Lho..., koq dia jadi menyebut aku dan kamu, bukan Lo gue lagi....

“Aku maunya besok kamu datang ke wisudaku sebagai pasanganku, bukan sekedar teman kecilku. Apa selama ini kamu nggak pernah sedikitpun punya rasa yang berbeda padaku? Nggak pernah sekalipun mencoba menganggap aku sebagai orang yang lain? Padahal mereka aja tahu kalau aku suka sama kamu, masak kamu nggak ngerasa sih?” Sambungnya panjang lebar. Edan dia, ini semua dikatakan di depan publik men!

“Perjalanan ini sudah direncanakan sejak sebulan lalu, termasuk Fahmi jalan jauh di depan dan Indah jadi lelet. Sejak itu juga aku joging tiap hari. Latihan fisik. Biar nanti di sini minimum aku nggak bikin kamu jengkel... Eh, ternyata kamu pakai acara masuk angin segala, jadi deh rencanaku biar nampak keren di matamu makin mulus. Aku tadi keren kan?”
“Iya, keren! Tapi apa kamu pikir aku akan menjawab tidak, koq kamu ngomongnya jadi banyak banget gitu?” Aku berusaha menahan malu ketika akhirnya mengatakan itu. Kurasakan pipiku panas sekali seperti terkena tamparan, tapi tamparan cinta lho yaaaa....
“Artinya kamu mau?”
Aku mengangguk. Tersipu. “Iya. Aku kan bukan robot yang nggak bisa merasa...” Jawabku. Selama ini aku memang merasa nyaman dengannya. Nyaman dengan semua perlakuannya padaku, sehingga tidak merasa perlu mencari orang lain dalam banyak hal. Mungkinkah itu cinta?
Yessss!!!! Makasih sudah mau menjawab Iya.”  Rendy mengacaukan rambutku dengan gemas.

Horeee...., cie-cieee....., suit-suittt..... Rame sekali sambutan pemirsa melihat tontonan live di depan mata. Kecurigaanku terbukti, mereka sudah tahu tujuan Rendy ikut kali ini dan mendukungnya. Dasar, sekongkolik....!!

Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Kau milikku, ku milikmu/Kau jiwa yang selalu aku puja/



                                    ***                  selesai              ***



           
2 Nopember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar