Senin, 20 Februari 2017

Selamat Jalan Mbahtiku



Menurut KTP, yang tertulis adalah seperti ini:
Nama                       : Astoechah
TTL                         : Mojokerto, 30 Juni 1925

Kalau Nenekku ini lahir tahun 1925, artinya waktu kemarin tanggal 19 Februari 2017 beliau dipanggil Allah SWT, usianya adalah 92 tahun.

Tapi nenekku pernah bilang kalau tahun lalu usianya sudah 96 tahun. Aku sendiri tidak tahu bagaimana asal usulnya KTP itu, mungkin betul data itu dari nenekku sendiri  dan nenekku yang sudah lupa, tapi bisa juga petugas main tembak dan kira-kira karena orang dulu kan banyak yang tidak tahu persis tanggal serta tahun kelahirannya sendiri. (Aku sempat merasa surprise waktu melihat tanggal kelahirannya yang sama dengan anak pertamaku)

Ya sudahlah. Yang jelas, usia nenekku memang lumayan bonusnya hingga dapat mencapai sembilan puluh tahun lebih. Usia yang sering membuatnya sudah merasa capek karena tidak juga dipanggil oleh Allah.
“Ya Allah, kenapa malah mereka yang Kau panggil duluan?” Begitu kata nenekku waktu aku memberitahunya khabar duka tentang dipanggilnya adik-adik iparku, juga beberapa teman dan tetangga yang sudah mendahului.

Nenekku memang mengalami hidup di Jaman Belanda, Jaman Jepang, dan Jaman Kemerdekaan. Tiga masa kehidupan yang berbeda-beda dan dijalaninya dengan berbeda-beda pula.

Menurut ceritanya dulu padaku, waktu di Jaman Belanda, nenekku ini pernah ikut pamannya di Jombang sebentar dan bersekolah di Sekolah Rakyat. Masa mudanya terbilang jutek katanya.
“Dulu waktu masih sekolah, Mbah judes banget, tapi malah banyak teman laki-laki yang suka gangguin…” Cerita nenekku, “Tapi Mbah nggak mau ngeladenin… Contohnya nih, kalau pulang sekolah hujan, Mbah kan pakai payung…., nah itu teman laki-laki suka ada yang pingin numpang berpayung bareng sama Mbah…”
“Terus?” Tanyaku.
“Mbah marahin itu teman tadi, terus tutup aja payungnya dan lari pulang sambil hujan-hujanan…. Biarin aja kehujanan daripada ditumpangi….” Katanya sambil tergelak. Aku ikut tertawa membayangkan bahwa mungkin teman laki-lakinya itu naksir dan pakai modus numpang berpayung, hahaha…..

Kemudian nenekku dijodohkan dengan anak seorang terpandang di kampungnya, tapi tidak bertahan lama dan bercerai karena menurut nenekku, sifat laki-laki itu tidak baik, suka main perempuan, berjudi dan mabuk-mabukan. Dari perkawinan ini nenekku mendapatkan seorang anak laki-laki.
(Ternyata sejak jaman dulu hingga sekarang, perilaku yang namanya anak orang terpandang atau istilahnya berpunya, kebanyakan nggak jauh beda ya…., rata-rata mirip, hehehe….)

Dengan menyandang title janda muda, nenekku bekerja di Pabrik Gula sebagai Mandor pabrik. Aku lupa istilahnya apa, tapi kata nenekku  waktu itu Jaman Jepang.

Ada juga orang Jepang yang suka padanya, tapi nenekku tidak mau, keluar kerja, dan malah dapat kenalan Jejaka Karyawan Kantor Pajak yang kemudian menikah dengannya.

Kurasa masa mudanya dulu nenekku pasti cantik ya, sebab bagaikan kembang, disekelilingnya banyak lebah yang ingin menghisap sari madunya.

Dan Karyawan Kantor Pajak yang berhasil menarik hatinya tadi adalah seorang jejaka lulusan Pondok Pesantren asal Kediri yang sedang ditugaskan di Mojokerto. Namanya Damari Boedi Wijono. Beliau adalah kakekku.

Dari pernikahan ini, Kakek dan Nenekku hanya mempunyai seorang anak perempuan yaitu Ibuku yang lahir di Mojokerto tahun 1945, tapi besar di Surabaya karena kemudian kakekku mendapat tugas di Surabaya.

Tinggal di Surabaya, nenekku mulai aktif di Kelompok Karawitan yang jaman dulu pentasnya selain di kondangan adalah di Radio (RRI) dan (akhirnya ada)  TVRI, sehingga tidak mau mengikuti kakekku yang sebagai pegawai negri harus berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota lainnya.

Nenekku tetap tinggal di Surabaya dan kakekku yang setiap minggu sekali atau sebulan sekali pulang ke Surabaya.

Darah seni nenekku lumayan kental, karena  selain suka bermain music (karawitan), dulunya nenekku juga sering membatik. Nenekku bisa menggambar dan mendongeng. Malah kadang menulis puisi, ungkapan hatinya...



Aku ingat, waktu kecil nenekku pernah bercerita bahwa dulunya tuyul itu tidak suka duit. Mereka sukanya bermain-main saja sepanjang hari. Kalau di hutan, mereka sering bermain di kubangan air yang ada banyak ikan atau udangnya. (??? Nyambung gak sih? Di hutan, tapi ada kubangan air yang ada ikan atau udangnya?.... entahlah, mungkin aku lupa itu sebetulnya bukan di hutan melainkan pinggir pantai, atau memang jaman dulu udang bisa juga tiba-tiba ada di tengah hutan yang mungkin memang dibawa para tuyul itu dari pantai….).

Kemudian ada manusia yang memergoki para tuyul liar itu yang akhirnya disuruh nyolong duit tetangganya dengan imbalan-imbalan tertentu. (Kalau dari cerita ini, seolah manusia yang jahat dan mengkaryakan para tuyul liar tidak berdosa. Hah????? Iya nggak sih?)

Ada lagi cerita tentang seekor sapi betina yang tidak sengaja meminum air seni Seorang Raja yang sedang berburu di hutan dan kemudian hamil. Sapi itu kemudian melahirkan 4 orang anak perempuan manusia yang secara tidak sengaja kemudian ditemukan oleh Sang raja yang kembali berburu di hutan itu.

Keempat anak perempuan itu dibesarkan di Kerajaan dan oleh Sang raja diberi nama seperti bagian-bagian buah kelapa (aku lupa apa saja, yang kuingat cuma satu ‘Untir-untiran’).

Suatu saat, ketika para anaknya sudah besar, si sapi datang ke Kerajaan dan minta minum pada anak perempuan pertama serta mengatakan kalau dialah ibunya. Tapi anak perempuan pertama tidak mau memberinya minum ataupun mengakui sapi itu sebagai ibu dan malah melempar kaki si sapi dengan sebuah alat pemintal (kayu) sampai si sapi pincang satu.

Ke tempat anak kedua juga begitu, akibatnya kaki pincang dua.
Ke tempat anak ketiga sama, kaki sapi itupun menjadi pincang tiga.
Ke tempat anak ke empat (bungsu) sambil menggulingkan badannya karena si sapi tidak bisa jalan lagi dengan kaki pincang tiga, barulah si sapi diakui oleh si bungsu dengan bercucuran air mata.

Selanjutnyaa…………………………………………………………………………………………………………………………., jangan marah ya…., aku lupa cerita selanjutnya gimana…., sedang nenekku kemarin sudah meninggal dunia…., gimana dong?????

Sungguh, aku selalu lupa menanyakan akhir cerita itu pada nenekku, sebab biasanya kalau bertemu, kami hanya bercerita tentang masa lalu, masa kecil cucu-cucunya, bukan tentang dongeng.

Bercerita tentang masa lalu kami, nenekku diusia rentanya itu ternyata masih ingat persis. Ingatannya berkurang untuk hal-hal sekarang saja. Tentang apa yang baru dilakukan dan baru dikatakannya. Misalnya, tadi baru mengatakan A, sekarang diulang lagi. Atau, tadi masak air, terus ditinggal tidur. Pendengarannya juga mulai berkurang, jadi kalau bicara dengannya harus dari depan supaya nenekku bisa membaca gerak bibir kita.

Kemarin pagi nenekku ditemukan adik perempuanku sudah meninggal ketika adikku bermaksud akan mengganti popoknya. Selama tiga hari terakhir, katanya nenekku sudah  tidak mau makan, hanya minta minum saja sedikit. Sudah tidak banyak permintaan seperti biasanya yang kadang minta mangga, minta bubur, dan lain-lain.

Kondisi seperti ini sudah sering terjadi, nenekku lemah dan sudah tidak berdaya. Tetapi tiba-tiba saja malamnya bangun sendiri, berjalan ke dapur sendiri, dan besoknya segar lagi.

Siang hari kemarinnya  nenekku hanya istighfar saja. Malamnya tidur seperti biasa, dan akhirnya ditemukan adikku pagi itu. Rupanya kali ini Allah sudah benar-benar memanggilnya pulang. Memberinya tiket yang selama ini sudah dinantikannya.

Aku mengikhlaskan nenekku dipanggil oleh Allah SWT. Tidak hanya aku, kurasa semua keluargaku juga begitu. Adikku bilang, dia sudah tidak tega melihat kondisi nenekku terakhir yang pasti menderita.  Inna Lillahi wa Inna Illaihi Roji’un. Semua kita memang akan kembali padaNya.

Tapi aku sedih.
Aku sedih sebab tidak ikut merawat nenekku di hari-hari terakhirnya. Adik perempuanku yang merawat nenekku selama ini, dibantu adik iparku yang belum lama ini datang dari Jakarta. Trimakasih yang banyak pada mereka berdua untuk waktu dan keikhlasan mereka yang belum tentu kupunya.

Aku memang bukan cucu yang baik, padahal nenekku amat menyayangiku. Aku adalah cucu pertamanya. Semua orang tahu, kasih sayang pada cucu pertama adalah melebihi sayang pada anak sendiri. Betul nggak?

Maafkan aku tidak dapat menjadi cucu yang baik buatmu Mbah….. Terlalu banyak alasan tidak perlu yang  mungkin dapat membuatku seperti ini. Selamat jalan, semoga Allah melapangkan jalanmu, menerima semua amal ibadahmu selama di dunia, mengampuni dosa-dosamu, dan memberikanmu tempat yang layak di sisiNya. Aamiin.

Al-Fatehah  dan Yassin buatmu mbahtiku…



Malang, 20 Februari 2017

Minggu, 22 Januari 2017

Riset

                                                 waktu wawancara di mall Manggadua

Tadi pagi begitu buka FB, diingatkan sama FB tentang kenanganku  4 tahun yang lalu, yaitu statusku yang
berbunyi : Aku tadi wawancara atau interogasi ya? (ampun deh job yang satu ini…, huft…!!).

Penasaran job apa yang kukerjakan 4 tahun lalu, tulisan itupun kuklik. Kubaca komen-komen yang ada di situ yang beberapa diantaranya adalah teman satu kantor di Nielsen.

Nama jobnya DAMITA. Nama yang cantik ya?
Huehehe…, nama job boleh cantik, tapi ngerjainnya setengah mati. Sumprit ini benar-benar job yang ajrut-ajrutan susahnya. Susah di sini adalah dalam artian mencari responden yang harus diwawancara.

Kesulitan utama adalah melihat tebalnya kuesioner dan metode yang harus dipakai. Metodenya adalah, kita wawancara langsung dengan responden, dan selanjutnya responden ditinggalin kuesioner untuk diisi sendiri, dan interviewer akan kembali mengambil kuesioner itu beberapa hari lagi.
Beberapa obrolan teman sekantor di statusku itu mengembalikan lagi ingatan saat-saat ngerjain jobnya.

“Lama sekali ya? Semalam aku juga sudah coba buka studynya, tapi sudah setengah jam masih belum dapat 25%. Gimana nanti kalau witness? Bisa-bisa respondennya kabur.” kata Asri.
“Biar responden gak kabur, kasih kuaci, biar gak terasa lama.” jawab Nina.
“Sumpah Nin, lama banget…” kata Asri.
“Iya, mbak Ratih juga sudah cerita..”  jawab Nina.
“Gileeee…, 3,5 jam… (memang sambil ditinggal bikin susu dan pipis,… tapi 3,5 jam?????), mati aja kalau sama orang yang gak kenal…” kataku.
Selanjutnya Nina bilang, kalau itu memang kebangetan, sebab katanya, peraturan kantor tuh wawancara paling lama cuma boleh maksimal  1,5 jam. (itu juga yang diwawancara sudah memble ngejawabnya)
“Hadeeeeehh…, Gak kira-kira yang bikin studynya.” kata Asri.

“Kalau 1,5 jam itu belum dapat separohnya Nin… (pas briefing aku juga sudah bilang sama Tuan Takur ***sebetulnya nama SPV-nya itu Kurniawan, tapi banyak yang panggil Tuan Takur*** , kalau pas wawancara ini aku harus nginep di rumah responden)

habis brieffing

Kemudian Asri nanya aku dapat PSU mana? PSU singkatan apa aku lupa, tapi itu adalah sebutan untuk wilayah wawancara, misalnya Kelurahan A Kecamatan A, Jakarta Pusat, Barat, Utara, Selatan, atau Timur.

Kubilang aku dapat Booster, tapi dengan minimum income 42 jeti per bulan. Booster itu calon respondennya boleh masuk wilayah (kali ini: Jakarta) mana aja, dengan beberapa syarat khusus, misalnya kali ini dengan income minimum 42 jeti itu.

Untuk yang bukan booster seperti tugas Asri, mungkin income nggak harus minimum puluhan jeti seperti tugasku, tapi tetap berlaku berbagai syarat khusus sebagai calon responden. Lumayan banyak larangan untuk calon responden, untuk job ini misalnya tidak boleh punya warung kelontong, tidak boleh kerja di perusahaan pesaing, tidak boleh ini tidak boleh itu, wiiiuuhhhh…… Belum lagi wilayah sudah ditentukan harus di mana. Belum lagi calon responden menolak diwawancara karena melihat tebalnya daftar pertanyaan yang akan diajukan.

Tugasku yang booster, calon responden boleh di wilayah Jakarta manapun asal minimum incomenya 42 jeti, dengan ketentuan syarat sebagai calon responden sama dengan yang bukan booster, karena ini standard wawancara. Kesulitannya hanya soal waktu, karena orang dengan minimum income puluhan jeti itu kan bukan orang dengan banyak waktu menganggur. Mau nggak dia ditanya macam-macam yang nggak ada untungnya (secara langsung) sama sekali buat dia.

Saat itu, fee yang kudapat per responden kalau nggak salah ingat sekitar 300 ribu rupiah. Lumayan sih kalau bisa dapat banyak. Tapi aku hanya mengambil 5 target saja, sebab aku nggak yakin apakah beberapa orang kenalanku (yang memenuhi syarat sebagai responden) mau diminta waktunya untuk wawancara buanyak pertanyaan yang amat sangat detail. Seperti misalnya apa merk pasta giginya, belinya di mana, belinya berapa kali sebulan, kalau merk itu nggak ada apa mau beralih ke merk lain, kalau iya, merknya apa, dan lain-lainnnn pertanyaan lagi yang tebal halaman kuesionernya sekitar 3cm.

Setelah 5 wawancara kulakukan dan kulaporkan, eeeh….., ternyata dikasih bonus, disuruh cari satu lagi, diwitnes. Diwitnes itu adalah melakukan wawancaranya dengan didampingi (diawasi) orang dari kantor atau klien. Bisa SPV, TA, Koordinator, Siapun orang kantor dengan jabatan apapun, Klien yang menyewa kita,  atau QC. (yang paling akhir itu adalah Quality Qontrol yang lebih banyak cari kesalahan kita kalau wawancara, supaya dia dapat dengan mudah mendepak kita keluar ***baca:dipecat*** itu menurutku lho….., walaupun ada juga sih QC yang ‘agak’ baik).

Tadinya aku menolak karena sudah nggak ada stock lagi buat diwawancara (males menghubungi teman-temanku  lagi, wawancaranya lama), tapi katanya calon responden sudah ada, temannya mbak Winarti yang saat itu masih jadi TA, asistennya SPV.

Yaa…, kalau calon respondennya sudah ada begitu, aku sih mau aja…., okelah kalau begitu. Jadi, aku ditemani mbak Winarti ke rumah temannya yang tinggal di Jakarta Timur. Teman mbak Winarti ini pengusaha Rumah Makan di daerah Cikini, kalau nggak salah ingat. Maklum sudah 4 tahun berlalu. Tapi waktu ambil kuesioner yang ditinggal di responden, aku pergi sendiri ke sana.  Untung orangnya baik, walaupun beberapa pertanyaan masih banyak yang kosong, jadi sambil kutunggui mengisinya, hehehe…

                                                                sedang brieffing

Kalau lihat fee nya yang lumayan, mungkin interviewer yang lain akan ambil kesempatan sebanyak-banyaknya buat ngerjain booster. Mungkin dengan sedikit probbing dan modifikasi di sana-sini, nggak perlu ambil job yang lain bulan itu, konsen di satu job ini aja…. Tapiiiiii, aku lebih males mikir ke belakangnya kalau misalnya sampai kena QC yang ribet.

Contoh kalau misalnya kena QC dan akhirnya dikeluarkan alias dipecat adalah begini, ini aku pernah dengar cerita dari salah seorang yang dikeluarkan karena kena QC.

Ketika kita akan melakukan wawancara, pertama kali kita harus menunjukkan ID Card. Kemudian kita memegang kuesioner di depan responden, responden tidak boleh melihat isi kuesioner, tapi responden kita kasih sebuah buku pedoman jawaban yang disebut Show Card. Di dalam Show Card ini ada jawaban-jawaban yang harus dipilih oleh responden.

Misalnya, kita tanya pertanyaan nomer 5 di kuesioner kita, dimana bapak/ibu bekerja? Maka di ShowCard yang dipegang responden itu ada jawaban nomer 5: a. PNS, b. ABRI, c.Karyawan Swasta, d.Dll.

Ketika responden menjawab: c. Karyawan Swasta.
Kita harus tanya: Karyawan Swasta di Perusahaan apa?
Kalau misalnya responden menjawab: Di Johnson& Johnson.
Misalnya padahal saat itu kita sedang wawancara untuk perusahaan Uinilever, ya wawancara tidak boleh dilanjut karena calon responden ternyata bekerja di perusaan pesaing. Kalau tetap dilanjut juga dan ketika QC mengkonfirmasi (biasanya via telepon) hal itu tetap dilakukan, biasanya kuesioner akan diturunkan dan interviewer dapat peringatan.

Yang parah dan bakalan dikeluarkan adalah pada saat wawancara, kita tidak memberikan ShowCard pada responden. Ini fatal. Alasannya apa aku juga tidak tahu. Yang jelas, banyak interviewer dikeluarkan karena ketahuan tidak menunjukkan Show Card pada responden.

Padahal ada kejadian juga, sebetulnya bukan salah interviewer waktu responden ditanya QC, apakah ditunjukkan Show Card dan responden bilang tidak. Ternyata kata interviewernya, waktu wawancara itu berlangsung memang suasana agak ramai (wawancara di toko), dan responden melayani wawancara sambil melayani pembeli. Jadi responden tidak ingat bahwa interviewer pernah menyerahkan Show Card padanya. Tapi tetap yang seperti ini tidak ditolerir oleh QC. (Biasanya interviewer baru yang agak memaksa wawancara dengan kondisi responden sibuk seperti itu karena takut tidak dapat responden lagi).

Okelah. Kembali pada job DAMITA ku tadi. Waktu itu aku memang hanya mengerjakan 6 saja, sebab aku juga harus membagi waktu dengan job-job yang lain yang juga mendesak waktunya, hehehe…

Oh ya, setiap selesai wawancara, biasanya kita selalu memebrikan sekedar souvenir kepada responden yang sudah kita wawancara sebagai ucapan terimakasih. Walaupun menurutku nilainya tidak berimbang dengan waktu yang sudah diberikan ke kita.
Macam dan jenis souvenir beda-beda, sesuai jenis job dan besarnya kontrak sepertinya, hehehe… Aku pernah memberikan souvenir berupa Voucher Belanja, Jam Meja, Payung, termos, Mug, Tas, dll. (yang paling sering sih Mug dan tas Nielsen)




Malang, 23 Januari 2017
***edisi kangen masa-masa lalu